Minggu, 21 Februari 2010

PANDANGAN YUSUF QARADHAWI TERHADAP AGAMA-AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI LUAR ISLAM

PANDANGAN YUSUF QARADHAWI TERHADAP AGAMA-AGAMA
DAN KEPERCAYAAN DI LUAR ISLAM

oleh : Dinar Kania,Msc

A. PENDAHULUAN

Paham pluralisme agama kini semakin gencar dikampanyekan di negara-negara Islam termasuk Indonesia. Pihak Barat dan para pendukung ide pluralisme berdalih bahwa penyebaran paham ini dapat mencegah munculnya gerakan ekstrimisme beragama. Bagi mereka, toleransi beragama dianggap basi dan tidak mampu lagi menjawab problematika antar umat beragama yang semakin kompleks akibat globalisasi. Umat Islam seolah-olah dipaksa untuk menjadi seorang “pluralis” jika tidak ingin dianggap sebagai kaum ekstrimis, pro pada terorisme dan cinta kekerasan. Pluralisme telah menjadi isu global dan diterima secara luas sebagai suatu “kebenaran” tanpa sikap kritis yang memadai dari masyrakat dunia.
Andai umat lslam memiliki kepercayaan diri tinggi dan mau merespon paham tersebut menggunakan framework pemikiran Islam, tentunya akan sulit menemukan tokoh-tokoh Islam yang terpengaruh atau bahkan menjadi tokoh pengusung ide-ide Barat tersebut. Pluralisme agama merupakan bagian dari agenda globalisasi dengan tujuan agar nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan melebur ke dalam arus pemikiran moderisasi sehingga apa yang disebut John Hick sebagai teologi global (global theology) dapat terwujud. Dengan teologi global, Barat bermaksud menghapus peran otoritas agama dalam kehidupan masyarakat muslim, sehingga umat Islam lebih bebas menerima ideologi dan nilai-nlai kebudayaan Barat seperti liberalisme, sekularisme, hak asasi manusia, feminisme dan demokrasi.
Salah satu akibat dari maraknya isu pluralisme agama, wacana tentang ahlul kitab kembali muncul dipermukaan. Barat bermaksud untuk mendekonstruksi konsep ahlul kitab dan meninjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-historis sebagaimana diusulkan oleh Mohammad Arkoun seorang pemikir asal Aljazair pendukung ide pluralisme agama. Arkoun memandang perlunya dekontruksi makna ahlul kitab yang cendrung ekslusif, kolot dan fragmentis, sebagai upaya untuk membangun dialog yang setara, terbuka dan inklusif antar pemeluk agama dan menghindari kekerasaan atas nama Tuhan. Epistemologi dekonstruksi pada akhirnya akan mengarah pada paradigma kesatuan transenden agama-agama (The Transendent Unity of Religion).
Dalam ranah pertarungan pemikiran Islam abad ini, selain Muhammad Arkoun dengan teori dekonstruksinya, Yusuf Qaradhawi dikenal sebagai pemikir Islam kontemporer yang banyak menyoroti problematika umat Islam dan hubungannya dengan dunia Barat. Namun berbeda dengan Arkoun dan para pemikir liberal lainnya yang memaksakan metodologi Barat untuk menafsir ulang ayat-ayat al-Qur’an, Qaradhawi tetap berpegang pada metodogi penafsiran ulama salaf dalam ijtihad-ijtihadnya untuk mendorong kerukunan agama dan menciptakan perdamaian dunia.
Meskipun terkenal sangat toleran terhadap kalangan non muslim, Qaradhawi secara tegas menyatakan bahwa agama yang diakui oleh Allah SWT adalah Islam. Walaupun para pengamat memasukan yahudi dan nasrani sebagai agama samawi, tetapi menurut beliau pada dasarnya agama samawi adalah satu berdasarkan prinsip akidah, meskipun syariatnya berbeda-beda sesuai kondisi jaman. Al-Qur’an juga telah menetapkan bahwa agama Allah itu satu, yaitu agama Islam. Oleh karena itu seluruh rasul Allah adalah seorang Muslim dan menyerukan kepada agama Islam.
Tulisan ini berusaha mengeksplorasi pemikiran-pemikiran Qaradhawi mengenai agama-agama dan kepercayaan di luar Islam dan prinsip toleransi Islam dalam beberapa karyanya yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia.

B. RIWAYAT HIDUP

Yusuf Qaradhawi dilahirkan pada tanggal 9 september 1926 dan dibesarkan di sebuah kampung terpencil yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Shaft at-Turab adalah sebuah desa yang terdapat di pedalaman mesir, terletak antara kota Thanta dan kota Al-Mahallah al-Kubra, yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling terkenal di provinsi al-Gharbiyah. Mesir pada saat kecil Qaradhawi berada dalam jajahan Inggris dan dia pun merupakan saksi sejarah bagi dua peristiwa penting lainnya, yaitu perang dunia ke dua dan runtuhnya Khilafah Utsmaniah. Yusuf Qaradhawi yang memiliki nama lengkap Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf, telah menjadi yatim semenjak dia berusia dua tahun. Sejak itu beliau diasuh dan dibesarkan oleh pamannya yang buta huruf dan berprofesi sebagai petani dan sangat qanaah. Sang paman sering mengisahkan cerita-cerita yang menghibur dan mengujinya dengan permainan kata-kata. Cerita-cerita tersebut sarat dengan makna, sedangkan permain kata-kata rupanya tanpa sadar telah mengasah daya intelektual Qaradhawi kecil.
Setelah genap berusia tujuh tahun Qaradhawi mengenyam pendidikan kutab di bawah bimbingan Syeikh Hamid. saat itu Qaradhawi menunjukan kecemerlangan sebagai pelajar karena mampu menghapal al Qur’an dengan cepat, dan ia pun melanjutkan pendidikan Ibtidaiyah ke al- Azhar dan mengambil Mazhab hanafi. Pada tahun pertama belajar di tingkat Ibtida’iyah, Qaradhawi pertama kali mengenal Asy-Syahid Hasan Al Banna melalui pengajian yang dihadirinya pada acara tahun baru Hijriah yang menumbuhkan kecintaannya pada jamaah Ikhanul Muslimin. Akhirnya ia pun bergabung dengan jamaah ini pada tahun ke tiga di Ibtidaiyah. Bersama Ikhwanul Muslimin, Qaradhawi harus merasakan tinggal di penjara pada saat dirinya masih remaja karena keterlibatannya dengan jamaah tersebut. Namun penjara telah menjadi sekolah keduannya karena disana ia sempat berguru kepada ulama-ulama terkenal seperti Syaikh Muhammad al-Ghazali yang mengajarkan pelajaran sirah nabawiah dan Syaikh Sayyid Sabiq dengan pelajaran fikihnya. Kondisi di penjara itulah yang membentuk kepribadian Qaradhawi sebagai pejuang yang tak kenal lelah berdakwah untuk Islam sampai saat ini.
Qaradhawi menamatkan kuliah dari Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar tahun 1953 kemudian memperoleh ijazah keguruan setahun berikutnya. Gelar doktoralnya ia peroleh pada tahun 1973 dari Universitas al-Azhar, dan dalam semua jenjang pendidikan itu, ia mendapatkannya dengan predikat cumlaude. Qaradhawi aktif dalam organisasi Ikhawanul Muslimin sampai akhirnya ia dipaksa pergi meninggalkan negerinya dan menetap di Qatar sampai saat ini. Perjalanan dakwahnya yang panjang dan berliku membuatnya terkenal sebagai penulis yang produktif dan oratul ulung. Karya tulisnya hingga akhir abad ke-20 lalu, mencapai kurang lebih 120 buah dalam berbagai disiplin ilmu.

C. PANDANGAN TENTANG ATHEISME DAN PAGANISME

Qaradhawi berpendapat bahwa kekufuran yang paling besar adalah kekufuran terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Seseorang disebut kufur atheis ketika pelakunya tidak percaya bahwa alam semesta ini mempunyai Tuhan, yang mempunyai malaikat, kitab-kitab suci, rasul yang memberi kabar gembira dan peringatan, serta tidak pecaya kepada adanya akhirat di mana manusia akan diberi balasan terhadap apa yang mereka kerjakan di dunia ini, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Orang-orang seperti ini menurut Qaradhawi telah dikatakan di dalam al-Qur’an Surat al-An’am ayat 29.

Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan".

Tipe manusia seperti ini merupakan bentuk kekufuran orang-orang materialis pada setiap zaman, dan pada masa ini adalah orang-orang komunis. Qaradhawi menyoroti tuduhan kaum Marxis bahwa agama adalah “candu masyarakat” yang bekerja pada akal pikiran masyarakat sebagaimana berpengaruhnya narkotika pada individu dan melalaikan mereka dengan angan-angan akhirat dari (memperjuangkan) hak-hak mereka yang terampas, dan menjadikan mereka tunduk kepada kemauan orang-orang yang berbuat aniaya. Pemikiran marxisme pada awalnnya adalah sebuah degradasi manusia dari kemuliaan menuju tingkat binatang, tetapi kemudian pemikiran ini merupakan penggabaran persepsi terbalik tentang hakikat aksiomatik yang terdapat dalam perilaku individu maupun kelompok di sepanjang jaman.
Qaradhawi menegaskan bahwa pandangan kaum Marxis tehadap agama, tidak dapat digenarlisir untuk semua agama. Islam merupakan revolusi yang membebaskan manusia-semua umat manusia- dari penghambaan dan ketundukan kepada selain Penciptanya. Sebuah revolusi di dunia pemikiran, hati dan perasan dan merupakan sebuah revolusi di dunia kenyataan (realita) dan pada pelaksanaannya. Qaradhawi berusaha memaklumi pendapat Karl Max ketika mengatakan perkataan yang pernah ia lontarkan. Menurutnya, hal itu dilakukan Karl Max disebabkan dirinya tidak pernah mengenal Islam dan tidak mengetahui sikap Islam terhadap kezaliman, kesewenang-wenangan dan kerusakan.
Namun Qaradhawi mengkritik metodologi yang digunakan Karl Max, karena konsep atau prinsip metodologi penelitian ilmu mengharuskan untuk tidak mengeluarkan suatu generalisasi kecuali setalah dilakukan analisa dengan melakukan langkah-langkah induktif secara lengkap melalui kajian sempurna terhadap setiap agama-atau terhadap beberapa agama berbeda-dan pengaruhnya bagi kehidupan bangsa sepanjang sejarah. Adapun jika seseoarang tidak mampu melakukan hal yang demikian, maka ia harus membuat kesimpulan terhadap agama yang telah diketahui saja dan tidak menyamakan kepada agama yang lain. Menurut Qaradhawi, inilah yang dinamakan komitmen amanah (kejujuran) ilmiah dan metodologi ilmiah.
Qaradhawi memandang kekufuran atheis sebagai puncak dari segala kekufuran. Tepat dibawahnya adalah kufur syirik. Kekufuran jenis ini sebagaimana yang dilakukan orang-orang Arab pada jaman jahiliah. Orang-orang Arab pada masa itu mengakui eksistensi Allah, yang menciptakan langit, bumi, dan manusia, serta yang memberikan rizki, kehidupan, dan kematian pada manusia. Namun walaupun mereka mengakui adanya Tuhan, mereka juga mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain, sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 18 :

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).

Qaradhawi menjelaskan lebih lanjut bahwa kemusyrikan seperti ini bentuknya bermacam-macam.
Ada kemusyirakan orang Arab penyembah berhala; kemusyrikan Majusi Persia yang mengatakan ada dua macam tuhan, yaitu tuhan baik atau tuhan Cahaya, dan tuhan buruk atau tuhan Gelap. Ada juga kemusyrikan Hindu dan Budha, dan para penyembah berhala lainnya yang masih mewarnai pikiran ratusan juta orang di Asia dan Afrika; yang merupakan jenis kekufuran yang paling
banyak pengikutnya.

Demikianlah, meski peradaban manusia sudah sangat tua dan hampir mencapai titik akhir, namun ekistensi kaum paganis masih terus ada sampai hari ini. Padahal kemusyikan menurut Qardhawi merupakan tempat tumbuhnya berbagai bentuk kurafat dan bersemayam pelbagai kebatilan. Kemusyirakan akan menjatuhkan harkat dan martabat manusia karena Bagaimana mungkin manusia menyembah benda yang diciptakan oleh dirinya sendiri, benda yang tidak bisa berkhimat kepada dirinya sendiri tetapi justru manusia bersedia menghamba kepadanya. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata dan menduga tuhan-tuhan (selain Allah) dapat memberikan pertolongan di hari kiamat kepada mereka, padahal mereka tidak memiliki teman dekat dan penolong yang dipercaya.

D. PANDANGAN TENTANG AHLUL KITAB

Ahlul kitab menurut Qaradhawi adalah mereka yang agamanya (pada mulanya) berdasarkan kitab samawi meskipun kemudian mengalami perusakan dan pergantian, seperti kaum Yahudi dan Nasrani yang agama mereka didasarkan pada kitab Taurat dan Injil. Sedangkan ahlu dzimma adalah mereka yang mendapat perlindungan Allah, Rasul-Nya, dan jamaatul muslimin, untuk hidup dalam naungan Islam secara aman dan damai. Qaradhawi berpendapat orang-orang Nasrani pada hari ini sama dengan orang-orang nasrani ketika al-Qur’an diturunkan, karena menurut Qaradhawi, agama Nasrani telah terkritalisasi dan dikenal pasti batas-batas keyakinannya semenjak adanya “Seminar Nicea” pada tahun 325 Masehi.
Namun demikian, Qaradhawi tidak mengganggap agama Nasrani dan Yahudi memiliki kebenaran yang sama dengan agama Islam. Qaradhawi tetap menganggap penganut kedua agama tersebut sebagai kaum yang melakukan kekufuran. Kekufuran ahlul kitab disebabkan mereka mendustakan kerasulan Muhammad saw, yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya yang terakhir, dan diberi kitab suci al-Qur’an, yang membenarkan Taurat dan Injil, tetapi juga melakukan perbaikan terhadap ajaran dalam kedua kitab suci tersebut.
Qaradhawi menegaskan bahwa salah satu ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah membenarkan konsep ketuhanan yang saat itu terjadi banyak penyelewengan, seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani dan Yahudi dengan memperkeruh ajaran tauhid. Akidah Islam merupakan hakikat abadi yang tidak mengalami proses evolusi dan tidak pernah berubah yaitu akidah tentang Allah dan hubungannya dengan alam ini. Prinsip Tauhid merupakan warisan para nabi yaitu suatu hakikat yang diajarkan Adam kepada anak-anaknya, yang dinyatakan Nuh kepada kaumnya, yang diserukan Hud, Shaleh depada ‘Aad dan Tsamud, yang diserukan oleh Ibrahim, Isma’il, Ishaq, dan ditekankan Musa dalam Tauratnya, Dawud dalam Zaburnya dan Isa dalam Injilnya.
Penyimpangan ahlul kitab terhadap ajaran tauhid sangat jelas. Qaradhawi menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi menambahkan pada kitab Taurat makna reinkarnasi dan penyerupaan Allah dengan seseorang dari mereka sehingga Allah dianggap sebagai salah satu dari kalangan manusia, yang mempunyai sifat –sifat kemanusiaan, seperti rasa takut, iri hati, cemburu.bertengkar dan dikalahkan olehnya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Israel. Begitu pula dengan kaum Nasrani ketika mereka memasukan konsep trinitas. Konsep ini menurut Qaradhawi dipengaruhi oleh keyakinan Roma terhadap agama ini setelah masuknya raja Konstantinopel Imperium Romawi ke dalam agama Nasrani. Masuknya agama Nasrani dalam imperium Romawi sebenarnya merupakan keuntungan bagi negara Romawi dan menyebabkan kerugian bagi agama Nasrani itu sendiri, sehingga sebagian ulama mengatakan: ”Sesungguhnya Roma tidak diwarnai oleh Nasrani, tetapi justru Nasrani yang diwarnai oleh Roma.”
Merurut Qaradhawi pada dasarnya agama-agama pagan memilik dasar Ilahi, tetapi kemudian paganism melanda pemeluknya sampai menguasai penganutnya. Manusia tidak memiliki satu agama pun yang terpelihara oleh sejarah keautentikannya secara sempurna kecuali agama Islam. Beliau juga melihat bagaimana paganisme telah merasuk ke dalam penganut agama-agama seperti Nasrani, seluruh agama kebatinan dan agama lainnya dari kalangan orang-orang yang didominasi oleh penafsiran menyimpang atau pun kejahilan.
Namun demikian, Qaradhawi memandang secara umum ahlul kitab lebih dekat kepada kaum Muslimin dari pada pengikut paham atheis dan paganisme. Menurutnya, Islam memiliki pandangan khusus terhadap ahlul kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, baik yang berada di negeri Islam maupun di luarnya. Al-Qur’an memanggil mereka dengan kata, “ Wahai ahli kitab,” atau “Wahai orang-orang yang diberi kitab.” Hal itu merupakan isyarat bahwa pada dasarnya mereka adalah pemeluk agama samawi (wahyu) dan kaum muslimin memiliki “keturunan” dan “kekerabatan”, berakar pada agama yang satu yang merupakan risalah seluruh nabi. Qaradhawi juga menempatkan orang-orang Nasrani pada posisi yang lebih dekat kepada hati orang-orang beriman, sebagaimana surat al-Maidah ayat 82. Islam mengakui dan percaya adanya al-Masih dan kelahirannya merupakan salah satu tanda kebesaran Allah, tetapi tidak menjadikannya sebagai hari raya. Ia menyayangkan sikap orang-orang Nasrani yang mengatasnamakan al-Masih dalam merayakan kelahirannya padahal ajaran tersebut tidak pernah diajarkan oleh nabi Isa as. atau ibunya (Maryam) dan tidak dititahkan oleh seluruh rasul Allah.
Qaradhawi mencatat bagaimana Islam mengajarkan penghormatan kepada ahlul kitab seperti adab berdiskusi. Seorang Muslim hendaknya menghindari kecongkakan ketika berdiskusi dengan ahlul kitab yang dapat menimbulkan rasa sakit hati dan membangkitkan permusuhan sebagaimana tertuang dalam surat al-Ankabut ayat 46. Islam juga memperbolehkan umat Islam untuk saling bertukar makanan dengan mereka, menikmati sembelihan mereka, dan menikahi wanita-wanita mereka, dengan segenap kedamaian, cinta dan kasih sayang. Tentunya semua ini hanya berlaku kepada ahlul kitab yang tidak memerangi umat Islam dan secara khusus terhadap ahlul zhimah.
Meskipun Islam mengajarkan untuk menghormati kaum non-Muslim, namun karena mereka adalah kaum yang melakukan kekufuran, maka Qaradhawi menekankan pentingnya umat Islam untuk melakukan dakwah dan mengenalkan kebenaran agama Islam pada mereka agar mereka tertarik mengikuti ajaran yang lurus ini. Bahkan tegas beliau, kebodohan akan hakikat Islam dan kesesatan yang terjadi di muka bumi ini merupakan tanggung jawab dari umat Islam.
Diyakini bahwasanya kaum Muslim bertanggung jawab- sampai kepada batas yang sangat besar- terhadap kesesatan bangsa-bangsa di muka bumi; kebodohan mereka akan hakikat Islam; dan keterjerumusan mereka keadaan kebathilan musuh Islam. Kaum Muslimin harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyampaikan risalah Islam, menyebarkan dakwah mereka kepada setiap bangsa dengan bahasa mereka, sehingga mereka mendapatkan penjelasan mengenai Islam dengan sejelas-jelasnya, dan panji risalah Muhammad dapat ditegakkan.

E. TOLERANSI DALAM ISLAM
Mengenai hubungan Muslim dengan orang-orang non-Muslim, Qaradhawi berpendapat Islam telah membagi non-Muslim menjadi dua golongan. Diantara orang-orang kafir ada yang mampu menjaga kedamaian dengan kaum muslim, sehingga kafir seperti ini harus diperlakukan dengan damai. Tetapi ada pula yang suka menyerang dan memerangi kaum muslim, sehingga kita harus memerangi mereka sebagaimana mereka telah memerangi kita. Kelompok kedua ini mengusir umat Muslim dari rumah-rumah mereka ataupun bersengkol dan membantu pihak lain untuk tujuan yang sama. Maka terhadap kelompok ini, kaum Muslimin dilarang untuk mengikat hubungan berlandaskan kasih-sayang, seperti ketika kaum Musyrikin Mekah menyiksa kaum Muslimin dan menyebabkan berbagai macam kesulitan dalam kehidupan mereka.
Qaradhwi melihat sejarah toleransi Islam terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain merupakan sejarah yang putih bersih. Kaum non-Muslim telah merasakan puncak kehidupan yang damai dan tentram serta merasakan kebebasan dibawah pemerintahan Islam sebagaimana diakui sendiri oleh sejarawan Barat yang jujur. Tidak ada agama selain Islam yang mengajarkan prinsip toleransi kepada pemeluk agama lain. Islam mengharuskan pengikutnya berlaku baik kepada seluruh orang, baik orang yang dikasih ataupun dibenci. Islam mengharuskan umatnya untuk berlaku jujur kepada seluruh manusia, walaupun orang itu pernah berkhianat ataupun berkata dusta. Berbeda dengan kaum Yahudi yang memperbolehkan memakan riba apabila mereka melakukan transaksi kepada kaum non-Yahudi, tetapi mengharamkannya dikalangan mereka sendiri. Sedangkan Islam tidak menjadikan riba haram sesama muslim dan halal dengan non-Muslim, tetapi secara mutlak mengharamkannya untuk semua.
Namun menurut Qaradhawi, prinsip-prinsip toleransi dalam Islam telah banyak dieksploitasi dengan sengaja oleh orang-orang tertentu. Mereka berusaha untuk mengaburkan agama-agama dan mengembangkannya serta menguraikan tali pengikat kebanggaan umat Islam terhadap ajaran agamanya dan mencabut kehangan keagamaan dari dada mereka atas nama toleransi, nasionalisme, atau konsep-konsep lainnya. Menurutnya, toleransi bukan berarti meninggalkan hukum-hukum Islam yang merupakan syariat Tuhan, atau menyia-nyiakan konsep hidup Islam demi memuaskan hati kelompok minoritas non-Muslim dan tidak menyinggung perasaan mereka.
Toleransi menurut Qaradhawi juga tidak berarti bahwa hubungan antara Nasrani dan Muslim harus ditegakkan atas dasar kemunafikan karena mengutamakan ikatan tanah air atau kebangsaaan diatas ikatan keagamaan, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam ataupun ajaran Nasrani sekalipun. Tetapi toleransi yang benar adalah seperti yang diperintahkan masing masing agama, seperti hubungan bertetangga yang baik, mencintai kebaikan dan bersikap adil terhadap semua manusia. Toleransi pun tidak dimaknai Qaradhawi dengan menyamakan semua ajaran agama dan menghilangkan perbedaan-perbedaan yang asasi, sebagaimana tertuang jelas dalam salah satu bukunya “Minoritas Non-Muslim”,
Toleransi tidak berarti bahwa kita harus melumerkan segala perbedaan asasi pada setiap agama sedemikian, sehingga sama saja antara tauhid dan trinitas, antara mansukh (yang digantikan) dan nasikh (yang menggantikan). Pemikiran seperti ini akan membawa akibat yang berlawanan dengan yang dikehendaki. Itulah sebabnya, pikiran-pikiran seperti ini akan menjauhkan bukan mendekatkan, menceraiberaikan dan bukannya mempersatukan dan menghancurkan dan bukan membangun.
Setiap agama memiliki prinsip-prinsip dasar yang esenial serta karakteristik-karakteristiknya yang mandiri. Maka tidak dibenarkan melalaikan prinsip-prinsip dan karakteristik-karakteristik ini demi kesopan-santunan kosong atau demi memenangkan perjuangan di awang-awang.

Selain pengekploitasian makna toleransi, Qaradhawi melihat masih ada masalah lain yang harus dihadapi umat Islam dalam mewujudkan toleransi beragama dan menjaga ketentraman sebagaimana cita-cita Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Saat ini, api permusuhan masih terus dikobarkan oleh umat Nasrani dan Yahudi, serta pemeluk agama lainnya. Kaum Nasrani bahkan bergandengan mesra dengan kaum Yahudi untuk memerangi umat Islam, padahal kaum Yahudi sendiri tidak mengakui eksistensi al-Masih, kitab Injil, dan Maryam. Di dunia Arab, seruan kepada westernisasi diprakasai dengan lantang dan berani oleh orang-orang Kristen. Impreliasme Inggris menjajah Palestina kemudian menyerahkannya kepada tangan-tangan zionis Israel melalui perjanjian Balfour. Sedangkan di Indonesia menurut Qaradhawi, gerakan kristenisasi berusaha mengkristenkan Indonesia dalam waktu lima puluh tahun, walaupun rencana ini telah dihadang sejak pertiga abad yang lalu oleh Dewan Dakwah Islamiah Indonesia yang dipimpin oleh seorang lelaki pejuang bernama Dr. Muhammad Natsir.
Kaum salibis Barat yang agresor itu telah bertekad untuk menghancurkan umat Islam, tetapi tidak sebagaimana cara yang pernah ditempuh oleh bangsa Tartar dan tentara Salib pertama. Usaha mereka dialihkan kepada penghancurkan akidah dan pemikiran, perusakan nilai-nilai dan akhlak, juga adab-adab dan tradisi-tradisi Islam, dengan cara tersembunyi yang tidak dapat dilihat mata dengan cepat, diraba tangan dengan mudah, juga dengan cara-cara licik yang tidak memancing perhatian masyarakat. Dengan cara inilah mreka berhasil membinasakan bangsa-bangsa, tidak perlu dengan melepaskan tembakan atau mengayunkan padang. Cukup dengan cara menaburkan racun di makanan yang akan membunuh penyantapnya secara perlahan.

Begitulah perlakuan Barat terhadap umat Islam. Ketika Muslim menjadi minoritas atau bahkan mayoritas di berbagai negara, kondisi mereka sungguh berbeda dengan kondisi kaum minoritas non-Muslim di negeri-negeri Islam yang telah merasakan keramahan sikap dan perilaku kaum Muslimin. Umat Islam di Afrika dan Eropa tertindas dan terzalimi, tidak boleh menegakan syariat agama ataupun memiliki kekayaan dunia. Namun Qaradhawi menentang umat Islam untuk membalas perlakukan itu dengan cara yang sama, sebab agama Islam melarang menghukum para warga Negara non-Muslim dengan dosa para pemeluk agama mereka di negeri-negeri lain, padahal mereka tidak ikut terlibat dalam perbuatan dosa tersebut.

F. PENUTUP

Berdasarkan pemikiran dan pandangan Qaradhawi tentang penganut agama-agama serta kepercayaan di luar Islam serta konsep toleransi Islam yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Qaradhawi secara tidak langsung, sangat menentang konsep pluralisme agama sebagaimana pemikiran Arkoun dan para tokoh liberal lainnya. Kesimpulan tersebut didasarkan pada hal-hal berikut ini :
1. Qaradhawi menganggap Islam sebagai agama tauhid satu-satunya yang masih terjaga keasliannya sampai saat ini karena Islam diturunkan untuk menyempurnakan ajaran agama-agama sebelumnya. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan para penganut paham pluralisme dimana pemikiran seperti itu merupakan truth claim dan harus dihilangkan dalam ajaran tiap agama. Menurut mereka, tidak ada satu agamapun boleh merasa lebih istimewa dari agama lainnya.
2. Ahlul kitab menurut Qaradhawi adalah mereka yang agamanya (pada mulanya) berdasarkan kitab samawi meskipun kemudian mengalami perusakan dan pergantian, seperti kaum Yahudi dan Nasrani yang agama mereka didasarkan pada kitab Taurat dan Injil. Para pluralis, dalam hal ini Arkoun, melebarkan makna ahlul kitab bukan hanya sebatas pada pemeluk agama Nasrani dan Yahudi, tetapi juga pada kaum yang memiliki kitab dan tercerahkan oleh ilmunya. maka mereka berhak dikategorikan sebagai ahlul kitab.
3. Qaradhwi berpendapat bahwa para penganut agama dan kepercayaan di luar Islam merupakan pelaku kekufuran (kafir) dan harus ditunjukan kepada jalan lurus Islam melalui dakwah sungguh-sungguh. Penganut paham pluralisme agama sampai saat ini berusaha keras menghapus terminologi kafir dalam kosa kata umat Islam, atau paling tidak mendekonstruksi maknanya seperti yang mereka lakukan terhadap banyak istilah-istilah Islam penting lainnya.
4. Qaradhawi menentang bentuk toleransi yang mengorbankan prinsip-prinsip dan syariat Islam demi memuaskan hati siapapun, termasuk orang-orang non-Muslim. Pluralisme agama jelas-jelas mencoba untuk menghilangkan semua belenggu syariat dan simbol-simbol agama dengan dalih penghargaan terhadap penganut agama lain dan menghilangkan ekslusivitas di antara pemeluk suatu agama.
5. Toleransi dalam Islam tidak berarti mempersamakan agama yang satu dengan agama lainnya dan menghilangkan perbedaan-perbedaan asasi dari agama-agama tersebut karena menurut Qaradhawi setiap agama memiliki prinsip dan karakteristik masing-masing dan mempersamakannya justru akan mengakibatkan perpecahan dan kehancuran. Sedangkan paham pluralisme agama menganggap semua agama sama secara esensi tetapi berbeda dalam bentuk. Semua agama berasal dari Yang absolut sehingga kebenaran semua agama adalah setara. Penganut pluralisme pun percaya bahwa dengan menganggap semua agama membawa kebenaran yang sama maka akan terjadi perdamaian dan keharmonisan di dunia ini. Mungkin pendapat seperti inilah yang dimaksud oleh Qaradhawi sebagai sebuah kelalaian demi kesopan-santunan kosong atau demi memenangkan perjuangan di awang-awang.




DAFTAR PUSTAKA


Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn I No. 3, September-November 2004.

Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I no. 4, Januari – Maret, 2005.

Qaradhawi, Yusuf, Perjalanan hidupku, Jakarta : Pustaka al-Kautsar,

____________, Halal Haram dalam Islam, cetakan ke-3, Jakarta : Era Intermedia, hlm. 473.

____________, Fiqh Prioritas ; Sebuah Kajian Baru berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, cetakan ke-2, Jakarta : Robbani Press, 1999, hlm. 192.

____________ , Manusia dan Kebenaran, cetakan pertama, Jakarta : Pustaka Shadra, 2005.

_____________, Minoritas Non- Muslim di dalam Masyarakat Islam, cetakan ke-1, Jakarta: Penerbit Mizan, 1985.
______________ , Pengantar Kajian Islam; Studi Analitik Komprehensif tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, cetakan ke-6, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2003.

______________, Umat Islam menyongsong abad ke-21, Jakarta : Era Intermedia, 2001.

Soekarba, Siti Rohmah, The Critique Arab Thought : Mohammed Arkoun’s Deconstruction Method, Makara, Sosial Humioura, Vol.10, No.2, Deseber 2006 : 79-87, dari http://jurnal.ui.ac.id/upload/artike/04_Siti%20Rohmah%20%20Revisi.pdf,18 Februari 2010.