Senin, 08 Februari 2010

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBN HAZM (384-456H)

PEMIKIRAN PENDIDIKAN
IBN HAZM Al-ANDALUSI ( 384-456 H)


A. Pendahuluan

Memahami pemikiran seorang tokoh diperlukan berbagai pendekatan untuk mendapatkan informasi yang valid dan komprehensif. Pendekatan bisa dilakukan dengan mengkaji historis, pemikirannya, karya-karya yang mengindikasikan pemikirannya, atu bukti-bukti yang berkitan langsung dengan tokoh tersebut.mengkaji pemikiran juga bisa dilakukan dalam paradigma disiplin ilmu, hal ini mengindikasikan bahwa upaya memahami sesuatu bisa dipandang dalam berbagai perspektif. Misalnya Ibn Hazm yang akan menjadi kajian pada makalah ini, sebenarnya Ia lebih dikenal sebagai ulamak madhab ad-dhahiri ( Tektual ) ketimbang sebagai tokoh pendidikan. Maka dari itu untuk mengungkap pemikirannya , diperlukan berbagai pendekatan yaitu dengan mengkaji sejarah kehidupannya, mengolaborasikan pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan melalui karya-karyanya. Diantara karyanya yang ada kaitanya dengan imu pendidikan adalah, al-akhlak wa siyar, al-taqrib li had al-mantiq, tauq al-hamamah. Selanjutnya dari karya ini akan dilakukan interpretasi dalam pendekatan paradigma pendidikan, sehingga akan didapatkan suatu analisa yang menjelaskan tentang konsep pendidikan menurut Ibn Hazm. Oleh karena itu makalah ini mencoba untuk mengungkap sisi-sisi pemikiran Ibn Hazm tentang pendidikan.




B. Biografi Ibn Hazm

Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad ibn said Ibn Hazm Ibn Ghalib Ibn Shaleh Ibn Khalaf Ibn Ma’dan Ibn Sufyan Ibn Yazid Al-Farisi[1]. Kalangan penulis kontemporer memakai nama singkatnya yang populer Ibn Hazm, dan terkadang di hubungkan dengan panggilan al-Qurthubi atau al-Andalusi dengan menisbatkannya kepada tempat kelahirannya, Cordova dan andalus, sebagaimana Ulama' Fikih sering mengaitkaitkan dengan sebutan al-Dhahiri, sehubungan dengan aliran fiqih dan pola pikir dhahiri yang dianutnya. Sedangkan Ibn Hazm sendiri memanggil dirinya dengan Abu Muhammad, demikian juga Muridnya Al-Humaidi dan Abu Qosim Shoid sering memanggilnya dengan sebutan itu, sebagaimana di temukan dalam karya – karya tulisnya.
Ibn Hazm lahir di Andalusia pada hari yang terakhir dari bulan Ramadhan th. 384 H, di waktu dini hari sesudah terbit fajar, sebelum terbit matahari[2]. Ayahnya adalah Ahmad Ibn Said , berpendidikan cukup tinggi, memiliki wawasan luas, mahir dalam dunia politik, dia juga dikenal sebagai ekonom , pandai mengatasi masalah, [3] sehingga dia diangkat menjadi pejabat di lingkungan kerajaan al-Manshur Ibn Abi A'mir dan kemudian menjadi wazir al-manshur pada tahun 381 H / 991 M. dia menjabat wazir sampai di masa pemerintahan al-Muzaffar dan meninggal pada tahun 402 H. [4]
Kakeknya bernama Yazid yang berkebangsaan Persia (Iran). Yazid sendiri adalah salah seorang hamba sahaya (budak) milik Yazid bin Abi Sofyan bin Harb Al-Amawi (w: 19 H) saudara Muawiyah bin Abi Sofyan (w: 60 H)[5]. Setelah dimerdekakan dari status budak, keturunan Yazid terus menjalin hubungan baik dengan keturunan Muawiyah, sehingga kedekatan dua keluarga besar ini menjadikan pribadi Ibn Hazm setia terhadap dinasti bani Umayah di Andalusia (Spanyol).
Sebagai Putra seorang menteri ( Wazir ), Pendidikan kanak – kanak Ibn Hazm mendapat perhatian yang khusus dari ayahnya. Para pelayan yang bekerja dirumahnya tidak hanya diberi tugas untuk membantu urusan rumah tangga saja , melainkan sebagian diantara mereka ada yang diberi tugas untuk mengajar dan mendidik Ibn Hazm. Pendidikan Privat ini berlangsung sampai Ibn Hazm menginjak usia remaja.[6]
Setelah usia remaja ia selalau diajak ayahnya menghadiri majelis – majelis temu ilmiah dan budaya yang sering diadakan oleh al-manshur yang dihadiri oleh para ahli sya’ir dan ilmuwan. Disamping itu Ibn Hazm juga berada di bawah bimbingan seorang alim dan wara', ’ernama Ali al-Husein Ibn Ali al-Fasy[7].
Ibn Hazm memiliki semangat yang tinggi dalam menntut ilmu Ia mempelajari berbagai bidang ilmu dan berguru kepada banyak ulama'. Ia belajar hadist , antara lain dari Ahmad Ibn Al-Jasur dan Abdurrahman Al-Azdi. Gurunya dibidan fikih, antara lain Abdullah Ibn Dhahun, seorang ahli fikih madzhab Maliki yang banyak memberikan fatwa di Cardova. Guru fikih yang berjasa membawa Ibn Hazm kepada madzhab al-Dzahiri adalah Mas'ud Ibn Sulaiman Ibn Maflah.[8] Sedangkan dibidang logika dan ilmu kalam, Ia berguru pada Muhammad Ibn Al-Hasan Al-mazhaji yang dikenal dengan sebutan Ibn Al-Khattami, dan juga dari Abu Al-Qosim Abdurrahman Ibn Abi yazid Al-Misri.[9]
Selain para masyayih tersebut, para penulis biografi juga menyebut bahwa Ibn Hazm memiliki banyak guru dan menerima hadist, syari'ah, dan sastra dari para ulama' di Cardova, karena saat itu daerah tersebut dipenuhi Ulama' besar dan peradaban ilmu yang maju.[10]
Ada Beberapa factor penunjang yang mengantarkan Ibnu Hazm dapat mencapai tingkat tinggi dalam akademik dan kepemimpinan yang menghantarkannya sampai pada masa kejayaannya karena posisinya sebagai imamah. Diantaranya adalah Memilki sifat personal yang esensial untuk menghasilkan akademisi yang hebat,memori yang kuat, tajam dalam pengajaran dan kata-kata, memilki ketajaman yang tinggi dalam obesrvasi dan analisa, Memilki keuntungan dalam menjalani pendidikan dibandingkan dengan antusiasme personal untuk mempelajari dan memuaskan diri dalam bidang perhatiannya, Menguasai ragam bahasa, Mengambil keuntungan dari lingkungannya yang kodusif , Berpartisipasi aktif sebagai menteri dalam tiap urusan public, administrasi, militer dan urusan politik, Bereaksi secara positif terhadap perlawanan dengan menanggungnya sendiri, disiplin personal menjamin bahwa ia harus secara luas mengetahui musuhnya, dengan demikian ia dapat mengkounter kritikan mereka dengan cara yang lebih efektif.
Diantara murid Ibn Hazm yang menonjol adalah Muhammad Ibn Abu Nashr futuh Al-Azdi Al-Humaidi Al-Andalusi ( w.488 H ), pengarang kitab al-Jadwh Al-Muqtabisi fii Dikr wulah Al-Andalus, yang di komentari oleh Ibn Khalikan.[11] Dan murid yang lain adalah Al-Qodli Abu Qosim Sho'id Ibn Ahmad al-andalusi ( w.463 H ) yang menulis kitab Tabaqot al-Umam, dari metode dan isi banyak dipengaruhi pemikiran Ibn Hazm.[12]
Ibn Hazm al Andalusi di kenal sebagai sosok yang tektual dalam memahami agama. Pengusung fikih madzhab Dzahiri (aliran tekstual) ini, kerap dijadikan sebagai “ikon” penentang kaum rasionalis Islam, yang termasuk di dalamnya para fuqaha arba`a (ulama empat madzhab). Dimana Ibn Hazm – dalam pernyataan eksplisitnya - menolak al qiyas (dalil analog) yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) sebagai salah satu landasan hukum syari’at. Ibn Hazm mengatakan bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah sudah lengkap dan sempurna, tidak mungkin ada masalah yang tidak ada jawabannya di dalam nash. Al-Qur'an menegaskan :”Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sedikitpun” (QS. Al-An’am (6) : 38), “Pada hari ini Kami sempurnakan bagimu agamamu” (QS. Al-Maidah (5) : 3), “kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjalankan segala sesuatu “ (QS. Al-Nahl (16) : 89)[13]. Ibnu hazm memiiki slogan dalam manhajnya :"Orang yang berijtihad yang salah itu lebih baik dari pada orang yang taklid yang benar" .[14] Ia juga berkata : " Tidak halal bagi seseorang untuk taklid kepada orang lain, baik orang itu hidup atau mati, dan setiap orang berhak untuk berijtihad sesuai kadar kemampuannya ".[15]
Karya – karya tulisan Ibn Hazm sangat banyak sekali, bahkan menurut informasi putranya Abu Rafii al-Fadl, sebagaimana dikutip oleh Yaqut al-Hamawy, karya Ibn Hazm mencapai empat ratus jilid, setebal kurang lebih delapan puluh ribu halaman.[16] Namun sayang karya-karyanya tersebut banyak yang hilang , dan sebagian besar tidak sampai ketangan generasi sekarang ini.[17]
Karya-karya Ibn Hazm telah mendapat “pengakuan” dan “pengukuhan” dari para sarjana dan Islamisis Barat. Theodor Pulcini misalnya, dalam mendeskripsikan Ibn Hazm yang didasarkan pada pernyataan Asín Palacios, Islamisis Spanyol kenamaan di awal abad ke-20 yang juga banyak menerjemahkan beberapa karya Ibn Hazm, menyatakan:
" Besarnya kontribusi yang diberikan Ibn Hazm terhadap kebudayaan Islam Arab ditandai dengan banyaknya julukan yang diberikan oleh para penulis biografi dalam mendeskripsikan dirinya: sejarahwan, penyair, sastrawan, ahli hukum, teolog, ahli logika, pemikir politik, psikolog, ahli metafisika, mufassir, dan ahli debat. Betapa luasnya lingkup aktifitas intelektual yang ia miliki dalam mencurahkan kemampuan akademisnya di hampir semua bidang pengetahuan tentang Yunani dan Islam, kecuali Matematika." [18]
berkata seorang orentalis asbania Balentsaya :
" Ibnu Hazm telah muncul di cardova dengan buku-buku yang ditulisnya dalam berbagai bidang ilmu, Dia adalah termasuk Ulama' ternama dalam sejarah andalusia, jika orang berfikir dengan apa yang ditulis Ibnu Hazm tentu Ia akan melihat dengan jelas bahwa semua hasil karya tersebut tidaklah muncul kecuali dari peradaban yang begitu maju.[19]

Ibn Hazm meninggalkan dunia untuk selama-lamanya di Montlisam pada hari ahad malam senin , 28 Sya‘ban 456 H/15 Juli 1064 M, pada usia 72 tahun.[20] Meski jenazahnya telah bersatu dengan bumi, namun ide dan gagasannya masih hidup dan akan selalu hidup sepanjang zaman , karena ia dikaji dan diteliti oleh pencinta ilmu . Perjuangannya dalam menghidupkan khazanah intelektual muslim di berbagai cabang ilmu pengetahuan masih dirasakan oleh umat Islam hingga detik ini. Semoga apa yang telah diperbuatnya mendapat imbalan yang mulia di sisi-Nya.

Pemikiran Pendidikan Ibn Hazm


Tujuan pendidikan

Menurut Ibn Hazm pendidikan harus memiliki tujuan yang harus dicapai, yaitu membentuk manusia yang beraklak dan jauh dari kebodohan, lebih lanjut Ia berkata : pendidikan itu bertujuan mengetahui akhlak yang mulia untuk kemudian diamalkannya walaupun dalam keterasingan, dan mengetahui akhlak yang buruk untuk kemudian ditinggalkan , dan mendengarkan pujian-pujian yang baik untuk kemudian tertarik untuk melakukannya, dan mendengarkan pujian-pujian buruk untuk kemudian lari darinya, maka dari pengantar ini memperjelas bahwa ilmu akan memiliki setiap bagian dari kebaikan, sedangkan kebodohan memiliki setiap bagian dari kehinaan….[21]

Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD )

Anak usia dini merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini merupakan masa keemasan (golden age), yang pada masa ini stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya. Perlu disadari bahwa masa-masa awal kehidupan anak merupakan masa terpenting dalam rentang kehidupan seseorang anak. Pada masa ini pertumbuhan otak sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat (eksplosif).
Mengingat pentingnya masa ini, maka peran stimulasi berupa penyediaan lingkungan yang kondusif harus disiapkan oleh para pendidik, baik orang tua, guru, pengasuh ataupun orang dewasa lain yang ada di sekitar anak, sehingga anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensinya. Potensi yang dimaksud meliputi aspek moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian, kemampuan berbahasa, kognitif, fisik/motorik, dan seni. Pendidikan anak usia dini diberikan pada awal kehidupan anak untuk dapat berkembang secara optimal.
Menurut Ibn Hazm hendaknya orang tua memberikan perhatian khusus untuk pendidikan anaknya sejak dini , hal itu dimulai sejak usia lima tahun, karena anak pada usia ini dianggap sudah siap secara fisik maupun akalnya, mampu memahami perkataan, menjawab pertanyaan.[22]
Pada masa ini hendaklah orang tua memilihkan masyayikh dan muallimin yang mumpuni dalam keilmuan dan akhlak untuk talaqqi dan berguru kepada mereka, karena berguru pada orang yang salah tidak akan mendatangkan kebaikan[23] . Hendaklah pada marhalah pertama sang anak diajari menulis, membaca,menghafal , pendidikan akhlak. [24] apabila orang tua menjumpai anaknya malas untuk belajar, maka Ia harus memaksanya untuk belajar, demi kebaikan untuknya.[25]
Tidak kalah pentingnya hendaknya orang tua juga memperhatian pertemanan anaknya ditempat ia belajar, karena teman memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan akhlak anaknya. Menurut Ibn Hazm , lingkungan memiliki pengruh yang signifikan terhadap pertumbuhan akhlak anak didik, jika lingkungannya baik maka akan membawa sang anak pada kebaikan dan demikian pula sebaliknya. Maka dari itu orang tua hendaknya menjauhkan anaknya dari mendengarkan kalimat kufr, meninggalkan shalat, makan disiang ramadhan, minuman keras, karena hal itu akan membawanya kearah yang negatif.[26] Lebih lanjut Ibn Hazm menegaskan, manusia tidak bisa terlepas dari dua tabi'at yang saling bertentangan, yang satunya selalu memiliki kecenderungan baik yaitu akal, dan yang satunya selalu memiliki kecenderungan syahwat yaitu hawa nafsu.[27]

Hak pendidikan bagi perempuan

Ibn Hazm memiliki perhatian yang sangat besar dalam masalah kesetaraan pendidikan perempuan dengan laki-laki, bahkan beliau mewajibkan wanita untuk safar walaupun dengan jarak yang jauh demi mencari ilmu.[28] Beliau menulis kitab khusus yang diberi nama " Risalah fii al-Ummahat " , yang berbicara tentang keutamaan para wanita mulia, yang dimulai dari peran ummahatul mukminin yang begitu besar dalam menyebarkan ilmu syari'ah. Dan juga kitab thuq al-hamamah yang banyak menyanjung akan kelebihan wanita.
Pendidikan adalah hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam bahasa hadits: "Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim" [29]Setiap muslim berarti siapapun yang muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Rashid Ridha, para ulama sependapat bahwa laki-laki dan perempuan dalam hal ini adalah sama. [30]. Allah swt berfirman : "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amalorang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupunperempuan." [31]

Dalam catatan Imam Bukhari, isteri Nabi Muhammad SAW yaitu Aisyah binti Abi Bakr ra pernah memuji para perempuan Anshar yang selalu belajar: "Perempuan terbaik adalah mereka yang dari Anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama".[32] Bahkan mereka memberanikan diri memohon kepada Nabi SAW ketika mereka merasakan bahwa hak belajar mereka tidak terpenuhi bila dibandingkan dengan kesempatan yang diberikan kepada sahabat laki-laki. Hal itu sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Abi Sa'îd al-Khudriyy ra , berkata: "bahwa suatu saat beberapa perempuan mendatangi Nabi Muhammad SAW, mereka mengadu: "Mereka yang laki-laki telah banyak mendahului kami, bisakah kamu mengkhususkan waktu untuk kami para perempuan?. Nabi bersedia mengkhususkan waktu untuk mengajari mereka, memperingatkan dan menasehati mereka". Dalam catatan lain: ada seorang perempuan yang datang menuntut kepada Nabi SAW, ia berkata: "Wahai Rasul, para lak-laki telah jauh menguasai pelajaran darimu, bisakah kamu peruntukkan waktu khusus untuk kami perempuan, untuk mengajarkan apa yang kamu terima dari Allah? Nabi merespon: "Ya, berkumpullah pada hari ini dan di tempat ini". Kemudian para perempuan berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan belajar dari Rasulullah tentang apa yang diterima dari Allah SWT.[33]
Jadi Perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian, semestinya tidak ada lagi alasan untuk menelantarkan pendidikan perempuan. Dalam teks lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi, Nabi SAW menyatakan: "Izinkanlah para perempuan untuk pergi ke masjid pada malam hari". Dalam riwayat lain: "Apabila isterimu meminta izin untuk pergi ke masjid, maka janganlah dihalangi". Atau: "Janganlah menghalangi para perempuan yang ingin pergi ke masjid Allah".[34]


Tingkatan Ilmu ( maratib al- ulum )

Ibn Hazm membagi tingkatan ilmu menjadi sepuluh tingkatan sebagai berikut[35] :
belajar menulis ( ta'lim al-kitabah )
belajar membaca ( ta'lim al-Qira'ah )
belajar ilmu nahwu ( ta'lim al-nahw )
belajar bahasa ( ta'lim al-lugah )
belajar sya'ir ( ta'lim al-syi'r )
belajar berhitung ( ta'lim al-Hisab )
belajar ilmu astronomi ( ta'lim al-nujum )
belajar mantiq dan fisika ( ta'lim al-mantiq wa al-thabi'iyah )
belajar sejarah ( ta'lim al-tarih )
belajar metafisika ( ta'lim ma ba'da al-tabi'iyah )

Tingkatan – tingkatan ini adalah merupakan tahapan-tahapan pembelajaran ( metodologi ) yang diberikan kepada peserta didik yang dimulai sejak dini, yag menurut Ibn Hazm hendaknya dimulai sejak usia lima tahun, karena anak pada usia ini dianggap sudah siap secara fisik maupun akalnya. Dan perlu diingat bahwa pembagian ini dilandasi oleh kepentingan yang lebih utama bagi seorang anak. [36]
Prioritas yang dilakukan oleh Ibn Hazm ini berbeda dengan konsep dan praktek pengalaman yang selama ini berkembang di dunia islam termasuk di negeri kita Indonesia, yang mana lebih mendahulukan pembelajaran membaca, ketimbang menulis. Hal itu terinspirasi dengan wahyu yang pertama kali turun ke muka bumi yaitu surat al-alaq : 1-5 yang memerintahkan untuk membaca.
Ibn Hazm mendahulukan pengajaran menulis daripada membaca, karena berangkat dari penelitianya terhadapat anak buta yang belajar membaca, di sini Ibn Hazm melihat anak buta yang berlatih membaca dengan huruf brile ( huruf mujassamah ) dengan menyentuhnya dan merangkainya secara otomatis ia akan mampu untuk membaca[37]. Jadi ketika anak didik mampu untuk menulis maka cecara tidak langsung ia akan mampu untuk membaca.
Kemudian Ibn Hazm melihat bahwa setelah anak mahir menulis dan membaca, maka dilanjutkan dengan mempelajari nahwu dan bahasa , karena dengan ilmu nahwu dan bahasa ini , peserta didik mampu menyusun kalimat dengan baik, dan ilmu nahwu dan bahasa adalah semacam ilmu alat yang bisa digunakan untuk membuka semua ilmu.[38]
Menurut Ibn Hazm belajar sya'ir merupakan bagian dari sastra, peserta didik tidak akan mampu untuk mendalaminya sebelum bahasa dan nahwu matang, namun Ibn Hazm menekankan untuk belajar sya'ir-sya'ir yang bermanfaat, dan melarang keras mempelajari sya'ir – sya'ir yang menyulut permusuhan, kefasikan, kemunkaran, seperti sya'ir ghozal, hija' , risa' yang berlebihan. [39]
Ibn Hazm juga menekankan pentingnya Ilmu berhitung untuk anak didik, karena dengan berhitung diharapkan mampu mengetahui tiga hal, yaitu :
mampu mengetahui ukuran bumi, perbintangan, jarak dekat maupun jauh, sebab-sebab bertambahnya siang dan malam, panjang dan lebar, orbit matahari dan bulan.
Mampu memahami ciptaan Allah dan hitungan keindahan ciptaanya.
Mampu menghitung struktur bangunan, pasang surut air, beban, pembuktian alat.[40]
Adapun maksud mempelajari Ilmu perbintangan dalam pandangan Ibn Hazm, bukan untuk untuk mengetahui rmalan ghaib, karena itu dilarang oleh al-qur'an dan sunah. Akan tetapi Ibn Hazm lebih menekankan untuk mengetahui peredaran perbintangan dan tempat orbitnya.[41]
Menurut Ibn Hazm ketika seseorang sudah matang daya berfikirnya sangat dianjurkan untuk mempelajari ilmu mantiq, karena ilmu mantiq merupakan suatu alat untuk mengusk suatu kebenaran dan memacu seseorang untuk berfikir yang lebih maju, maka dari itu Ibn Hazm menulis kitab yang diberi judul Al-Taqrib li had al-mantiq.[42]
Setelah seseorang menguasai ilmu mantiq maka ia akan pandai menganalisa suatu masalah, maka disinilah Ibn Hazm melihat bahwa ketika seseorang telah menguasai mantiq maka hendaklah dilanjutkan untuk mempelajari sejarah, karena di dalam sejarah banyak pelajaran yang mencakup pemikiran, analisa-analisa, sebab akibat, sehingga diharapkan mampu menelurkan ibrah yang bisa dijadikan pandangan hidup.[43]
Yang terakhir, Ibn Hazm juga memasukkan ilmu metafisika kedalam mata pelajaran, bukan berarti metafisika yang dipahami oleh pemikir yunani kuno, akan tetapi lebih cenderung untuk mengokohkan ketuhanan dan kenabian.[44]
Secara umum dapat disimpulkan, bahwa tahapan-tahapan yang diajukan Ibn Hazm ini akan membentuk manusia yang bebas dari buta huruf dan manusia yang realistik rasionalis.

Epistemologi[45] menurut Ibn Hazm

Secara esensial manusia itu dilahirkan dalam keadaan bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Ada banyak cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan dalam rangka mencari kebenaran, dalam hal ini ibnu hazm memberi apresiasi yang tinggi , khususnya yang berhubungan dengan epistemologi sebagai media memeroleh ilmu pengetahuan, yaitu ada tiga macam cara dimana manusia dapat memperoleh pengetahuan :
Panca Indra
Ibnu hazm , menekankan betapa pentingnya panca indera dalam mencapai suatu ilmu dan pengetahuan , karena panca indera terkait dengan jiwa seseorang .Ia memandang panca indera terhadap jiwa seperti pintu , gang , jendela dan jalan yang tidak dapat bekerja sendirian tanpa bantuan jiwa . apabila jiwa mendapat halangan atau cidera , maka seluruh panca indera tidak berfungsi .[46]
Allah menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan panca inderanya untuk memahami ayat-ayat/ tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian panca indera merupakan jalan untuk mendapatkan ilmu dan kebenaran. ”Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya).
Panca indera menurut Ibnu hazm , terkadang menemui kesalahan dalam membuat keputusan , seperti bencana penyakit mati rasa yang menimpa seseorang yang merasakan madu rasanya pahit , juga pandangan seseorang yang mulanya disangka air , ternyata Cuma fatamorgana atau kesalahan lainnya yang terjadi pada indera ,[47] kesalahan ini terjadi bisa jadi disebabkan bersambungnya indera yang jasad . dalam hubungan ini ibnu hazm berkata ,'' Kemampuan penangkapan jiwa , sebelum indera , terhadap jasad adalah berserikat , dan jasad sendiri adalah kotoran yang berat.[48]
Jadi , ketika indera banya menemui kesalahan seperti tersebut, maka Ibn Hazm tidak lagi semata-mata berpegang padanya, namun beralih pada akal yang mampu merangkul sekaligus mengungguli indera.[49] Dengan demikian indera yang dalam kondisi sehat bisa dijadikan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan, namun ketika terhalang ( tidak sehat ) maka informasinya ditolak.



Akal

Mengenai akal, Ibn Hazm memandangnya sangat penting, sehingga orang yang mengabaikannya sama saja membatalkan tauhid . Hanya, Ibn Hazm menegaskan, akal ini harus diiringi dengan wahyu, Oleh karenanya jika berkaitan dengan prinsip kebenaran, khususnya ketuhanan dan hukum syari'ah , akal tidak bisa berdiri sendiri. Ibn Hazm berkata : Barangsiapa yang membatalkan Akal berarti ia telah membatalkan Tauhid, sebab tanpa Akal manusia tidak pernah mengenal Allah.[50]
Dari uraian ini jelaslah bahwa Ibn Hazm tidak menolak pemikiran rasional. Ia hanya ingin menempatkan akal pada tempatnya dan tidak melempui nash, maka dari sini Ibn Hazm ingin meluruskan penyimpangan-penyimpangan para pengusung qiyas dalam ijtihad hukum syar'i. Untuk lebih lengkap uraian ini Ibn hazm telah menulis kitab " Ibthol Al-Qiyas ".

Prasangka ( al-dzan ) dan khayalan ( Tahayyul )

Ibn Hazm mencela orang yang menggunakan prasangka untuk mendapatkan ilmu, karena prasangka dan hayalan adalah sedusta-dustanya dalil. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. [51]
Pendapat Ibn Hazm mengenai saluran-saluran ilmu ini, tidak berbeda jauh dengan pendapat para Ulamak lainya seperti Ibn Taimiyah dan Al-Ghazali . menurut Ibn Taimiyah saluran-saluran ilmu itu ada tiga: Indera, akal, dan yang terdiri dari keduanya seperti khabar… Pembagian seperti ini wajib untuk diakui.[52] Tentang indera, Ibn Taimiyyah membaginya pada indera lahir dan batin. Indera lahir adalah panca indera, sedangkan indera batin adalah intuisi.[53] Sementara tentang akal, Ibn Taimiyyah memandangnya sangat penting, sehingga orang yang mengabaikannya disamakan olehnya dengan hewan, yang hanya bersuara, bergerak, dan kadang merasakan sesuatu, tapi tanpa akal. Hanya, Ibn Taimiyyah menegaskan, akal ini sama saja dengan mata. Tanpa cahaya, mata tidak dapat melihat. Akal pun tanpa cahaya iman tidak dapat membedakan mana yang benar dan salah. Oleh karenanya jika berkaitan dengan prinsip kebenaran, khususnya ketuhanan dan keagamaan, akal tidak bisa berdiri sendiri.[54] Sementara Al-Ghazali menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya hâkim dalam makna pemutus benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan 'aqlî (akal).[55] Menurut al-Ghazali, ketika hâkim wahm itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran wahm dari orang yang dikuatkan oleh Allah swt dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq.[56]

Pendidikan Akhlak dan Tazkiyatunnufus

Ibn Hazm memiliki perhatian yang besar dalam masalah pendidikan ahlak, demi perhatianya tersebebut, beliau menulis satu kitab khusus yang diberi judul " Al-Akhlak wa As-Siyar ". dalam kitab ini beliau banyak menekankan pentingnya berakhlak karimah dan menjauhi akhlak madzmumah. Orang yang berakhlak karimah berarti Ia telah menyerupai malaikat yang senantiasa berada dalam kebaikan, sementara orang yang berakhlak madzmumah berarti ia telah menyerupai syetan yang senantiasa melanggar perintah Rabbnya.[57]
Menurut ibn Hazm, orang yang bahagia itu adalah orang yang selalu menghibur jiwanya dengan akhlak mulia ( fadha'il ) dan menghiasinya dengan ketaatan, serta menjauhi segala akhlak yang tercela ( radha'il ) dan segala bentuk kemaksiatan.[58] Semua itu kata kuncinya adalah menjauhi hawa nafsu, karena dengan menjauhinya manusia dapat terlepas dari sifat amarahnya, syahwatnya, dan sifat-sifat buruk lainnya. Dan orang yang terkalahkan dengan hawa nafsunya , maka pada hakekatnya Ia telah sama dengan binatang ternak dan binatang buas.
Menurut Ibn Hazm , seseorang yang ingin berakhlak mulia dan tenang jiwanya, hendaklah Ia memiliki sifat sabar dan lapang dada dari celaan orang lain, karena tidak ada di dunia ini orang yang selamat dari celaan. Demikian juga janganlah terlalu rakus dengan pujian orang lain, karena jika pujian itu benar maka akan mendatangkan sifat ujub, dan jika pujian itu salah maka sama saja mendustakan diri sendiri.[59]
Ibn Hazm menambahkan akan pentingnya sifat pemaaf dan tidak mencari-cari kelemahan orang lain, Beliau berkata : beruntunglah orang yang disibukkan dengan Aibnya sendiri, dari pada mencari-cari aib orang lain. Janganlah berfikir untuk membalas orang yang telah menyakitimu, cukuplah sifat maaf yang akan membahagiakanmu. Ibn hazm menegaskan , Sabar akan perilaku buruk orang lain itu ada tiga tingkatan, yaitu : sabar dari orang yang menyakitimu dan engkau tidak mampu untuk membalasnya, sabar dari orang yang enkau mampu membalas sedang dia tidak mampu membalasmu, sabar dari orang yang engaku tidak mampu membalasnya dan dia tidak mampu membalasmu.[60]
Termasuk hal yang menjadikan jiwa tenang , menurut Ibn hazm manusia hendaklah tidak memenuhi jiwanya dengan kecintaan yang berlebihan akan harta duniawi, orang yang berlebihan dalam mencintai dunia, Ia akan dibuat lelah olehnya, Ia tidak akan menemukan kedamaian di sana, bahkan Ia hanya mendapatkan kesenangan yang hanya sesaat saja, kemudian menyesal untuk selamanya.Adapun kenikmatan dunia ini sangatlah sedikit, kenikmatan yang lalu, manusia tidak bisa merasakan lagi, kenikmatan yang akan datang manusia belum tahu, karena itu rahasia ghaib.[61] Jiwa harus selalu dilatih menuju perbaikan dan melatih jiwa itu lebih sulit dari pada melatih macan, macan tidak akan kemana-mana ketika ia dikunci di kandangnya, akan tetapi jiwa terkadang masih lepas walaupun dipenjara.[62]

Kebebasan Berfikir

Pemikiran Ibnu Hazm dalam masalah pendidikan tidak terlepas dari manhaj berfikirnya yang dhohiri (tekstual).Dimana manusia berhak untuk berijtihad dan menjauhi taklid terhadap madzhab manapun, dalam hal ini Ibnu hazm memiiki slogan dalam manhajnya :
المجتهد المخطئ خير من المقلد المصيب
"Orang yang berijtihad yang salah itu lebih baik dari pada orang yang taklid yang benar .[63]
لايحل لأحد أن يقلد أحدا لا حيا ولا ميتا، وكل أحد له الاجتهد حسب طاقته
Tidak halal bagi seseorang untuk taklid kepada orang lain, baik orang itu hidup atau mati, dan setiap orang berhak untuk berijtihad sesuai kadar kemampuannya.[64]

Dari sini Ibnu Hazm melihat bahwa mujtahid memiliki kebebasan berfikir dalam suatu masalah , karena dia tidak tunduk pada pendapat orang lain dan hanya tunduk pada nash , berbeda dengan seorang mukollid , ia lebih tunduk pada pendapat orang lain dan mengekor kepadanya dari pada nash itu sendiri.

لا سبيل إلى معرفة شيئ من أحكام الدنية إلا من القرآن والسنة والاجماع والدليل وهي كلها راجعة إلى النص .
Tidak ada jalan untuk mengetahui suatu hokum syari'ah kecuali dari Al-Qur'an, As-Sunnah , Ijma', Dalil, yang semua itu adalah kembali pada Nash.[65]

Disisi lain Ibn Hazm mencela para pengikut paham Jabariyah[66], yang pemikiran mereka menyelisihi nash, panca indra, dan akal.
secara nash telah ditegaskan dalam Al-Qur'an, bahwa Allah hanya membalas apa yang telah diperbuat oleh manusia, hal itu terlihat dalam kebanyakan firman Allah :

جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ[67]
لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُون [68]
( mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan )
[69]جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
( sebagai balasan terhadap apa yang mereka perbuat )
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ[70]
( maka akan diberitakan dengan apa yang kalian kerjakan )
secara logika , orang normal tidak sama dengan orang cacat. Orang normal bebas berdiri, duduk, bergerak, tanpa halangan, berbeda dengan orang cacat.
secara bahasa , bahwa orang yang mujbar adalah orang yang dipaksa untuk melakukan sesuatu bukan atas kehendaknya, adapun orang yang melakukan sesuatu dengan kesadaranya , itu tidak dinamakan mujbar.[71]

Jadi ibn hazm melihat bahwa manusia dibekali untuk memilah dan memimilih, memahami dan membedakan tanpa ada paksaan di dalamnya kecuali yang datang dari syara'..

Penelitian Ilmiyah

Menurut Ibn Hazm penelitian Ilmiyah tidak keluar dari tujuh macam berikt ini :
mengkaji masalah yang belu dikaji oleh orang lain
menyempurnakan kekurangan dari penelitian yang terdahulu
meluruskan penelitian terdahulu yang menyimpng
mensyarah penelitian terdahulu yang masih membutuhkan syarah
meringkas penelitian terdahulu yang terlalu panjang
mengumpulkan penelitian terdahulu yang masih terpisah-pisah
menertibkan penelitian terdahulu yang masih rancu.[72]

Adab di Majlis Ilmu

Adab merupakan bagian penting dari rangkaian dalam mencari ilmu. Menurut Ibn Hazm , orang yang hendak menghadiri majlis ilmu haruslah menjalankan adab sebagai berikut :
hendaklah memiliki niat yang benar, yaitu niat untuk menambah ilmu dan mencari pahaa di sisi Allah.
jangan merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki, sehingga hadir di majlis ilmu dengan menyombongkan diri.
hendaklah diam, seperti diamnya orang yang jahil.
hendaklah bertanya, dengan pertanyaan orang yang beradab, bukan pertanyaan orang yang menguji.
mengulang dari apa yang telah didapat sebelumnya.
jangan tergesa-gesa menarik kesimpulan sebelum datangnya burhan.
janganlah memutus perkataan , sebelum perkataan itu selesai.
janganlah melakukan hal-hal yang mengganggu dalam majlis ilmu.
hendaklah mengamalkan dari apa yang telah diperoleh dari majlis ilmu.[73]



























Kesimpulan

Ibn Hazm tidak hanya diakui sebagai tokoh dalam Ilmu fikih, sejarah, fisafat, akan tetapi Ia juga termasuk tokoh pendidikan.
Pendidikan harus memiliki tujuan yang harus dicapai, yaitu membentuk manusia yang beraklak dan jauh dari kebodohan.
Pentingnya memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan anak usia dini, karena masa usia dini merupakan masa keemasan (golden age), yang pada masa ini stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya.
Pendidikan adalah hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan , Islam tidak membedakan diantara keduanya.
Ibn Hazm membagi tingkatan ilmu menjadi sepuluh tingkatan, dimulai dari menulis sampai metafisika.
Pendapat Ibn Hazm mengenai saluran-saluran ilmu ini, tidak berbeda jauh dengan pendapat para Ulamak lainya seperti Ibn Taimiyah dan Al-Ghazali . ada tiga: Indera, akal, Intuisi.
Pentingnya berakhlak mulia ( fadha'il ) dan menghiasi diri dengan ketaatan, serta menjauhi segala akhlak yang tercela ( radha'il ) dan segala bentuk kemaksiatan, karena itu inti dari pengamalan ilmu.
Kebebasan berfikir akan menjadikan seseorang lebih maju, sementara taklid adalah penyebab kemunduran.
Menurut Ibn Hazm penelitian Ilmiyah tidak keluar dari tujuh macam cara : menemukan hal yang baru, menyempurnakan, meluruskan, mensyarah , meringkas, mengumpulkan , menertibkan .
Adab merupakan bagian penting dari rangkaian dalam mencari ilmu, karena tanpa adab ilmu yang dihasilkan tiada manfaat.




DAFTAR PUSTAKA


1. Yaqut al-Hamawy, Mu’jam al-‘Ubada’, (Cairo : Dar al-Ma’mun, t.th.)
2. Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok – Pokok Pegangan Imam Madzhab (semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997),
3. Ibn Hazm, al-Thawq al-Hamamat fi al-Ilfat wa al-Ullaf, Cairo, Dar al-Ma’arif, 1977,
4. Sa'id Al-Afghani, Ibn Hazm wa risalatuhu fii mujadalah baina sahabah, al-dar al-fikr ,1969,
5. Ibn Halikan, Wifayah al-A'yan, beirut, Al-Dar Al-Sadr- t.th
6. Al-Humaidi, al-Jadwh Al-Muqtabisi fii Dikr wulah Al-Andalus, dar al-qoumiyyah, 1966, hal.36
7. Abdul Wahab Abdul Salam Thawilah, Taurotul Yahud wa Imam Ibn Hazm Al-Andalusi, damaskus, darul qolam, 2004
8. Ibn Hazm : Rasa'il , juz 4, hlm. 65, hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr )
9. Ibn Hazm, Akhlak wa siyar, www.al-mostafa,com
10. Hamid Ahmad Dabbas, Falsafat al-hub wa akhlak I'nda Ibn Hazm, thesis, Univ. Ordhon.
11. Abdul Halim Uwais, Ibn Hazm al-Andalusi, ( kairo : dar al-i'tisom : 1980 )
12. Ibn Hazm, Al-Taqrib li had al-mantiq, www.al-mostafa.com
13. Abu Zahroh, Ibn Hazm hayatuhu wa hadharatuhu wa ara'uhu al-fiqhiyyah, (kairo : 1970 )
14. Hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm asruhu wa manhajuhu wafikruhu al-tarbawi, ( Kairo : dar al-fikr )
15. Ibn Hazm, Al-Muhalla, (Beirut : Maktabah at-Tijadi, t.th.)





[1] - Yaqut al-Hamawy, Mu’jam al-‘Ubada’, (Cairo : Dar al-Ma’mun, t.th.), hlm. 235 – 236., Ibn Kastir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Hal 91
[2] - Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok – Pokok Pegangan Imam Madzhab (semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 545.
[3] - Thohir Ahmad Makki, Dirasah an Ibn Hazm, Hal 64
[4] - Abdul Halim U'wais, Ibn Hazm Al-Andalusi, Hal. 53
[5] - Ahmad Salabi, Maushua'h Al-Tarikh Al-Islami, Juz 1, Hal. 402
[6] - Thohir Ahmad Makki, Dirasah an Ibn Hazm, Hal 31
[7] - Ibn Hazm, al-Thawq al-Hamamat fi al-Ilfat wa al-Ullaf, Cairo, Dar al-Ma’arif, 1977, hlm. 165 – 166.
[8] - Sa'id Al-Afghani, Ibn Hazm wa risalatuhu fii mujadalah baina sahabah, al-dar al-fikr ,1969, hal. 35
[9] - Ibn Halikan, Wifayah al-A'yan, beirut, Al-Dar Al-Sadr- t.th, Hal.13
[10] - Lih. Thaha Al-Hajiri, Ibn Hazm Shurah Andalusiyyah, hal.36
[11] - Lih. Al-Humaidi, al-Jadwh Al-Muqtabisi fii Dikr wulah Al-Andalus, dar al-qoumiyyah, 1966, hal.36
[12] - Abdul Halim U'wais, Ibn Hazm Al-Andalusi, Hal. 184

[13]- Ibn Hazm, Al-Muhalla, (Beirut : Maktabah at-Tijadi, t.th.), hlm. 56
[14] - Dr. Hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm al-andalusi, hal.104
[15] - Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz 3, hal. 86
[16] - Yaqut al-Hamawy, Mu’jam al-‘Ubada’, (Cairo : Dar al-Ma’mun, t.th.), juz 12, hal. 239
[17] - diantara karya-karya Ibn Hazm adalah sebagai berikut :
Kitab sejarah
جوامع السيرة
رسالة أسماء الصحابة والرواة
2. Kitab Fikih
المحلى بالآثار شرح المجلى
الإحكام في أصول الأحكام
إبطال القياس والرأى والتقليد
3. Kitab Ilmu Al-Qur'an
الناسخ والنسوخ في القرآن
رسالة في أن القرآن ليس من نوع بلاغة الناس
4. Kitab Ilmu Hadist
مختصر علل الحديث
ترتيب سؤلات الدارمى لابن معين
5. Kitab Aqidah, Filsafat, Mantiq
الأصول والفروع
الأخلاق والسير في مداواة النفوس
التقريب لحد المنطق
7. Kitab Sastra Arab
طوق الحمامة في الألفة والآلاف
8. Kitab Kedokteran
رسالة في الطب النبوى
كتاب حد الطب
كتاب الأدوية المفردة
9. Kitab Tsaqofah Umum
كتاب العانس في صدمات
كتاب المرطار في اللهو والدعابة


[18]“The breadth of the contribution made by Ibn Hazm to Arabic Islamic culture is indicated by the multiplicity of designations his biographers use to describe him: historian, poet, littérature, jurisconsult, theologian, moralist, logician, political thinker, psychologist, metaphysician, exegete, and polemicist. So-wide-ranging was his intellectual activity that he managed to devote scholarly attention to all the branches of Greek and Islamic learning, with exception of Mathematics.” Theodore Pulcini, Exegesis as Polemical Discourse: Ibn Hazm on Jewisy and Christian Scriptures (Atlanta, Georgia: Scholars Press, 1998), 1.
[19] - Syaikh Abdul Wahab Abdul Salam Thawilah, Taurotul Yahud wa Imam Ibn Hazm Al-Andalusi, damaskus, darul qolam, 2004, Hal. 11
[20] - Abdul Halim Uwais, Ibn Hazm al-andalusi, hlm. 84
[21] - Ibn Hazm, Akhlak wa siyar, Hlm.8
[22] - Ibn Hazm : Rasa'il , juz 4, hlm. 65, hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr ), hlm. 124-142

[23] - Ibn Hazm, Akhlak wa siyar, Hlm.6
[24] - Hamid Ahmad Dabbas, Falsafat al-hub wa akhlak I'nda Ibn Hazm, hlm. 146
[25] - Abdul Halim Uwais, Ibn Hazm al-Andalusi, 323
[26] - Ibn Hazm, Al-Muhalla, juz 1, hlm.324
[27] - Ibn Hazm, thauq al-hamamah, hlm 122
[28] - lihat , al-ahkam, juz 3 , hal.325
[29] - Riwayat Ibn Majah, al-Baihaqi dan Ibn Abd al-Barr. Dalam catatan al-Ajlûni, ulama berbeda pendapat tentang status hadits ini, Ibn 'Abd al-Barr menyatakan lemah sementara al-'Iraqi dan al-Mizzi menyatakan baik [hasan] dan kuat [shahih], lihat: Kasyf al-Khafâ, juz II, vo l. 43-45
[30] - , al-Mar'ah fi al-Islam, 1982:73
[31] - QS Ali 'Imran [3]: 195)
[32] - Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasâ'i, lihat: Ibn al-Atsîr, juz VIII, hal. 196, nomor hadis: 5352
[33] - Riwayat Bukhari dan Muslim, lihat: Ibn al-Atsîr, juz X, hal. 359,
nomor hadis: 7340
[34] - Lihat: Ibn al-Atsir, juz XI, hal. 467, nomor hadits: 8698
[35] - Ibn Hazm : Rasa'il , juz 4, hlm. 65, hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr ), hlm. 124-142
[36] - ibid, hlm. 122
[37] - Ibn Hazm, Al-Taqrib li had al-mantiq, 162
[38] - Ibn Hazm, Rasa'il Ibn Hazm, 65
[39] - hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr ), hlm. 131
[40] - Ibn Hazm, Rasa'il Ibn Hazm, 67-68
[41] - ibid, hlm.71
[42] - Hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr ), hlm. 137
[43] - Ibn Hazm, Rasa'il Ibn Hazm, 68
[44] - Hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr ), hlm. 141
[45] - Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia..
[46] - Ibn hazm, al-taqrib lihadi mantiq, hal. 66
[47] - Ibn hazm, al-fasl, juz 1, hal . 6

[48] - Ibn hazm, al-taqrib lihadi mantiq, hal. 176
[49] - Ibn hazm, al-taqrib lihadi mantiq, hal. 177

[50] - Ibn Hazm, Al-Fasl , Juz 1, Hal.82
[51] - QS. Al-Hujurat : 12
[52] Dar` Ta'ârud, jilid 1, hlm. 178.
[53] Ibid, jilid 7, hlm. 324 dan jilid 8, hlm. 40-41
[54] Majmû' Fatâwâ, jilid 3, hlm. 338-339
[55] Abu Hamid al-Ghazali, Mi'yâr al-'Ilm fî Fann al-Mantiq, al-Maktabah al-Syâmilah versi 2.11, hlm. 2.
[56] Ibid, hlm. 3
[57] - lihat, Ibn Hazm , Akhlak wa As-Siyar, Hal. 4
[58] - lihat, Ibn Hazm , Akhlak wa As-Siyar, Hal. 4

[59] - lihat, Ibn Hazm , Akhlak wa As-Siyar, Hal. 4
[60] - lihat, Ibn Hazm , Akhlak wa As-Siyar, Hal. 8
[61] - lihat, Ibn Hazm , Akhlak wa As-Siyar, Hal. 5
[62] - Ibn Hazm, Akhlak wa siyar, Hlm.31
[63] - Dr. Hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm al-andalusi, hal.104
[64] - Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz 3, hal. 86
[65] - Ibn Hazm, Al-Ihkam fii Ushulil ahkam, juz 1, Hal. 68
[66] - paham ini berpendapat bahwa kebebasan manusia telah terampas dari fitrahnya
[67] - Qs. Al-Ahqof : 14
[68] - Qs.As-Shaf : 2
[69] - Qs. At-Taubah : 95
[70] - Qs. At-Taubah : 94
[71] - lihat , Ibn Hazm , Al-Fasl, juz 3, Hal. 23
[72] - Liht. Ibn Hazm, Al-Taqrib Li had al-mantiq, 10
[73] - Ibn Hazm, Al-Akhlak wa siyar, 40-41