Minggu, 21 Februari 2010

PANDANGAN T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY TERHADAP ISLAM DAN AGAMA LAIN

PANDANGAN T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY
TERHADAP ISLAM DAN AGAMA LAIN
(KAJIAN TAFSIR AL-BAYAN DAN TAFSIR AN-NUUR)

dudung Amadung, S.H, M.A

A. Pendahuluan

Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang bersifat universal, ia merupakan penyempurnaan kitab-kitab yang sebelumnya, ia merupakan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu-ilmu, kisah atau sejarah, falsafah dan peraturan-peraturan tentang kehidupan manusia.
Al-Qur’an dalam memuat hal-hal tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara rinci dan ada pula yang dimuat secara global. Terhadap permasalahan yang dimuat secara garis besar, ada yang perinciannya dijelaskan oleh hadis dan ada pula yang diserahkan kepada kaum muslimin untuk merincinya sendiri sesuai dengan kemampuan dan keperluannya yang sesuai dengan keadaan, masa dan tempat.
Pluralisme sebagai paham yang mempersepsikan agama sebagai objek yang sama pada kemasan yang berbeda, terus berkembang menggerogoti pemikiran keagamaan masyarakat. Sebagai sebuah virus, pluralisme berhasil menggerogoti jantung keilmuan dan darah keberagamaan masyarakat. Al-Quran sebagai sebuha kitab suci sering kali dipahami secara plural dalam mengambil nilai-nilai Ilahi yang diharapkan oleh Allah SWT, sehingga nilai yang hakiki terendus jauh dari apa yang diharapkan Allah SWT.
Pada kesempatan ini, penulis mencoba mengkaji pemikiran TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, seorang ulama besar Indonesia, guna menelaah nilai-nilai pluralisme sang tokoh dalam memahamai agama. Penelaahan difokuskan pada karya tafisr beliau yakni Tafsir An-Nuur dan Tafsir Al-Bayan. Dua dari tiga tafsir yang dikarang oleh beliau. Satu tafsir lain yang tidak di temukan adalah Tafsir Al-Majied. Meskipun Tafsir beliau bercorak fiqih , namun demikian hal-hal yang bersifat aqidah sebagai hal prinsipil tetap dibahas dengan jelas.
Penelaahan tersebut dianggap penting oleh penulis, mengingat TM. Hasbi Ash-Shiddieqy adalah ulama Indonesia yang banyak menyusun buku dalam bahasa Indonesia. Sehingga masyarakat Indonesia yang ingin mendalami agama tapi memiliki keterbatasan penguasaan bahasa Arab akan memfokuskan pada buku berbahasa Indonesia, termasuk tafsir berbahasa Indonesia. Sehingga sekali lagi, penelaahan pemikiran beliau menjadi sangat penting untuk mengetahui ada atau tidaknya paham pluralis dalam pemikiran tokoh dimaksud.

B. Sejarah Hidup TM Hasbi Ash-Shiddieqy
TM Hasbi Ash-Shiddiqy seorang ulama besar indonesia ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam, lahir di Lhokseumawe pada tanggal 10 Maret 1904. Beliau wafat di pada tanggal 9 Desember 1975. Ayah beliau bernama Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq (573-13 H/634 M), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.
Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga, setelah kembali ke Aceh, Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
Pada zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (honoris causa) yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.
Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
Seperti halnya ulama lain, Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT, ini kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung berasal dari Allah SWT, dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syariat tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku absolut. Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang ditulis imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber syariat, walaupun terkadang relevansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang.
Ada beberapa sisi menarik pada diri Muhammad Hasbi, antara lain:
Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual diakui oleh dunia internasional. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam International Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958). Selain itu, berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah.
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia.
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in concreto) di-Indonesia-kan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syariat (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini setelah berlalu tigapuluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan masyarakat muslim Indonesia memerlukan “fiqh Indonesia” terdengar kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya. Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya kebenaran sejarah.
Semasa hidupnya, Muhammad Hasbi telah menulis 72 judul buku dan 50 artikel di bidang tafsir, hadits, fiqh dan pedoman ibadah umum.
Dalam karir akademiknya, menjelang wafat, memperoleh dua gelar Doctor Honoris Causa karena jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di Indonesia. Satu diperoleh dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tanggal 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.
Pada tanggal 9 Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullah, dan jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah almarhum, turut memberi sambutan almarhum Buya Hamka, dan pada saat pemakaman beliau dilepas oleh almarhum Mr. Moh. Rum.

C. Pandangan TM Hasbi Ash-Shiddieqy tentang konsep Dienul Islam
Ketika membicarakan tentang Dienul Islam, Hasbi Ash-Shidieqi dalam tafsirnya mengatakan bahwa agama yang diridoi oleh Allah hanyalah Islam, yakni agama (millah) yang dipegang oleh Ibrahim. Agama inilah yang kemudian dibawa oleh Muhammad SAW sebagai estafet kebenaran. Jadi tidak ada lagi istilah dan sebutan lain untuk agama ini selain Islam.
Secara bahasa, Dien berasal dari bahasa semit yang berarti Undang-Undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Pengertian ini sejalan dengan kandungan agama yang didalamnya terdapat peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh Para penganutnya.
Adapun secara Istilah, Dien berarti keyakinan terhadap eksistensi (wujud) suatu dzat – atau beberapa Dzat Ghaib yang maha tinggi, ia memeiliki perasaan dan kehendak, ia memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan yang berkenaan dengan nasib manusia. Keyakinan mengenai ihwalnya akan memotivasi manusia untuk memuja dzat itu dengan perasaan suka maupun takut dalam bentuk ketundukan dan pengagungan. Singkatnya, Dien adalah keyakinan (keimanan) tentang suatu dzat ketuhanan (Ilahiyah) yang pantas untuk menerima ketaatan dan ibadah.
Definisi diatas mencakup agama secara apa adanya, meskipun agama itu ada juga yang berdiri diatas kemusyrikan dan keberhalaan. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:
    
”Untukmulah agamamu dan untukulah agamaku” (Al-Kafirun : 6)

Sedangkan Ad-Dien yang haq, hanyalah satu yakni Islam, sebagaimana terdapat dalam Al-Quran:
             
” Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya” (Ali Imran:85)

Oleh karenanya para ulama banyak yang mendefinisikan Ad-Dien dengan peraturan Ilahi yang mengendalikan orang-orang yang memiliki akal sehat secara suka rela kepada kebaikan hidup di dunia dan keberuntuhan di akhirat.
Dalam Bahasa Arab, Dien mempunyai banyak makna, antara lain: pembalasan, taat, tunduk, kumpulan beban yang dengan dialah para hamba mentaati Allah. Kumpulan Beban itu dinamai dengan Syara , karena ia diundangkan untuk manusia. Dinamai dengan Din, karena hamba dituntut untuk tunduk dan patuh. Dinamai Millah karena aturan itu ditulis dan dibukukan.
Sedangkan Islam bermakna tunduk dan menyerah, menunaikan tugas dan memberikan, sebagaimana masuk dalam perdamaian dan kesejahteraan. Menurut Ash-Shidieqi, menamai agama Allah ini dengan Islam sangat sepadan dengan makna-makna di atas.
Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah agama yang logis dan meninggikan derajat akal manusia. Hanya manusia yang kurang akal saja yang tidak menyukai agama ini. Oleh karenanya, mereka yang berpegang kepada agama selain Dienul Islam Hasbi Ash-Shidieqy menghukuminya sebagai orang yang merendahkan akalnya. Dimana mereka berdo’a dan memohon kepada selain Allah, padahal itu tidak akan membawa manfaat, bahkan mendorong kepada kemelaratan.
Islam telah dipilih oleh Allah SWT untuk kebaikan manusia, setiap manusia dituntut untuk tetap komitmen, menyerahkan diri kepada Allah dalam ber-Islam. Setiap manusia dituntut untuk tetap menjaga komitment tersebut sampai meninggal dunia. Komitmen tersebut memberikan pengertian yang halus bahwa manusia tidak boleh berputus asa, ketika mereka berpaling dari kebenaran, hendaknya segera kembali kepada Allah SWT. Hal tersebut diungkapkan Ash-Shiddieqy dalam menafsirkan surat Al-Baqoroh ayat 130-134.
Islam sebagai agama Allah SWT adalah estafet kebenaran yang dibawa setiap Nabi dan Rasul. Setiap utusan Allah ditugaskan untuk mentransfer ajaran Islam tersebut kepada anak-anak dan penerus mereka. Hal tersebut dilakukan pula oleh Yakub AS. Al-Quran mengilustrasikan hal tersebut dalam ayat :
                            
“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia Berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya".

Dalam ayat tersebut Yakub bertanya kepada anak-anaknya:”Apakah yang akan kamu sembah sesudah aku wafat?” Pertanyaan ini diungkapkan untuk mengambil perjanjian dari anak-anak Yakub supaya mereka tetap komitmen dalam berIslam. Ini menjadi penyangkal dari ungkapan orang Yahudi bahwa Yaqub beragama Yahudi. Padahal semua yang diungkapkan mereka adalah kebohongan. Pada saat itu anak-anak Yakub menyatakan bahwa: ”Kami menyembah Tuhan engkau, dan Tuhan bapak-bapak engkau, yakni Ibrahim, Ismail dan Ishak. Tuhan Yang Satu, dan kami menyerahkan diri kepadaNya (muslim)”.
Ayat-ayat Allah SWT dengan jelas memberikan petunjuk bahwa agama yang dibawa oleh Para Rosul untuk seluruh umat hanyalah satu, yakni Islam. Ruh agama ini adalah Tauhid, yakni sikap penyerahan diri dan tunduk kepada petunjuk Allah yang dibawa para Nabi. Al-Quran sebagai sumber hukum mendorong manusia untuk bersatu berpegang kepada agama yang bersendikan dua hal, yakni (1) tauhid, melepaskan diri dari berbagai macam syirik, dan (2) Menyerahkan diri kepada Allah, tunduk kepadanya dalaam berbagai amal. Ash-Shiddieqy menilai orang yang tidak melaksanakan dua hal tersebut, maka ia tidak berhak mendapat sebutan muslim, dan tidak dipandang beragama benar.
Kondisi sekarang ini menurut Ash-Shiddieqy banyak pihak memberikan nama Islam kepada golongan atau kelompok yang bersifat agama, ada juga yang memberikan sebutan Islam kepada hal-hal yang bersifat adat, bahkan memberikan gelar Islam kepada agama lain. Ini jelas bertentangan dengan Islam yang diserukan oleh Al-Quran dan para Rasul. Karena Islam menuntut adanya komitmen dan ketundukan kepada Allah SWT. Penyerahan diri secara totalitas dalam setiap gerak langkahnya.

D. Pandangan TM Hasbi Ash-Shiddieqy tentang konsep Orang beriman dan Orang Kafir
Jika dalam hal Ad-Dien, Ash-Shiddieqy hanya melihat pemisahan antara Islam dan bukan Islam. Dalam hal kriteria beriman, Ash-Shiddieqy pun hanya melihat dua saja beriman dan tidak beriman (kafir). Ketika menafsirkan surat Al-Baqoroh ayat 62:
•     •                   
”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”


Ash-Shiddieqy menyebutkan orang beriman adalah mereka yang beriman akan Allah, akan hari kebangkitan kelak, mengerjakan amal shalih , mereka yang beriman kepada Rasulullah SAW dan menerima segala kebenaran yang didatangkan Rasulullah dari Allah SWT ,
Beriman dimaksud adalah pelaksanaan iman seperti yang diterangkan oleh Rasulullah SAW ketika Jibril bertanya. Seseorang dipandang telah beriman jika saja ia telah masuk kedalam Islam, mempercayai Allah, Rasulullah dan Al-Quran. Orang yang tidak beriman dengan itu semua, maka ia tidak bisa disebut sebagai mukmin.
Orang yang Mencintai Allah tapi tidak mencintai Rasulullah, yakni tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW adalah seorang pembohong sampai ia mengikuti seluruh ajaran yang disampaikan Rosulullah tersebut. Mentaati Rasul dan menerima segala apa yang diterimanya berupa petunjuk adalah persyaratan masuk surga.
Adapun orang Yahudi, Nashrani dan Shabiin sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, Ash-Shiddieqy menyatakan bisa disebut beriman manakala sudah beriman kepada Allah SWT, beriman kepada hari akhir, mengerjakan amal shalih, mengimani Muhammad dan syariat yang dibawanya. Mereka juga akan memperoleh pahala amalnya dari Allah SWT.
Ash-Shiddieqy mendefinisikan ketiga kelompok tersebut dengan rincian sebagai berikut, yang dimaksud dengan Yahudi adalah mereka yang memeluk agama Yahudi, sebutan mereka untuk syariat Musa As. Mereka disebut Yahudi, karena kebanyakan mereka dari keturunan Yahuda ibn Ya’kub. Sedangkan yang dimaksud dengan Nashara adalah semua yang memeluk agama yang dibawa oleh ’Isa, atau segala yang membangsakan mereka kepada Isa ibn Maryam. Mereka dinamakan Nashara, karena Maryam binti Imran singgah di sebuah kota yang bernama Nashiroh. Adapun Shabiin adalah sebutan untuk kaum yang mengakui keesaan Allah, akan tetapi beritikad juga bahwa bintang-bintang dapat memberi bekasan pula, dan mereka mengakui sebagain Nabi-Nabi. Ada juga yang menyebutkan bahwa Shabiin adalah sebutan bagi mereka yang mengikuti syariat Nabi-Nabi terdahulu.
Dari sini jelaslah, bahwa perbedaan mukmin dengan Non Mukmin (kafir) adalah dari segi sandaran kepada syariat Nabi Muhammad SAW, serta pengakuan akan kerasulan beliau. Sehingga ketika tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW serta tidak mengikuti syariat yang dibawanya, meskipun Ash-Shiddieqy tidak secara tegas menyebut Kafir, namun mereka disebutkan tidak termasuk pada kelompok beriman. Ini adalah ketegasan menyangkut masalah Aqidah, sehingga tidak samar-samar.

E. Pandangan TM Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Pola Hubungan Orang beriman dan Orang Kafir
Melihat jelas perbedaan idiologi antara orang beriman dan orang Kafir, maka hal ini pun berimbas pada pola hubungan sosial yang harus dilakukan oleh seorang mu’min dengan orang Kafir. Melihat Penafisran Ash-Shiddieqy terhadap surat Al-Mumtahanah, jelas terlihat bagaimana seharusnya seorang mu’min bermuamalah dengan orang Kafir. Ash-Shiddieqy banyak mengambil teladan Nabi Ibrahim sebagaimana yang diceritakan dalam ayat tersebut.
Ada beberapa pola muamalah yang harus diperhatikan oleh seorang mukmin, antara lain:
1. Tidak menjadikan sebagai sahabat dan penolong
Tidak layak seorang mu’min menjadikan mereka sebagai teman setiamu, apalagi sampai membuka kepada meraka rahasia-rahasia kaum muslimin, menceritakan kelemahan kaum muslimin dan lain sebagainya. Karena rahasia dan informasi tersebut akan menguntungkan bagi mereka untuk menghancurkan umat Islam. Padahal mereka telah menyangkal kebenaran yang di datangkan Rasul. Mereka mengingkari Allah, Rasul dan Al Qur’an. Bahkan lebih jauhnya, orang-orang kafir tersebut berkeinginan membawa kaum muslimin kepada kekafiran.
Tidak layak pula seorang mu’min berkasih sayang, mengulurkan persaudaraan dengan musuh-musuh Allah, padahal di berbagai tempat kaum muslimin diusir oleh kaum kuffar, sebagaimana Rasulullah SAW diusir dari tanah kelahirannya karena beriman kepada Allah SWT, dan bukan karena sebab yang lain.

2. Tetap berhubungan baik dalam hal muamalah
Adapun dalam hal sosial (muamalah) seorang Muslim tetap dituntut berbuat baik, mereka diperbolehkan beniaga dan bekerjasama sosial dengan orang non Muslim. Bahkan dalam Surat Al-Baqoroh ayat 109,
•          •        •           •      
”Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya[82]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Ash-Shiddieqy menafsirkan seorang muslim harus memaafkan non muslim yang bersalah dan jangan memalingkan muka dari mereka . Dalam perintah ini terdapat pengertian bahwa kaum muminin walaupun sedikit dipandang orang yang berkuasa dan mempunyai keperkasaan karena memberi maaf itu hanya dari orang yang berkuasa. Tegasnya seakan-akan Allah berkata : jangan kamu terpedaya dengan banyak bilangan ahli kitab yang berada dalam kebatalan, karena kamu, walaupun sedikit, lebih berkuasa dari mereka lantaran kamu berada dalam kebenaran. Orang-orang yang dalam kebenaran selalu memperoleh inayat Allah dan mereka tetap mulia selama mereka berpegang teguh kepada kebenaran.
Hal ini telah terbukti pada masa Rasulullah SAW pada saat itu bani Quraidhah mati terbunuh dan terjadi pengusiran-pengusiran bani Nadlir dari kota Madinah, sesudah mereka merusakkan janji dengan jalan mereka memberi pertolongan kepada musuh nabi berkali-kali. Nabi memaafkan mereka dan memalingkan muka dari mereka tidak membalas keburukan dengan keburukan.



3. Tidak berhak memintakan ampun meskipun keluarga sendiri
Perbedaan Aqidah anatara Muslim dan non Muslim adalah hal prinsip yang sangat mendasar, oleh karenanya perbedaan ini tidak dengan sendirinya mencair karena kesamaan darah dan nasab. Perbedaan Aqidah ini menjadi penghalang antara seorang anak dengan bapaknya untuk saling mendoakan. Hal ini pula yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As. Perbedaan Akidah yang menyebabkan beliau berlepas dari bapaknya. Perbedaan agama menjadikan beliau tidak lagi mendoakan bapaknya.
Bagi seorang muslim, harus meneladani Ibrahim AS dan kaumnya dalam setiap gerak-geriknya, kecuali mengenai permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya. Beliau berjanji untuk memohon ampun untuk ayahnya. Namun setelah nyata bahwa ayahnya adalah seteru Allah, Ibrahim pun berlepas tangan. Maka seorang mumin tidak diperbolehkan mendoakan keluarga atau saudara sedarahnya yang berbeda aqidah.
Hal ini disampaikan pula oleh Imam At-Thabari yang mengatakan: ” Wahai ummat Muhammad, bagi kamu sekalian ada uswah hasanah pada tindakan Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya dalam masalah ini, yaitu berupa pertentangan orang-orang kafir, memusuhi mereka dan tidak wala’ terhadap mereka, kecuali pada ucapa Ibrohim kepada ayahny:”sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagimu”. Sesungguhnya ucapan ini datang dari Ibrohum berupa janji kepada ayahnya sebelum ia mmengetahui secara jelas bahwa ayahnya adalah musuh Allah.


F. Penutup
Dari Pemaparan di atas, jelas bahwa TM Hasbi Ash-Shiddiqy memberikan batasan yang jelas tentang agama. Dalam karya tafsirnya, beliau membedakan dua agama yang jelas, yakni Islam dan non Islam. Sehingga secara tegas menolak konsep pluralisme agama. Hal ini jelas berimbas pada kriteria penganut duua keyakinan tersebut, yang juga secara tegas mempunyai prinsip-prinsip baku dalam berhubungan dengan tetap menjadikan aqidah sebagai dasar pijakan. Wallahu A’lam



G. Daftar Pustaka
Abdullah Al-Mushlih dan Sahalah Ash-Shawiy, Maa Laa Yasa u Al-Muslimu Jahluhu, terjemaha Ridwan Yahya dkk, Prinsip-prinsip Islam untuk Kehidupan, Al-Haramain, Jakarta, 1998
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 1998
Ali Thantawi, Ta’riful ‘Amm bi Diinil Islami, Daar Al-Manar, Makkah, 1997
Annonimous, Corak Tafsir Al-Quran di Indonesia, http://mubhar.wordpress.com/2009/02/07/corak-tafsir-al-quran-di-indonesia/
_______________, Tengku Mohammad Hasbi Ash-Shiddieqy, http://mubhar.wordpress.com/2009/01/10/kontribusi-tm-hasbi-ash-shiddiqy-dalam-kajian-hadis-di-indonesia/
Hasbi Ash-Shiedieqy, Tafsir An-Nur, Bulan Bintang, Jakarta, tt,
_________________, Tafsir Al-Bayan, Pustaka Rizki Putra, Semarang, tt
Muhammad bin Sa’id bin Salim Al-Qahtany, Al-Wala’ wal Barra’, Min Mafahim Aqidatis Salaf, Thibah, Riyadah, terjemaham Kathur Suhardi, Loyalitas Muslim Terhadap Islam; Pemahaman AqidahSalaf, Ramdahan, Solo, 1993
Soenarjo dkk, Al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penterjemah Al-Quran, tk, 1419H
Yusuf Al-Qordhowi, Pengantar Kajian Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1996
_______________, Bagaimana memahami Syariat Islam, Islamuna Press, Jakarta, 1996