Jumat, 26 Maret 2010

PIAGAM MADINAH DAN TOLERANSI BERAGAMA

PIAGAM MADINAH
DAN TOLERANSI BERAGAMA
Oleh: Dr. Adian Husaini


Pada tahun 1973, cendekiawan Muslim, H. Zainal Abidin Ahmad (ZAA),
menerbitkan bukunya
yang berjudul Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi Negara
Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Dalam bukunya, ZAA banyak
mengutip pendapat Prof. Hamidullah, seorang pakar manuskrip kuno. (Lihat juga,
Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing a State and His Succession, (Pakistan Hijra Council, 1988).
Melalui riset yang sangat serius mulai tahun 1961 sampai tahun 1973, ZAA
akhirnya berhasil menyajikan sebuah buku yang memuat Piagam Madinah dalam berbagai
versi bahasa. Istilah Konsitusi Madinah diberikan oleh seorang orientalis, W. Montgomery
Watt. Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan, dan wakil Ketua Mahkamah
Internasional, memberikan nama negara Madinah sebagai “Republik Madinah”. Buku ZAA
ini memaparkan, bahwa Piagam Madinah sejatinya merupakan kontitusi negara tertulis
pertama di dunia, mendahului Magna Charta di Inggris selama enam abad; dan mendahului
Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis selama 12 abad.
Konstitusi Madinah diawali dengan ungkapan: “Bismillahirrahmanirrahiim.
Haadzaa kitaabun min Muhammadin Nabiy Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bainal
mu’miniina wal­muslimiina min quraisyin wa­yatsriba wa man tabi’ahum falahiqa bihim
wa jaahada ma’ahum.” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad saw kepada orang­orang mukmin dan muslim,
baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada segenap warga yang
ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan bersama dengan mereka dan
telah berjuang bersama mereka).
Piagam Madinah ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu
negara pun yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umat
beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur hubungan
tersebut. Misalnya (terjemah oleh ZAA):
Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum­bangsa Yahudi yang setia kepada (negara)
kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya
dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.”
Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul beaya bersama­sama
dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.”
Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu bangsa­negara
(ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas memeluk agama
mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini
berlaku juga terhadap pengikut­pengikut/sekutu­sekutu mereka, dan diri mereka
sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang
menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.http://www.adianhusaini.com Hal. 2
Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad saw telah melakukan interaksi intensif
dengan seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani), budaya­budaya dominan, dan
kekuatan­kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia dan Romawi). Ayat­ayat Al Quran
yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, menggambarkan
bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan diberi pedoman yang snagat gamblang
dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam.
Bahkan, al­Quran juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap
kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan
keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat 8
disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak
memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu." Bahkan, Nabi
Muhammad saw berpesan, "Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia
menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).
Perbandingan dengan Eropa
Dari sisi toleransi beragama, pengakuan akan hak hidup dan hak beragama kaum
Yahudi/minoritas di Madinah pada zaman itu, sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat
mengagumkan. Sebagai perbadingan, bisa kita simak, bagaimana nasib kaum Yahudi dalam
sejarahnya di Eropa.
Max L. Margolis and Alexander Marx mencatat, komunitas awal­awal Yahudi di
Eropa dapat dijumpai di Roma sekitar tahun 200 SM. Sejumlah peristiwa pahit menandai
kehidupan Yahudi di wilayah kekuasaan Imperium Romawi ini. Tahun ke­19, Kaisar
Tiberius mengusir Yahudi dari Roma dan Italia. Namun, tampaknya mereka masih kembali
lagi. Tahun 44, kaum Yahudi termasuk yang menangisi kematian Julius Cesar. Tahun 54,
karena menentang propaganda Kristen, Yahudi dilarang berkumpul di sinagog. Tahun 139,
sejumlah Yahudi diusir dari Roma. (Lihat, Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of
the Jewish People, (New York: Atheneum, 1969), hal. 287­289).
Di masa Kaisar Konstantine (311­337), secara umum Yahudi mendapatkan cukup
kebebasan dalam menjalankan agamanya. Bahkan, setelah Konsili Nicea, 325, Judaisme
masih tetap boleh diamalkan. Hanya, di masa Constantius II (337­361), sempat terjadi
insiden. Di bawah kekuasaan Gallus, saudara ipar Constantius, yang memerintah wilayah
Timur (termasuk Palestina), terjadi bentrokan antara yahudi dengan tentara Romawi.
Komandan tentara Romawi di wilayah itu menyerbu dan menghancurkan Kota Tiberias,
Sepphoris, dan Lod. Tetapi, Encyclopaedia Judaica Vol II, mencatat, bahwa sejak Kristen
menjadi agama resmi Romawi pada 321, posisi Yahudi menjadi terpojok. Berbagai
keistimewaan yang diterima Yahudi pada masa sebelumnya, dihapuskan. Jurisdiksi rabbi
Yahudi juga dihapuskan. Proselitisme dilarang dan diancam hukuman mati, sebagaimana
berhubungan dengan wanita Kristen. Akhirnya, Yahudi terlarang memegang posisi tinggi di
pemerintahan atau militer.
Di bawah Kaisar Theodosius I (379­395) dan Theodosius II (408­450), Yahudi
sebenarnya cukup mendapatkan prinsip­prinsip kebebasan, meskipun Theodosius dijuluki
sebagai “the First Christian Inquisitor” dan menetapkan Katolik sebagai agama resmi
negara. Tapi, karena pengaruh dari tokoh­tokoh gereja yang fanatik, Yahudi menjadi
sasaran pengaturan yang menyakitkan. Max L. Margolis dan Alexander Marx
menggambarkan kondisi ketika itu:http://www.adianhusaini.com Hal. 3
“Tetapi, dibawah pengaruh para pendeta yang fanatik, maka Yahudi menjadi
sasaran meningkatnya peraturan­peraturan yang menjengkelkan dengan tujuan
untuk mengurangi jumlah konversi kaum Kristen ke Yahudi. Semua itu adalah
dalam semangat tokoh­tokoh gereja, bahwa Yahudi digambarkan sebagai orang­
orang jahat dan tukang sihir, dan sekte mereka sebagai hina dan seperti binatang.
Lagi pula, pedagang­pedagangan Kristen bernafsu untuk bebas dari kompetisi
Yahudi. Tidak sah bagi Yahudi untuk mengkhitan budaknya atau memiliki budak
Kristen. Yahudi tidak punya wewenang atas Kristen dan karena itu harus dilarang
dari kantor­kantor publik. Kawin antar agama antara Yahudi dan Krtisten
merupakan tindakan kriminal.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Max L.
Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 229­230.)
Di Eropa, ketika agama Kristen mulai berkuasa di berbagai negara, cara pandang
kaum Kristen terhadap Yahudi sangat dipengaruhi oleh Kebijakan yang dibuat oleh Paus
Gregory I, yang dikenal sebagai Gregory The Great (590­604). Max L. Margolis dan
Alexander Marx mencatat tentang persepsi dan kebijakan Gregory I:
“Metode Yahudi dalam memahami kitab suci dalam bentuk literalnya adalah satu
hal yang buruk; argumen­argumen Yahudi dalam melawan Kristen adalah tidak
masuk akal. Yahudi harus diajak menjadi menjadi Kristen dengan akal dan
persuasi…Karena itu, Yahudi mengalami penderitaan dalam menerapkan agama
dan kehidupan mereka sendiri, bersamaan dengan adanya jaminan hak­hak yang
diberikan oleh undang­undang Romawi.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku
Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 298.)
Sampai abad­abad berikutnya, kaum Yahudi menjadi sasaran pembantaian dan
penindasan masyarakat Eropa. Sejumlah Paus lainnya kemudian dikenal sangat anti­
Yahudi. Pada tanggal 17 Juli 1555, hanya dua bulan setelah pengangkatannya, Paus Paulus
IV, mengeluarkan dokumen (Papal Bull) yang dikenal dengan nama Cum nimis absurdum.
Di sini Paus menekankan, bahwa para pembunuh Kristus, yaitu kaum Yahudi, pada
hakekatnya adalah budak dan seharusnya diperlakukan sebagai budak. Yahudi kemudian
dipaksa tinggal dalam ‘ghetto’. Setiap ghetto hanya memiliki satu pintu masuk. Yahudi
dipaksa menjual semua miliknya kepada kaum Kristen dengan harga sangat murah;
maksimal 20 persen dari harga yang seharusnya. Di tiap kota hanya boleh ada satu sinagog.
Di Roma, tujuh dari delapan sinagog dihancurkan. Di Campagna, 17 dari 18 sinagog
dihancurkan. Yahudi juga tidak boleh memiliki Kitab Suci. Saat menjadi kardinal, Paus
Paulus IV membakar semua Kitab Yahudi, termasuk Talmud. Paus Paulus IV meninggal
tahun 1559. Tetapi cum nimis absurdum tetap bertahan sampai tiga abad. (Peter de Rosa,
Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 266­269).
Sikap tokoh­tokoh Gereja semacam itu terbukti sangat berpengaruh terhadap nasib
Yahudi di wilayah Kristen Eropa. Di Spanyol, misalnya, Yahudi sudah ada di wilayah ini,
sekitar tahun 300 M. Raja Aleric II (485­507), diilhami oleh Code of Theodosius,
memberikan batasan yang ketat terhadap Yahudi. Nasib Yahudi Spanyol semakin terjepit,
menyusul konversi Raja Recarred I (586­601) menjadi Katolik. Sang Raja melakukan
konversi itu pada The Third Council of Toledo (589), dan kemudian menjadikan Katolik
sebagai agama negara. The Council of Toledo itu sendiri membuat sejumlah keputusan: (1)
larangan perkawinan antara pemeluk Yahudi dengan pemeluk Kristen, (2) keturunan darihttp://www.adianhusaini.com Hal. 4
pasangan itu harus dibaptis dengan paksa, (3) budak­budak Kristen tidak boleh dimiliki
Yahudi (4) Yahudi harus dikeluarkan dari semua kantor publik, (5) Yahudi dilarang
membaca Mazmur secara terbuka saat upacara kematian. (Max L. Margolis dan Alexander
Marx, A History of the Jewish People, hal. 304­305.)
Dalam periode 612­620, banyak kasus tejadi dimana Yahudi dibaptis secara paksa.
Ribuan Yahudi melarikan diri ke Perancis dan Afrika. Pada 621­631, di bawah
pemerintahan Swinthila, perlakuan Yahudi agak lebih lunak. Pelarian Yahudi kembali ke
tempat tinggalnya semula dan mereka yang dibaptis secara paksa kembali lagi ke agama
Yahudi. Tetapi, Swinthila ditumbangkan oleh Sisinad (631­636), yang melanjutkan praktik
pembaptisan paksa. Pada masa pemerintahan Chintila (636­640), dibuatlah keputusan
dalam The Six Council of Toledo (638), bahwa selain orang Katolik dilarang tingal di
wilayahnya. Euric (680­687) membuat keputusan: seluruh Yahudi yang dibaptis secara
paksa ditempatkan di bawa pengawasan khusus pejabat dan pemuka gereja. Raja Egica
(687­701) membuat keputusan: semua Yahudi di Spanyol dinyatakan sebagai budak untuk
selamanya, harta benda mereka disita, dan mereka diusir dari rumah­rumah mereka,
sehingga mereka tersebar ke berbagai profinsi. Upacara keagamaan Yahudi dilarang keras.
Lebih dari itu, anak­anak Yahudi, umur 7 tahun keatas diambil paksa dari orang tuanya dan
diserahkan kepada keluarga Kristen. (Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the
Jewish People, hal. 305­306.)
Sampai abad ke­15, pembantaian Yahudi (massacre) itu terus terjadi di Spanyol. Di
Rusia, penindasan dan pembantaian Yahudi dikenal sebagai ‘pogroms’ (mob violence) dan
masih berlangsung sampai abad ke­20. Sejumlah pejabat pemerintah Rusia ikut
memobilisasi massa untuk mengusir Yahudi. Sebagai contoh, antara tahun 1903­1906,
pogroms terjadi di 690 kota dan desa, sebagian besar terjadi di Ukraina. (Marvin Perry,
Western Civilization, hal. 447).
Di berbagai wilayah lain di Eropa, persekusi terhadap Yahudi terjadi di mana­mana.
Selama ratusan tahun, para pemimpin politik dan agama di Eropa Barat tidak segan­segan
untuk menghapuskan atau menghancurkan komunitas­komunitas Yahudi di Eropa.
Persekusi dan pembantaian Yahudi itu beberapa diantaranya dilakukan dengan ancaman
dan intimidasi untuk meninggalkan agama Yahudi dan memeluk Kristen. Jika mereka
menolak, maka hukuman mati sudah menanti mereka. Di Perancis, misalnya, Louis IX
(1226­1270), memerintahkan pengusiran semua orang Yahudi dari kerajaannya, sesaat
setelah Louis berangkat menuju medan Perang Salib. Perintah itu memang tidak dijalankan
dengan sempurna. Banyak orang Yahudi yang meninggalkan Perancis kemudian kembali
lagi. Tetapi, Philip the Fair (1285­1314) kemudian memerintahkan semua Yahudi Perancis
untuk ditangkap. Kemudian, Raja Charles IV, kembali mengusir Yahudi Perancis pada
tahun 1322. Josephine Bacon mencatat pengusiran dan pembantaian orang­orang Yahudi di
Perancis dalam kurun tahun 800­1500. Tahun 1420, komunitas Yahudi dimusnahkan dari
Toulouse. Pada tahun yang sama, Yahudi juga diusir dari Kota Lyon. Tahun 1321, 160
Yahudi dikubur dalam satu lobang di Kota Chinon. Tahun 1394, seluruh Yahudi diusir dari
Kota Sens. Pada tahun 1495, orang­orang Yahudi diusir dari Lithuania. Padahal di negara
ini, orang­orang Yahudi itu mengungsi dari persekusi kaum Kristen Barat, karena mereka
tidak menerima agama Kristen. Di Rusia, sebagai akibat dari kebencian yang disebarkan
oleh gereja Kristen Ortodoks Rusia, kaum Yahudi dikucilkan dan diusir dari Rusia dalam
kurun waktu mulai abad ke­15 sampai dengan tahun 1722. Ketika itu, secara umum, bisa
dikatakan, tanah Kristen Eropa bukanlah tempat yang aman bagi kaum Yahudi. (Stanford J.
Shaw, The Jews of the Ottoman Empire and the Turkish Republic, (Houndmills: MacMillanhttp://www.adianhusaini.com Hal. 5
Academic and Professional Ltd, 1991), hal. 7­9; Martin Gilbert (ed), Atlas of Jewish Civilization,
(London: Andre Deutsch Limited, 1990), hal. 67.)
Permusuhan kaum Kristen terhadap Yahudi juga bisa disaksikan dalam kisah
Perang Salib. Di Jerusalem, ketika pasukan Salib menaklukkan kota suci itu tahun 1099,
mereka membantai sekitar 30.000 penduduknya, Muslim dan Yahudi. Puluhan ribu kaum
Muslim yang mencari penyelamatan di atap Masjid al­Aqsha dibantai dengan sangat sadis.
Kekejaman pasukan Salib di Kota Jerusalem memang sangat sulit dibayangkan akal sehat.
(Lihat, Karen Armstrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper
Collins Publishers, 1997), hal. 3­4, 299; Ameer Ali, A Short History of the Saracens, (New
Delhi, Kitab Bhavan, 1981), hal. 322­326; Mustafa A Hiyari, “Crusader Jerusalem 1099­
1187 AD”, dalam KJ Asali (ed.), Jerusalem in History, (Essex: Scorpion Publishing Ltd,
1989), hal. 139­141).
Sebagai catatan, tindakan pasukan Salib itu sangat berbeda dengan tindakan
Shalahudin al­Ayyubi ketika merebut kembali Jerusalem pada tahun 1187. Di bawah
Shalahuddin, Jerusalem menjadi tempat yang aman bagi kaum Yahudi. Ketika itu
Shalahuddin membawa kembali banyak orang Yahudi ke Jerusalem dan mengijinkan
mereka tinggal di sana. (Lihat, Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 299)
Abad ke­15 menyaksikan pembantaian besar­besaran kaum Yahudi dan Muslim di
Spanyol dan Portugal oleh kaum Kristen Eropa. Pada tahun 1483 saja, dilaporkan 13.000
orang Yahudi dieksekusi atas perintah Komandan Inqusisi di Spanyol, Fray Thomas de
Torquemada. Selama puluhan tahun berikutnya, ribuan Yahudi mengalami penyiksaan dan
pembunuhan. Jatuhnya Granada, pemerintahan Muslim terakhir di Spanyol, pada 20
Januari 1492, telah mengakhiri pemerintahan Muslim selama 781 tahun di Spanyol.
Kejatuhan Granada ke tangan Kristen ini dirayakan dengan upacara keagamaan di seluruh
Eropa. Kemudian, Paus mengundang seluruh bangsa Kristen untuk mengirimkan delegasi
ke Roma, guna mendiskusikan rencana ‘crusade’ terhadap Turki Uthmani. Tahun 1494,
pasangan Ferdinand dan Isabella diberi gelar ‘the Catholic Kings’ oleh Paus Alexander VI.
Pasangan itu sebenarnya telah banyak melakukan pembantaian terhadap Yahudi dan
Muslim sejak dibentuknya Inquisisi di Castile dengan keputusan Paus tahun 1478.
Puncaknya adalah tahun 1492, saat mereka memberikan pilihan kepada Yahudi: pergi dari
Spanyol atau dibaptis. Setelah jatuh ke tangan Kristen, kaum Muslim Granada (yang oleh
diberi sebutan Moors oleh kaum Kristen Spanyol) masih diberi kebebasan menjalankan
beberapa ritual dan tradisi agama mereka. Isabella memaksakan dilakukannya pembaptisan
massal. Akhirnya, kaum Muslim melakukan perlawanan pada tahun 1499, tetapi berhasil
ditumpas. Setelah itu, sebagaimana kaum Yahudi, mereka juga diberi pilihan:
meninggalkan Spanyol atau dibaptis. Jika menolak, kematian sudah menunggu. Jatuhnya
Granada, juga sekaligus merupakan bencana bagi kaum Yahudi di Spanyol. Hanya dalam
beberapa bulan saja, antara akhir April sampai 2 Agustus 1492, sekitar 150.000 kaum
Yahudi diusir dari Spanyol. Sebagian besar mereka kemudian mengungsi ke wilayah Turki
Uthmani yang menyediakan tempat yang aman bagi Yahudi. Ada yang mencatat jumlah
Yahudi yang terusir dari Spanyol tahun 1492, sebanyak 160.000. Dari jumlah itu, 90.000
mengungsi ke Turki/Uthmani, 25.000 ke Belanda, 20.000 ke Maroko, 10.000 ke Perancis,
10.000 ke Itali, dan 5.000 ke Amerika. Yang mati dalam perjalanan diperkirakan 20.000
orang. Sedangkan yang dibaptis dan tetap di Spanyol sebanyak 50.000. Masa kekuasaan
Ferdinand ­­ The King of Aragon ­­ dan Isabella ­­ the Queen of Castile – dicatat sebagai
puncak persekusi kaum Yahudi di Spanyol. Keduanya dikenal sebagai “the Catholic
Kings”, yang dipuji sebagai pemersatu Spanyol. (Lihat, Stanford J. Shaw, The Jews of thehttp://www.adianhusaini.com Hal. 6
Ottoman Empire and the Turkish Republic, hal. 13­14; Henry Charles Lea, A History of
the Inquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc., 1988), Vol. 1, hal. 36, 140; Martin
Gilbert (ed) Atlas of Jewish Civilization, hal. 59; Halil Inalcik, From Empire to Republic:
Essays on Ottoman and Turkish Social History, (Istanbul: The ISIS Press, 1995), hal. 106.).
Tradisi toleransi Islam
Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah
dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar bin Khattab yang
pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem.
Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak menerapkan politik
pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan
ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para
penguasa mana pun sebelumnya. Karen Armstrong mencatat:
“Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama)
monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan
kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang
sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya
sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen
menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak
ada pembakaran symbol­simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau
pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk
Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem
itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah
memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.”
(Dikutip dan diterjemahkan dari buku Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem:
One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.)
Toleransi Islam terhadap kaum Yahudi dan agama lain sebenarnya tercatat dengan
tinta emas dalam sejarah. Setelah diusir dari Spanyol, kaum Yahudi ditampung dan
dilindungi di wilayah Turki Utsmani. Sebagai contoh, di Jerusalem, di masa pemerintahan
Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent ­­ 1520­1566), Yahudi hidup
berdampingan dengan kaum Muslim. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat
tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535,
David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Uthmani, kaum Yahudi
bahkan memegang posisi­posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia
mencatat: “Here we are not in exile, as in our own country.” (Kami di sini bukanlah hidup
di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri). (Karen Armstrong, A History of
Jerusalem, hal. 325­326.)
Kondisi Yahudi di Uthmani itu begitu bertolak belakang dengan perlakuan yang
diterima Yahudi di dataran Eropa, sehingga mereka harus mengungsi besar­besaran ke luar
Eropa, dan terutama ke wilayah Uthmani. Padahal, ketika Spanyol berada di bawah
pemerintahan Islam, kaum Yahudi juga mengalami perlakuan yang sangat baik. Sejumlah
penulis Yahudi menggambarkan kondisi Yahudi di Spanyol di bawah pemerintahan Islam
ketika itu sebagai suatu “zaman keemasan Yahudi di Spanyol” (Jewish golden age in
Spain). Martin Gilbert, penulis Yahudi, sebagai misal, mencatat tentang kebijakan penguasa
Muslim Spanyol terhadap Yahudi. Dia katakan, bahwa para penguasa Muslim itu jugahttp://www.adianhusaini.com Hal. 7
mempekerjakan sarjana­sarjana Yahudi sebagai aktivitas kecintaan mereka terhadap sains
dan penyebaran ilmu pengetahuan. Maka mulailah zaman keemasan Yahudi di Spanyol, di
mana penyair, dokter, dan sarjana memadukan pengetahuan secular dan agama dalam
metode yang belum pernah dicapai sebelumnya. Kaum Yahudi itu bahkan menduduki
jabatan tertinggi di dunia Muslim, termasuk perdana menteri beberapa khalifah di wilayah
Islam bagian Timur dan Barat. (Martin Gilbert (ed), Atlas of Jewish Civilization, hal. 60.)
Karen Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim
dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstarong, di bawah Islam, kaum
Yahudi menikmati zaman keemasan di al­Andalus. Musnahnya Yahudi Spanyol telah
menimbulkan penyesalan seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang
menimpa Israel sejak kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke­15 juga telah menyaksikan
meningkatnya perskeusi anti­Semitik di Eropa, dimana kaum Yahudi dideportasi dari
berbagai kota. (Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age in al­Andalus. The loss of
Spanish Jewry was mourned throughout the world as the greatest catastrophe to have
befallen Israel since the destruction of the Temple. The fifteenth century had also seen as
escalation of anti­Semitic persecution in Europe, where Jews had been deported from one
city after another). (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 326­327.)
Sebagaimana Karen Armstrong, Avigdor Levy, penulis Yahudi dari Brandeis
University, mencatat tentang kisah tragis pengusiran Yahudi dari Spanyol tahun 1492.
Dalam memori kolektif kaum Yahudi, tahun 1492 itu mewakili, pertama dan utamanya,
sebagai satu tragedi dari proporsi bencana: komunitas Yahudi yang utama di dunia, yang
sedang berkembang dan dibangun begitu lama, tiba­tiba dicabut dan dihancurkan. (In the
collective Jewish memory, this date represented, first and foremost, a tragedy of
catastrophic proportions: the worlds leading Jewish community, efflorescent and long
established, was suddenly uprooted and destroyed). (Avigdor Levy, “Introduction” , dalam
Avigdor Levy (ed.), The Jews of The Ottoman Empire, (Princeton: The Darwin Press, 1994), hal. 2.)
Islam memiliki tradisi yang panjang dalam menata hubungan dengan kaum non­
Muslim. Tidak ada tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan
dalam konsep “heretics” di abad pertengahan Eropa. Islam memang menyebut kaum non­
Muslim sebagai “kafir”, tetapi itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah untuk
mengeksekusi kaum kafir karena perbedaan agama. Al­Quran menegaskan: “Tidak ada
paksaan untuk memeluk agama.” (al­Baqarah:256). Karen Armstrong mencatat: “There
was no tradition of religious persecution in the Islamic empire. (Tidak ada tradisi persekusi
agama dalam dunia Islam). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on
Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991), hal. 44).
Jadi, ajaran dan tradisi Islam dipenuhi dengan berbagai catatan tentang
toleransi antar umat manusia. Ketinggian peradaban Islam pernah membawa rahmat bagi
seluruh dunia, termasuk kepada masyarakat Barat, mendorong sejarawan Irlandia, Tim
Wallace­Murphy, menulis sebuah buku berjudul “What Islam Did For Us: Understanding
Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006). Di
tengah gencarnya berbagai serangan terhadap Islam melalui berbagai media di Barat, buku
ini memberikan gambaran yang sangat indah tentang sejarah Islam. Bahkan, dia tidak
segan­segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya hutang mereka terhadap Islam.
Menurut Tim Wallace­Murphy, hutang Barat terhadap Islam adalah hal yang tak ternilai
harganya. “Even the brief study of history revealed in these pages demonstrates that
European culture owes an immense and immeasurable debt to the world of Islam,”
tulisnya.http://www.adianhusaini.com Hal. 8
Karena itulah, tulis Wallace­Murphy, “Kita di Barat menanggung hutang kepada
dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the
Muslim world that can be never fully repaid).
Pengakuan Wallace­Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu,
sangatlah penting, baik bagi Barat maupun bagi Islam, untuk mengikis mispersepsi di
antara kedua peradaban besar ini. Di mana letak hutang budi Barat terhadap Islam? Buku
ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia
Islam ke Barat pada zaman yang dikenal di Barat sebagai Zaman Pertengahan (the Middle
Ages). Ketika itulah, tulis Wallace­Murphy, Andalusia yang dipimpin kaum Muslim
menjadi pusat kebudayaan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh
kawasan Laut Tengah. (Al­Andalus became not merely the greatest cultural centre in
Europe but in the entire Mediterranean basin).
Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras.
“Life for the majority of people in mainland Christian Europe was short, brutal and
barbaric when compared with the sophisticated, learned and tolerant regime in Islamic
Spain.” Jadi, kata Wallace­Murphy, bagi mayoritas masyarakat di dunia Kristen Eropa,
kehidupan adalah singkat, brutal dan barbar, dibandingkan dengan kehidupan yang
canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol­Islam.
Penutup
Sebagai satu peradaban besar yang masih eksis, kaum Muslim perlu mengenal
sejarahnya dengan benar, sehingga tidak menjadi umat yang “minder” dan silau dengan
konsep­konsep peradaban lain, yang mungkin tampak memukau, padahal justru
bertentangan dan bahkan membawa kerusakan kepada kaum Muslim sendiri. Kini, kaum
Muslim dibanjiri dengan istilah­istilah dan paham­paham yang jika tidak hati­hati justru
dapat merusak ajaran Islam, seperti konsep Pluralisme, multikulturalisme, relativisme, dan
sebagainya.
Leopold Weiss (Muhammad Asad), dalam buku klasiknya, yang ditulis tahun 1930­
an, Islam at the Crossroads, menekankan, bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi atau
kebangkitan umat Islam adalah kecenderungan untuk peniruan pada pola hidup Barat. Kata
Asad, “The Imitation – individually and socially – of the Western mode of life by Muslims
is undoubtedly the greatest danger for the existence – or rather , the revival – of Islamic
civilization.” (Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, (Kuala Lumpur: The Other
Press), hal. 72).
Padahal, menurut Muhammad Asad, “No civilization can prosper – or even exist,
after having lost this pride and the connection with its own past…” Peradaban Islam tidak
akan eksis apalagi berkembang, jika umat Islam dihinggapi mental “minder”, tidak
memiliki rasa kebangaan terhadap diri sendiri, dan terputus dari sejarahnya sendiri.
Karena itulah, kajian­kajian sejarah dan konsep­konsep Islam secara komprehensif
perlu dilakukan dengan serius dan benar. Sekian, dan terimakasih. Semoga tulisan singkat
ini bermanfaat. (***)
(Depok, 17 Maret 2010/Disampaikan dalam acara SEMINAR SEHARI, dengan
tema: Implementasi Akhlak Rasulullah saw dalam Kehidupan Berkeluarga,
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, di Gedung Sasana Amal Bakti Kementerian
Agama RI).

Konferensi Gay Adalah Penodaan Agama

Menag : Konferensi Gay Adalah Penodaan Agama



Menteri Agama, Surya Dharma Ali, mengingatkan pelaksana konferensi gay di Surabaya untuk tidak gegabah mewujudkan hajatan itu. Pelaksana konferensi tersebut bisa dikenakan sanksi pidana lantaran kegiatan itu bisa dianggap sebagai bentuk penodaan agama dan pelecehan susila.

''Saya kira itu bisa masuk ke penodaan agama, juga masuk pelanggaran susila. Bisa dua peraturan. Saya kira bisa dipidana,’’ tegasnya Kamis, (25/3).

Menurut Ketua Umum DPP PPP ini, perilaku homoseksual, lesbi, dan biseksual bertentangan dengan ajaran berbagai agama termasuk Islam. Bahkan, posisi Islam sangat jelas tertuang dalam Quran Surat Al Araf ayat 80-81. Islam menilai perilaku tersebut sebagai perbuatan keji dan berlebihan. ‘’Jelas sekali posisi Islam terhadap gay, lesbian, sodomi termasuk biseksual. Jadi, sejenis saja tidak boleh, apalagi serakah jenis,’’ katanya.

Di sisi lain, menurut pria yang akrab disapa SDA ini, masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamis yang menjunjung nilai ajaran agama. Hal itu sehingga pelaksanaan kegiatan semacam itu dikhawatirkan bisa memancing sikap antipati masyarakat dan berujung pada konflik sosial. Itu dikarenakan pelaksanaan konferensi gay bisa dianggap sebagai kegiatana yang memberi pengakuan atas kaum gay, lesbian, dan biseksual. ‘’Mereka (masyarakat) bisa merasa sebagai pelecehan terhadap umat beragama di Indonesia dengan penyelenggaraan seperti itu,’’ jelasnya.

Karena itu, Menag meminta pelaksanaan konferensi gay di Surabaya dibatalkan. Dia menegaskan kegiatan itu bisa mengundang konflik atau kegaduhan sosial. ‘’Rencana pelaksanaan konferensi gay lesbian dan biseks se Asia di Indonesia saya berharap itu tidak dilanjutkan. Saya minta panitia pelaksana memahami kondisi masyarakat Indonesia yang agamis,’’ pintanya. (repblk/mj)

Senin, 22 Maret 2010

NASEHAT IMAM Sufyan Ats-Tsauri

IMAM Sufyan Ats-Tsauri berkata, wahai saudaraku, sesungguhnya Islam adalah darah dagingmu, tangisilah dirimu dan sayangilah ia, jika kamu tidak menyayangi maka tidak akan disayang. Hendaknya yang menjadi temanmu adalah orang yang mengajakmu berzuhud terhadap dunia dan cinta terhadap akhirat. Perbanyaklah mengingat mati, perbanyaklah memohon ampun atas dosa-dosamu yang telah lalu dan mohonlah keselamatan kepada Allah dalam menjalani sisa-sisa umurmu.

POLA PIKIR/ STRATEGI PEMBINAAN PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI PENDIDIKAN

POLA PIKIR/ STRATEGI PEMBINAAN PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dinar Kania,Msc

A. TUJUAN PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Psikologi mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, terutama dalam memecahkan prolematika-problematika kehidupan, termasuk di dalamnya masalah pendidikan. Para ahli terdahulu mendefinisikan psikologi sebagai “studi kegiatan mental” tetapi dengan berkembangnya aliran behavioristik, saat ini definisi psikologi modern telah diperluas menjadi “studi ilmiah mengenai proses prilaku dan proses mental. Namun menurut Malik Badri, Presiden International Association of Muslim Psychologists, psikologi modern dibangun diatas asumsi-asumsi yang keliru tentang manusia. Psikologi Amerika pada dasarnya adalah eksperimen terhadap binatang seperti tikus, monyet, kelinci, burung merpati dan mahasiswa yang kesimpulannya belum tentu berlaku untuk manusia atau konteks budaya di tempat lain. Perlu kehati-hatian dalam memilah mana yang sesuai dengan ajaran Islam tetapi tidak semua teori psikologi modern harus dibuang. Sebagai contoh, asumsi psikologi behavioristik bahwa manusia itu hewan belaka harus ditolak. Tetapi terapi behavioristik yang menekankan imbalan dan ganjaran boleh diterapkan.
Pendekatan psikologi dalam pendidikan berusaha menjadikan kajian tentang faktor-faktor psikologis yang berperan dalam proses pendidikan. Dalam proses pendidikan, inti persoalan psikologis terletak pada anak didik. Selain itu terdapat masalah khusus yang disorot secara psikologis, seperti pendidikan orang dewasa, kesehatan mental serta bimbingan dan konseling, materi yang dipakai, evaluasi pendidikan, dan sebagainya. Tujuan pendidikan berbasis psikologi secara umum adalah memanusiakan manusia yaitu menolong manusia menjadi manusia mandiri, berbudi dan berkarakter bangsa. Tujuan akhirnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, suatu kondisi dimana masyarakat merupakan kumpulan insan-insan cerdas yang kompetitif, mampu bersaing ditingkat regional maupun internasional melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) iman dan takwa (IMTAQ) serta profesionalisme.
B. FUNGSI DAN LANDASAN IDEOLOGIS
Dalam pendidikan berbasis psikologi, pendidikan memiliki empat fungsi. Fungsi pertama adalah fungsi transfromasi budaya. Pada hakekatnya pendidikan adalah upaya mengawetkan, mengembangkan, serta menanamkan kebudayaan. Kebudayaan menurut Vijay Santhe adalah “the set of important assumption (often unstated) that member of a community share in common.” Assumption dalam pengertian ini dijelaskan adalah beliefs dan values. Dalam teori budaya, nilai/ value pribadi akan membentuk nilai kelompok sehingga akhirnya terbentuk suatu nilai bersama dalam masyarakat. Jadi inti dari kebudayaan adalah nilai.
Tranformasi berarti pendidikan tidak semata-mata memindahkan apa yang diketahui guru kepada murid, atau transfer pengetahuan semata, Pendidikan harus mampu mentranformasikan nilai-nilai kepada peserta didik. Kebudayaan bangsa Indonesia berbeda dengan kebudayaan Barat yang kebudayaannya dibuat berdasarkan akal. Budaya Indonesia dibangun atas dasar agama, karena keimanaan kepada Tuhan YME pada hakikatnya adalah agama, sehingga nilai-nilai keagamaan yang dianut harus mewarnai pendidikan di Indonesia dan tidak justru memisahkan agama dengan pendidikan (sekuler) sebagaimana pendidikan di Barat.
Fungsi pendidikan lainnya adalah sebagai pembentuk kepribadian dan menyiapkan warga negara yang baik. Ibn Khaldun seorang ulama dan ilmuwan Islam di abad pertengahan, melihat pendidikan sebagai usaha transformatif potensialitas (attaqah al-quswa) manusia yang bertujuan mengoptimalkan pertumbuhkan dan perkembangannya. Pendidikan harus diletakan sebagai bagian integral dari peradaban (al-umran) karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan. Pendidikan juga merupakan sarana bagi manusia mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang telah disyariatkan atasnya dan menggapai ma’rifat dengan menjalankan praktek-praktek ibadah. Begitu juga menurut Plato, seorang filsuf Yunani yang hidup ribuan tahun lalu, melihat bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk membangun masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan, dengan pendidikan maka akan terbentuk masyarakat yang siap berkontribusi secara positif dalam pembangunan bangsa.

Fungsi pendidikan lainnya adalah menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas. Tenaga kerja berkualitas yang dimaksud adalah insan cerdas. Insan cerdas adalah sosok manusia berkarakter yang mampu menggunakan segenap daya pikir dan pengetahuan yang dimilikinya untuk mengatasi problematika di masyarakat. Masyarakat membutuhkan orang-orang cerdas, terpercaya, berdaya juang tinggi, serta memiliki kreativitas dalam menciptakan inovasi-inovasi bagi peningkatan kualitas kehidupan mereka secara fisik maupun ruhani.
Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2009 menempati urutan 111, dan termasuk dalam kategori medium human development , sedangkan tetangga kita, Malaysia termasuk dalam kategori high human development.. Menempati urutan nomor satu adalah Norway. HDI diukur melalui tiga dimensi pembangunan Sumber Daya Manusia, yaitu, tingkat ekspektasi hidup, pendidikan dan standar hidup yang layak. Namun tidak dipungkiri bahwa HDI hanya mengukur faktor- faktor kualitas pembangunan manusia secara fisik saja. Pembangunan manusia secara ruhani tidak termasuk dalam kriteria penilaian index HDI ini. Hal ini disebabkan karena Barat tidak menjadikan jiwa sebagai bagian dari faktor esensial/ substansial dalam diri manusia, sebagaimana jasmani dan akal. Sedangkan Islam menganggap manusia terdiri dari tiga faktor substansial, yaitu jasmani, akal dan ruhani. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negera dengan Islam sebagai agama mayoritas, HDI tidak boleh dijadikan satu-satunya indikator tingkat pembangunan manusia karena pembangunan jiwa manusia merupaka salah satu tujuan pendidikan yang harus diprioritaskan untuk menciptakan insan kamil.
Landasan ideologis dari pendidikan mencakup landasan filosofis, termasuk didalamnya adalah agama. Pendidikan Islam tentunya berdasarkan pada al-Qur’an, Hadits, dan sumber hukum lainnya. Sedangkan landasan pendidikan lainnya yaitu EFA (education for all) yaitu learning to learn, learning to do, learning to be, learning to life together. UNESCO mengeluarkan slogan tersebut dengan tujuan agar murid tahu (learning to know), kemudian murid tahu cara melaksanakannya (learning to do), setelah itu murid menerapkan apa yang diketahuinya dalam kehidupan (learning to be). Adapun learning to life together merupakan kategori yang datang kemudian.
Secara umum prinsip EFA dapat diterima sebagai landasan ideologis pendidikan di Indonesia karena ajaran Islam telah mempraktekan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut semenjak 1400 tahun yang lalu. Namun sampai saat inipun, Barat belum bisa membuktikan bahwa mereka telah menerapkan pilar-pilar pembelajaran internasional tersebut. Lihat saja kasus pengeluaran perempuan berjilbab dan bercadar dari sekolah-sekolah di negara Barat, padahal jelas-jelas hal itu bertentangan dengan prinsip education for all yang mereka kampanyekan di dunia Itu hanya segelintir contoh ketidakkonsistenan Barat dalam menerapkan ideologinya.
Pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang termaktub dalam Undang-undang Pendidikan no. 20 tahun 2003. Dasar, fungsi dan tujuan pendidikan disebutkan dalam Bab II, pasal 3, sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam tujuan tersebut terlihat jelas bahwa agama merupakan landasan indeologis pendidikan di Indonesia, dan bukan sekularisme sebagaimana yang terjadi di Barat, yaitu paham yang memisahkan antara agama dari kehidupan publik.
C. PROSES DAN DIMENSI PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI
Untuk mencapai tujuan pendidikan, proses pembinaan pendidikan memerlukan jalur dan prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif. Prinsip pendidikan diantaranya harus memperhatikan unsur kemanusiaan, partisipasi, kolaborasi, kerjasama dan inovatif. Pendidikan harus memperhatikan aspek kemanusiaan yaitu memperlakukan manusia setara, sederajat dalam memperoleh pendidikan. Pendidikan tidak boleh bersifat eklusif tetapi harus bersifat inklusif yang berarti semua orang, dari latar belakang sosial, agama apapun, bisa mengakses pendidikan tanpa terkecuali.

Jika kita melihat sejarah Islam terutama di wilayah Spayol atau Andalusia, prinsip kemanusiaan dalam ajaran Islam yang dipraktikan oleh para penguasa/ khalifah, telah mendorong masyarakat Eropa untuk melakukan gerakan renaissance. Kordoba pada abad pertengahan telah menjadi pusat belajar terbesar di Eropa ketika sebagian besar masyarakat di benua itu terjerembab pada masa kegelapan Berbondong-bondong pelajar datang dan menetap di sana. Masjid-masjid dibangun dan menjadi sekolah-sekolah untuk mempelajari agama Islam, Bahasa Arab dan ilmu pengetahuan lainnya. Tak terkecuali orang-orang Nasrani yang berada di negeri-negeri Kristen, mereka turut merasakan kemakmuran dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Hal tersebut merupakan salah satu bukti prinsip kemanusiaan dalam ajaran Islam yang telah dibuktikan oleh sejarah. Tetapi kontribusi besar pendidikan Islam telah mereka lupakan dan justru dibalas dengan penjajahan di dunia Islam dan memperbodoh umat Islam selama ratusan tahun lamanya.

Selain prinsip kemanusiaan, pembinaan pendidikan juga membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai komponen bangsa. Kerjasama diantara stakeholder pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan di suatu negara. Pendidikan bukan hanya menjadi perhatian para praktisi pendidikan saja, tetapi hampir setiap warga negara merasa berkepentingan dengan masalah pendidikan. Hal ini yang menyebabkan pembinaan pendidikan merupakan upaya lintas-sektoral sehingga kolaborasi antar departemen dan instansi terkait, sangat dibutuhkan. Selain itu, pembinaan pendidikan selalu menuntut adanya kreativitas dan inovasi baru dalam sistem, program, sarana dan prasarana pendidikan sebagai usaha proaktif dalam mengantisipasi perubahan teknologi yang demikian cepatnya.

Pendidikan rumah tangga memiliki peran yang sangat besar terhadap pembentukan karakter anak. Dalam teori pendidikan, keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak, begitu juga dalam ajaran Islam. Tetapi, saat ini teori tersebut menjadi kurang relevan karena struktur rumah tangga dalam masyarakat terutama di wilayah perkotaan telah sangat berubah. Dahulu, sebagian besar ibu tidak keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah tetapi mengurus rumah tangga dan terlibat secara intensif dalam pendidikan anak. Dengan kedua orang tua bekerja , maka intensitas peneladanan dan pembiasaan, metode paling efektif dalam pendidikan karakter, menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi agar keluarga tetap dapat memainkan perannya sebagai madrasah pertama bagi anak-anak.
Jalur pendidikan kedua adalah sekolah. Sekolah didirikan masyarakat atau negara untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga yang sudah tidak sanggup lagi memberi bekal persiapan hidup bagi anak-anaknya. Kehidupan disekolah sifatnya lebih zakelijk atau lebih lugas. Di sekolah ada peraturan-peraturan yang harus dijalankan. Menurut Ibn Sahnun seorang ulama muslim yang pertama menggulirkan teori pendidikan, peran guru dalam pendidikan sangatlah besar. Beliau tidak menafikan peran elemen pendidikan lainnya, tetapi baginya, guru merupakan elemen terpenting yang harus diprioritaskan karena guru merupakan wakil orang tua.

Negara memiliki peran sentral dalam pembinaan pendidikan. Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya, sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum sehingga menjadi bantuan bagi pendidikan keluarga. Namun komitmen pemerintah Indonesia terhadap dunia pendidikan dinilai masih rendah, ini terlihat dari minimnya anggaran pemerintah bagi pembangunan di sektor pendidikan. Sebagai perbandingan, Malaysia pernah menghabiskan 47% dari APBN untuk membangun sektor pendidikan dengan mengirim mahasiswa tingkat magister untuk bersekolah ke luar negeri, terutama London dan Mesir. Sedangkan di Indonesia, perjuangan untuk memperoleh 20% saja sampai saat ini belum sepenuhnya dapat direalisasikan oleh pemerintah (itu pun masih banyak penyimpangan dalam penyalurannya).

POLA PIKIR/ STRATEGI PEMBINAAN PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI PENDIDIKAN

POLA PIKIR/ STRATEGI PEMBINAAN PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dinar Kania,Msc

A. TUJUAN PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Psikologi mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, terutama dalam memecahkan prolematika-problematika kehidupan, termasuk di dalamnya masalah pendidikan. Para ahli terdahulu mendefinisikan psikologi sebagai “studi kegiatan mental” tetapi dengan berkembangnya aliran behavioristik, saat ini definisi psikologi modern telah diperluas menjadi “studi ilmiah mengenai proses prilaku dan proses mental. Namun menurut Malik Badri, Presiden International Association of Muslim Psychologists, psikologi modern dibangun diatas asumsi-asumsi yang keliru tentang manusia. Psikologi Amerika pada dasarnya adalah eksperimen terhadap binatang seperti tikus, monyet, kelinci, burung merpati dan mahasiswa yang kesimpulannya belum tentu berlaku untuk manusia atau konteks budaya di tempat lain. Perlu kehati-hatian dalam memilah mana yang sesuai dengan ajaran Islam tetapi tidak semua teori psikologi modern harus dibuang. Sebagai contoh, asumsi psikologi behavioristik bahwa manusia itu hewan belaka harus ditolak. Tetapi terapi behavioristik yang menekankan imbalan dan ganjaran boleh diterapkan.
Pendekatan psikologi dalam pendidikan berusaha menjadikan kajian tentang faktor-faktor psikologis yang berperan dalam proses pendidikan. Dalam proses pendidikan, inti persoalan psikologis terletak pada anak didik. Selain itu terdapat masalah khusus yang disorot secara psikologis, seperti pendidikan orang dewasa, kesehatan mental serta bimbingan dan konseling, materi yang dipakai, evaluasi pendidikan, dan sebagainya. Tujuan pendidikan berbasis psikologi secara umum adalah memanusiakan manusia yaitu menolong manusia menjadi manusia mandiri, berbudi dan berkarakter bangsa. Tujuan akhirnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, suatu kondisi dimana masyarakat merupakan kumpulan insan-insan cerdas yang kompetitif, mampu bersaing ditingkat regional maupun internasional melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) iman dan takwa (IMTAQ) serta profesionalisme.
B. FUNGSI DAN LANDASAN IDEOLOGIS
Dalam pendidikan berbasis psikologi, pendidikan memiliki empat fungsi. Fungsi pertama adalah fungsi transfromasi budaya. Pada hakekatnya pendidikan adalah upaya mengawetkan, mengembangkan, serta menanamkan kebudayaan. Kebudayaan menurut Vijay Santhe adalah “the set of important assumption (often unstated) that member of a community share in common.” Assumption dalam pengertian ini dijelaskan adalah beliefs dan values. Dalam teori budaya, nilai/ value pribadi akan membentuk nilai kelompok sehingga akhirnya terbentuk suatu nilai bersama dalam masyarakat. Jadi inti dari kebudayaan adalah nilai.
Tranformasi berarti pendidikan tidak semata-mata memindahkan apa yang diketahui guru kepada murid, atau transfer pengetahuan semata, Pendidikan harus mampu mentranformasikan nilai-nilai kepada peserta didik. Kebudayaan bangsa Indonesia berbeda dengan kebudayaan Barat yang kebudayaannya dibuat berdasarkan akal. Budaya Indonesia dibangun atas dasar agama, karena keimanaan kepada Tuhan YME pada hakikatnya adalah agama, sehingga nilai-nilai keagamaan yang dianut harus mewarnai pendidikan di Indonesia dan tidak justru memisahkan agama dengan pendidikan (sekuler) sebagaimana pendidikan di Barat.
Fungsi pendidikan lainnya adalah sebagai pembentuk kepribadian dan menyiapkan warga negara yang baik. Ibn Khaldun seorang ulama dan ilmuwan Islam di abad pertengahan, melihat pendidikan sebagai usaha transformatif potensialitas (attaqah al-quswa) manusia yang bertujuan mengoptimalkan pertumbuhkan dan perkembangannya. Pendidikan harus diletakan sebagai bagian integral dari peradaban (al-umran) karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan. Pendidikan juga merupakan sarana bagi manusia mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang telah disyariatkan atasnya dan menggapai ma’rifat dengan menjalankan praktek-praktek ibadah. Begitu juga menurut Plato, seorang filsuf Yunani yang hidup ribuan tahun lalu, melihat bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk membangun masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan, dengan pendidikan maka akan terbentuk masyarakat yang siap berkontribusi secara positif dalam pembangunan bangsa.

Fungsi pendidikan lainnya adalah menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas. Tenaga kerja berkualitas yang dimaksud adalah insan cerdas. Insan cerdas adalah sosok manusia berkarakter yang mampu menggunakan segenap daya pikir dan pengetahuan yang dimilikinya untuk mengatasi problematika di masyarakat. Masyarakat membutuhkan orang-orang cerdas, terpercaya, berdaya juang tinggi, serta memiliki kreativitas dalam menciptakan inovasi-inovasi bagi peningkatan kualitas kehidupan mereka secara fisik maupun ruhani.
Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2009 menempati urutan 111, dan termasuk dalam kategori medium human development , sedangkan tetangga kita, Malaysia termasuk dalam kategori high human development.. Menempati urutan nomor satu adalah Norway. HDI diukur melalui tiga dimensi pembangunan Sumber Daya Manusia, yaitu, tingkat ekspektasi hidup, pendidikan dan standar hidup yang layak. Namun tidak dipungkiri bahwa HDI hanya mengukur faktor- faktor kualitas pembangunan manusia secara fisik saja. Pembangunan manusia secara ruhani tidak termasuk dalam kriteria penilaian index HDI ini. Hal ini disebabkan karena Barat tidak menjadikan jiwa sebagai bagian dari faktor esensial/ substansial dalam diri manusia, sebagaimana jasmani dan akal. Sedangkan Islam menganggap manusia terdiri dari tiga faktor substansial, yaitu jasmani, akal dan ruhani. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negera dengan Islam sebagai agama mayoritas, HDI tidak boleh dijadikan satu-satunya indikator tingkat pembangunan manusia karena pembangunan jiwa manusia merupaka salah satu tujuan pendidikan yang harus diprioritaskan untuk menciptakan insan kamil.
Landasan ideologis dari pendidikan mencakup landasan filosofis, termasuk didalamnya adalah agama. Pendidikan Islam tentunya berdasarkan pada al-Qur’an, Hadits, dan sumber hukum lainnya. Sedangkan landasan pendidikan lainnya yaitu EFA (education for all) yaitu learning to learn, learning to do, learning to be, learning to life together. UNESCO mengeluarkan slogan tersebut dengan tujuan agar murid tahu (learning to know), kemudian murid tahu cara melaksanakannya (learning to do), setelah itu murid menerapkan apa yang diketahuinya dalam kehidupan (learning to be). Adapun learning to life together merupakan kategori yang datang kemudian.
Secara umum prinsip EFA dapat diterima sebagai landasan ideologis pendidikan di Indonesia karena ajaran Islam telah mempraktekan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut semenjak 1400 tahun yang lalu. Namun sampai saat inipun, Barat belum bisa membuktikan bahwa mereka telah menerapkan pilar-pilar pembelajaran internasional tersebut. Lihat saja kasus pengeluaran perempuan berjilbab dan bercadar dari sekolah-sekolah di negara Barat, padahal jelas-jelas hal itu bertentangan dengan prinsip education for all yang mereka kampanyekan di dunia Itu hanya segelintir contoh ketidakkonsistenan Barat dalam menerapkan ideologinya.
Pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang termaktub dalam Undang-undang Pendidikan no. 20 tahun 2003. Dasar, fungsi dan tujuan pendidikan disebutkan dalam Bab II, pasal 3, sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam tujuan tersebut terlihat jelas bahwa agama merupakan landasan indeologis pendidikan di Indonesia, dan bukan sekularisme sebagaimana yang terjadi di Barat, yaitu paham yang memisahkan antara agama dari kehidupan publik.
C. PROSES DAN DIMENSI PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI
Untuk mencapai tujuan pendidikan, proses pembinaan pendidikan memerlukan jalur dan prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif. Prinsip pendidikan diantaranya harus memperhatikan unsur kemanusiaan, partisipasi, kolaborasi, kerjasama dan inovatif. Pendidikan harus memperhatikan aspek kemanusiaan yaitu memperlakukan manusia setara, sederajat dalam memperoleh pendidikan. Pendidikan tidak boleh bersifat eklusif tetapi harus bersifat inklusif yang berarti semua orang, dari latar belakang sosial, agama apapun, bisa mengakses pendidikan tanpa terkecuali.

Jika kita melihat sejarah Islam terutama di wilayah Spayol atau Andalusia, prinsip kemanusiaan dalam ajaran Islam yang dipraktikan oleh para penguasa/ khalifah, telah mendorong masyarakat Eropa untuk melakukan gerakan renaissance. Kordoba pada abad pertengahan telah menjadi pusat belajar terbesar di Eropa ketika sebagian besar masyarakat di benua itu terjerembab pada masa kegelapan Berbondong-bondong pelajar datang dan menetap di sana. Masjid-masjid dibangun dan menjadi sekolah-sekolah untuk mempelajari agama Islam, Bahasa Arab dan ilmu pengetahuan lainnya. Tak terkecuali orang-orang Nasrani yang berada di negeri-negeri Kristen, mereka turut merasakan kemakmuran dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Hal tersebut merupakan salah satu bukti prinsip kemanusiaan dalam ajaran Islam yang telah dibuktikan oleh sejarah. Tetapi kontribusi besar pendidikan Islam telah mereka lupakan dan justru dibalas dengan penjajahan di dunia Islam dan memperbodoh umat Islam selama ratusan tahun lamanya.

Selain prinsip kemanusiaan, pembinaan pendidikan juga membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai komponen bangsa. Kerjasama diantara stakeholder pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan di suatu negara. Pendidikan bukan hanya menjadi perhatian para praktisi pendidikan saja, tetapi hampir setiap warga negara merasa berkepentingan dengan masalah pendidikan. Hal ini yang menyebabkan pembinaan pendidikan merupakan upaya lintas-sektoral sehingga kolaborasi antar departemen dan instansi terkait, sangat dibutuhkan. Selain itu, pembinaan pendidikan selalu menuntut adanya kreativitas dan inovasi baru dalam sistem, program, sarana dan prasarana pendidikan sebagai usaha proaktif dalam mengantisipasi perubahan teknologi yang demikian cepatnya.

Pendidikan rumah tangga memiliki peran yang sangat besar terhadap pembentukan karakter anak. Dalam teori pendidikan, keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak, begitu juga dalam ajaran Islam. Tetapi, saat ini teori tersebut menjadi kurang relevan karena struktur rumah tangga dalam masyarakat terutama di wilayah perkotaan telah sangat berubah. Dahulu, sebagian besar ibu tidak keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah tetapi mengurus rumah tangga dan terlibat secara intensif dalam pendidikan anak. Dengan kedua orang tua bekerja , maka intensitas peneladanan dan pembiasaan, metode paling efektif dalam pendidikan karakter, menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi agar keluarga tetap dapat memainkan perannya sebagai madrasah pertama bagi anak-anak.
Jalur pendidikan kedua adalah sekolah. Sekolah didirikan masyarakat atau negara untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga yang sudah tidak sanggup lagi memberi bekal persiapan hidup bagi anak-anaknya. Kehidupan disekolah sifatnya lebih zakelijk atau lebih lugas. Di sekolah ada peraturan-peraturan yang harus dijalankan. Menurut Ibn Sahnun seorang ulama muslim yang pertama menggulirkan teori pendidikan, peran guru dalam pendidikan sangatlah besar. Beliau tidak menafikan peran elemen pendidikan lainnya, tetapi baginya, guru merupakan elemen terpenting yang harus diprioritaskan karena guru merupakan wakil orang tua.

Negara memiliki peran sentral dalam pembinaan pendidikan. Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya, sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum sehingga menjadi bantuan bagi pendidikan keluarga. Namun komitmen pemerintah Indonesia terhadap dunia pendidikan dinilai masih rendah, ini terlihat dari minimnya anggaran pemerintah bagi pembangunan di sektor pendidikan. Sebagai perbandingan, Malaysia pernah menghabiskan 47% dari APBN untuk membangun sektor pendidikan dengan mengirim mahasiswa tingkat magister untuk bersekolah ke luar negeri, terutama London dan Mesir. Sedangkan di Indonesia, perjuangan untuk memperoleh 20% saja sampai saat ini belum sepenuhnya dapat direalisasikan oleh pemerintah (itu pun masih banyak penyimpangan dalam penyalurannya).

Sabtu, 20 Maret 2010

TERJEMAHAN PIDATO OBAMA DI MESIR

TERJEMAHAN PIDATO OBAMA DI MESIR


PRESIDEN OBAMA: Terima kasih. Selamat siang. Saya merasa terhormat untuk berada di kota Kairo yang tak lekang oleh waktu, dan dijamu oleh dua institusi yang luar biasa. Selama lebih seribu tahun, Al Azhar telah menjadi ujung tombak pembelajaran Islam, dan selama lebih seabad, Universitas Kairo telah menjadi sumber kemajuan Mesir. Bersama, anda mewakili keselarasan antara tradisi dan kemajuan. Saya berterima kasih atas keramahan anda, dan keramahan rakyat Mesir. Dan saya juga bangga untuk membawa bersama saya niat baik rakyat Amerika, dan salam perdamaian dari warga muslim di negara saya: “assalamu’alaikum” .

Kita bertemu pada saat ada ketegangan besar antara Amerika Serikat dan warga Muslim seluruh dunia – ketegangan yang berakar pada kekuatan-kekuatan sejarah yang melampaui setiap perdebatan kebijakan yang kini berlangsung. Hubungan antara Islam dan Barat selama ini mencakup berabad-abad koeksistensi dan kerja sama, tapi juga konflik dan perang-perang bernuansa agama. Akhir-akhir ini, ketegangan muncul akibat kolonialisme yang menyangkal hak dan peluang bagi banyak warga Muslim, serta sebuah Perang Dingin yang membuat banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim diperlakukan sebagai boneka tanpa mengacuhkan aspirasi mereka sendiri. Lebih jauh lagi, perubahan besar yang dibawa modernitas dan globalisasi membuat banyak Muslim menilai Barat bersikap memusuhi tradisi Islam.

Kalangan ekstrimis yang keras telah mengeksploitasi ketegangan-ketegang an yang ada dalam segmen kecil namun merupakan minoritas kuat di kalangan Muslim ini. Serangan pada tanggal 11 September 2001 dan upaya berkelanjutan dari kalangan ekstrimis ini untuk menyerang warga sipil telah membuat sebagian kalangan di negara saya untuk menilai Islam tidak saja memusuhi Amerika dan negara-negara Barat, tapi juga hak asasi manusia. Semua ini telah memupuk rasa takut dan lebih banyak rasa tidak percaya.

Selama hubungan kita ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kita, kita akan memperkuat mereka yang menyebarkan kebencian bukan perdamaian, mereka yang mempromosikan konflik bukan kerja sama yang dapat membantu semua rakyat kita mencapai keadilan dan kemakmuran. Lingkaran kecurigaan dan permusuhan ini harus kita akhiri.

Saya datang ke Kairo untuk mencari sebuah awal baru antara Amerika Serikat dan Muslim diseluruh dunia, berdasarkan kepentingan bersama dan rasa saling menghormati – dan didasarkan kenyataan bahwa Amerika dan Islam tidaklah eksklusif satu sama lain, dan tidak perlu bersaing. Justru keduanya bertemu dan berbagi prinsip-prinsip yang sama – yaitu prinsip-prinsip keadilan dan kemajuan; toleransi dan martabat semua umat manusia.

Saya mengakui bahwa perubahan tidak dapat terjadi dalam semalam. Saya tahu sudah banyak pemberitaan mengenai pidato ini, tetapi tidak ada satu pidato tunggal yang mampu menghapus ketidakpercayaan yang terpupuk selama bertahun-tahun, dan saya pun tidak mampu dalam waktu yang saya miliki siang ini menjawab semua pertanyaan rumit yang membawa kita ke titik ini. Tapi saya percaya bahwa supaya kita bisa melangkah maju, kita harus secara terbuka mengatakan kepada satu sama lain hal-hal yang ada dalam hati kita, dan yang seringkali hanya diungkapkan di belakang pintu tertutup. Harus ada upaya yang terus menerus dilakukan untuk mendengarkan satu sama lain; untuk belajar dari satu sama lain; untuk saling menghormati, dan untuk mencari persamaan. Sebagaimana kitab suci Al Qur’an mengatakan, “Ingatlah kepada Allah dan bicaralah selalu tentang kebenaran.” (Tepuk tangan.) Ini yang saya akan coba lakukan hari ini – untuk berbicara tentang kebenaran sebaik kemampuan saya, dengan direndahkan hati oleh tugas di depan kita, dan dengan keyakinan bahwa kepentingan yang sama-sama kita miliki sebagai umat manusia jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan yang memisahkan kita.

Nah, sebagian dari keyakinan ini berakar dari pengalaman saya pribadi. Saya penganut Kristiani, tapi ayah saya berasal dari keluarga asal Kenya yang mencakup sejumlah generasi penganut Muslim. Sewaktu kecil, saya tinggal beberapa tahun di Indonesia dan mendengar lantunan adzan di waktu subuh dan maghrib. Ketika pemuda, saya bekerja di komunitas-komunitas kota Chicago yang banyak anggotanya menemukan martabat dan kedamaian dalam keimanan Islam mereka.

Sebagai pelajar sejarah, saya juga mengetahui peradaban berhutang besar terhadap Islam. Adalah Islam – di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar – yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad, dan membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa. Adalah inovasi dalam masyarakat Muslim – (tepuk tangan) -- yang mengembangkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya. Budaya Islam telah memberikan kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi yang anggun dan tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai. Dan sepanjang sejarah, Islam telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa toleransi beragama dan persamaan ras adalah hal-hal yang mungkin. – (tepuk tangan)

Saya juga tahu bahwa Islam selalu menjadi bagian dari riwayat Amerika. Negara pertama yang mengakui negara saya adalah Maroko. Saat menandatangani Perjanjian Tripoli pada tahun 1796, presiden kedua kami John Adams menulis, “Amerika Serikat tidaklah memiliki karakter bermusuhan dengan hukum, agama, maupun ketentraman umat Muslim.” Dan sejak berdirinya negara kami, umat Muslim Amerika telah memperkaya Amerika Serikat. Mereka telah berjuang dalam perang-perang kami, bekerja dalam pemerintahan, memperjuangkan hak-hak sipil, mengajar di perguruan-perguruan tinggi kami, unggul dalam arena-arena olah raga kami, memenangkan Hadiah Nobel, membangun gedung-gedung kami yang tertinggi, dan menyalakan obor Olimpiade. Dan ketika warga Muslim-Amerika pertama terpilih sebagai anggota Kongres belum lama ini, ia mengambil sumpah untuk membela Konstitusi kami dengan menggunakan Al Quran yang disimpan oleh salah satu Bapak Pendiri kami – Thomas Jefferson – di perpustakaan pribadinya. (tepuk tangan)

Jadi saya telah mengenal Islam di tiga benua sebelum datang ke kawasan tempat agama ini pertama kali diturunkan. Pengalaman tersebut memandu keyakinan saya bahwa kemitraan antara Amerika dan Islam harus didasarkan pada apakah Islam itu, bukan pada apakah yang bukan Islam. Dan saya menganggap ini adalah bagian dari tanggung jawab saya sebagai Presiden Amerika Serikat untuk memerangi stereotip negatif tentang Islam di mana pun munculnya. (tepuk tangan)

Tapi prinsip yang sama harus diterapkan pada persepsi tentang Amerika. (tepuk tangan) Seperti halnya umat Muslim tidak sesuai dengan stereotip yang mentah, Amerika juga bukan stereotip mentah tentang sebuah kerajaan yang hanya punya kepentingan sendiri. Amerika Serikat telah menjadi salah satu sumber kemajuan terbesar yang dikenali dunia. Kami lahir akibat revolusi melawan sebuah kerajaan. Kami didirikan berdasarkan sebuah ide bahwa semua orang diciptakan sama, dan kami telah menumpahkan darah dan berjuang selama berabad-abad untuk memberikan arti kepada kata-kata tersebut – di dalam batas negara kami, dan di sekeliling dunia. Kami terbentuk oleh setiap budaya, yang datang dari setiap sudut bumi, dan berdedikasi pada sebuah konsep sederhana: E pluribus unum: “Dari banyak menjadi satu”.

Banyak yang telah dikatakan mengenai fakta bahwa seorang Amerika keturunan Afrika dengan nama Barack Hussein Obama dapat terpilih sebagai presiden. (tepuk tangan) Tapi kisah pribadi saya bukanlah sesuatu yang unik. Mimpi akan kesempatan bagi semua belumlah terwujud bagi setiap orang di Amerika, tapi janji itu diberikan bagi semua yang datang ke pantai kami – termasuk hampir tujuh juta warga Muslim Amerika di negara kami saat ini yang memiliki pendapatan dan pendidikan lebih tinggi dari rata-rata. (tepuk tangan)

Lebih jauh lagi, kebebasan di Amerika tidaklah terpisahkan dari kebebasan memraktikkan agama. Itu sebabnya ada masjid di setiap negara bagian di negeri kami, dan ada lebih dari 1200 masjid di dalam batas negara kami. Itu sebabnya pemerintah Amerika telah maju ke pengadilan untuk membela hak wanita dan anak perempuan mengenakan hijab, dan untuk menghukum mereka yang mengingkarinya. (tepuk tangan)

Jadi janganlah ada keraguan: Islam adalah bagian dari Amerika. Dan saya percaya bahwa Amerika memegang kebenaran dalam dirinya bahwa terlepas dari ras, agama, dan posisi dalam hidup, kita semua memiliki aspirasi yang sama – untuk hidup dalam damai dan keamanan; untuk memperoleh pendidikan dan untuk bekerja dengan martabat; untuk mengasihi keluarga kita, masyarakat kita, dan Tuhan kita. Ini adalah hal-hal yang sama-sama kita yakini. Ini adalah harapan dari semua kemanusiaan.

Tentu saja, mengenali persamaan kemanusiaan kita hanyalah awal dari tugas kita. Justru ini adalah sebuah awal. Kata-kata saja tidak dapat memenuhi kebutuhan rakyat kita. Kebutuhan-kebutuhan itu baru terpenuhi jika kita bertindak berani di tahun-tahun mendatang; Dan kita harus bertindak dengan pemahaman bahwa tantangan-tantangan yang kita hadapi adalah tantangan bersama, dan kegagalan kita mengatasinya akan merugikan kita semua.

Karena kita telah belajar dari pengalaman baru-baru ini bahwa ketika sistem keuangan melemah di satu negara, kemakmuran di mana pun ikut dirugikan. Ketika jenis flu baru menulari satu orang, semua terkena risiko. Ketika satu negara membangun senjata nuklir, risiko serangan nuklir bagi semua negara ikut naik. Ketika kelompok ekstrim keras beroperasi di satu rangkaian pegunungan, rakyat di seberang samudera pun ikut menghadapi bahaya. Dan ketika mereka yang tak bersalah di Bosnia dan Darfur dibantai, itu menjadi noda dalam nurani kita bersama. (tepuk tangan) Itulah artinya berbagi dunia di abad ke-21. Inilah tanggung jawab kita kepada satu sama lain sebagai umat manusia.

Dan ini adalah tanggung jawab yang sulit diemban. Karena sejarah manusia telah merekam berbagai bangsa dan suku yang mencoba menaklukkan satu sama lain demi kepentingan sendiri. Tapi di era baru ini, sikap seperti itu justru akan mengalahkan diri sendiri. Karena saling ketergantungan kita, setiap tatanan dunia yang mengangkat satu bangsa atau sekelompok orang lebih tinggi dari yang lain pada akhirnya akan gagal. Jadi apa pun pikiran kita mengenai masa lalu, kita tidak boleh terperangkap olehnya. Masalah-masalah kita harus ditangani dengan kemitraan; kemajuan harus dibagi bersama. (tepuk tangan)

Nah, itu tidak berarti kita tidak mengindahkan sumber-sumber ketegangan. Justru yang disarankan adalah sebaliknya: kita harus menghadapi ketegangan-ketegang an ini secara langsung. Dan dalam semangat ini, saya akan berbicara sejelas dan segamblang mungkin mengenai isu-isu spesifik yang saya percaya akhirnya harus kita hadapi bersama.

Isu pertama yang harus kita hadapi adalah ekstrimisme keras dalam semua wujudnya.

Di Ankara, saya telah menjelaskan bahwa Amerika tidak sedang – dan tidak akan pernah – berperang dengan Islam. (tepuk tangan) Kami akan, meski demikian, tak lelah-lelahnya melawan kelompok ekstrim keras yang mengancam serius keamanan kami. Karena kami menolak apa yang juga ditolak oleh semua orang beragama: yaitu pembunuhan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tidak bersalah. Dan adalah tugas saya yang pertama sebagai Presiden untuk melindungi rakyat Amerika.

Situasi di Afghanistan mendemonstrasikan sasaran-sasaran Amerika dan kebutuhan kita untuk bekerja sama. Lebih tujuh tahun lalu, Amerika Serikat mengejar Al Qaida dan Taliban dengan dukungan internasional yang luas. Kami tidak melakukannya karena ada pilihan, kami melakukannya karena perlu. Saya sadar bahwa sejumlah orang mempertanyakan atau membenarkan peristiwa serangan 11 September. Tapi mari kita perjelas: Al Qaida membunuh hampir 3000 orang pada hari itu. Para korban adalah kaum pria, wanita, dan anak-anak yang tidak bersalah dari Amerika dan banyak negara lain yang tidak berbuat apa-apa untuk melukai orang lain. Tapi Al Qaida memilih untuk dengan kejam membunuh mereka, mengklaim pujian atas serangan tersebut, dan bahkan sekarang menyatakan tekad mereka untuk membunuh lagi dalam skala sangat besar. Mereka memiliki kaki tangan di banyak negara dan sedang mencoba untuk memperluas jangkauan mereka. Ini bukan opini yang dapat diperdebatkan; ini adalah fakta yang harus dihadapi.

Janganlah salah paham: kami tidak menginginkan tentara kami di Afghanistan. Kami tidak berencana mendirikan basis militer di sana. Sangat menyakitkan bagi Amerika untuk kehilangan nyawa banyak warga pria dan wanita kami. Adalah mahal dan sulit secara politik untuk melanjutkan konflik ini. Kami dengan senang hati akan memulangkan setiap tentara kami jika kami bisa yakin bahwa tidak ada kaum ekstrimis keras di Afghanistan dan Pakistan yang bertekad membunuh sebanyak mungkin orang Amerika sebisa mereka. Tetapi hal itu tidak bukanlah kenyataan yang ada sekarang.

Itulah sebabnya kami bermitra dengan koalisi 46 negara. Dan meksi biayanya besar, niat Amerika tidak akan melemah. Tak satu pun dari kita yang seharusnya mentoleransi kaum ekstrimis seperti ini. Mereka telah membunuh di banyak negara. Mereka telah membunuh orang dari beragam agama – lebih dari yang lain, mereka telah membunuh umat Muslim. Tindakan-tindakan mereka sangat bertentangan dengan hak umat manusia, kemajuan bangsa-bangsa, dan dengan Islam. Kitab suci Al Quran mengajarkan bahwa siapa yang membunuh orang tak bersalah, maka ia seperti telah membunuh semua umat manusia; dan siapa yang menyelamatkan satu orang; maka ia telah menyelamatkan semua umat manusia. (tepuk tangan) Iman indah yang diyakini oleh lebih semiliar orang sungguh lebih besar daripada kebencian sempit sekelompok orang. Islam bukanlah bagian dari masalah dalam memerangi ekstrimisme keras – Islam haruslah menjadi bagian penting dari penggalakkan perdamaian.

Kami juga tahu bahwa kekuatan militer saja tidak akan memecahkan masalah di Afghanistan dan Pakistan. Itu sebabnya kami berencana untuk menanam investasi sebesar 1,5 miliar dolar setiap tahun selama lima tahun ke depan untuk bermitra dengan warga Pakistan membangun sekolah, rumah sakit, jalan-jalan, dan usaha, dan ratusan juta untuk membantu mereka yang telah kehilangan tempat tinggal. Dan itu sebabnya kami menyediakan lebih dari 2.8 miliar dolar untuk membantu rakyat Afghanistan membangun ekonomi mereka dan menyediakan jasa-jasa yang dibutuhkan masyarakat.

Kini saya akan berbicara tentang masalah Irak. Tidak seperti Afghanistan, Irak adalah perang karena pilihan yang telah menimbulkan perbedaan-perbedaan kuat di negara saya dan di dunia. Meski saya percaya bahwa rakyat Irak pada akhirnya lebih baik tanpa tirani Saddam Hussein, saya juga percaya bahwa peristiwa-peristiwa di Irak telah mengingatkan Amerika tentang perlunya menggunakan diplomasi dan membangun konsensus untuk mengatasi masalah-masalah kita kapan pun memungkinkan. (tepuk tangan) Kita bahkan dapat mengingat kata-kata salah satu presiden terbesar kami, Thomas Jefferson, yang mengatakan: “Saya berharap kebijakan kita akan bertambah sejalan dengan kekuatan kita, dan mengajarkan kita bahwa semakin sedikit kita menggunakan kekuatan, justru semakin besar kekuatan itu.”

Hari ini Amerika memiliki dua tanggung jawab: yaitu untuk membantu Irak membangun masa depan yang lebih baik, dan untuk menyerahkan Irak ke tangan rakyat Irak. (tepuk tangan) Saya telah menjelaskan kepada warga Irak bahwa kami tidak berencana mendirikan basis di sana, dan tidak mengklaim baik teritori maupun sumber daya mereka. Kedaulatan Irak ada di tangan mereka sendiri. Itu sebabnya saya memerintahkan pencabutan brigade-brigade tempur kami sampai bulan Agustus mendatang. Itu sebabnya kami akan menghormati kesepakatan kami dengan pemerintah Irak yang terpilih secara demokratis untuk menarik pasukan tempur dari kota-kota Irak pada Juli mendatang, dan untuk memulangkan semua tentara kami dari Irak pada tahun 2012. Kami akan membantu Irak melatih Tentara Keamanan dan membangun ekonominya. Tapi kami akan mendukung Irak yang aman dan bersatu sebagai mitra, dan tidak pernah sebagai pelindung.

Dan akhirnya, seperti halnya Amerika tidak pernah bisa mentoleransi kekerasan oleh kaum ekstrimis, kami tidak pernah boleh mengompromikan prinsip-prinsip kami. Serangan 11 September adalah trauma besar bagi negara kami. Rasa takut dan marah yang muncul karenanya bisa dipahami, tapi dalam sejumlah kasus, itu telah membuat kami bertindak berlawanan dengan pemikiran-pemikiran kami. Kami sedang mengambil langkah-langkah konkret untuk mengubah arah. Saya telah sepenuhnya melarang praktik penyiksaan oleh Amerika Serikat, dan saya telah memerintahkan penutupan penjara di Teluk Guantanamo awal tahun depan.

Jadi Amerika akan membela diri, dengan menghormati kedaulatan bangsa-bangsa dan aturan hukum. Dan kami akan melakukannya dalam kemitraan dengan masyarakat-masyarak at Muslim yang juga terancam. Semakin cepat kaum ekstrimis diisolasi dan diusir dari dalam masyarakat-masyarak at Muslim, semakin cepat kita semua akan menjadi selamat.

Sumber ketegangan besar yang kedua yang perlu kita diskusikan adalah situasi antara warga Israel, Palestina, dan dunia Arab.

Ikatan yang kuat antara Amerika dan Israel telah banyak diketahui. Ikatan ini tidak dapat dipatahkan. Ini lahir berdasarkan ikatan budaya dan sejarah, serta pengakuan bahwa aspirasi atas sebuah tanah air Yahudi berakar dari sebuah sejarah tragis yang tidak bisa diingkari.

Di seantero dunia, kaum Yahudi telah ditindas selama berabad-abad, dan anti-Semitisme di Eropa memuncak dalam peristiwa Holocaust yang tidak pernah ada sebelumnya. Besok saya akan mengunjungi Buchenwald yang menjadi bagian dari jaringan kamp-kamp tempat kaum Yahudi diperbudak, disiksa, ditembak, dan digas hingga tewas oleh Third Reich. Enam juta orang Yahudi terbunuh – lebih banyak dari seluruh populasi Yahudi di Israel hari ini. Mengingkari fakta tersebut adalah tidak berdasar, bodoh, dan penuh kebencian. Mengancam Israel dengan penghancuran – atau mengulangi stereotip keji tentang umat Yahudi – sungguh sangat salah dan hanya akan membangkitkan kembali ingatan yang terperih di benak umat Yahudi sembari mencegah perdamaian yang patut dimiliki rakyat di kawasan ini.

Di sisi lain, tidak bisa diingkari bahwa rakyat Palestina – baik yang Muslim maupun yang Kristen – telah menderita dalam perjuangan memperoleh tanah air. Lebih dari enam puluh tahun, mereka telah merasakan sakitnya tidak memiliki tempat tinggal. Banyak yang menunggu di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, Gaza, dan tanah-tanah tetangga untuk sebuah kehidupan yang damai dan aman yang belum pernah mereka jalani. Mereka menerima hinaan setiap hari – besar dan kecil – yang hadir bersama pendudukan. Jadi janganlah ada keraguan: situasi yang dihadapi rakyat Palestina tidaklah dapat ditoleransi. Amerika tidak akan bersikap tidak acuh terhadap aspirasi sah Palestina atas martabat, kesempatan, dan sebuah negara milik mereka sendiri. (tepuk tangan)

Selama beberapa dekade, yang ada hanyalah jalan buntu: Dua rakyat dengan aspirasi yang sah, masing-masing memiliki sejarah menyakitkan yang membuat kompromi sulit dilakukan. Adalah mudah untuk menuding – rakyat Palestina menuding hilangnya tempat tinggal akibat berdirinya negara Israel, dan rakyat Israel menuding permusuhan yang terus menerus dan serangan dari dalam batas negaranya sendiri dan dari luar sepanjang sejarah negara tersebut. Tapi jika kita melihat konflik ini hanya dari satu sisi mana pun, maka kita akan dibutakan dari kebenaran: satu-satunya resolusi adalah aspirasi kedua pihak diwujudkan melalui dua negara, di mana rakyat Israel dan Palestina masing-masing hidup dalam damai dan keamanan. (tepuk tangan)

Ini adalah kepentingan Israel, kepentingan Palestina, dan kepentingan Amerika. Itu sebabnya saya berniat untuk secara pribadi mengejar hasil ini, dengan segala kesabaran yang dituntut oleh tugas ini. (tepuk tangan) Kewajiban-kewajiban yang telah disepakati pihak-pihak menurut Peta Jalan telah jelas. Supaya perdamaian terwujud, waktunya bagi mereka – dan bagi kita semua – untuk melakukan tanggung jawab kita.

Warga Palestina harus meninggalkan kekerasan. Perlawanan lewat kekerasan dan pembunuhan adalah salah dan tidak akan berhasil. Selama berabad-abad, rakyat kulit hitam di Amerika menderita hentakan pecut sebagai budak dan penghinaan akibat pemisahan berdasarkan warna kulit. Tetapi bukan kekerasan yang memenangkan hak-hak persamaan sepenuhnya. Sebuah tuntutan damai namun penuh tekad bagi realisasi kondisi ideal yang merupakan inti dari pendirian Amerika. Kisah sama ini juga diceritakan oleh rakyat mulai dari Afrika Selatan sampai Asia Selatan; dari Eropa Timur sampai Indonesia. Sebuah kisah yang mengandung kebenaran yang sederhana: bahwa kekerasan merupakan sebuah jalan buntu. Bukanlah sebuah tanda keberanian atau kekuasaan kalau menembak roket ke anak-anak yang sedang tidur, atau meledakkan perempuan tua di dalam bis. Itu bukanlah cara untuk mengklaim moralitas; namun itu merupakan cara untuk menghilangkannya.

Kini waktunya untuk warga Palestina memusatkan perhatian kepada apa yang bisa mereka bangun. Penguasa Palestina harus mengembangkan kemampuan untuk memerintah, dengan institusi yang melayani kebutuhan rakyatnya. Hamas memiliki dukungan di sebagian kalangan rakyat Palestina, tetapi mereka juga punya tanggung jawab. Guna memainkan peran yang memenuhi aspirasi rakyat Palestina, dan untuk mempersatukan rakyat Palestina, Hamas harus mengakhiri kekerasan, menghormati persetujuan di masa lalu dan mengakui hak eksistensi Israel.

Secara bersamaan, rakyat Israel harus mengakui bahwa sebagaimana hak Israel untuk eksis tidak bisa dibantah, demikian pula halnya dengan hak Palestina. Amerika Serikat tidak menerima keabsahan dari mereka yang berniat melenyapkan Israel ke dalam laut, tetapi kami juga tidak menerima keabsahan dari penerusan pembangunan pemukiman (tepuk tangan) Yahudi. Pekerjaan konstruksi ini melanggar persetujuan sebelumnya dan melemahkan usaha mencapai perdamaian. Sudah tiba waktunya pembangunan pemukiman ini dihentikan. (tepuk tangan)

Israel harus memenuhi kewajibannya untuk memastikan rakyat Palestina bisa hidup dan bekerja serta membangun masyarakat mereka. Selain menghancurkan banyak keluarga Palestina, terus berlangsungnya krisis kemanusiaan di Gaza juga tidak memperkuat keamanan Israel; begitu pula halnya dengan terus berlangsungnya kelangkaan peluang di Tepi Barat. Kemajuan dalam kehidupan sehari-hari rakyat Palestina harus menjadi bagian dari peta jalan menuju perdamaian, dan Israel harus mengambil langkah-langkah konkrit untuk memberdayakan kemajuan semacam itu.

Akhirnya, Negara-Negara Arab harus menyadari bahwa Inisiatif Perdamaian Arab merupakan awal yang penting, tetapi bukan akhir dari tanggung jawab mereka. Konflik Arab – Israel tidak bisa lagi dipakai untuk mengalihkan perhatian rakyat negara-negara Arab dari masalah-masalah lainnya. Sebaliknya, konflik itu harus menjadi penggerak untuk membantu rakyat Palestina mengembangkan institusi yang akan melanggengkan negara mereka; mengakui hak Israel; serta memilih kemajuan ketimbang fokus pada masa lalu yang begitu melemahkan.

Amerika akan menyesuaikan kebijakannya dengan mereka yang memperjuangkan perdamaian dan mengatakan secara terbuka apa yang kami katakan secara pribadi kepada warga Israel, Palestina, dan Negara-Negara Arab. (tepuk tangan) Kita tidak bisa memaksakan perdamaian. Tetapi secara pribadi, banyak orang Muslim menyadari bahwa Israel tidak akan lenyap; juga banyak orang Israel menyadari perlunya kehadiran sebuah negara Palestina. Waktunya sudah tiba bagi kita untuk bertindak berdasarkan apa yang oleh setiap orang diketahui merupakan hal yang benar.

Terlalu banyak air mata sudah diteteskan. Terlalu banyak darah sudah ditumpahkan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk berjuang menciptakan sebuah masa dimana para ibu Israel dan Palestina bisa menyaksikan anak-anak mereka tumbuh tanpa ketakutan; masa dimana Tanah Suci dari ketiga agama besar merupakan tempat perdamaian yang diinginkan Allah; masa dimana Jerusalem merupakan tempat tinggal aman dan langgeng bagi orang Yahudi dan Kristen dan Muslim, dan merupakan sebuah tempat untuk semua keturunan Abraham hidup bersama secara damai sebagaimana dikisahkan dalam ISRA, ketika Musa, Yesus dan Muhammad (damai bersama mereka) bergabung dalam ibadah doa. (tepuk tangan)

Sumber ketegangan ketiga adalah kepentingan kita bersama sehubungan hak-hak dan tanggung jawab negara-negara atas senjata nuklir. Isu ini menjadi sumber ketegangan baru-baru ini antara Amerika dan Republik Islam Iran. Selama bertahun-tahun, Iran mendefinisikan dirinya sebagian lewat oposisinya terhadap negara saya, dan memang ada sejarah yang kacau di antara kami. Di tengah-tengah Perang Dingin, Amerika memainkan peran dalam penggulingan pemerintah Iran yang terpilih secara demokratik. Sejak Revolusi Islam, Iran telah memainkan peran dalam tindak penyanderaan dan kekerasan terhadap pasukan dan warga sipil Amerika. Sejarah ini diketahui secara luas. Daripada terperangkap dalam masa lalu, saya telah menjelaskan kepada para pemimpin dan rakyat Iran bahwa negara saya siap untuk melangkah maju. Pertanyaannya kini, bukanlah apa yang ditentang Iran, tetapi masa depan apa yang ingin dibangunnya.

Sulit untuk mengatasi puluhan tahun ketidakpercayaan, tetapi kami akan maju dengan keberanian, kebenaran dan tekad. Banyak isu yang harus dibahas oleh kedua negara kita, dan kami siap melangkah maju tanpa prasyarat namun didasarkan pada sikap saling menghormati. Tetapi jelas bagi semua pihak yang berkepentingan bahwa dalam soal senjata nuklir kita telah mencapai titik yang menentukan. Ini bukan sekedar terkait kepentingan Amerika, ini berhubungan dengan pencegahan perlombaan senjata nuklir yang bisa menyebabkan wilayah ini terjerumus ke dalam jalur sangat berbahaya dan menghancurkan tatanan non-proliferasi global.

Saya memahami mereka yang memprotes bahwa beberapa negara memiliki senjata sementara yang lainnya tidak. Tak satupun negara bisa menentukan negara-negara mana yang boleh memiliki senjata nuklir. Itulah sebabnya saya secara kuat mempertegas komitmen Amerika untuk mengusahakan sebuah dunia di mana tak satu pun negara memiliki senjata nuklir. (tepuk tangan) Dan setiap negara – termasuk Iran – harus punya akses ke energi nuklir untuk tujuan damai apabila ia patuh pada tanggung jawabnya dibawah Persetujuan Non-Proliferasi Nuklir. Komitmen itu merupakan inti dari Persetujuan itu, dan harus diberikan kepada semua pihak yang mematuhinya.

Isu keempat yang akan saya tanggapi adalah demokrasi. (tepuk tangan)

Saya percaya pada sebuah sistem pemerintahan yang memberi hak bersuara kepada rakyatnya, dan yang menghormati penegakan hukum serta hak untuk semua manusia. Saya tahu bahwa ada kontroversi tentang penggalakkan demokrasi dalam tahun-tahun terakhir ini, dan sebagian dari kontroversi ini terkait dengan perang di Irak. Saya perjelas: sistem pemerintahan apa pun tidak bisa dipaksakan kepada sebuah negara oleh negara lainnya.

Tetapi hal itu tidak mengurangi komitmen saya kepada negara-negara yang mencerminkan keinginan rakyatnya. Setiap negara menghidupkan prinsip-prinsipnya dengan caranya sendiri, yang berasal dari tradisi rakyatnya. Amerika tidak berpretensi tahu apa yang terbaik untuk semua orang, sebagaimana juga kami tidak berpretensi bahwa kami bisa menentukan hasil dari sebuah pemilihan damai. Tetapi saya memiliki keyakinan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa semua orang merindukan hal-hal tertentu: Kemampuan untuk mengungkapkan pendapat dan ikut menentukan bagaimana bentuk pemerintahan; mempercayai penegakan hukum dan penyelenggaraan keadilan yang sama untuk setiap orang; pemerintahan yang transparan dan tidak mencuri dari rakyatnya; kebebasan untuk hidup sesuai pilihan masing-masing. Itu bukan sekedar ide-ide Amerika, itu adalah hak asasi manusia dan oleh karena itu kami akan mendukungnya di mana saja.

Tak ada garis lurus untuk menciptakan janji itu. Tetapi yang jelas adalah: pemerintahan- pemerintahan yang melindungi hak-hak ini pada akhirnya akan lebih stabil, sukses dan aman. Tak ada garis lurus untuk menciptakan janji itu. Tetapi yang jelas adalah: Memberangus ide-ide tidak pernah berhasil melenyapkannya. Amerika menghormati hak-hak dari semua suara damai dan patuh hukum agar didengar di seluruh dunia meskipun kita tidak sepakat dengan mereka. Dan kami menyambut gembira semua pemerintahan terpilih dan damai – asalkan mereka memerintah dengan menghormati rakyatnya. Dimanapun kekuasaan itu berada, pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat merupakan standar tunggal untuk semua fihak yang memegang kekuasaan, Butir ini penting karena ada yang memperjuangkan demokrasi hanya pada saat mereka tidak berkuasa; setelah berkuasa, mereka secara keji memberangus hak-hak orang lain. (tepuk tangan) Di manapun kekuasaan itu berada, pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat merupakan standar tunggal untuk semua pihak yang memegang kekuasaan. anda harus mempertahankan kekuasaan lewat konsensus, bukan pemaksaan; anda harus menghormati hak-hak minoritas, dan berpartisipasi dalam semangat toleransi dan kompromi, anda harus mendahulukan kepentingan rakyat anda dan usaha sah dari proses politik di atas kepentingan partai. Tanpa ramuan ini pemilihan saja tidak akan menciptakan demokrasi yang murni.

ANGGOTA HADIRIN: Barack Obama, kami cinta anda!

PRESIDEN OBAMA: Terima kasih. (tepuk tangan)

Isu kelima yang harus kita tanggapi bersama adalah kebebasan beragama. Islam memiliki sebuah tradisi toleransi yang patut dibanggakan. Kita menyaksikan hal ini dalam sejarah Andalusia dan Kordoba. Saya menyaksikan hal itu langsung ketika masih kanak-kanak di Indonesia, di mana warga Kristen yang saleh bebas beribadah di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Itulah semangat yang kita butuhkan kini. Orang di setiap negara harus bebas memilih dan menjalankan keyakinan mereka berdasarkan keyakinan pikiran, hati dan jiwa. Toleransi ini penting agar agama bisa berkembang, tetapi juga ditantang dengan berbagai cara.

Di kalangan Muslim tertentu ada kecenderungan yang merisaukan, yakni mengukur kedalaman keyakinan diri sendiri lewat penolakan keyakinan orang lain. Kebhinekaan agama yang memperkaya harus ditegakkan – apakah itu kelompok Maronit di Lebanon atau Koptik di Mesir. (tepuk tangan) Dan garis pemisah juga harus dihilangkan di antara warga Muslim, sebagaimana perpecahan antara Sunni dan Syiah telah mengakibatkan kekerasan yang tragis, khususnya di Irak.

Kebebasan beragama penting bagi kemampuan rakyat hidup bersama. Kita harus senantiasa menelaah cara-cara yang kita pakai untuk melindunginya. Misalnya, di Amerika Serikat, peraturan sumbangan amal telah mempersulit warga Muslim untuk memenuhi kewajiban agama mereka. Itulah sebabnya saya bertekad untuk bekerja sama dengan warga Muslim Amerika guna memastikan mereka bisa memenuhi zakat.

Juga penting agar negara-negara Barat mencegah larangan kepada warganegara Muslim untuk mempraktikkan agama sesuai kehendak mereka – misalnya, dengan mendikte pakaian apa yang boleh dikenakan seorang perempuan Muslim. Sederhananya, kita tidak bisa menyembunyikan ketidaksenangan terhadap agama apapun lewat alasan liberalisme.



Keyakinan seharusnya mempersatukan kita. Itulah sebabnya kami mengikhtiarkan proyek-proyek di Amerika yang mempertemukan warga Kristen, Muslim dan Yahudi. Itulah sebabnya kami menyambut gembira usaha dialog Antar Agama Raja Abdullah dan kepemimpinan Turki dalam Aliansi Keberadaban. Di seluruh dunia kita bisa memanfaatkan dialog menjadi pelayanan Antar Keyakinan, sehingga jembatan di antara berbagai rakyat mengarah pada tindakan – apakah itu berupa perang melawan malaria di Afrika atau menyediakan bantuan bencana alam.

Isu keenam yang ingin saya tanggapi adalah hak-hak perempuan.

Saya tahu ada perdebatan tentang isu ini. Saya menolak pandangan beberapa pihak di Barat bahwa perempuan yang memilih untuk menutupi rambutnya seakan-akan tidak memiliki persamaan hak, tetapi saya juga berpendapat bahwa seorang perempuan yang tidak bisa menikmati pendidikan tidak diberi kesamaan hak. Dan bukan kebetulan bahwa negara-negara di mana kaum perempuannya terdidik secara baik juga makmur.

Saya perjelas: isu-isu mengenai persamaan hak perempuan bukan semata-mata merupakan isu untuk Islam. Di Turki, Pakistan, Bangladesh dan Indonesia, kita saksikan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, mereka memilih seorang perempuan untuk memimpin. Sementara itu, perjuangan bagi persamaan hak perempuan masih terus merupakan aspek dalam kehidupan di Amerika, dan di negara-negara di seluruh dunia. Itulah sebabnya Amerika akan bermitra dengan setiap negara yang mayoritas penduduknya Muslim guna mendukung perluasan pemberantasan buta huruf untuk perempuan, dan membantu perempuan muda memperjuangkan pekerjaan lewat pinjaman untuk usaha kecil yang membantu rakyat merealisasikan cita-cita mereka.

Saya yakin putri-putri kita bisa menyumbang kepada masyarakat setara seperti putra-putra kita, (tepuk tangan) dan kemakmuran kita bersama bisa dimajukan dengan memberi kesempatan kepada semua orang – laki-laki dan perempuan – mencapai potensi mereka sepenuhnya. Saya berpendapat perempuan tidak harus membuat pilihan sama seperti laki-laki agar mencapai kesamaan, dan saya menghormati perempuan yang memilih peran tradisional dalam menjalankan kehidupan mereka. Tetapi hal itu haruslah merupakan pilihan mereka sendiri.

Akhirnya, saya ingin membahas pembangunan ekonomi dan kesempatan.

Saya tahu untuk banyak kalangan, wajah globalisasi bertentangan. Internet dan televisi bisa mengantarkan pengetahuan dan informasi, tetapi juga seksualitas yang bersifat ofensif dan kekerasan tak berperi kemanusiaan. Perdagangan bisa menciptakan kekayaan dan peluang baru, tetapi juga gangguan dan perubahan di masyarakat. Di semua negara – termasuk negara saya – perubahan ini bisa menyebabkan ketakutan. Ketakutan karena akibat modernitas kita kehilangan kendali atas pilihan ekonomi kita, politik kita dan yang terpenting, identitas kita – hal-hal yang paling kita hargai dari masyarakat kita, keluarga kita, tradisi kita dan keyakinan kita.

Tetapi saya juga tahu kemajuan manusia tidak bisa ditampik. Tidak perlu ada kontradiksi antara pembangunan dan tradisi. Negara seperti Jepang dan Korea Selatan membina ekonomi mereka sambil tetap mempertahankan budaya mereka. Hal yang sama juga berlaku pada kemajuan mengagumkan dalam Islam mulai dari Kuala Lumpur sampai ke Dubai. Di masa kuno dan di masa kita, masyarakat Muslim membuktikan bahwa mereka mampu berada di garis depan inovasi dan pendidikan.

Ini penting karena tak ada strategi pembangunan yang semata-mata didasarkan pada apa yang dihasilkan tanah, dan strategi pembangunan juga tidak bisa dipertahankan kalau generasi mudanya tidak memiliki pekerjaan. Banyak Negara Teluk menikmati kekayaan sebagai akibat penghasilan minyaknya, dan beberapa sudah mulai memusatkan perhatian pada pembangunan yang lebih luas. Tetapi kita semua harus menyadari bahwa pendidikan dan inovasi akan menjadi faktor penentu dari abad ke 21. (tepuk tangan) dan di banyak masyarakat Muslim masih kekurangan investasi dalam bidang-bidang ini..Saya tekankan hal itu di negara saya. Dan sementara Amerika di masa lalu memusatkan perhatian pada minyak dan gas alam di bagian dunia ini, kami kini menghendaki hubungan yang lebih luas.

Dalam pendidikan, kami akan memperluas program pertukaran dan memperbanyak bea siswa, seperti yang mengantar ayah saya ke Amerika, sementara juga mendorong lebih banyak warga Amerika untuk belajar di tengah masyarakat Muslim. Dan kami akan menempatkan siswa-siswa Muslim yang menjanjikan di tempat-tempat magang di Amerika; melakukan investasi dalam pembelajaran online untuk guru-guru dan anak-anak di seluruh dunia; dan menciptakan jaringan online baru, sehingga seorang remaja di Kansas mampu berkomunikasi langsung dengan remaja di Kairo.

Dalam rangka pembangunan ekonomi, kami akan menciptakan sebuah korps relawan bisnis baru untuk bermitra dengan counterpartnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Dan saya akan menyelenggarakan KTT Kewiraswastaan tahun ini untuk mengidentifikasi bagaimana kita bisa mempererat hubungan antara pemimpin bisnis, yayasan dan wiraswasta sosial di Amerika dan masyarakat Muslim di seluruh dunia.

Dalam bidang sains dan teknologi, kami akan meluncurkan sebuah dana baru untuk mendukung pembangunan teknologi di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan membantu mentransfer ide-ide ke pasar-pasar sehingga tercipta lapangan pekerjaan. Kami akan membuka pusat keunggulan sains di Afrika, Timur Tengah dan Asia Tenggara serta mengangkat Utusan Sains baru untuk bekerja sama dalam program-program yang mengembangkan sumber energi baru, menciptakan lapangan pekerjaan hijau, digitalisasi catatan, air bersih dan menumbuhkan tanaman panen baru. Dan hari ini saya mengumumkan sebuah usaha global baru bersama Organisasi Konferensi Islam guna memberantas polio. Dan kita juga akan memperluas kemitraan dengan masyarakat Muslim guna menggalakkan kesehatan anak dan ibu.

Semua ini harus dilakukan lewat kemitraan. Rakyat Amerika siap bergabung dengan warganegara dan pemerintahan; organisasi kemasyarakatan, pemimpin agama dan bisnis di masyarakat Muslim diseluruh dunia guna membantu rakyat kita memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.

Isu-isu yang telah saya uraikan tidak mudah ditanggapi. Tetapi kita punya tanggung jawab untuk bergabung demi memperjuangkan dunia yang kita cita-citakan – sebuah dunia di mana ekstremis tidak lagi mengancam rakyat kita, dan pasukan Amerika bisa pulang; sebuah dunia di mana rakyat Israel dan Palestina masing-masing memiliki negara mereka sendiri yang aman, dan energi nuklir dipergunakan untuk tujuan damai; sebuah dunia di mana pemerintahan melayani warganegaranya serta hak-hak dari semua umat Allah dihormati. Ini merupakan kepentingan bersama. Itulah dunia yang kita cita-citakan, tetapi hal itu hanya kita bisa capai bersama.

Saya tahu ada banyak - Muslim dan non-Muslim - yang mempertanyakan apakah kita bisa membina permulaan baru ini. Beberapa ingin menghasut api perpecahan, dan menghalangi kemajuan. Beberapa mengatakan hal ini tidak ada gunanya – bahwa kita sudah ditakdirkan untuk berseteru dan berbagai peradaban ditakdirkan beradu. Banyak lagi yang sekedar skeptis bahwa perubahan nyata bisa terselenggara. Begitu banyak ketakutan, begitu banyak ketidak percayaan. Tetapi kalau kita memilih untuk terperangkap dalam masa lalu maka kita tidak pernah akan melangkah maju. Dan saya secara khusus ingin mengatakan kepada generasi muda dari setiap kepercayaan, di setiap negara – anda, lebih dari orang lain, memiliki kemampuan untuk menata kembali dunia, menyusun kembali dunia.

Kita semua menghuni dunia ini untuk waktu yang singkat. Pertanyaannya adalah apakah kita melewatkan waktu itu terpusat pada hal-hal yang memecah belah kita, atau apakah kita mendedikasikan diri pada usaha – usaha berkesinambungan – untuk mencapai kesamaan, memusatkan perhatian pada masa depan bagi anak-anak kita dan menghargai harga diri semua insan manusia.

Hal-hal ini tidaklah mudah. Lebih mudah memulai perang ketimbang menghentikannya. Lebih mudah menuduh pihak lain ketimbang melakukan introspeksi diri; untuk melihat apa yang berbeda pada diri seseorang ketimbang menemukan kesamaan kita. Tetapi ada pula sebuah aturan yang merupakan inti setiap agama – bahwa kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka. Kebenaran ini berlaku lintas negara dan lintas rakyat – sebuah keyakinan yang tidak baru, yang tidak hitam atau putih atau coklat; bukan kebenaran Kristen, atau Muslim atau Yahudi. Ini merupakan keyakinan yang berdetak dalam dari buaian keberadaban, dan masih tetap berdetak dalam jantung miliaran manusia. Ini merupakan rasa percaya pada orang lain, dan hal itulah yang membawa saya kesini hari ini.

Kita memiliki kekuatan untuk menciptakan dunia yang kita cita-citakan, tetapi hanya apabila kita punya keberanian untuk memasuki awal yang baru, sambil ingat pada apa yang tertulis.

ALKitab Suci Al Quran mengatakan kepada kita, “Wahai manusia! Sesungguhnya kami telah ciptakan kamu sekalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal…”

Talmud mengatakan kepada kita: “Seluruh Torah adalah untuk maksud menggalakkan perdamaian.”

Kitab Suci Injil mengatakan pada kita, “Diberkatilah pencipta perdamaian, karena mereka akan disebut putra-putra Allah.” (tepuk tangan)

Rakyat seluruh dunia bisa hidup bersama dalam damai. Kita tahu itu merupakan visi Allah. Kini, itu menjadi kewajiban kita di Dunia. Terima kasih. Dan semoga damai Allah bersama anda. Terima kasih banyak. Terima kasih (tepuk tangan)

GEDUNG PUTIH

Kantor Sekretaris Pers

Kairo, Mesir

Untuk Dirilis Segera

Juni 2009