Senin, 22 Februari 2010

Tiga Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Tiga Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Oleh: Muhammad Ismail

www.hidayatullah.com--Islamization of Knowledge (islamisasi ilmu pengetahuan) sebuah gagasan yang timbul sejak dasawarsa 1970-an. Kata “islami” mengandung dua makna yang kurang lebih berbeda. Pertama, kata islami menunjukkan suatu periode sejarah, kedua, menunjukkan suatu aktivitas yang mengandung nilai-nilai Islam. Sedangkan arti dari ilmu pengetahuan, menurut Sayid Husein Nasr --seorang tokoh pertama dalam pembicaraan wacana baru tentang ilmu pengetahuan dan Islam di Teheran, Iran, tahun 1933, ia menyebut, (berbeda dengan yang biasa diutarakan oleh kebanyakan ilmuwan) ilmu pengetahuan dengan Scientia Sacra (Sacred science, “ilmu sakral”) untuk menunjukkan bahwa aspek kearifan ternyata jauh lebih penting dari pada aspek teknologi yang sampai saat ini masih menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern.

Pada abad pertengahan (medieval times) banyak berkembang faham Barat yang mencoba memisahkan ilmu pengetahuan dengan agama. Sebut saja Nietzsche, dia berargumen bahwa agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Ia menambahkan, “seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisika jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan kepada seseorang. Antara ilmu pengetahuan dan agama masing-masing menempati bintang yang berbeda”. Nampaknya ada indikasi bahwa ia tidak menginginkan nilai-nilai Islam masuk ke dalam pembahasan ilmu pengetahuan modern.

“Sekularisasi ilmu pengetahuan” menjadi fondasi utama dalam sepanjang sejarah peradaban Barat modern. Dengan adanya sekularisasi ilmu pengetahuan, sedikit demi sedikit akan memisahkan jarak antara ilmu dengan agama, melenyapkan wahyu (Al-Quran) sebagai sumber ilmu, dan juga memisahkan wujud dari yang sakral. Selain itu sekularisasi ilmu juga telah menjadikan rasio sebagai basis keilmuan secara mutlak, dan mengaburkan maksud serta tujuan ilmu yang sebenarnya, menjadikan keraguan dan dugaan sebagai metodologi ilmiah.

Sebagai solusi menghadapi krisis epistemologi yang sedang melanda segala bentuk pemikiran dan juga sebagai jawaban dari berbagai tantangan yang muncul dari hegemoni westernisasi ilmu, maka perlu kiranya menghadirkan suatu gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, yang mana dalam bahasa Arab istilah islamisasi ilmu disebut juga dengan “islamiyyat al-ma’rifat, atau bahasa Inggris disebut sebagai “islamization of knowledge”.

Usaha islamisasi ilmu pada dasarnya telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya, yang waktu itu diturunkan Al-Quran dengan bahasa Arab, sehingga dengannya mampu mengubah watak serta pandangan hidup (worldview) dan tingkah laku bangsa Arab (Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam, Wan Mohd. Nor Wan Daud, 1998). Oleh karena itu, wacana islamisasi ilmu bukanlah suatu yang baru, hanya saja dalam konteks operasionalnya pengislaman ilmu-ilmu masa kini dicetuskan oleh tokoh-tokoh ilmuwan islam, seperti: Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, al-Faruqii, Fazlur Rahman, Syed Husein Nasr , dan lain-lain.

Ungkapan “islamisasi ilmu” memang sedikit mengaburkan makna dalam pembahasannya, sebab istilah tersebut membawa konotasi kepada seluruh ilmu, termasuk ilmu-ilmu sains islam yang telah didasarkan Al-Quran dan sunnah yang dibangun oleh sarjana Islam, namun tidak islami oleh sebab itu harus “diislamkan”. Lain halnya dengan istilah “islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer” yang lebih cenderung kembali kepada ilmu Barat modern yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman sehingga perlu memasukkan nilai Islam ke dalamnya.

Al-Attas vs al-Faruqi

Munculnya ide islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer disebabkan adanya premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai. Ilmu-ilmu kontemporer yang terkontaminasi oleh premis demikian dan telah melalui proses sekulerisasi dan westernisasi yang tidak lagi sesuai dengan kepercayaan, justru ini yang akan membahayakan keadaan umat Islam. Naquib al-Attas menegaskan dalam karyanya Islam and Secularism bahwa “ilmu itu tidaklah bebas nilai (value-free) tapi syarat akan nilai (value-laden)”. Dalam Islam semua ilmu bersifat universal dan tidak ada pemisahan sedikit pun antara ilmu-ilmu dalam Islam dengan nilai agama.

Selain Syed al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi juga tidak terlepas dalam pembahasan ini. Al-Faruqi merupakan penggagas proyek Islamization of Knowledge (Islamisasi Ilmu, 1982) yang mana ia telah sampai pada kesimpulan yang dituliskan dalam karyanya bahwa akibat dari kemunduran umat Islam, yaitu adanya sistem pendidikan yang berusaha menjauhkan umat muslim dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan yang seharusnya dijadikan kebanggaan tersendiri atas agama Islam. Oleh sebab itu, ia memberikan solusi, yaitu perlunya perbaikan sistem pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama sebagai langkah membentuk peradaban Islam yang sempurna

Antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi terdapat sedikit perbedaan dalam merumuskan islamisasi ilmu. Al-attas lebih mengorientasikan proses islamisasi ilmu ke dalam tujuan, yaitu untuk melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Namun al-Faruqi nampaknya lebih menitikkan islamisasi ilmu kepada “ketauhidan”, kemudian membangun ulang penyusunan data, mendefinisikan kembali ilmu, serta membentuk kembali tujuan dalam bentuk Islam digunakan sebagai kerangka dasar pemikiran.

Proses islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer memiliki tiga fase. Prof. Abdel Hamid Sabra, pakar sejarah sains yang berasal dari Universitas Harvard mengatakan, gerakan penerjemahan yang dilakukan oleh khalifah al-Ma’mun (w. 833 M) dengan mendirikan perpustakaan yang dinamakan dengan Bayt al-Hikmah sebagai pusat kajian, menunjukkan fase pertama dari tiga tahap islamisasi sains. Adapun tahap kedua, yaitu fase peralihan atau akuisisi, di mana sains Yunani hadir di hadapan peradaban Islam sebagai pendatang atau tamu yang sengaja diundang (an invited guest), bukan sebagai penjajah atau perusak (an invading force). Namun pada tahap ini Islam masih menjaga jarak serta berhati-hati selalu waspada. Kemudian tahap terakhir adalah fase penerimaan atau adopsi, di sini Islam telah mengambil dan menikmati apa yang dibawa serta oleh peradaban tersebut.

Pada saat itu pula kemudian lahirlah ilmuwan-ilmuwan hebat seperti: Jabir ibn Hayyan (w.815 M), al-Kindi (w.873), dan lain-lain. Proses ini tidak berhenti di sini saja namun terus berlanjut ke tahap asimilasi dan naturalisasi. Pada fase ini Islam telah mampu membuat dan mengkonsep ulang ilmu pengetahuan yang syarat akan nilai-nilai keislaman sehingga islam sanggup menjadi pionir dunia di bidang sains dan teknologi. Fase kematangan ini terus berlangsung selama kurang lebih 500 tahun lamanya, dan telah ditandai dengan hasil produktivitas yang tinggi dan tingkat orisinalitas keilmuwan yang benar-benar luar biasa.

Dari paparan di atas, kini jelaslah sudah bahwa islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer memiliki kebenaran-kebenaran tertentu sesuai dengan bingkai ruang dan waktu. Ada satu hal yang mungkin kadang terlupakan, yakni kesadaran akan setiap hasil pemikiran manusia yang selalu bersifat historis dan terikat oleh ruang dan waktu. Untuk itu gagasan islamisasi harus tetap dikembangkan, dilaksanakan, dan kemudian dievaluasi melalui konsep-konsep, ukuran serta standar sebagai produk “framework islami” yang selalu melibatkan “worldview Islam”.

Dengan demikian, proses islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer adalah merupakan respon intelektual yang sangat positif dan tepat. Karena hanya dengan merumuskan dan mengaplikasikan konsep islamisasi inilah kaum muslimin akan mampu mencapai kemajuan ilmiah dan teknologi, serta dapat mempertahankan dan bahkan membentengi pola pandang intelektual, moral, dan spiritual Islam di jiwa umat manusia. Namun bagaimana pun, keberhasilan proses islamisasi pengetahuan modern sangatlah bergantung pada usaha bersama yang terkoordinasi oleh intelektual muslim seutuhnya. Wa allahu a’lamu bi as-showaab.

Penulis adalah mahasiswa Institut Studi Islam Darussalam ISID Gontor Ponorogo