Selasa, 23 Februari 2010

Meninjau Kembali Gerakan Religio-Politik Islam

Meninjau Kembali Gerakan Religio-Politik Islam

Ditulis Oleh: DR.Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada tanggal 15-17 Oktober yang lalu Japan International Institute of International Affairs (JIIA) mengadakan simposium tentang Islam in Asia, Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam. Acara ini khusus untuk menyoroti fenomena bergeliatnya politik umat Islam di Asia, pasca peristiwa dramatis 11 september 2001.

JIIA mengundang berbagai tokoh dari umat Islam yang dapat mewakili cara pandang umat Islam kebanyakan di masing-masing Negara. Simposium dibagi menjadi tiga sesi: Pertama tentang dimensi politik dalam Islam dalam kaitannya dengan demokrasi, sekularisme dan peraturan perundang-undangan (Rule of Law). Kedua meninjau peran dan partisipasi organisasi, kelompok dan partai Islam dalam politik negara yang memfokuskan pada studi kasus gerakan, organisasi dan kelompok Islam di beberapa Negara dengan fokus Indonesia, Mesir dan Singapore. Dan terakhir membahas tentang tingkat moderasi Muslim termasuk meninjau kelompok-kelompok radikal dan ekstrim dalam masyarakat Muslim.

Diskursus dalam simposium ini diarahkan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok dalam gerakan politik Islam baru kemudian mengkaji kelompok mana yang akan memimpin dimasa depan. Namun, dalam mengidentifikasi kelompok para peserta mempersoalkan klasifikasi umat Islam yang selama ini didominasi oleh terminologi dan stigmatisasi Barat.

IKIM (Institut Kefahaman Islam Malaysia) yang telah menjalin kerjasama dengan JIIA selama 10 tahun. Total peserta sekitar 30 orang itu terdiri dari 7 orang utusan Malaysia, 8 orang dari utusan universitas di Jepang dan 8 orang utusan Negara-negara.
Diantaranta Wakil dari Negara Tunis Prof. Abdelmajid Bedoui, dari Turki Yasar Yakis, dari Pakistan Dr. Sohail Mahmud, dari Iran Dr. Seyed Rassoul Mousavi, dari Mesir Dr. Diaa Rashwan, dari Muslim Inggeris Dr. Azzam Tamimi, dari Singapore, Dr. Syed Muhd. Kahirudin al-Juned, dari Jepang Dr.Takayuki Yokota dari Indonesia diwakili oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) dan dari Amerika diwakili Dr. Angel Rabasa, Senior Policy Analiysty, Rand Corporation. LSM yang selama ini menawarkan strategi kepada pemerintah Amerika bagaimana meliberalkan negara-negara Islam. Sementara wakil dari Malaysia diantaranya terdiri dari oleh Tun Datok Seri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, Dr. Syed Ali Tawfik al-Attas, Prof.Dr. Mohd Nor Wan Daud, Dr. Mohd Sani Badrun dan lain-lain.

Demokrasi, Sekularisme dan Islam
Masalah yang mendasar sebelum mengkaji gerakan politik Islam adalah meninjau hubungan konseptual demokrasi, sekularisme dan Islam. Yang menjadi pertanyaan penting adalah apakah Islam dan demokrasi itu sesuai (compatible). Bagi Dr. Syed Ali Tawfik al-Attas, istilah demokrasi dan juga sekularisme yang kini mulai dipertanyakan sebagai standar kehidupan politik modern, sebenarnya membingungkan ketika harus didefinisikan. Sebab definisi pun tergantung kepada cara pandang masing-masing ilmuwan. Namun, kajian serius tentang kedua prinsip itu ujung-ujungnya adalah kebebasan dan keadilan, kesimpulan yang sama ketika orang mengkaji politik Islam, meskipun dalam pengertian yang berbeda. Namun ini tidak berarti bahwa sistem demokrasi Barat sepenuhnya sesuai dengan Islam, ungkapnya.

Dr. Azzam Tamimi, Direktur London Based Institute of Islamic Political Thought (IIPT), London, dan Dr.Sohail Mahmud, Dekan Fakultas Politik dan Hubungan Internasional di International Islamic University Islamabad Pakistan sependapat bahwa prinsip-prinsip demokrasi telah terdapat dalam politik Islam. Bahkan menurut Tamimi Barat telah memodifikasi sistim shura dalam Islam menjadi demokrasi. Hanya saja jika Syed Ali Tawfik mempersoalkan teori demokrasi Barat, Sohail memandang bahwa praktek teori demokrasi ini dalam sejarahnya selalu saja bermasalah, sehingga tidak heran jika diantara umat Islam ada yang menerima dan ada yang menolak.

Itulah sebabnya Yasar Yakis, Ketua Komisi Uni Eropah pada parlement Turki, memandang bahwa hanya sekedar adanya prinsip shura kita tidak dapat menyimpulkan bahwa Islam sesuai dengan demokrasi, sebab dalam demokrasi masih terdapat makna kebebasan, kejujuran, keterbukaan dalam pemilihan umum. Berbeda dengan ketiga pendapat sebelumnya Yakis memandang bahwa secara teoritis demokrasi dapat dilaksanakan di Negara Islam tanpa merusak ajaran agama. Hanya saja prakteknya banyak Negara-negara Islam yang bukan merupakan contoh Negara demokrasi yang baik, demikian pula banyak Negara non-Muslim yang tidak dapat menjadi contoh demokrasi. Oleh karena itu tidak adanya demokrasi tidak dapat selalu dikaitkan dengan Negara Islam.

Bergandengan dan selalu digandengkan dengan demokrasi adalah sekularisme. Setiap negara sekuler pasti demokratis, untuk menjadi demokratis suatu negara harus menjadi sekuler sebab demokrasi hanya dapat diterapkan di negara sekuler. Persoalannya sekularisme sebagai sebuah konsep juga dianggap bermasalah. Tidak seperti demokrasi, sekularisme ditolak oleh semua pembicara sesi pertama sebagai sebuah konsep yang sesuai dengan Islam. Konsep ini datang kedunia Islam bersamaan dengan istilah-istilah lain seperti modernitas, Westernisasi, dan modernisasi dalam kaitannya dengan kolonialisme.

Bagi Syed Ali, sekularisme adalah produk worldview Barat yang tidak cocok dengan Islam sama sekali. Sebab worldview Barat dan Islam kenyataannya memang sangat berbeda. Menurut Sohail sekularisme di Barat digunakan untuk memisahkan Negara dari otoritas agama, tujuannya agar kedamaian dapat dipertahankan dalam masyarakat yang plural. Dengan menganut sekularisme juga kewargaan Negara tidak ditentukan oleh agama dan kepercayaan, tapi tergantung kepada hak dan kewajiban masing-masing warganegara. Namun, kenyataannya di Negara-negara Islam sekularisme dipahami sebagai anti-agama dan anti-Islam. Mensitir Fazlurrahman, bagi Sohail sekularisme adalah “kutukan modernitas” yang menghancurkan universalitas dan kesucian semua nilai moralitas. Jadi sekularisme adalah bersifat atheistik.
Tamimi juga melihat sekularisme sebagai pembebasan politik dari otoritas agama. Kolonialis berperan sangat besar dalam menyebarkan sekularisme ini. Sebab dengan konsep ini mereka dapat memarginalkan Islam atau menyingkirkan Islam dari proses restrukturisasi masyarakat pada masa kolonial dan paska kemerdekaan. Muslim yang terpengaruh oleh ide ini jelas berpandangan bahwa agar maju, Muslim harus mengikuti Kristen. Muslim harus membatasi dirinya pada masalah-masalah spiritiualitas dan kehidupan pribadi saja. Mereka juga beralasan jika Islam dikaitkan dengan masalah sosial dan politik ia akan bertentangan dengan sains dan teknologi. Padahal, lanjut Tamimi, kajian mutakhir menunjukkan bahwa sains dan teknologi Barat bagi Muslim hanyalah bagian dari ilmu dan amal yang dapat dipelajari dan digunakan tanpa harus menghilangkan identitas keagamaan mereka.

Persoalannya kemudian apakah dengan sekularisme yang memisahkan agama dari politik kemudian suatu Negara dapat dijamin dapat menghasilkan sistim politik yang demokratis? Yasar Yakis menolak adanya kausalitas ini, artinya sekularisme tidak menjamin wujudnya demokrasi. Masyarakat uni Sovyet, contohnya, dibawah komunis adalah sekuler, namun bukan masyarakat demokratis. Sebaliknya masyarakat atau Negara yang tidak sekuler seperti Inggris tidak dapat kita katakan sebagai Negara yang demokratis, katanya. Jika suatu masyarakat dipimpin oleh pemuka agama, maka sekularisme dan demokrasi sulit dilaksanakan, karena ada perbedaan tajam antara nilai-nilai modern dan ajaran agama. Perbedaan tajam itu, katanya, karena wahyu dalam Islam tidak relevan lagi untuk dunia modern sehingga syariah (hukum Islam) perlu disesuaikan dengan nilai-nilai modern. Seperti kasus potong tangan bagi pencuri, perbedaan bagian warisan laki-laki dan perempuan dsb. jadi satu-satunya jalan untuk menghindari kontradiksi antara ajaran agama dan tuntutan modernitas adalah sekularisme. Disini Yakis, yang mengakui tidak memiliki latar belakang studi Islam, terjebak dalam pemahaman agama yang sempit.

Maka dari itu pendapat Yakis langsung mendapat tanggapan dari peserta lainnya. Menurut Syed Ali, kita seringkali salah faham bahwa begitu menyebut syariah yang terbenak dalam kepada kita hukum potong tangan, warisan, posisi wanita dsb. Padahal inti tujuan hukum Islam itu universal. Inti dari syariah dalam Islam adalah penjagaan nilai-nilai universal mengenai keadilan, kebebasan, kemanusiaan, persamaan hak, perlindungan diri, harta, nyawa dsb. Bagi Rashwan, dari Mesir, untuk menjembatani teks al-Qur’an dengan masalah-masalah kontemporer sudah tersedia alatnya yaitu ilmu Usul Fiqh (legal philosophy). Azam Tamimi sependapat dengan Rashwan menekankan bahwa persoalan di zaman modern dapat diselesaikan melalui cara ijtihad dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup.

Jadi, karena Islam telah memiliki prinsip-prinsip sendiri yang tidak bertentangan dengan demokrasi, politik Islam tidak perlu dikaitkan dengan konsep demokrasi dan sekularisme. Namun, pertanyaan yang netral tapi cukup menyentak datang dari Kunihiko Miyake, Presiden, AOI Foreign Policy Institute, Tokyo. Menurutnya, jika hubungan konseptual antara Islam dan demokrasi bermasalah, nampaknya kita tidak perlu mendiskusikannya. Dan kritikan Barat terhadap politik Islam juga banyak yang tidak relevan. Anggap saja demokrasi adalah jalan atau sarana, tapi masalahnya sekarang bagi Muslim adalah bagaimanakah dalam sistim Islam sendiri masyarakat dapat mengoreksi kesalahan penguasa. Bagi Rasoul Mousavi, Direktur Center for Studies of Central Asia and Caucasus, Iran, Muslim dapat menerapkan demokrasi sekuler atau religious. Realitasnya di negara-negara Islam demokrasi dengan pengertian yang berbeda-beda dapat berjalan dan dengan itu memungkinkan bagi Muslim untuk mengoreksi penguasa. Mungkin, maksud Mousavi adalah demokrasi dapat dilaksanakan dalam perspektif Islam.

Gerakan politik Islam
Lalu bagaimanakah gerakan politik Islam berpartisipasi dalam proses demokrasi? Tiga Negara yang menjadi sorotan JIIA untuk di kupas secara khusus adalah Indonesia, Singapore dan Mesir. Penulis mendapat tugas untuk memaparkan fenomena kebangkitan politik Islam di Indonesia dan gerakan-gerakan yang dianggap radikal dan ekstrim. Sementara Dias Rashwan mengupas mengenai gerakan Islam di Mesir, khususnya Ikhwan Muslimun, sedangkan Kahiruddin al-Juned membahas mengenai gerakan Muhamadiyah di Singapore. Kebangkitan politik Islam di Indonesia paska Orde Baru penulis lacak pertama-tama dari fenomena global kebangkitan Islam. Kemudian dari dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan depolitisasi umat Islam Orde Baru yang opressif, dan dukungan terhadap ide pembaharuan yang membawa gagasan sekularisasi dan rasionalisasi.

Dari akibat fenomena global, Muslim Indonesia mengalami peningkatan kesadaran keagamaan yang cukup tinggi, wanita berjilbab bertambah, shalat Jum’at di masjid-masjid penuh, ceramah kultum di kantor-kantor menjamur, jumlah media massa Islam meningkat dsb. Sementara dampak dari depolitisasi umat Islam dan juga mahasiswa Islam justru membangkitkan gerakan bawah tanah. Gerakan mahasiswa berpindah dari student center ke masjid-masjid dalam bentuk kelompok kajian. Sementara ormas-ormas Islam yang selama Orde Baru ditekan menahan diri untuk tidak berpolitik, tapi ada pula yang bersifat gerakan bawah tanah (underground) dan bahkan ada yang menjadi ekstrim dan radikal.

Gaya pemerintahan Orde Baru yang opressif dan sekularistis justru menelorkan beberapa fenomena menarik: pertama bangkitnya partai-partai politik Islam seperti PKS, PBB, PAN, PKB, PBR dsb., suatu yang tak terbayangkan di zaman Orde Baru. Ini juga merupakan bukti bahwa slogan Nurcholish Madjid tahun 70 an “Islam Yes Partai Islam No” tak dapat dipertahankan lagi, artinya sekularisasi telah gagal. kedua tumbuhnya gerakan-gerakan sosial Islam yang datang dari kampus dan masjid-masjid, seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), FPI, Hizbuttahrir, KAMMI dan sebagainya. Juga timbulnya gerakan-gerakan jihad seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Laskar Jihad dan sebagainya. Dan ketiga timbulnya gerakan liberalisasi yang merupakan kelanjutan proyek sekularisasi yang gagal.
Penulis kemudian membuat klassifikasi gerakan berdasarkan cara pemahaman terhadap Islam menjadi dua: Liberal dan non-liberal. Gerakan liberal diprakarsai oleh Jaringan Islam Liberal dan LSM yang sealiran dalam bidang pluralisme, feminisme dan gender, kebebasan, dan sebagainya. Sedangkan non-Liberal adalah organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan lain sebagianya yang telah ikut berjuang mendirikan republik ini bersama dengan penganut agama lain dengan tingkat toleransi yang sangat tinggi. Kini kelompok non-liberal bertambah dengan tumbuhnya partai-partai politik seperti PKS, PBB, PAN, PKB, PBR dsb. Akhirnya penulis memprediksikan bahwa dimasa depan politik Islam akan berada di tangan kelompok non-liberal dan bukan kelompok radikal atau liberal.

Angel Rabasa dari Rand Corporation Amerika Serikat, memuji sistimatika paparan penulis hanya saja ia tidak setuju dengan kesimpulannya dan mempertanyakan klasifikasi liberal dan non-liberal. Penulis jelaskan bahwa Liberal mendahulukan konteks, sedangkan non-liberal bervariasi ada yang mendahulukan teks, ada yang mendahulukan teks tapi menggunakan akal, ada yang seimbang antara teks dan konteks. Namun dari kelompok non-liberal terdapat kelompok yang tekstual yang diantaranya cenderung bersikap ekstrim dan radikal. Maka dari itu terdapat dua kutub ekstrim disini, pertama kelompok yang terlampau tekstual dan kelompok yang terlalu kontekstual yaitu liberal. Namun non-liberal masih dalam domain worldview Islam, sedangkan liberal telah dihegemoni oleh worldview Barat postmodern. Kondisinya kini kelompok liberal berhadapan dengan kelompok non-liberal yang tekstual maupun yang tekstual-rasional-kontekstual. Konflik menjadi memanas ketika diketahui bahwa kelompok liberal mendapat dukungan dana besar dari Negara Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya. Jika dukungan ini terus berlangsung dimasa depan, maka akan terjadi konflik yang berbahaya dan akan memunculkan kebencian umat Islam Indonesia terhadap Amerika Serikat.

Professor Hisae Nakanisihi dari Universitas Osaka mengejar dengan pertanyaan sejauh mana perbedaan liberal dan non-liberal sehingga saling berhadapan begitu serius. Penulis jawab dengan hanya satu contoh yang kini gencar di promosikan pejuang gender bahwa menurut penafsiran kelompok liberal homoseksualisme dan lesbianisme dibolehkan dalam Islam. Pandangan ekstrim yang tentu bertentangan dengan pendapat mayoritas umat Islam dan bahkan umat manusia. Jawaban ini ternyata cukup mengejutkan para peserta, khususnya dari utusan Negara-negara Islam.
Dari jawaban penulis ini akhirnya Sohail, Tamimi, Badoui dan Wan Mohd Nur menganggap masalah campur tangan AS kenegara-negara Islam sebagai sesuatu yang negatif. Persoalannya campur tangan AS bukan hanya masalah politik tapi sudah masuk dalam masalah pemikiran, khususnya dalam memahami konsep-konsep penting dalam bidang sosial, politik dan bahkan keagamaan. Kerancuan konsep akan mengakibatkan kesalah fahaman terhadap Islam. Hanya karena mendukung prinsip demokrasi, kata Wan Daud, Muslim didorong untuk mengakui kebenaran agama lain. Ini adalah suatu kesalah fahaman akibat kesalahan konsep yang tidak semestinya terjadi. Sedangkan bagi Tamimi karena kesalahan memahami standar moderasi telah mengakibatkan kesan pada orang Barat bahwa semua Muslim adalah radikal, fundamentalis dan teroris.

Pertanyaan penting yang jawabannya ditunggu pihak JIIA adalah di tangan kelompok manakah masa depan politik Islam? Jawabannya hampir serempak ditangan kelompok moderat, yaitu kelompok Muslim mayoritas di negara-negara Islam. Tidak ditangan liberal ataupun ditangan radikal. Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai konsep moderasi. Siapakah kelompok moderat itu?

Moderasi Muslim
Makna istilah moderat sebenarnya menjadi rebutan. Terdapat sedikit perbedaan dikalangan cendekiawan Muslim tentang istilah ini, namun terdapat perbedaan tajam antara cendekiawan Muslim kebanyakan dan peneliti Barat. Diaa Rashwan, Direktur Program for the Study of “islamis” Movement al-Ahram Center for Politic and Strategic Studies, Kairo, membuat klasifikasi berdasarkan gerakan. Klasifikasinya juga sangat simple: “moderat vs ekstrim”, “radikal vs damai”. Baginya gerakan-gerakan kelompok Islam yang oleh Barat disebut “islamis” itu sebenarnya adalah gerakan sosial politik Muslim yang menganggap kerja mereka berada dalam masyarakat Muslim yang memerlukan kebijakan politik berdasarkan platform syariah. Sedangkan gerakan keagamaan Muslim yang disebut “jihadi”, “salafi”, “takfiri” atau lainnya itu lebih fokus pada masalah keimanan dan kepercayaan, dan menganggap masyarakat dimana mereka hidup sebagai tidak Islami. Akhirnya kelompok ini berjuang untuk meng-Islamkan masyarakat baik melalui pengajaran ataupun usaha-usaha dakwah atau berperang. Bagi kelompok ini politik tidak penting, karena ia adalah sarana bukan tujuan.
Dengan klasifikasi ini Rashwan meletakkan gerakan Ikhwan Muslimun kedalam kategori gerakan sosial politik dengan platform Islam dan bukan gerakan keagamaan yang menekankan pada masalah keimanan. Maka dari itu gerakan ini tidak mempersoalkan keislaman individual atau masyarakat, tapi berjuang untuk menggerakkan masyarakat Muslim dan Negara Muslim sesuai dengan platform hukum Islam. Namun, Rashwan segera menggaris bawahi bahwa gerakan keagamaan seperti jihadi, salafi dan takfiri itu pada mulanya tidak radikal dalam pengertian Barat. Radikalisme hanyalah kelompok kecil dalam gerakan keagamaan seperti salafi atau lainnya dan bukan dalam semua gerakan keagamaan. Sedangkan moderat dalam gerakan Islam tidak selalu berarti menerima ide-ide dari Barat, tapi lebih menempuh jalan hikmah.

Berbeda dari Dia Rashwan, Angel Rabasa membuat definisinya sendiri tentang makna moderat yang khas Barat. Sebelumnya ia membedakan antara “islamis” dan “moderat”. “Islamis” adalah gerakan politik Islam berdasarkan interpretasi salafi. Gerakan untuk memobilisasi kekuatan politik dan ideologi politik. Sedangkan moderat adalah gerakan yang tidak berusaha untuk merekonstruksi masyarakat agar sejalan dengan idealisme masa lalu yang diidamkan, tidak menyesatkan atau menindas suatu sistim kepercayaan yang berbeda atau merasionalisasikan penggunaan kekerasan terhadap mereka yang dianggap kafir. Yang lebih penting lagi menurut Rabasa moderat adalah mereka yang mendukung demokrasi, persamaan gender, HAM, kebebasan beragama, menghormati perbedaan, menerima sumber hukum yang tidak berasal dari agama atau mazhab tertentu, dan yang paling penting adalah menentang terrorisme dan kekerasan yang tidak mendasar.

Definisi Rabasa segera mendapat sanggahan dan karena itu Prof. Keiko Sakai dari Department of Foreign Studies, Tokyo University mempertanyakan siapa sebenarnya yang berhak menentukan definisi. Nampaknya ia melihat ada perebutan definisi moderat antara Islam dan Barat mengenai definisi moderat. Penulis segera merespon pertanyaan Sakai, bahwa moderat atau tidaknya suatu sikap dalam kaitannya dengan Islam harus dilihat dari bagaimana ia memperlakukan teks dan bersikap pada konteks. Moderasi adalah keseimbangan antara teks dan konteks. Masalahnya dalam standar politik definisi moderat terlalu berpihak pada konteks politik dan melupakan teks. Juga dalam bidang sosial keagamaan, seperti kasus Aminah Wadud sholat Jum’at di gereja bukan pengamalan dan pemahaman berdasarkan teks, tapi praktek keagamaan yang terlampau kontekstual hanya untuk merespon faham gender dan feminisme Barat sehingga melupakan teks.

Rashwan setuju dengan tolok ukur penulis dan ia menambahkan bahwa radikalisme baiknya dikaitkan dengan politik saja, ekstrimisme dikaitkan dengan keagamaan dan politik, sedang konservativisme adalah bersifat sosial dan lebih baik dikaitkan dengan masalah internal umat. Penulis juga mengkritik standar moderasi yang ditentukan oleh Rabasa, karena hanya merujuk kepada konteks gerakan politik masa kini dengan konsep-konsep yang didominasi Barat. Jika merujuk kepada konsep-konsep Islam pengertian moderat itu tentu akan berbeda. Sebab Islam memiliki definisinya sendiri mengenai HAM, kebebasan beragama, hak-hak wanita dan lain sebagainya.
Bagi Sohail, sifat moderat tidak perlu didefinisikan, karena ia adalah watak Islam itu sendiri yang dimasa lalu menyebar ke Asia Selatan dan Tenggara. Jika Islam yang tersebar waktu tidak moderat tentu tidak akan sampai ke kawasan itu. Namun, Wan Mohd Nor menyela, definisi istilah penting harus merujuk kepada otoritas dimana masyarakat itu berada. Dan tidak wajar jika didefinisikan oleh outsider, al-Biruni contohnya, ketika dia menulis tentang agama Hindu, ia berkonsultasi kepada pemuka-pemuka Hindu tentang ajaran agama itu.

Secara kebetulan pendapat Prof. Wan sejalan dengan atau dikuatkan oleh pendapat Prof. Badoui Abdelmajid, guru besar Peradaban Arab-Islam pada Higher Training School di Tunis. Dalam makalahnya yang secara khusus mengkaji Islam dan moderasi itu ia menegaskan bahwa moderasi adalah esensi Islam itu sendiri. Moderasi dapat disifati dengan stabilitas dan perubahan. Stabil dikaitkan dengan masalah keimanan sedangkan perubahan berkaitan dengan interaksi sosial yang memang terus berubah. Ajaran untuk bersikap moderat dalam Islam terdapat dalam hal keyakinan, ibadah, hubungan sosial dan dalam kehidupan nyata. Inilah yang menjadi tolok ukur moderasi dalam kaitannya dengan gerakan sosial dan politik Islam.

Radikalisme
Istilah dan gerakan yang memiliki daya tarik tinggi adalah radikalisme dan ekstrimisme. Sebenarnya radikalisme adalah fenomena global dan tidak hanya berkaitan dengan Islam. Dalam agama Kristen terdapat gerakan radikal, dalam agama Hindu perusak masjid Babri di India adalah Hindu radikal dan dalam agama Yahudi, pembunuh Isaac Rabin adalah Yahudi radikal. Begitulah Seyed Rasoul Musavi memulai presentasinya.
Ia kemudian membagi pemahaman terhadap radikalisme kedalam tiga pendekatan: tekstual dan situasional. Pendekatan tekstual, menurutnya, adalah pemahaman terhadap teks Al-Quran secara tekstual sehingga mengakibatkan sikap radikal, dan ini merujuk kepada kelompok Salafi. Situasional maksudnya radikal yang disebabkan oleh situasi umat Islam karena pengaruh kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal adalah kondisi politik Islam yang oppresif sedangkan eksternal adalah campur tangan Barat kedalam ranah politik Islam. Karena pengaruh ekternal inilah gerakan radikal yang bersumber pada nasionalisme, liberalisme maupun sosialisme yang kesemuanya sekuler wujud didunia Islam. Radikal dalam membela atau menolak Barat.
Kita dapat saja mengalahkan berbagai jenis gerakan radikal di atas, kata Mousavi tapi kemudian akan timbul gerakan lain yang serupa atau yang lebih berbahaya. Solusi yang ditawarkan Musavi cukup menarik, yaitu Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), perlu merubah kebijakan, pola fikir dan perilaku mereka. Jadi, pendudukan, invasi, sanksi-sanksi dan intervensi harus diakhiri.

Sejalan dengan pandangan Mousavi, Prof. Wan Mohd Nor melacak sumber radikalisme dari faktor internal dan ekternal. Yang internal disebabkan oleh de-tradisionalisasi dan de-sufisasi dalam diskursus keislaman dan etika, serta hilangnya otoritas keagamaan dan politik, sedangkan yang eksternal dipicu oleh problem-problem umat Islam seperti masalah Palestina, Thailand Selatan, Filipina Selatan, Asia Tengah, Kashmir. Selain itu sikap double-standard dan Islamphobia Barat terhadap Islam juga memicu sikap radikal.

Solusi yang ditawarkan Prof.Wan lebih mendasar dari Mousavi yaitu perlunya reformasi internal pendidikan umat Islam. Ini dilakukan dengan re-tradisionalisasi pendidikan Islam dan menekankan pada penguasaan dan pengamalan nilai-nilai moralitas. Jadi bukan westernisasi atau liberalisasi pendidikan Islam, karena liberalisasi justru counter-productive. Selain itu perdamaian abadi di Timur Tengah perlu diciptakan, problem Muslim minoritas juga harus diselesaikan, Barat hendaknya mendukung pemerintah yang bersih, adil dan tidak korup, jika tidak maka masyarakat akan membenci Barat.

Nampaknya, keberatan Muslim secara keseluruhan untuk dikaitkan dengan radikalisme dan ekstrimisme dapat diterima peserta. Keiko Sakai setuju agar kita tidak selalu mengkaitkan ekstrimisme dengan Islam, kita perlu memahami kasus per kasus serta faktor-faktor yang memotivasi timbulnya tindak radikal dan ekstrim. Namun, Rabasa tanpa sungkan-sungkan menuding bahwa gerakan radikal dalam Islam disebabkan oleh adanya gerakan politik keagamaan dari Mesir, yaitu gerakan Jihadi. Tudingan ini dibantah Rashwan, sebab, alasannya, gerakan Jihad di Mesir itu asalnya tidak ada konotasi radikalisme atau ekstrimisme yang menjurus kepada kekerasan fisik. Namun, setelah adanya perang Afghanistan, gerakan Jihad berkembang menjadi gerakan radikal dan ekstrim, dan apa yang terjadi di Afghanistan adalah karena hasil strategi AS. Rabasa menolak tapi Rashwan tetap bertahan dan mengklaim bahwa dia tahu banyak tentang gerakan Islam di Mesir sebelum tahun 90an.


Kesimpulan

Diskusi dalam siymposium diatas sangat penting untuk mendudukkan berbagai posisi gerakan keagamaan dan politik Islam. Peninjauan kembali stigma yang dilabelkan kepada gerakan politik Islam diharapkan dapat mengoreksi pandangan negatif Barat terhadap Islam. Artinya sebelum menjelaskan tentang keadaan sosial dan politik umat Islam serta masa depannya para pengamat perlu memahami kedudukan masing-masing kelompok dalam peta hubungan Islam dan Barat. Symposium ini cukup berhasil melakukan hal itu. Simposium dianggap sukses oleh JIIA, karena semua partisipan aktif bertukar fikiran dalam suasana dialogis yang hidup.

Nampaknya, JIIA telah memperoleh gambaran bahwa mayoritas di berbagai negara Muslim adalah moderat. Yang tidak kalah penting adalah bahwa simposium telah memberi banyak masukan kepada RAND corporation dari AS. RAND adalah salah satu think tank pemerintah AS untuk mengatur strategi penyebaran liberalisme kenegara-negara Islam pasca tragedi 11 september. Diantara masukan terpentingnya adalah bahwa AS ternyata tidak hanya menumpas teroris, tapi juga menumpas pemikiran umat Islam. Sebab ekstrimis dan radikal hanyalah segelintir orang yang perlu diwaspadai bersama.
Sebenarnya, liberalisasi yang ditebarkan AS tidak mampu meredam ekstrimis dan teroris, tapi malah menggilas keyakinan dan pemikiran umat Islam. Bagi Muslim bahaya teroris tidak sebesar bahaya intervensi AS dalam membantu kelompok ekstrim liberal. Sebab dengan program liberalisasi pemikiran keagamaan kebencian umat Islam terhadap AS menjadi semakin bertambah dan dapat mengakibatkan konflik yang lebih serius dimasa depan.