Sabtu, 06 Maret 2010

Pemikiran Al- Syahrastani tentang Agama Ahli Kitab

Telaah Pemikiran Al- Syahrastani tentang Agama Ahli Kitab dan Agama Mirip Ahli Kitab
Dalam Kitab Al-Milal wa An-Nihal

Pendahuluan
Al-Shahrastānī (wafat 548 H / 1153 M) adalah seorang sejarawan dan filosof yang memeliki latar belang agama yang kuatberpengaruh agama dan heresiographer. Dia adalah salah satu pelopor dalam mengembangkan pendekatan ilmiah untuk mempelajari agama. Al-Shahrastānī 'membedakan dirinya dengan keinginannya untuk menjelaskan dengan cara yang paling objektif sejarah agama universal kemanusiaan. Kekayaan dan orisinalitas al-Shahrastani's filosofis dan pemikiran teologis diwujudkan dalam karya-karya besar. Kitab al-Milal wa al-Nihal (The Book of Sekte dan Kredo), merupakan sebuah karya monumental Syahrastani, menyajikan sudut pandang doktrin dari semua agama dan filsafat yang pernah ada hingga zaman ketika ia hidup.
Kitab Al-Milal Wa Al-Nihal karya ulama besar, sejarawan, dan tokoh perbandingan agama abad VI H; Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahrastani (474-548 H/1076-1153 M) banyak merekam sejarah panjang pemikiran para filosof, teolog, dan ahli hikmah termasyhur dari berbagai penjuru dunia, yang membentang luas sejak ribuan tahun silam, mulai dari para pemikir pra-Sokrates (mis. Thales, Phitagoras), Plato, Aristoteles, Porphyry, hingga Ibnu Sina dan al-Farabi; dari tradisi pemikiran kuno seperti al-Sabiah, al-Hanafiah, dan Stoic hingga aliran (sekte) Tanasukh (Reinkarnasi) dan al-Kabiliyah (pemuja spiritualisme).

Buku ini memberi wawasan luas kepada para pembaca tentang proses dialektika pemikiran dari manusia-manusia pemikir yang tidak kenal lelah dalam pencarian kebenaran dan hakikat kehidupan, tentang tema-tema besar kemanusiaan, ruh, emosi, akal, libido, ego, malaikat, nabi, dan Tuhan, yang menjadi kajian ilmu-ilmu agama (teologi), filsafat, psikologi dan spiritual.
Tak dapat disangkal bahwa banyak tema yang dibahas dalam buku ini menjadi dasar pijakan berpikir manusia modern sekarang ini. Tidak mengherankan jika isu-isu modern sekarang seperti HAM, anti-kekerasan, dan gerakan spiritualisme adalah kelanjutan dari ide-ide besar dari para pemikir masa lalu.

Yang mengagumkan dari al-Syahrastani adalah kejeniusannya dalam mencerna argument-argumen filosofis dan teologis yang kompleks dan rumit ke dalam bahasa yang sederhana dan kuat. Yang juga menarik adalah bahwa pemaparan sejarah pemikiran umat manusia ini selalu dikaitkan dengan teks-teks Al-Qur’an. Al-Syahrastani menggarisbawahi kecemerlangan ide-ide filosofis dan hikmah-hikmah kehidupan serta mengkritisi argumentasi rasio yang dianggap menyimpang dari aqidah Islam dengan mengutip dan mendasarkan diri dengan ayat-ayat Al-Qur’an tentang tema-tema terkait. Buku ini telah terbukti sebagai sebuah karya klasik nan abadi, yang menawarkan kearifan dan pencerahan bagi para pembacanya.

Al-Syahrastani menyusun al-Milal wa an-Nihal dalam bentuk ensiklopedi. Sehingga agak sulit untuk merumuskan pandangan dirinya terhadap Nashrani atau pun sekte-sekte lainnya. Ia sendiri mengatakan dalam pengantar kitabnya tersebut bahwa bukunya terbebas dari rasa kebencian dan fanatisme yang berlebihan dengan tidak memberikan komentar untuk membenarkan atau menyesatkan suatu pemikiran. Ia menyerahkan kepada pembaca untuk memilih pendapat mana yang dianggap benar.

Biografi Singkat
Al-Syahrastani adalah seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama asli Muhammad ibn Ahmad Abu al-Fatah Al-Syahrastani Asy-Syafi’I, lahir di kota Syahrastan provinsi Khurasan di Persia tahun 474 H/1076 M dan meninggal tahun 548 H/1153 M. Beliau menuntut ilmu pengetahuan kepada para ulama’ di zamannya, seperti Ahmad al-Khawafi, Abu al-Qosim al-Anshari dan lain-lain. Sejak kecil beliau gemar belajar dan mengadakan penelitian, terlebih lagi didukung oleh kedewasaannya. Dalam menyimpulkan suatu pendapat beliau selalu moderat dan tidak emosional, pendapatnya selalu disertai dengan argumentasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang menguasai masalah yang ditelitinya.

Seperti halnya ulama’-ulama’ lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama 3 tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.

Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan Al-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya.

Al-Syahrastani mempunyai beberapa buah karya tulis diantaranya adalah: Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Mushara’ah, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, Al-Juz’u Alladzi la yatajazzu, Al-Irsyad ila al-’Aqaid al-’ibad, Syuhbah Aristatalis wa Ibn Sina wa Naqdhiha, dan Nihayah al-Auham.

Pandangan Al-Syahrastani terhadap Agama
Jika dipandang dari segi pikiran dan kepercayaan, menurut Al-Syahrastani manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan. Pemeluk agama Majusi, Nashrani, Yahudi dan Islam. Penghayat kepercayaan seperti Filosof, Dahriyah, Sabiah dan Barahman. Setiap kelompok terpecah lagi menjadi sekte, misalnya penganut Majusi terpecah menjadi 70 sekte, Nashrani terpecah menjadi 71 sekte, Yahudi terpecah menjadi 72 sekte, dan Islam terpecah menjadi 73 sekte. Dan menurutnya lagi bahwa yang selamat di antara sekian banyak sekte itu hanya satu, karena kebenaran itu hanya satu.

Al-Syahrastani berpendapat bahwa faktor yang mendorong lahirnya sekte-sekte tersebut antara lain adalah; Pertama, masalah sifat dan keesaaan Allah. Kedua, Masalah Qada’ Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada di luar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas (badihiyah). Ketiga, masalah wa’ad (janji), wa’id (ancaman), dan Asma Allah. Keempat, Masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwwah), kehendak Allah mengenai yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan, kasih sayang Allah, kesucian para nabi dan syarat-syarat imamah. Menurutnya ada empat madzhab di kalangan ummat Muslim, yaitu Syi’ah, Qadariyah, Shifatiyah dan Khawarij. Setiap madzhab bercabang menjadi sekian banyak sekte hingga mencapai 73 sekte.

Dalam Bukunya Al-Milal wa Al-Nihal, Syahrastani juga memaparkan dengan panjang lebar tentang kepercayaan dan secara umum mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai berikut; Pertama, Mereka yang tidak mengakui adanya sesuatu selain yang dapat dijangkau oleh indera dan akal, mereka ini disebut kelompok Stoa. Kedua, Mereka yang hanya mengakui sesuatu yang dapat ditangkap oleh organ inderawi dan tidak mengakui sesuatu yang hanya dapat dijangkau oleh akal, mereka ini disebut kelompok materialis. Ketiga, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai melalui indera dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman, mereka ini disebut kelompok filosof athies. Keempat, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai oleh organ inderawi dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman juga tidak mengakui agama Islam, mereka ini disebut kelompok Ash-Shabiah. Kelima, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai indera dan akal dan mempunyai syariat, namun mereka tidak mengakui syariat Muhammad, mereka ini kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dan yang Keenam, Mereka yang mengakui semua yang disebut diatas, dan mengakui kenabian Muhammad, mereka itu disebut kelompok Muslim.


BAB II AHL AL-KITAB

Orang yang menganut agama selain dari agama yang lurus dan syariat Islam, yang mengaku mempunyai syariat dan hukum, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah emreka yang memang mempunyai kitab suci seperti Taurat dan Injil; mereka ini disebut Al Quran dengan nama Ahl al-Kitab. Kelompok kedua adalah yang mempunyai nama serupa dengan kitab suci seperti kaum Majusi dan Manu. Shuhuf yang pernah diturunkan kepada Nabi Ibrahim telah diangkat kembali karena ulah umat Majusi sendiri. Denagn kelompok kedua ini, [umat Muslim] diperbolehkan melakukanm perjanjian damai; mereka disetarakan dengan penganut agama Yahudi dan Kristen karena mereka sama dengan Ahl al-Kitab. Tetapi, tidak halal mengawini perempuan dari kalangan mereka dan memakan sembelihan mereka, karena kitab suci yang mereka pakai telah diangkat. Dalam uraian berikut ini kami terlebih dahulu membahas tentang Ahl al-Kitab karena mereka memang mempunyai kitab suci yang diakui dan selanjutnya kami akan membicarakan mereka yang mempunyai kitab yang serupa dengan kitab suci.
Ahl al-Kitab dan kaum ummi (buta aksara) [di jazirah Arab] sebelum kehadiran Nabi Muhammad adalah kelompok yang bertolak-belakang dengan Ahl al-Kitab [yang mula-mula]. Kelompok ummi adalah mereka yang tidak mengerti baca tulis yang tinggal di Makkah sedangkan kelompok Yahudi dan Kristen tinggal di Madinah. Kaum Ahl al-Kitab melestarikan ajaran yang dianut oleh keluarga Ishaq dan menganut [agama] keluarga bani Israil sedangkan kelompok ummi melestarikan kepercayaan suku-suku [setempat] dan kepercayaan bani Isma’il. Dari matarantai kenabian yang bergulir semenjak Adam hingga Ibrahim lahirlah dua kelompok dari Ibrahim: kelompok bani Israil dan kelompok bani Isma’il. Sejarah kenabian yang berasal dari keturunan bani Israil cukup jelas sementara kenabian yang ebrasal dani bani Isma’il tidak banyak disebut dalam sejarah. Kenabian dari kalangan bani Israil jelas dengan silih bergantinya kelahiran [para] nabi sedangkan kenabian dari keturunan bani Isma’il hanya dapat disaksikan dalam praktek ibadah dan adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat.
Kiblat kelompok bani Israil adalah Bait al-Maqdis sedangkan kiblat kelompok Bani Isma’il adalah Bait Allah yang terletak di kota Makkah, yang menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Syariat kelompok pertama adalah hukum-hukum dan syariat kelompok kedua hanya memelihara tradisi menjaga kesucian Masjid Al-Haram. Musuh kelompok pertama adalah orang-orang kafir seperti Fir’aun dan Hamman, dan musuh kelompok kedua adalah orang-orang musyrik seperti penyembah berhala. Demikianlah perbedaaan kedua kelompok [bani Israil dan Isma’il] yang dibicarakan di atas.
Yahudi dan Kristen adalah dua umat terbesar dari Ahl al-Kitab. Umat Yahudi dikatakan terbesar akrena syariatnya berasal dari Musa dan seluruh keturunan Bani Israil: mereka beribadah sesuai dengan ajaran Musa dan kepada mereka dibebankan untuk mengikuti syariat Taurat.
Kitab suci Injil yang diturunkan kepada ‘Isa (Yesus) tidak memuat hukum halal dan garam, melainkan hanya memuat perumpamaan-perumpamaan, nasihat-nasihat, dan ancaman-ancaman, sedangkan ketentuan-ketentuan menyangkut syariat dicantumkan dalam Taurat. Dalam masalah ini, orang-orang Yahudi tidak menolak ‘Isa ibn Maryam; mereka menegaskan bahwa ‘Isa ibn Maryam diperintahkan untuk mengikuti Musa dna melaksanakan ketentuan-ketentuan Taurat. Sayaangnay, ketentuan-ketentuan Taurat yang diubah [oleh pengikut ‘Isa], menurut orang Yahudi di antaranay adalah peruybahan hari peribadatan Sabat (Sabtu) menjadi hari Ahad (Minggu), penghalalan makan daging babi padahal dalam Taurat diharamkan, membolehkan tidak berkhitan dan tidak mandi junub padahal dalam Taurat diwajibkan.
Umat Muslim menejlaskan kepada umat Yahudi dan Kristen bahwa mereka telah mengubah dan mengganti isi kitab suci mereka, padahal ‘Isa mengakui apa yang dibawa Musa. Isa dan Musa pun telah memberitahukan tentang kedatangan Nabi Muhammad, yakni “Sang Penghibur” [Parclete, Comforter], semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka semua. Para imam dan para nabi serta kitab suci mereka telah memerintahkan demikian. Karena itu orang-orang terdahulu telah membangun benteng-benteng di dekat kota Madinah untuk melindungi dan mendukung Nabi akhir zaman. Para pemuka agama mereka memerintahkan mereka agar berhijrah dari Syam ke benteng-benteng itu sampai Sang Nabi muncul dengan mengumumkan kebenaran di {aran, memerintahkan mereka untuk berhijrah ke Yastrib. Namun, yang terjadi justru sebaliknya; mereka meninggalkan kota Yastrib dan tidak mau membantu Nabi. Sikap mereka ini diterangkan dalam Al-Quran: Q.S. Al Baqarah:89.
Perselisihan antara Yahudi dan Kristen tidak begitu menonjol kecuali dalam bidang hukum. Orang Yahudi menegaskan bahwa: Q.S. Al Baqarah:113.
Dan orang Kristen pun berkata: Q.S. Al Baqarah:113
Nabi berkata kepada mereka berdua: Q.S. Al Maidah:68
Mereka tidak mungkin menegakkan ajaran Taurat kecuali dengan menegakkan ajaran Al-Quran, menerima syraiat Nabi rahmat dan Rasul akhir zaman. Namun mereka enggan menerimanya bahkan menolak ayat-ayat Allah. Allah berfirman: Q.S. Al Baqarah:61.

A. Agama Yahudi
Istilah Yahudi berasal dari kata hada yang dapat berarti kembali dan bertobat. Nama ini diberikan karena Musa pernah mengatakan: Q.S.Al-‘Araf:56.
Yahudi adalah umat Nabi Musa. Kitab sucinya, Taurat, adalah kitab suci pertama yang diturunkan [oleh Allah]. Sedangkan yang diturunkan kepada Ibrahim dan nabi-nabi yang lalu tidak dinamakan al-Kitab melainkan dinamakan “Shuhuf” sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits.
Banyak keistimewaan Taurat kalau dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya. Kitab Taurat terdiri dari beberapa sepher. Di sana disebutkan tentang kejadian alam semesta dalam sepher pertama, kemudian disebutkan hukum dan hukuman qishas, nasihat, dan peringatan pada sepher-sepher berikutnya.
Kepada Musa juga diturunkan Luh yang mirip dengan ringkasan yang tercantum dalam Taurat, mencakup ilmu pengetahuan dan praktek kemasyarakatan. Mengenai hal ini, Allah berfirman: Q.S. Al-Araaf: 145 yang mengisyaratkan kelengkapan bagian ilmu pengetahuan dan Q.S. Al A’raf:145 yang memberi isyarat kesempurnaan bagian hukum yang mengatur masyarakat. Menurut orang Yahudi, Musa telah menyampaikan rahasia Taurat dan Luh kepada Yusya’ ibn Nun yang menjadi penerima wasiatnya, pelayannya, dan pelaksana segala urusannya sesudah dia wafat dan menyampaikan hal itu kepada jketurunan Harun. Perintah untuk menyampaukan itu ditujukan kepada mereka berdua: Musa dan Harun. Hal ini dikarenakan Allah telah memenuhi permohonan Musa ketika dia menerima wahyu pertama, Q.S. Thaha:32, dan Harun pun menerima wasiat Musa’. Tetapu Harun lebih dahuku meninggal sehingga wasiat tersebut berpindah ke Yusya’ Ibn Nun yang selanjutnya disampaikannya kepada keturunan Harun bab demi bab. Dengan demikian wasiat dan imamah sebagiannya sudah ditetapkan dan sebagian lagi dititipkan.
Orang Yahudi mengagap syraiat hanya satu. Syariat bermula dari syariat Musa dan mencapai kesempurnaannya juga pada Musa; tidak ada syariat sebelumnya kecuali hukum-hukum yang diperoleh dari akal dan hukum-hukum yang lahir berdasarkan kemaslahatan hidup manusia. Menurut mereka, syariat [Musa] tidak mungkin diubah (nasakh). Nasakh berarti perubahan terhadap perintah [Allah] yang terdahulu padahal sebelumnya, menurut mereka, tidak ada syariat; dengan demikian nasakh (pembatalan) pada syariat Allah tidak mungkin terjadi. Dalam ajaran Yahudi ada masalah-masalah yang mereka perselisihkan: sebagian mereka mengatakan boleh saja terjadi; sebagian lagi menyamakan Tuhan dengan makhluk dan sebagian yang lain tidak memperbolehkannya; ada yang mengatakan bahwa semua yang terjadi berasal dari makhluk itu sendiri (qadr) dan ada yang mengatakan semuanya berasal dari Allah (jabr); serta ada yang mengatakan hidup kembali setelah mati (ruj’ah) bisa terjadi dan ada yang mengatakannya mustahil terjadi.
Masalah naskh sudah kami jelaskan. Mengenai tasybih (antropomorfisme), Kitab Taurat penuh dengan ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai rupa, dapat berhadapat muka, berbicara dan mempunyai suara, bisa turun ke Tursina, bersemayam di atas Arasy-Nya, dan dapat dilihat dan berada di atas.
Mengenai masalah qadar, kaum Yahudi berbeda pendapat sebagaimana di kalangan Umat Muslim. Para rahib sependapat dengan Mu’tazilah sedangkan kalangan pemikir Yahudi sependapat dengan Jabariyya dan Musabahah. Mengenai bisa terjadinya ruj’ah (hidup sesudah mati), menurut mereka telah terjadi dengan alasan (1) cerita Nabi ‘Uzair yang dimatikan selama seratus tahun kemudian dihidupkan kembali dan (2) cerita mengenai Harun yang meninggal di padang pasir Tiah, yang menurut mereka, dibunuh oleh Musa dengan menggunakan Luh, karena Musa iri kepadanya disebabkan orang-orang Yahudi lebih senang kepada Harun daripada Musa. Mereka berbeda pendapat tentang kematiannya; sebagian mereka mengatakan bahwa dia memang meninggal kemudian dihidupkan kembali dan sebagian yang lain mengatakan bahwa dia menghilang kemudian kembali.
Pada umumnya isi kitab Taurat merujuk kepada syariat Nabi Muhammad, sedangkan Al-Quran sendiri mengakui adanya kesamaan syariat dari kedua nabi ini. Tapi orang-orang Yahudi telah menyelewengkannya dengan mengubah dan mengganti tulisannya dan juga cerita-cerita dalam Tauratr mereka ubah melalui penafsiran dan penakwilan. Misalnya mengenai Ibrahim dan putranya, Isma’il. Allah mengabulkan doa Ibrahim untuk Isma’il dan keturunannya: Allah memberikan berkah dan melimpahkan kebaikan kepada Isma’il dan keturunannya sehingga mereka menjadi pemimpin segala umat dan di kalangan keluarganya akan dibangkitkan seorang rasul ytang membacakan ayat-ayat Allah. Kaum Yahudi smenjak semula sudah mengatahui kisha ini namun doa Ibrahim yang dikabulkan, menurut mereka, bukan mengenai kenabian dan kerasulan, tetapi mengenai kerajaan (kekuasaan). Kalau mereka mengatakan yang diakbulkan dalah tentang kerajaan, mungkin saja rajanya terdiri dari raja yang adil dan tidak adil. Kalau mungkin saja rajanya tidak adil, mengapa Tuhan menganugrahkan kepada Ibrahim dan keturuanannya yang teridri dari raja yang zalim dan jahat? Kalau orang-orang Yahudi menerima keadilan raja maka raja wajib orang adil dan dipercaya terhadap apa yang disampaikannya dari ucapannya. Apakah mungkin orang pendusta dapat dikatakan orang yang adil dan benar? Karena itu tidak ada suatu kezaliman yang lebih besar dari kebohongan terhadap Allah. Kalau ia seorang pendusta dan penjahat sedang kejahatan menyebabkan kurnia Allah dicabut seperti itu jelasnya sangat bertentangan.
Anehnya, di dalam Taurat disebutkan bahwa bani Isma’il tidak termasuk keturunan Israil karena mereka tahu bahwa di kalangan Bani Isma’il ada pengetahuan yang tdiak terdapat dalam Taurat. Menurut mereka, Bani Isma’il bukan termasuk keluarga Allah, yakni keluarga Israil, mencakup keluarga Ya’kub, Musa, dan Harun – semua itu adalah kebohongan besar.
Rahasia-rahasia Tuhan dan cahaya ketuhanan dalam wahyu, Al-Kitab, pujian dan takwil mempunyai tiga tingkatan; permulaan, pertengahan dan kesempurnaan. Kitab Taurat memberikan perumpamaan terbit matahaari di waktu pagi merupakan syariat dan kitab dengan kedatangan dari Tursina. Terbit matahari waktu zuhur di Sair sampai ke tingkat kesempurnaan dengan bersemayam dan opernyataan di Paran. Dalam kata-kata ini mengandung pengakuan kenabian Al-Masih dan Muhammad.
Al-Masih (Yesus) berkata dalam Injil, “Aku datang bukan untuk meniadakannya [Taurat], melainkan untuk menggenapinya” [Matius 5: 17] Sementara Musa berkata di dalam Taurat bahwa Jiwa harus dibalas dengan Jiwa, mata dengan mata, gigi dengan gigi – semuanya ada qisasnya. “Tetapi Aku [Yesus] berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” [Matius 5:39]
Di dalam syariat yang terakhir [yakni Islam] keduanya [syariat Musa dan Yesus] dipadukan. Ketentuan qishas disebutkan dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah:178.
Sedang pengampunan dalam firman-Nya: Q.S. Al Baqarah:237.
Hukum Taurat ditujukan untuk mengatur pergaulan dan kehidupan lahiriah orang banyak sementara hukum-hukum dalam Injil untuk mengatur kehidupan batin orang-orang tertentu. Dalam al-Quran kedua orientasi tersebut dipadukan. Allah berfirman, Q.S. Al Baqarah:179. Ayat ini memberi isyarat untuk mewujudkan peraturan yang mengatur kehidupan lahiriah. Dan firman Allah, Q.S. Al-Baqarah:237. Dan firman Allah: Q.S. Al-Araaf:199. Ayat ini mengisyaratkan adanya peraturan yang mengatur batin. Rasulullah bersabda:
Sungguh aneh apabila ada yang berpendapat sebaliknya bahwa orang membenarkan, menyempurnakan, dan meningkatkan kandungan Taurat dikatakan berdusta. Nasakh sebenarnya bukan merupakan pembatalan tetapi penyempurnaan. Di dalam Kitab Taurat terdapat hokum-hukum umum dan khsus,. Baik berkenaan dengan orang maupun waktu. Adapun yang berkenaan dengan waktu, apabila masa ketentuan hokum telah berlalu tentu hukumnya menjadi gugur dengan sendirinya; hal ini tidak dapat dikatakan sebagai pembatalan dan perubahan ketetapan Allah. Demikian pula yang berlaku dalam masalah qisas.
Adapun tentang ketentuan menghormati hari Sabtu kalau umat Yahudi menyadarinya, mereka tidak perlu mempertahankannya karena hari Sabtu itu adalah hari milik semua orang, karena hari Sabtu juga merupakan satu bagian dari waktu. Mereka memang sadar bahwa syariat terakhirlah yang benar, kedatangan syariat yang terakhir adalah untuk mengukuhkan hari Sabtu bukan membatalkannya. Karena itu bagi orang-orang yang melanggar kehormatan hari Sabtu bentuknya diubah menjadi kera yang hina. Mereka mengakui Musa membangun sebuah bangunan, manakala pencuri masuk ke dalamnya mereka tidak mampu mencari jejaknya bahkan mereka jatuh ke dalam kebingungan, terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Dalam uraian berikut ini kami hanya mengemukakan kelompok terpenting dan uang lainnya tidak kami kemukakan.
1. Al-‘Inaniyyah
Kelompok ini disandarkan kepada seorang yang bernama ‘Inan Ibn Daud panglima tentara Saul. Ajaran kelompok ini berbeda dengan kelompok-kelompok Yahudi yang lain tentang kehormatan hari Sabtu. Pada waktu hari-hari raya mereka melawang memakan burung, kijang, ikan, dan belalang, Mereka membenarkan ‘Isa serta menerima nasihat dan petunjuknya. Mereka berpendapat bahwa ‘Isa tidak menyalahi Taurat, ‘Isa bahkan memperkuat dan mengajak orang untuk melaksanakan isi Taurat. ‘Isa adalah salah seorang Bani Israil yang konsekuen untuk melaksanakan ajaran Taurat dan mengikuti ajaran Musa, namun kelompok ini mengatakan ‘Isa bukan nabi dan bukan pula Rasul.
Sebagian dari kelompok ‘Inaniyah mengatakan bahwa ‘Isa juga tidak mengaku dirinya sebagai Nabi yang diutus, ‘Isa bukan pula keturunan Israil dan bukan pembawa syariat yang membatalkan syariat Musa. ‘Isa adalah seorang wali Allah yang kuat imannya dan sangat dalam ilmunya tentang isi Taurat. Injil bukanlah kitab suci yang diturunkan kepadanya sebagai wahyu, tapi hanya sejarah hidupnya dan budi pekertinya semenjak awal hingga akhir. Yang menulis Injil adalah empat orang muridnya, bagaimana mungkin Injil dapat dikatakan kitab suci yang diwahyukan?
Menurut mereka, orang Yahudi telah menzaliminya. Pertama, mereka mendustakannya disebabkan mereka belum mengetahui isi dakwahnya, dan kedua, mereka membunuhnya yang sampai sekarang tidak diketahui pembunuhnya dan kuburannya.
Dalam kitab Taurat banyak disebut Al-Masyiha [Mesias], yaitu Al-Masih, namun tidak disebutkan bahwa dia adalah seorang nabi dan pembawa syariat yang menggenapi syariat Musa. Taurat juga menyebutkan istilah Parclete, yaitu seorang lelaki yang alim sebagaimana disebutkan pula dalam Injil. Karena itu istilah harus diartikan sesuai dengan makna harfiahnya dan barangsiapa yang mengartikan lain hanyalah hasil dari penelitiannya sendiri.
2. Al-‘Isawiyyah
Nama kelompok ini disandarkan kepada Abu ‘Isa Ishaw Ibn Ya’kub Al-Isfahani. Dikatakan orang bahwa nama aslinya adalah Ufaid Iluhim yang berarti “orang yang menyembah Tuhan”. Dia hidup pada masa pemerintakan Khalifah Al-Manshur dan mulai menyebarkan ajarannya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan ibn Hakam Al Hammar. Banyak orang Yahudi yang kemudian mengikutinya. Para pengikutnya mengatakan bahwa dia mempunyai mukjizat. Menurut mereka, di kala terjadi pertempuran ia menggaris tanah dengan tangannya dan berkata kepada para pengikutnya agar tetap tinggal di dalam garis itu sehingga tidak terkena senjata musuh. Musuh yang menyerang apabila sampai ke garis ia akan kembali karena ketakutan dan menurut mereka karena ada azimah yang diletakannya. Kemudian Abu ‘Isa sendirian keluar garis dengan menunggang kuda memerangi tentara kaum Muslim, dan banyak tentara kaum Muslimin yang tewas dan terluka. Ia berangkat menemui Musa ibn ‘Umran sedang berada di Trans Kaukasus untuk menyampaikan Firman Tuhan. Dikatakan orang ketika terjadi peperangan dengan tentara Khalifah Al-Manshur di Rai dia beserta tentaranya tewas.


Pandangan Al-Syahrastani terhadap Nashrani

Namun dari pembahasan Al-Syahrastani terhadap Nashrani dalam al-Milal wa an-Nihal terdapat beberapa pokok kajian sebagai berikut:

1. Al-Masih ibnu Maryam adalah utusan Allah yang diberi mukjizat sebagaimana Rasul-Rasul yang lain.

2. Al-Masih ibnu Maryam diberikan wahyu sejak masih di dalam buaian tidak sebagaimana Rasul-Rasul yang lain.

3. Ada perselisihan di antara murid-murid al-Masih terkait ketika al-Masih diangkat ke langit dalam dua hal. Pertama, tentang cara turunnya dari langit, hubungan dengan ibunya, dan Tuhan menjelma dalam bentuk manusia. Kedua, cara naiknya ke langit, hubungan dengan malaikat dan kesatuan dengan Tuhan.

4. Nashrani meyakini bahwa Tuhan terdiri dari tiga oknum
5. Nashrani memandang bahwa kesempurnaan manusia itu dalam tiga hal: kenabian (nubuwah), kepemimpinan (imamah) dan kerajaan (malikah).

6. Derajat al-Masih paling tinggi dibandingkan dengan Nabi-Nabi yang lain. Karena berkat al-Masih dosa Adam dan keturunannya diampuni dan ia akan menghisab dosa manusia pada hari kiamat.
7. Kenaikan Nabi Isa dengan jalan dibunuh dan disalib. Namun yang terbunuh adalah oknum kemanusiaan (nasut) tetapi oknum ketuhanan (lahut) tidak mati.

8. Paulus adalah perusak ajaran al-Masih.


9. Ucapan-ucapan al-Masih dikumpulkan oleh empat orang muridnya; Matius, Lukas, Markus dan Yohanes. (Matius 28: 18-19 dan Yohanes 1: 1)

10. Umat Nashrani terpecah menjadi tujuh puluh dua kelompok. Kelompok yang terbesar ada tiga: al-Mulkaniyah, an-Nusturiyah dan Ya’kubiyah.


A. Perdebatan seputar ketuhanan Isa al-Masih


Perpecahan yang terjadi di kalangan umat Nashrani diakibatkan oleh perbedaan mereka terhadap konsep Tuhan. Hal inilah yang memunculkan golongan-golongan termasuk tiga golongan besar di atas.

Fenomena ketuhanan tampaknya merupakan fakta universal. Hal ini tidak saja ditemukan pada masyarakat modern, tetapi juga pada masyarakat yang paling primitive sekalipun. Kajian sejarah tentang asal-usul agama telah membuktikan kenyataan ini. Louis Berkhof di dalam karyanya, Systemayic Theology, menegaskan bahwa “ide tentang Tuhan secara praktis bersifat universal pada ras manusia. Hal ini juga ditemukan di antara bangsa-bangsa dan suku-suku yang tidak memiliki peradaban.”




Ia juga menyebutkan,

“di antara semua manusia dan suku-suku di dunia ini terdapat perasaan akan ketuhanan, yang dapat dilihat dari cara-cara penyembahannya. Karena gejala ini sangat universal, hal tersebut pasti merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh manusia, dan jika sifat manusia ini secara alamiah membawa kepada penyembahan religi, maka penjelasannya hanya akan ditemukan pada Wujud Agung yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang selalu beragama.”

Oleh karena itu, banyak para ahli teologi dan filsafat agama yang menisbahkan argumentasi tentang adanya Tuhan pada fakta sejarah ini. Bahkan, sebagian teolog dan pakar filsafat agama menyatakan bahwa fenomena ketuhanan sebenarnya telah terlembaga pada diri manusia sebagai ide bawaan (innate idea of God). Dengan demikian fenomena ketuhanan pada diri manusia selain bersifat universal juga bersifat natural.

Bahkan lebih dari itu, ide tentang ketuhanan dalam diri manusia oleh beberapa kalangan sudah dikategorikan bersifat naluriah (instinctive). Sementara yang lain menyebutkan bahwa ide ketuhanan merupakan tuntutan akal (the voice of reason).


Pemaparan di atas menunjukkan bahwa manusia tidak bisa lepas dan sangat berkebutuhan untuk bertuhan, dimana manusia bisa berharap, bergantung, meminta, menyembah dan melindungkan dirinya. Hal inilah yang juga menimpa kalangan Nashrani saat merumuskan konsep ketuhanan mereka.

Al-Syahrastani merekam dinamika umat Nashrani dalam merumuskan konsep ketuhanannya yang pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok keagamaan, akibat tidak ada kata sepakat tentang Tuhan itu sendiri.


Seperti telah disebutkan di atas, Al-Syahrastani membagi tiga kelompok besar di kalangan umat Nashrani, yakni: Al-Mulkaniyah, An-Nusturiyah dan Ya’kubiyah.

1. Al-Mulkaniyah berpandangan bahwa Firman bersatu dengan tubuh Al-Masih dan menyatu dengan kemanusiaan (nasut), yang dimaksud dengan Firman adalah oknum pengetahuan. Sementara Roh Kudus adalah oknum kehidupan dan dinamakan pengetahuan sebelum menjelma menjadi anak. Sebagiannya mengatakan Firman menyatu ke dalam tubuh Al-Masih seperti penyatuan air dan susu.

Al-Mulkaniyah menerangkan benda bukan oknum tetapi yang merupakan yang mempunyai sifat dan sifat, melalui cara ini mereka mengakui Trinitas. Al-Qur’an memberitakan tentang pendirian aliran ini dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga…” (QS. Al-Maidah: 73)

Menurut Al-Mulkaniyah, Al-Masih bukan manusia, bukan pula sebagian manusia. Ia adalah qadim yang azali, dari yang qadim azali.

2. An-Nusturiyah menafsirkan Injil dengan pemikirannya sendiri. Mereka berpandangan bahwa Allah yang maha Esa terdiri dari tiga oknum: wujud, pengetahuan dan kehidupan. Ketiga oknum ini bukan tambahan dari zat dan bukan pula sifat zat yang bersatu dengan jasad Al-Masih, tidak melalui integrasi seperti yang diyakini Al-Mulkaniyah dan tidak pula melalui kelahirannya sebagai wujud Tuhan seperti yang diyakini Al-Ya’kubiyah.

Mereka selalu menganggap anak selalu dilahirkan oleh ayah namun telah berintegrasi dan bersatu dengan tubuh Al-Masih pada saat lahir. Tuhan adalah dua oknum, dua zat dan dua tabiat (karakter), Tuhan sempurna dan manusia sempurna. Tidak merusak kesatuan didahului yang qadim dan dibelakangnya yang baru, namun keduanya bersatu dan tabiatnya satu. Kadang-kadang namanya dibawa dengan istilah lain, mereka ganti istilah tabiat, oknum dan person.

3. Ya’kubiyah mengakui oknum yang tiga, namun buat mereka kalimat (Firman) berubah menjadi darah dan daging yang akhirnya menjadi Tuhan ialah Al-Masih, Tuhan lahir dalam bentuk manusia, bahkan ia adalah Tuhan. Pendirian kelompok ini diterangkan dalam al-Qur’an :

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: sesungguhnya Allah itu Al-Masih putra Maryam…” (QS. Al-Maidah: 72)


Sebagain besar kelompok aliran-aliran Ya’kubiyah menganggap Al-Masih adalah zat yang maha Esa, satu oknum yang terdiri dari dua zat atau satu tabiat dari dua tabiat. Ia adalah zat Tuhan yang qadim dan zat manusia yang baru yang keduanya terdiri dari perpaduan jiwa dan raga yang akhirnya menjadi satu zat, satu oknum ialah menjadi manusia seutuhnya dan Tuhan seutuhnya.

B. Asal Ide Ketuhanan Al-Masih


Ide Anak Tuhan merupakan hal yang lumrah di masyarakat Yahudi. Mereka menganggap bahwa bangsa Israel adalah "Anak-anak Tuhan". Bagi mereka istilah "Anak Tuhan" bukan untuk individu. "Anak-anak Tuhan" dalam pengertian individu merupakan paham penyembah berhala yang menganggap bahwa Tuhan beranak di dunia. (Tillich1968)

Drapper dalam bukunya Conflict between Religion and Science menceritakan bahwa Plato lahir di Athena tahun 429 SM. Ibunya adalah Paraction yang bertunangan dengan Arus. Namun sebelum mereka menikah, Paraction telah dihamili oleh Tuhan Apollo yang merupakan "Roh Kudus" dalam ketuhanan bangsa Yunani. Tuhan Appolo mengancam Arus untuk menghormati Roh Kudus dan tidak mendekati Paraction yang telah dihamilinya. Oleh sebab itu Plato di sebut "Anak Tuhan". Pythagoras yang lahir tahun 575 SM yang dianggap lahir tanpa ayah, juga disebut "Anak Tuhan".


Paulus yang menganggap Yesus lahir melalui intervensi Roh Kudus, memperkenalkannya kepada para penyembah berhala di kerajaan Romawi sebagai "Anak Tuhan (Allah)".
"Jawab malaikat itu kepadanya: `Roh Kudus akan turun atasmu dan Kuasa Allah yanq Maha Tinqqi akan menaunqi engkau; sebab itu anak yang akan kau lahirkan akan disebut kudus, Anak Allah" (Lukas 1:35)

"Ketika itu juga ia memberitakan Yesus di rumah-rumah ibadat, dan mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah" (Kisah Para Rasul 9:20)

Pekerjaan Paulus yang mulai merusak ajaran Tauhid yang diajarkan Yesus ini dikutuk oleh Allah dalam surah Maryam 19:88-92:

"Dan mereka berkata: 'Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak'. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat munqkar. Hampir-hampir lagit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yanq Pemurah mempunyai anak" (Surah Maryam 19:88-92)

Arti dan Asal Trinitas

• 1. Athanasian Creed (abad VI) mendefinisikan Trinitas sebagai:
"The Father is God, the Son is God, and the Holy Ghost is God. And yet there Gods but one God". (Bapak adalah Tuhan, Anak adalah Tuhan, dan Roh Kudus adalah Tuhan. Namun bukan tiga Tuhan melainkan satu Tuhan.)
• 2. The Orthodox Christianity kemudian mendefinisikan lagi Trinitas sebagai:
"The Father is God, the Son is God, and the Holy Spirit is God, and toqether, not exclusively, the form one God". (Bapak adalah Tuhan, Anak adalah Tuhan, dan Roh Kudus adalah Tuhan, dan bersama-sama, bukan sendiri-sendiri, membentuk satu Tuhan.)

Sebelumnya sudah banyak para pemimpin Gereja yang mencoba memasukkan ajaran Platonis dan agama Mesir tentang tiga Tuhan dalam satu. Namun upaya tesebut baru pada tahap adanya tiga unsur atau oknum yang memiliki ikatan satu dengan lainnya. Ketetapan ketiga oknum: Tuhan, Anak dan Roh Kudus masing-masing dianggap Tuhan setara dan abadi, tidak pernah ada sebelum ditetapkananya Athanasian Creed di abad ke IV. Trinitas berarti kesatuan dari tiga. Trinitas dalam Kristen adalah Tiga Tuhan yakni Tuhan Allah, Tuhan Yesus dan Tuhan Roh Kudus dan ketiganya adalah satu.


Dogma ini berasal dari paham Platonis yang diajarkan oleh Plato (?-347 SM), dan dianut para pemimpin Gereja sejak abad II (Tony lane 1984). Edward Gibbon dalam bukunya The Decline and fall of the Roman Empire, hal 388, mengatakan:


• "Plato consider the divine nature under the thee fold modification: of the first cause, the reason, or Logos; and the soul or spirit of the universe...the Platonic system as three Gods, united with each other by a mysterious and ineffable qeneration; and the Logos was particularly considered under the more accessible character of the Son of an eternal Father and the Creator and Governor of the world".
(Plato menganggap keilahian alami terdiri dari atas tiga bagian: Penyebab awal, Firman (Logos), dan Roh alam semesta....Sistem Platonis sebagai tiga Tuhan, bersatu antara satu dengan lainnya melalui kehidupan yang baka dan misterius; dan Firman (Logos) secara khusus dianggap yang paling tepat sebagai Anak Bapak yang baka dan sebagai pencipta dan penguasa alam semesta).

Ajaran tiga Tuhan dalam satu ini bukan hanya dianut masyarakat Yunani dan Romawi, tetapi juga mereka yang mendiami wilayah Asia Barat, Tengah, Afrika Utara dan pengaruhnya menjalar ke beberapa kawasan lainnya di dunia.


C. Injil: Al-Masih bukan Tuhan


1. "Matius" pasal 5 ayat 9 menyebutkan: "Berbahagialah segala orang yang mendamaikan orang, karena mereka itu akan disebut anak-anak Allah." Berdasarkan ayat tersebut yang dimaksudkan " Anak Allah" itu ialah orang yang dihormati seperti Nabi. Kalau Yesus dianggap anak Allah, maka semua orang yang mendamaikan manusia pun menjadi anak-anak Allah juga. Jadi bukan Yesus saja Anak Allah tetapi ada terlalu banyak.


2. "Yohanes" pasal 17 ayat 23 menyebutkan: "Aku di dalam mereka itu, dan Engkau di dalam Aku; supaya mereka itu sempurna di dalam persekutuan." Pada ayat ini tersusun kata "Aku di dalam mereka." Kata "mereka" di ayat ini ialah sahabat Yesus. Sedang yang dimaksudkan "dengan aku" ialah Yesus. Jadi kata "AKU" beserta mereka artinya Yesus beserta sahabat-sahabatnya. Jadi Tuhan itu beserta Yesus dan para sahabatnya. Kalau umat Nashrani percaya tentang kesatuan Yesus dengan Bapa maka mereka pun harus percaya tentang kesatuan Bapa itu dengan semua sahabat Yesus yang berjumlah 12 orang itu. Jadi bukan Yesus dan Roh suci saja yang menjadi satu dengan Tuhan,melainkan harus ditambah 12 orang lagi. Ini namanya persatuan Tuhan atau Tuhan persatuan bukan hanya Tritunggal tetapi 15-tunggal. Jadi berdasarkan perselisihan ayat-ayat tersebut, yang manakah yang benar. Tiga menjadi Tunggal atau 15 menjadi Tunggal. Ayat manakah yang akan diyakini, yang tiga menjadi tunggal ataukah yang 15 itu?


3. "Yohanes" pasal 17 ayat 3 menyebutkan: "Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka mengenal Engkau, Allah yang Esa dan Yesus Kristus yang telah Engkau suruhkan itu." Ayat ini menyebutkan Tuhan adalah Esa. Dalam Kamus bahasa Indonesia oleh E. St. Harahap, cetakan ke II disebutkan bahwa Esa itu berarti satu, pertama (tunggal) dan di ayat itu juga disebutkan bahwa Yesus Kristus adalah Pesuruh Allah (Utusan/Rasul). Kalau demikian, manakah yang benar. Di satu ayat menyebutkan Tuhan dengan Yesus menjadi satu di lain ayat 15 menjadi satu dan yang lain lagi Tuhan itu Tunggal, sedangkan di ayat itu pula menyebutkan bahwa Yesus itu pesuruh Allah bukan Tuhan. Menurut pengakuan umat Nashrani sendiri suatu Kitab suci yang kandungan ayat-ayatnya bertentangan antara yang satu dengan yang lain tentu sulit sekali dipercaya kesuciannya, karena yang disebut suci itu bersih dari kekeliruan dan perselisihan.

4. "Ulangan" pasal 4 ayat 35 menyebutkan: "Maka kepadamulah ia itu ditunjuk, supaya diketahui olehmu bahwa Tuhan itulah Allah, dan kecuali Tuhan yang Esa tiadalah yang lain lagi." Bibel sendiri menerangkan bahwa Tuhan itu Esa, Tunggal.

5. “Markus” pasal 12 ayat 29 menyebutkan: "Maka jawab Yesus kepadanya. hukum yang terutama ialah: Dengarlah olehmu hai Israel, adapun Allah Tuhan kita ialah Tuhan yang Esa." "Ulangan" pasal 6 ayat 4 menyebutkan: "Dengarlah olehmu hai Israel, sesungguhnya Hua Allah kita, Hua itu Esa adanya." Bibel sendiri yang menjadi Kitab Sucinya umat Nashrani menyebutkan bahwa Tuhan itu tunggal, bukan tiga menjadi satu atau satu menjadi tiga.

6. "Matius" pasal 27 ayat 46 menyebutkan: "Maka sekira-kira pukul tiga itu berserulah Yesus dengan suara yang nyaring katanya: "Eli, Eli lama sabaktani," artinya "Ya Tuhan, apakah sebabnya Engkau meninggalkan Aku." Berdasarkan seruan Yesus di ayat itu, jelas bahwa Yesus tidak bersatu dengan Tuhan, yakni Tuhan meninggalkan Yesus, waktu akan disalibkan. Mestinya kalau Tuhan menjadi satu dengan Yesus, disaat itulah saat tepat untuk menolong Yesus, tetapi kenyataannya Tuhan tidak bersatu dengan Yesus sehingga Yesus sendiri minta tolong. Jadi Yesus bukan Tuhan.


Yesus hidupnya untuk disalib guna menebus dosa manusia?

Jika hidupnya Yesus memang untuk disalib, mengapa Yesus tidak bersedia dan menolak untuk disalib. Buktinya ia berseru dengan suara nyaring minta tolong pada Tuhan agar ia terlepas dari penyaliban. Dengan kata lain Yesus tidak bersedia menjadi penebus dosa. Oleh sebab itulah mengapa menyembah Yesus selaku Tuhan yang tidak berkuasa menyelamatkan dirinya sendiri, malah meminta tolong. Pantaskah ada Tuhan demikian. Dan kenapa manusia-manusia yang menyalibkan Yesus itu dilaknat? Mestinya tidak dilaknat, seharusnya Yesus berterima kasih kepada mereka yang menyalibkan dia, bahkan mereka itu seharusnya mendapatkan ganjaran, karena kehidupan Yesus itu harus disalib untuk menebus dosa-dosa. Jika tidak ada manusia yang bersedia menyalibkan Yesus, maka dosa-dosa manusia tentu tidak ada yang menebusnya. Jadi manusia-manusia yang telah menyalib Yesus itu berjasa kepada Yesus dan penganut-penganut kristen. Akan tetapi mereka yang sudah terbukti berjasa itu malah dilaknat. Mestinya mereka itu masuk surga dan dipuji-puji atas jasanya.


7. "Matius" pasal 1 ayat 16 menyebutkan: "dan Yakub memperanakkan Yusuf, yaitu suami Maria; ialah yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus." Jelas bahwa yang diperanakkan itu pasti bukan Tuhan sebagaimana tersebut dalam ayat tersebut. "Keluaran" pasal 4 ayat 22 disebutkan: "Maka pada masa itu hendaklah katamu kepada Fir'aun demikian: 'Inilah firman Tuhan: Bahwa Israil itulah anakku laki-laki,yaitu anakku yang sulung'." Di ayat ini disebutkan bahwa Israil adalah anak tuhan yang sulung, sedangkan Yesus tidak disebutkan anak yang keberapa."Yeremia" pasal 31 ayat 9 menyebutkan, "Akulah bapak bagi Israil; dan Afraim itulah anak yang sulung." Jelas sekali bahwa berdasarkan Bibel sendiri Anak Tuhan itu banyak, bukan Yesus saja, padahal sebenarnya yang dimaksudkan dengan "Anak" dalam ayat itu ialah mereka yang dikasihi oleh Tuhan, termasuk Yesus jadi bukan anak yang sebenarnya.


8. "Kisah Rasul," pasal 6 ayat 5 menyebutkan: "Maka perkataan ini diperkenankan oleh sekalian orang banyak itu, lalu memilih Stephanus, yaitu seorang yang penuh dengan iman, dan Roh kudus, dan lagi Philippus, dan Prokhorus dan Nikanor dan Simion dan Parmenas dan Nikolaus yaitu mualaf asalnya dari negeri Antiochia." Jadi berdasarkan ayat Bibel sendiri menunjukkan bahwa Roh Kudus itu bukan pada Yesus saja. Ini menunjukkan bahwa Roh Kudus itu Roh Suci, atau Roh Kesucian yang maksudnya roh yang bersih dari roh-roh kotor, bukan seperti roh setan atau hantu. Sebagaimana halnya para Nabi lainnya dengan roh sucinya. Menurut Al-Qur'an, Roh Kudus (roh suci) itu berarti "Jibril." Di Bibel sendiri menyebutkan bahwa para nabi yang terdahulu adalah Kudus.


9. Yesus dianggap Tuhan karena ia mempunyai roh Ketuhanan, dengan pangkat Ketuhanannya sehingga ia dapat menghidupkan orang mati. Ini merupakan kesamaan Allah dengan Yesus. "Kitab Raja-raja yang kedua" pasal 13 ayat 21 menyebutkan: "Maka sekali peristiwa apabila dikuburkannya seorang Anu, tiba-tiba terlihat mereka itu suatu pasukan lalu dicampakkannya orang mati itu kedalam kubur Elisa, maka baru orang mati itu dimasukkan ke dalamnya dan kena mayat Elisa itu, maka hiduplah orang itu pula, lalu bangun berdiri." Disini menyebutkan malah tulang-tulang Elisa dapat menghidupkan orang mati. Jadi bukan Yesus saja dapat menghidupkan orang mati bahkan tulang-tulang Elisa dapat menghidupkan orang mati. Yang berarti tulang-tulang Elisa adalah tulang-tulang ketuhanan. Kalau Yesus di waktu hidupnya dapat menghidupkan orang mati, akan tetapi Elisa di waktu tak bernyawa, malah hanya dengan tulang-tulangnya, yang di dalam kubur dapat menghidupkan orang mati. Kalau perbuatan Yesus dikatakan ajaib maka Elisa lebih ajaib dari pada Yesus. Jadi seharusnya Ilyaspun dianggap Tuhan juga. Periksa lagi di "Kitab Raja-Raja yang pertama," pasal 17 ayat 22.


10. Johanes pasal 1 ayat 1 dan 2 menyebutkan: "Maka pada mulanya ada itu Kalam maka Kalam itu, serta dengan Allah, dan Kalam itu Allah, dan kalau itu Allah. Ia itu pada mulanya serta dengan Allah." Kata "Ia" di ayat ini maksudnya ialah "Yesus." Jadi Yesus beserta dengan Allah. Dalam susunan ayat tersebut di atas ada kata penghubung ialah: "Serta" atau beserta. Kalau ada orang berkata "Si Salim dengan si Amin" maka susunan kalimat ini semua orang dapat mengerti bahwa si Salim tetap si Salim bukan si Amin jadi berdasarkan ayat Bibel yang Saudara baca dengan susunan "Ia" (Yesus) beserta Allah, langsung dapat dimengerti bahwa Yesus bukan Allah, dan Allah bukan Yesus. Jelaslah bahwa Yesus tidak sama dengan Allah: dengan kata lain kata Yesus bukan Tuhan. Dan di ayat itu juga disebutkan bahwa Kalam itu Allah.
Padahal Kalam itu bukan Allah dan Allah bukan Kalam. Jadi Allah dan Kalam-pun lain.

11. "Wahyu," pasal 22 ayat 13 menyebutkan: "Maka Aku inilah Alif dan Ya, yang terdahulu dan yang kemudian. Yang Awal dan Yang Akhir." Rangkaian perkataan itu bukan perkataan Yesus sendiri, melainkan firman Allah kepada Yesus. Buktinya terdapat dalam Kitab "Wahyu" tersebut pasal 21 ayat 6 menyebutkan: "Maka firmannya kepadaku: "Sudahlah genap; Aku inilah Alif dan Ya, yaitu yang awal dan yang Akhir." Jelas di ayat itu menyebutkan: "Maka firmannya kepadaku," Siapakah yang berfirman kepadaku (kepada Yesus) di ayat ini? Tentu Allah yang berfirman. Jadi yang berfirman Aku inilah Alif dan Ya, yang Awal dan Yang Akhir, bukan perkataan Yesus sendiri, tetapi firman Allah kepada Yesus.(Anita Syaharudin,MA )