Senin, 08 Februari 2010

IMANKU

Sosok Wanita 'Nekad' yang Bermodal Iman
( Sulasti Ningsih, MSi,UGM. )
Muslimah yang satu ini betul-betul nekad. Ia berani menikah dengan pria yang dianggap banyak orang "bermasalah". Tidak main-main, calon suaminya itu harus masuk bui selama 13 tahun. Keputusannya menikah dengan pria yang dianggap berusaha mengganti dasar negara Pancasila dengan Negara Islam ini banyak ditentang orang, terutama pihak keluarga. Berbekal keimanan yang mantap, Sulasti (36) merasa yakin akan mendapatkan kebahagian hidup bersama calon suami yang belum pernah ia lihat dan dikenal sebelumnya.
"Saya menikah dengan keputusan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar. Sehingga saya yakin masalah apapun bisa diselesaikan dengan Islam", katanya.
Mantan aktifis PMII Korkom IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini kemudian tetap menikah dengan diwakili seorang 'Wali Hakim' karena Sang Bapak tetap tidak merestui keputusannya. "Saya mengangkat wali hakim karena alasan Bapak ketika itu bukan alasan syar'i", kata Sulasti. Wanita kelahiran 11 Mei 1965 ini lalu memutuskan menikah tahun 1987 diwakilkan seorang 'Wali Hakim'.
Kini, atas keteguhan keyakinannya itu, istri Ketua Majelis Mujahiddin, Irfan S. Awwas ini, kemudian memetik hasil dari perjalanan bahtera rumah tangganya selama 12 tahun. "Dengan bekal keyakinan itu, alhamdulillah sejak sebelum dan sesudah menjalani pernikahan, .bisa kami atasi dengan damai. Sebab kami selalu mengambalikannya pada Islam", tambahnya. Kini, pasangan ini dikaruniai 5 buah hati yang manis- manis, Qori Ainah ( 8 ), Halidah (6), Hasinah Tazkiyah (4), Badi'ul Hakim, (23 bl ) dan Arsyil 'Ala Almaududi (10 bl).
Putri pasangan alm. Suprapto Purwo Atmojo (67) dan Tarwiyah (60) dibesarkan dari kultur NU yang sangat kuat menanamkan pelajaran agama. Dengan keenam saudaranya, Sulasti diajar mengaji langsung oleh Sang Bapak. "Saya sudah khatam mengaji 30 jus sejak kelas 2 SD", kenangnya. (Cha)
Kapan Anda menikah?
Saya menikah tahun 1988, saat itu, suami saya masih di penjara Nusakambangan. Saya masih baru di wisuda S1, sementara suamibaru bebas tahun 1993.
Kapan Anda bertemu pertama kali dengan suami?
Tidak pernah kenal sebelumnya. Pertama kali tahu saat dia disidangkan pada tahun 1986. Saya sedang menonton sidang kasusnya bersama seorang ahwat teman traning pada 'Pesantren Kilat'. Sebelumnya, saya hanya pembaca majalah Ar Risalah di mana Pak Irfan sebagai Pimrednya. Saya mengenalnya hanya melalui tulisan-tulisannya di majalah tersebut. Termasuk bukunya tentang ust. Abdullah Sungkar dan ust. Abdullah Baasyir (PP. Al Mukmin Ngruki) yang kemudian keduanya juga sama-sama dipenjara.
Apa alasan menikah, padahal Anda tahu bahwa calon suami bakal dipenjara?
Mungkin, yang pertama, sudah jodoh. Kedua, saat itu saya sedang semangat-semangatnya belajar Islam.
Bagaimana reaksi kelurga Anda ketika itu?
Saya memutuskan menikah tahun 1987. Tentu saja Bapak sangat marah. Saya sempat diminta berhenti kuliah. Bapak juga tidak memberikan izin. Saya dianggap menikah dengan orang yang tidak jelas. Karena beliau tetap tidak mau, saya kemudian minta izinnya untuk mengangkat wali. Sebab alasan beliau tidak menyetujui hubungan saya bukan syar'i tapi hanya duniawi. Misalnya, masa depannya yang tidak jelas dan sebagainya.
Bapak marah betul, "Nikahmu tidak sah, kalau terjadi apa-apa saya tak tanggung jawab", katanya. Saya sampaikan, "Insya Allah, kami akan jalani dan kami siap menanggung resiko, terutama soal ekonomi,".
Proses nikahnya sendiri bagaimana?
Waktu nikahnya saya sendiri tidak datang, diwakili wali hakim di Nusakambangan. Saya hanya dikirimi surat nikah yang sudah sah dan bukti rekaman acara pernikahan itu. Sebenarnya saya ingin dinikahkan Bapak sendiri, tapi karena beliau tidak mau, saya akhirnya minta tolong kawan-kawan di Yogyakarta untuk membantu pernikahan kami. Namun mereka tak sanggup. Tiba-tiba ada seorang ikwan yang sanggup membantu. Jadi saya merasa sudah cukuplah untuk mewakilkan.
Jadi, Anda benar-benar belum pernah bertemu?
Ndak. Tapi saya beberapa kali besuk dengan kawan-kawan pengajian saat masih ditahan di LP Yogyakarta dan sebelum dipindah ke Nusakambangan. Saya tahu dia ya ketika diajak kawan mengikuti sidang dan mendengar pledoi yang dibacanya. Nah ketika itu saya terharu kok di jaman seperti ini ada pemuda menjunjung komitmen Islam sampai rela dipenjara.
Pertemuan singkat itu bagi Anda cukup untuk memutuskan menikah?
Pertimbangan utama saya ketika itu adalah iman dan islam. Saya ingin mendapatkan suami yang bisa membimbing dan menjadikan aqidah saya tambah lurus. Jadi memang tidak perlu pertimbangan lain, karena saya yakin Pak Irfan bisa melakukan itu dan bisa mendorong saya menjadi muslimah yang baik.
Bukankah masih ada ikwan lain yang masa depannya lebih bagus, apalagi Pak Irfan dipenjara cukup lama. Ada pertimbangan lain?
Pandangan saya memang agak beda dengan masyarakat umum barangkali. Misalnya, umumnya orang mencari suami yang masa depannya jelas, sudah ada kerjaan, tidak dikucilkan masyarakat. Bahkan waktu itu, Pak Irfan juga mengingatkan saya berkali-kali, apakah keputusan itu sudah dipikirkan masak-masak. Apalagi ia akan menjalani hukuman selama 13 tahun. Termasuk kawan-kawan saya sempat menyarankan memikirkan lagi. Sampai ada teman yang menawarkan seorang ihwan jika memang saya sudah siap menikah. Tapi bagi saya masa depan itu ya nanti di akherat.
Apakah keyakinan itu terbukti benar dalam perjalanan keluarga Anda?
Ya. Saya menikah dengan keputusan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar. Sehingga masalah apapun bisa diselesaikan dengan Islam. Dengan keyakinan itu, alhamdulillah sejak sebelum dan sesudah menjalani pernikahan, setiap persoalan bisa kami atasi dengan damai.
Setelah menikah, kapan pertama kali bertemu suami?
Setelah menikah saya secara rutin membesuk suami ke Nusakambangan sebulan sekali. Saya ketemu sebulan sekali sekitar 2 jam di sebuah ruangan ukuran 3x 5 meter dan selalu ditunggui 2 petugas Lapas. Saya ketemu dalam arti istri sesungguhnya baru sekitar tahun 1993 selepas suami keluar dari penjara. Setelah setahun tercatat sebagai mahasiswa di pascasarjana UGM (mengambil program Magister),suami kemudian dibebaskan. Saya sendiri lulus baru tahun 1995.
Dari mana kebutuhan ekonomi Anda berdua setelah hidup berumah tangga?
Kebetulan saya sudah dosen ketika itu. Dan selepas dari penjara, suami mendirikan majalah "Al izzah" selama tujuh bulan. Setelah itu, suami mendirikan lembaga pendidikan komputer LPK Casablanca. Tidak lama setelah itu, suami sudah mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis lagi yang kemudian menghasilkan penerbit Wihdah Press. Alhmadulillah, kini kebutuhan ekonomi sudah jalan dengan normal.
Apa pedoman anda sebagai seorang istri dalam berumah tangga?
Prinsip saya, untuk kemulusan rumah tangga, haruslah ada konstribusi dari seorang istri, diantaranya sifat mengalah istri dan kerelaan untuk berkorban, serta keihlasan seorang istri dalam mengurus keluarga . Itu faktor yang sangat dominan dalam sebuah menentukan kelangsungan rumah tangga.
Setiap perjuangan suami haruslah kita dukung, sebab sukses tidaknya perjuangan suami itu tergantung dengan dukungan istri. Sudah banyak kasus, bila istri tidak mendukung suami juga tidak bisa secara penuh terlibat menangani ummat. Para muslimah harus menyadari hal itu.
Apakah itu bisa menjadi jaminan?
Alhamdulillah, selama 12 tahun kami menikah, tidak ada masalah serius dalam rumah tangga. Beberapa masalah 'kecil' bisa kami tangani tanpa harus orang lain tahu. Bahkan termasuk masalah ekonomipun kami tidak pernah tergantung pada orang lain.
Menurut Anda apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri yang bersuamikan aktifis Islam?
Harus ada persepsi yang sama dengan suami tentang 'perjuangan'. Sehingga kelak tidak akan menimbulkan konflik. Paling tidak, modal awal adalah adanya persepsi yang sama tentang apa itu 'perjuangan' atau 'jihad'. Sehingga tugas istri adalah mendukung tugas suami yang salah satunya adalah menciptakan suasana damai agar suami tidak merasa terganggu dengan persoalan-persoalan kecil di rumah tangga.
Misalnya, soal-soal kecil seperti makanan, atau soal anak, rumah dan sebagainya seharusnya jangan sampai mengganggu aktifitas suami.
Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan orang tua?
Kendati kedua orang tua saya tidak setuju, saya terus melakukan pendekatan. Saya percaya nanti akan bisa berubah hatinya.
Saya sering silaturrahmi, saya juga sampaikan salam dari suami dari penjara. Bapak diam saja tidak menjawab. Saya juga melakukan pendekatan misalnya membawakan oleh-oleh kesukaannya. Juga pendekatan pada ibu. Ibulah orang pertama yang bisa menerima dibanding Bapak. Jadi ibu punya andil besar untuk menaklukkan Bapak. Tetapi pendekatan yang menurut saya punya andil besar adalah doa-doa saya.
Sejak menikah hingga kini, saya tetap dan selalu menjalin hubungan dengan keluarga. Bahkan setelah suami saya keluar dari penjara, kami tetap melakukan pendekatan pada keluarga. Alhamdulillah, akhirnya berjalan dengan baik. Bahkan, boleh jadi, sekarang ini, suami saya --insyaAllah-- termasuk menantu yang paling disayang.
Anda menikahi orang yang dianggap 'musuh negara' pernahkah mengalami teror?
Ada, misalnya, ketika saya menjenguk suami dan membawa oleh-oleh bulletin dakwah aparat sempat mengintrogasi selama dua jam. Pernah juga ketika mengurus bebas bersyarat suami, aparat sering mendatangi Bapak ke rumah agar tidak memberi jaminan perlindungan pada suami. Untungnya, kepala desanya keluarga saya sendiri. Jadi sedikit terbantu lah ketika itu.
Saya mengurus sendiri pembebasan bersyarat suami, selama 4 bulan bolak balik ke Jakarta, dengan menemui beberapa tokoh penting termasuk menemui Bapak.H. Sanusi dan alm. Baharuddin Lopa. Alhamdulillah suami saya keluar tahun 1993 walau seharusnya keluar tahun 1997
Dalam kasus apa suami Anda dituduh?
Kasus majalah Ar Risalah yang dipimpinnya (Pimred) yang dianggap subversif. Sebelumnya, saya adalah pembaca simpatik majalah Ar Risalah
Apa sih yang dituduhkan dari tulisan di Ar Risalah?
Dianggap subversif karena ingin mengganti Dasar Negara Pancasila dengan Islam.

Copyright©SuaraHidayatullah,2001