BAB 1 : PENDAHULUAN
Globalisasi menyisakan dampak-dampak negatif bagi perkembangan etika moral masyarakat kita. Pengaruh arus informasi yang deras tanpa batas dan mudah di akses baik melalui internet , handphone, dan media lainnya, telah menjadikan anak-anak kita tumbuh dengan tidak sesuai fitrahnya.
Di Negara-negara Islam gelombang dekadensi moral semakin meningkat. Gelobang yang berasal dari barat tersebut sama sekali tidak mengindahkan urgensi agama dalam menjaga moral. Dalam pandangan barat semua hal yang berhubungan dengan keyakinan tidaklah relevan dengan kehidupan, apalagi dalam hal penyembahan Tuhan.[1] Ironisnya budaya barat yang sudah mengalami kerusakan moral ini tersebar dengan mudah , baik melalui media cetak maupun elektronik. Akibatnya, budaya lokal masyarakat muslim terkontaminasi dengan budaya barat, dan pada akhirnya budaya lokal mengalami kegoncangan dan semakin dekat dengan gaya hidup barat.
Indonesia Negeri kita tercinta adalah salah satu korban dari dekadensi moral tersebut. Hal itu tergambar dengan jelas betapa merosotnya akhlak sebagian umat Islam Indonesia saat ini terutama di kalangan remaja. Gaya hidup hedonis, seks bebas dan pengunaan obat-obatan penenang sudah menjadi tontonan biasa dikalangan masyarakat. Sementara pembendungannya masih sangat lemah dan dengan konsep yang tidak jelas. Padahal kejayaan suatu bangsa itu ditentukan oleh moralnya, sebagaimana sya'ir berikut ini :
وإنما الأمم الأخلاق ما بقيت * فإن هم ذهبت أخلاقهم ذهبوا
Sesunggunya umat suatu bangsa itu ditentukan oleh akhlaknya, jika akhlak telah hilang dari mereka maka hilang pula kejayaanya.[2]
Maka dari itulah diperlukan kajian khusus mengenai akhlak ini yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Assunnah, karena dengan akhlak mulia, seorang muslim akan meraih kesempurnaan dalam imannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”[3]
Adapun judul makalah ini adalah : " AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN DAN HADIST " . Makalah ini merupakan studi kepustakaan ( Library research ) dengan pendekatan tafsir maudhu'i yang memfokuskan pada kajian akhlak menurut pandangan Al-Qur'an dan Al-Hadist, bukan dari sudut pandang filsafat barat.
Sumber primer kajian ini adalah Al-Qur'an dan Al-Hadist, dan sumber skunder mencakup kitab-kitab akhlak yang ditulis ulama' salaf, seperti ihya' ulum addin, tahdzib al-akhlak, kitab al-adab yang tercantum di kutub as-sunan dan lain-lain.
BAB 11 : PENGERTIAN AKHLAK SECARA BAHASA DAN ISTILAH
Pengertian Akhlak menurut bahasa
Secara bahasa ( etimologi ) Kata akhlak (الأخلاق ) merupakan jama' dari khuluq (خُلُق ) yang masing-masing berakar dari kata khalaqa ( خَلَقَ ) yang secara bahasa memiliki arti sebagai berikut :
1. menaqdirkan, menciptakan[4] (التقدير والإبداع), sebagaimana firman Allah : خَلَقَ الله السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ (العنكبوت : 44)Dialah ( Allah ) yang menciptakan langit dan bumi .[5]
1. Tabiat kepribadian[6] ( السجية والطبيعة )
2. Harga diri [7](مُرُوءة )
3. kebaikan ( البر )[8]
4. Agama[9] ( الدين )
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kata khalaqa ( خَلَقَ ) lebih cenderung pada bentuk lahirnya, sedangkan kata khuluq (خُلُق ) lebih cenderung pada bentuk batinnya. Sehingga ada ungkapan : فلان حسن الخلق والخلق ( sifulan baik lahirnya dan batinnya ). Hal itu sebagaimana disinyalir oleh Ar-raghib al-asfihani .[10]Sebagaimana tercakup dalam salah satu do'a Rasullah saw adalah : " Ya Allah, jadikanlah pada akhlakku mulia seperti Engkau menjadikan jasadku baik.[11] Hal itu karena manusia tersusun dari fisik lahir yang bisa dilihat dengan mata kepala, dan ruh yang dapat ditangkap dengan mata batin.[12] Dari dua unsur ini tidak bisa dipisah-pisahkan, karena keduanya saling terkait antara yang satu dengan lainnya. Jika baik maka memang keluar dari akhlaq yang baik, dan ada pula yang buruk jika keluar dari akhlaq yang buruk.[13] Miqdad yalijin menambahkan, akhlak terbentuk dari dua sisi yaitu nafsi ( dorongan jiwa ) dan suluki ( perilaku kebiasaan ) yang keduanya harus berjalan secara bersamaan.[14]
Adapun kata akhlak kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia identik dengan kata moral , Dalam kamus besar bahasa Indonesia, moral diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti sebagai ajaran Kesusilaan.[15] Kata moral sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.[16]
Pengertian Akhlak secara Istilah
1. Imam Ghazali dalam kitab ulumuddin, akhlak adalah suatu gejala kejiwaan yang sudah mapan dan menetap dalam jiwa, yang dari padanya timbul dan terungkap perbuatan dengan mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.[17]
2. Abu Usman al-Jahidz dalam kitab Tahdhib Al-Ahlak, akhlak adalah suatu gejala jiwa yang dengannya manusia berperilaku tanpa berfikir dan memilih, terkadang perilku ini terjadi secara spontanitas karena insting dan tabiat, dan terkadang pula membutuhkan sebuah latihan.[18]
3. Ibnu Maskawaih dalam kitab tahzibul akhlaq watathirul araq, mendifinisikan bahwa akhlaq itu sebagai sikap jiwa seserorang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran.[19]
4. Prof. Ahmad Amin dalam kitab Al-Akhlak mendifinisikan, akhlaq adalah adatul iradah (kehendak yang dibiasakan) lalu menjadi kelaziman (kebiasaan).[20]
5. Ibrahim Anis dalam kitab Al-Mu'jam Al-Wasith mengatakan, Akhlak adalah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.[21]
6. Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq al Hasani dalam kitab Tajjul ‘Arusy, Hakikatnya (akhlak) adalah gambaran batin manusia, yakni jiwanya, sifat-sifatnya, dan makna-maknanya yang spesifik, yang dengannya terlihat kedudukan makhluk, lantaran gambarannya secara zahir, baik sifat-sifatnya dan makna-maknanya, dan keduanya memeliki sifat yang baik atau buruk, mendapat pahala dan sanksi, yang kaitan keduanya dengan sifat-sifat yang tergambar secara batin adalah lebih banyak, dibanding apa-apa yang yang terkait dengan gambaran zahirnya.[22]
7. Al-Jurjani dalam kitab Al-Ta'rifat, Akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendalam ( rasyikhah ) yang melahirkan perilaku dengan mudah tanpa harus berfikir panjang, jika perilaku itu baik maka disebut khuluqan hasanan dan sebaliknya jika buruk maka disebut khuluqan sayyi'an.[23]
8. Ibn A'syur dalam kitab Tafsir al-Tahrir wa At-Tanwir, Akhlak adalah tabi'at jiwa yang akan memunculkan perilaku yang baik jika tidak dipengaruhi hal-hal yang mengiringinya, akhlak akan selalu tertanam pada jiwa, dan akan melahirkan perbuatan yang bisa dilihat dari tutur katanya, raut wajahnya, ketegarannya, kebijakannya, gerak diamnya, pola makan minumnya, sikap terhadap keluarganya dan seterusnya.[24]
Dari pengertian-pengertian Akhlak yang berbeda-beda tersebut di atas, dapatlah penulis menyimpulkan, sebagaimana yang disimpulkan oleh Abdurrahman Hasan Al-Medani, bahwa akhlak adalah sebuah sifat yang tertanam dalam jiwa ( Al-Shifah Al-Nafsiyyah ) seseorang baik secara fitrah atau usaha ( fitriyah/muktasabah ) yang melahirkan kehendak kebiasaan, baik yang terpuji maupun yang tercela.[25] Hal itu berbeda dengan " Suluk " ( Behavior ) karena ia merupakan perilaku yang tanpak secara dhahir saja dan tidak secara batin.
Adapun skemanya sebagai berikut :
JIWA
FIKIRAN
TINDAKAN
HATI
KEBIASAAN
PERJALANAN HIDUP
AKHLAK
BAB 111 : FAKTOR PENDORONG AKHLAK
1. Akal
Akal secara bahasa dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui.[26] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
" Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu" .[27]
Akal bisa juga disebut Hijr yang memiliki makna pembatas yang membatasi seseorang terjatuh kejurang kemungkaran. Menurut Ibn Kastir kamar rumah dalam bahasa arab disebut Hijr, karena membatasi aib dari penglihatan. [28] Diantaranya firman Allah :
هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ
Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. [29]
Ibn Kastir berkata :
أي: لذي عقل ولب ودين وإنما سمي العقل حجْرًا لأنه يمنع الإنسان من تعاطي ما لا يليق به من الأفعال والأقوال
" Maksud dari kata " Hijr " adalah orang yang memiliki akal, nurani, agama, sesungguhnya akal disebut "hijr" karena akal mencegah manusia dari perbuatan yang tidak layak, baik dari tindakan maupun ucapan " .[30]
Imam Al-Mawardi memberi perhatian khusus tentang pentingnya peran akal ini, sehingga beliau meletakkan bab tentang keutamaan akal pada bab pertama dalam kitabnya Adab Al-Dunya wa Al-Din, beliau menegaskan :
اعْلَمْ أَنَّ لِكُلِّ فَضِيلَةٍ أُسًّا وَلِكُلِّ أَدَبٍ يَنْبُوعًا ، وَأُسُّ الْفَضَائِلِ وَيَنْبُوعُ الْآدَابِ هُوَ الْعَقْلُ
" Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap keutamaan memiliki inti dan setiap adab memiliki sumber, dan inti keutamaan dan sumber adab adalah akal …"[31]
Sementara itu, Hujjatul Islam Imam al Ghazali, mengakui bahwa akal merupakan faktor pendorong akhlak menuju kebaikan , beliau berkata :
وإنما الأخلاق الجميلة يراد بها العلم والعقل والعفة والشجاعة والتقوى والكرم وسائر خلال الخير، وشيء من هذه الصفات لا يدرك بالحواس الخمس بل يدرك بنور البصيرة الباطنة
“Sesungguhnya, yang dimaksudkan dengan akhlak yang indah adalah ilmu, akal, ‘iffah (rasa malu berbuat dosa), keberanian, taqwa, kemuliaan, dan semua perkara yang baik, dan semua sifat-sifat ini tidak hanya ditampilkan oleh panca indera yang lima, tetapi juga oleh cahaya mata hati dan batin.”[32]
2. Hawa nafsu
Hawa nafsu mengandung pengertian kecondongan jiwa yang mendorong manusia untuk berakhlak menyimpang, baik yang berupa syahwat maupun syubhat, sebagaimana yang ditegaskan Imam Ibnu Abi ‘Izz Al-Hanafi dalam Syarh Aqidah Thahawiyah.[33]. hal itu sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
''Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, niscaya ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.'' [34]
Ayat di atas mengandung perintah kepada kita untuk mengekang hawa nafsu. Karena nafsu adalah pendorong utama menuju kesesatan.
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)
Dan adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggalnya.''[35]
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ
Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuannya dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan penutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pengajaran).[36]
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru tuhanNYA pada pagi dan petang dengan mengharap keredhaannya dan jangan kedua matamu berpaling dari mereka kerana mengharapkan perhiasan kehidupan duniawi. Jangan sesekali mentaati orang-orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingati kami serta menurut hawa nafsunya dan ia keadaannya ia sudah terlalu melampaui batas.[37]
.
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ [حَديثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَرَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّة بإسنادٍ صحيحٍ ]
Dari Abu Muhammad Abdillah bin Amr bin ‘Ash radhiallahuanhuma dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : "Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa “ Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab Al Hujjah dengan sanad yang shahih.[38]
BAB 1V : AKHLAK ANTARA SIFAT ALAMI DAN USAHA
Akhlaq ada yang merupakan tabiat atau ketetapan asli ( al maurus/al jibiliyyah/thabi'ah ) , ada juga yang bisa diupayakan dengan jalan berusaha ( al muktasabah ). Hal itu sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Asyajj 'Abdul Qais:
إن فيك لخلقين يحبهما الله : الحلم والأناة ، يا رسول الله , أهما خلقان تخلقت بهما , أم جبلني الله عليهما ، قال : بل جبلك الله عليهما ، قال : الحمد لله الذي جبلني على خلقين يحبهما ورسوله
"Sesungguhnya dalam dirimu ada dua sifat yang Allah sukai;sifat santun dan tidak tergesa-gesa"Ia berkata: ”Wahai Rasulullah, Apakah kedua akhlaq tersebut merupakanhasil usahaku, atau Allah-kah yang telah menetapkan keduanyapadaku?”Beliau menjawab: "Allahlah yang telah mengaruniakan keduanya padamu".Kemudian ia berkata:”Segala puji bagi Allah yang telah memberiku dua akhlaq yangdicintai oleh-Nya dan oleh Rasul-Nya”.[39]
Ibn Qoyyim dalam kitab Madarijussalikin berkata :
فدل على أن من الخلق ما هو طبيعة وجبلَّة وما هو مكتسب
Hadist ini menunjukkan bahwa sesungguhnya diantara akhlak ada yang tabi'at atau sifat alami dan ada pula sifat yang diusahakan.[40]
Senada dengan Ibn Qoyyim, Muhammad bin Sholeh Ustaimin menambahkan bahwa dari hadist ini menunjukan bahwa akhlaq mulia bisa berupa perilaku alami (yakni karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya-pent) dan juga dapat berupa sifat yang dapat diusahakan atau diupayakan. Akan tetapi, tidakdiragukan lagi bahwa sifat yang alami tentu lebih baik dari sifat yang diusahakan. Karena akhlaq yang baik jika bersifat alamiakan menjadi perangai dan kebiasaan bagi seseorang. Ia tidak membutuhkan sikap berlebih - lebihan dalam membiasakannya. Juga tidak membutuhkan tenaga dan kesulitan dalammenghadirkannya. Akan tetapi, ini adalah karunia dari AllahSubhanahu wa Ta’ala yang Ia diberikan kepada seorang hambayang dikehendaki oleh-Nya.[41]
Adapun yang terhalang dari tabiat alami, maka sangat mungkin baginya untuk memperolehnya dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa diantara salah satu tujuan dari diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: sebagaimana tercantum dalam sabdanya :
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.”[42]
Hadist ini menunjukkan usaha Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk merubah akhlak yang buruk menuju akhlak yang mulia, hal itu juga dikuatkan oleh firman Allah :
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,[43]
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ نَاسًا مِنْ الأَنْصَارِ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَاهُم، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ: (مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ،وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ
Dari Abi Sa'id Al-Khudri, berkata : Sesungguhnya sekelompok orang dari sahabat anshar meminta sesuatu dari rasulallah saw, kemudin beliau memberinya, kemudian mereka meminta lagi dan Rasullah saw memberinya lagi, sehingga semua habis . maka Rasulallah bersabda : apa saja yang aku miliki dari kebaikan maka aku tidak pernah menyimpannya dari kalian, barang siapa menjaga sifat iffah maka Allah akan memberikannya, dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allah mencukupinya, barangsiapa mencoba untuk sabar maka Allah akan menyabarkannya, dan tidaklah seseorang diberikan pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.[44]
Ibn Qoyyim mengomentari hadis ini, dan berkata :
فإن قلت: هل يمكن أن يقع الخُلق كسبيا أو هو أمر خارج عن الكسب؟ قلت: يمكن أن يقع كسبيا بالتخلق والتكلُّف حتى يصير له سجيةً وملكة
Jika kamu bertanya , apakah mungkin akhlak bisa diusahakan ataukah dia tidak bisa diusahakan ?, maka aku jawab : ya mungkin , akhlak bisa diusahakan dan dipaksakan, sehingga menjadi sebuah karakter dan malakah.[45]
BAB V : URGENSI AKHLAK DALAM AL-QUR'AN DAN AL-HADIST
Akhlak sebagai misi Nabi Muhammad saw
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.”[46]
Al-Fairuz Abadi berkata :
واعلم أن الدين كلّه خلق، فمن زاد عليك في الخلق زاد عليك في الدين
Ingatlah sesungguhnya agama adalah akhlak secara keseluruhan, barangsiapa yang menambah tasmu akhlak maka bertambah pula atasmu agama.[47]
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan seseungguhnya engkau (Muhammad), benar-benar berbudi pekerti agung.[48]
Berkata Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari Rahimahullah :
وإنك يا محمد لعلى أدب عظيم، وذلك أدب القرآن الذي أدّبه الله به، وهو الإسلام وشرائعه.
“Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, benar-benar di atas adab (etika) yang mulia, itulah adab Al Quran yang dengannya Allah telah mendidiknya, yakni (adab) Islam dan syariat-syariatnya.[49]
Ucapan Imam Ibnu Jarir ini merupakan rangkuman dari berbagai tafsir tentang makna ‘Khuluqun ‘Azhim’, yang dimaknai oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Adh Dhahak, dan Ibnu Zaid, di mana mereka mengartikannya dengan makna ‘agama mulia’, yakni Islam. Sedangkan ‘Athiyah memaknainya dengan ‘Adabul Qur’anetika al Quran)’[50]. Ibn Kastir dan Assyaukani menambahkan dengan makna ' tabi'at yang mulia ( al-tab'u al-karim ) serta adab yang agung ( al-adab al-adzim )'[51] . [52] Sementara itu, Aisyah Radhiallahu ‘Anha memaknai ayat ‘sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung’ adalah Al Quran. Sebagaimana riwayat berikut :
عن سعد بن هشام بن عامر ، في قول الله عز وجل ( وإنك لعلى خلق عظيم ) قال : سألت عائشة رضي الله عنها : يا أم المؤمنين ، أنبئيني عن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقالت : « أتقرأ القرآن ؟ » فقلت : نعم ، فقالت : « إن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم القرآن »
Dari Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir, tentang firmanNya ‘Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung’, dia berkata: ‘Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Wahai Ummul Mu’minin, kabarkan kepada saya tentang akhlaq Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Beliau menjawab: “Apakah engkau membaca Al Quran?” Aku menjawab: “Tentu.” Dia berkata: “Sesungguhnya Akhlaq Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al Quran.”[53]
Akhlak sebagai salah satu rukun dakwah para Rasul
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ نُوحٌ أَلاَتَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُون.
“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka:”Mengapa kamu tidak bertaqwa?Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.Maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku".[54]
Akhlak sebagai barometer
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.[55]
إِنَّ اللَّهَ لا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk fisik kalian dan banyaknya harta kalian, akan tetapi Ia melihat pada pada hati dan Amal kalian.[56]
إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلاقً
Sesungguhnya sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik akhlaknya.[57]
Akhlak sebagai pilar kebaikan
عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Dari An Nawas bin Sam’an al Anshari, dia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang Al Birr (kebaikan) dan Dosa, beliau bersabda: Al Birr adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa-apa yang membuat dadamu tidak nyaman, dan engkau membencinya jika manusia melihatnya.[58]
An Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini
قَالَ الْعُلَمَاء : الْبِرّ يَكُون بِمَعْنَى الصِّلَة ، وَبِمَعْنَى اللُّطْف وَالْمَبَرَّة وَحُسْن الصُّحْبَة وَالْعِشْرَة، وَبِمَعْنَى الطَّاعَة ، وَهَذِهِ الْأُمُور هِيَ مَجَامِع الْخُلُق
“Berkata para ulama: Al Birr dimaknai dengan Ash Shilah (hubungan), dan bermakna kelembutan, kebaikan, persahabatan yang baik, dan pergaulan yang baik, dan juga bermakna ketaatan. Semuanya ini terhimpun pada kata Akhlak.[59]
As syaukani berkata :
البر اسم جامع للحير
Al-Birr adalah nama yang mencakup seluruh kebaian.[60]
Akhlak penyebab masuk Syurga
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang hal apa yang menyebabkan paling banyak manusia masuk ke surga, maka beliau menjawab: “Taqwa kepada Allah, dan akhlaq yang baik " .[61]
Al Mubarkafuri berkata tentang makna husnul khuluq:
أَيْ مَعَ الْخَلْقِ ، وَأَدْنَاهُ تَرْكُ أَذَاهُمْ وَأَعْلَاهُ الْإِحْسَانُ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِ مِنْهُمْ
“Yaitu akhlak terhadap makhluk, dia mendekatkan diri dan menjauhkan dari sikap menyakiti mereka, dan lebih tinggi kebaikannya kepada siapa-siapa yang telah berbuat buruk kepadanya dari mereka.[62]
Sementara Imam At tirmidzi meriwayatkan dari Imam Abdullah bin Mubarak tentang makna Husnul Khuluq (akhlaq yang baik):
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ وَصَفَ حُسْنَ الْخُلُقِ فَقَالَ هُوَ بَسْطُ الْوَجْهِ وَبَذْلُ الْمَعْرُوفِ وَكَفُّ الْأَذَى
Dari Abdullah bin Mubarak, bahwa dia menyifati akhlak yang baik adalah wajah yang ceria, suka memberikan hal-hal yang baik, dan menahan tangannya dari menyakiti manusia .[63]
Akhlak sebagai pemberat timbangan amal
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُق
Dari Abu Darda, dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada sesuatu pun yang diletakkan di atas timbangan lebih berat dibandingkan akhlak yang baik.”[64]
Imam Abu Thayyib Rahimahullah berkata tentang maksud hadits di atas
أَيْ مِنْ ثَوَابه وَصَحِيفَته أَوْ مِنْ عَيْنه الْمُجَسَّد
“Yaitu pahala akhlak yang baik, catatannya dan nilai akhlak baik itu sendiri. [65]
Akhlak sebagai Syafa'at
إِنَّ أَحَبَّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبَكُمْ مِنِّي فِي الآخِرَةِ مَحَاسِنُكُمْ أَخْلاقًا، وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي فِي الآخِرَةِ مَسَاوِيكُمْ أَخْلاقًا
Sesungguhnya diantara kalian yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku besok di akhirat adalah yang terbaik akhlaknya, Sesungguhnya diantara kalian yang paling aku benci dan yang paling jauh denganku besok di akhirat adalah yang terburuk akhlaknya.[66]
BAB VI : RUANG LINGKUP AKHLAK
Sesuai dengan asal kata " Akhlak " yaitu masdar Khuluq, ini bisa dikembangkan menjadi isim fa'il yaitu Kholiq, maupun isim maf'ul yaitu " Makhluq ", berangkat dari sini maka ruang lingkup Akhlak terbagi menjadi dua yaitu Akhlak terhadap Kholiq dan Akhlak terhadap Makhluk. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Qoyyim[67] dan Ibn Rajab[68], Yang semua itu secara ringkas tercakup dengan utuh dalam kandungan hadist berikut ini :
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kamu kepada Alloh di mana pun kamu berada, iringilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik.”[69]
Ibn Rajab mensyarah hadist ini seraya berkata :
فهذه الوصية وصية عظيمة جامعة لحقوق الله وحقوق عباد.
" Ini adalah wasiat yang agung yang mencakup akhlak terhadap Allah dan Akhlak terhadap sesame manusia secara keseluruhan ".[70]
Ath Thayyibi berkata :
تَقْوَى اللَّهِ إِشَارَةٌ إِلَى حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ مَعَ الْخَالِقِ بِأَنْ يَأْتِيَ جَمِيعَ مَا أَمَرَهُ بِهِ وَيَنْتَهِيَ عَنْ مَا نَهَى عَنْهُ وَحُسْنُ الْخَلْقِ إِشَارَةٌ إِلَى حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ مَعَ الْخَلْقِ وَهَاتَانِ الْخَصْلَتَانِ مُوجِبَتَانِ لِدُخُولِ الْجَنَّةِ وَنَقِيضُهُمَا لِدُخُولِ النَّارِ فَأَوْقَعَ الْفَمَ وَالْفَرْجَ مُقَابِلًا لَهُمَا .
" Taqwa kepada Allah’ merupakan isyarat terhadap baiknya pergaulan dengan Sang Pencipta, yakni dengan cara menjalankan semua yang diperintahkanNya dan menjauhi dari dari apa-apa yang dilarangNya. “Akhlak yang baik’ merupakan isyarat terhadap baiknya pergaulan dengan sesama makhluk. Dua perangai ini akan mengantarkan kepada surga, sedangkan yang bertentangan dengan keduanya akan masuk ke neraka. Apa yang biasa dilakukan Mulut dan kemaluan, merupakan lawan dari kedua perangai itu."[71]
Adapun perincian ruang lingkup akhlak sebagai berikut :
Akhlak terhadap kholik ( حق الله/ vertikal )
· MenjadikanNya satu-satunya ma’bud (sembahan) yang haq dan murni. (QS. 1: 5)(QS. 98:5)
· Taat kepadaNya secara mutlak. (QS. 4:65)
· Tidak menyekutukanNya dengan apa pun. (QS. 4: 116)
· MenjadikanNya sebagai tempat minta pertolongan. (QS. 1:5)
· Memberikan hak rububiyah, uluhiyah, asmaul husna dan sifatul ’ulya, hanya kepadaNya. (QS. 1;2), (QS. 114: 3)
· Tidak menyerupakanNya dengan apa pun (QS. 42: 11)
· Menetapkan apa-apa yang ditetapkanNya, mengingkari apa-apa yang diingkariNya, mengharamkan apa-apa yang diharamkanNya, dan menghalalkan apa-apa yang dihalalkanNya. (QS. 5: 48-49)
· MenjadikanNya sebagai satu-satunya pembuat syariat. (QS. 6: 57)
· Berserah diri kepadaNya (QS. 20:72)
Akhlak terhadap makhluk ( haq adami/horisontal )
A. Akhlak kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
· Mengakui dan mengimani bahwa Beliau adalah hamba Allah dan RasulNya. (QS. 18:110)
· Meyakini bahwa Beliau adalah Rasul dan NabiNya yang terakhir, dan risalahnya pun juga risalah terakhir. (QS. 30:40)
· Taat kepadanya secara mutlak. (QS. 4:65)
· Menjadikannya sebagai teladan yang baik dalam kehidupan, beragama, keluarga, sosial, dan lain-lain. (QS. 30:21)
· Meyakini bahwa syafa’at darinya hanya terjadi dengan idzin Allah ta’ala. (QS. 10:3), (QS. 20:109)
· Bershalawat padanya. (QS. 30:56)
· Menerima keputusannya secara lapang. (QS. 4: 59)
· Mencintai keluarganya (ahli baitnya). (HR. At tirmidzi, Juz.12, Hal. 260, No. 3722. Al Maktabah asy Syamilah)
· Mencintai para sahabatnya dan mengakui bahwa mereka adalah umat terbaik dan semuanya adil. (QS. 3: 110)
Mencintai yang dicintainya dan membenci yang dibencinya. (QS. Al-Hasr : 7 )
§ Memanggil Nabi dengan namanya ( QS. 24:63, 49:4, 49:5 )
§ Meninggikan suara melebihi suara Nabi ( QS. 49:1, 49:2, 49:3 )
§ Etika berbicara dengan Nabi ( QS. 2:104, 49:3, 49:4, 49:5 )
§ Memohon diri kepada Nabi saat meninggalkan majlisnya (QS. 24:62 )
§ Pembicaraan khusus dengan Nabi ( QS 58:12, 58:13 )
B. Akhlak Pribadi ( al-Khuluq al-fardi )
· Tidak menjerumuskan diri pada jurang kerusakan ( QS.Al-baqarah : 195 )
· Menjauhi dusta ( QS. Al-Hajj : 30, Al-Nahl: 105 )
· Menjauhi sifat kemunafikan ( QS. Al-Baqarah : 204-206 )
· Menyerasikan antara ucapan dan perbuatan ( QS. Al-Baqarah : 44 , As-Shaff : 2-3 )
· Menjauhi sifat kikir ( QS. Al-Hasr : 9, Al-Baqarah : 268, An-Nisa' : 37 )
· Menjauhi kemubadziran ( QS.AL-Isra' : 26-27 )
· Menjauhi riya' ( QS. An-Nisa : 38, Al-Ma'un : 3-7 )
· Menjauhi Sombong ( QS. Luqman : 18, Al-Isra : 37, An-Nahl : 23 )
C.Akhlak keluarga ( al-akhlak al-usariyah )
· Memuliakan orang tua ( QS. An-Nisa' : 36 , al-Isra' : 23-24, luqman : 14-15 )
· Menyayangi Anak dan mendidiknya ( QS. Al- An'am : 151, Attakwir : 8,9,14, al-tahrim : 6 )
· Hak dan kewajiban suami istri ( QS. An-nisa' : 22, 34, 19, 24 )
· Berbuat baik terhadap kerabat ( QS. Arrum :38, al-baqarah : 180, an-nisa' : 7 ,
D.Akhlak kemasyarakatan ( al-akhlaq al- ijtima'iyyah )
· sifat pemaaf terhadap sesame ( QS. As syura : 37 )
· Berlaku amanah dan menjauhi khianat ( QS.Al-Anfal : 27, annahl : 91 )
· Menjauhi kedzaliman ( QS. Thoha : 111, Assyura : 40, al-furqon : 19 )
· Menjauhi kesaksian palsu ( QS. Al-haj : 30 )
· Tidak menyembunyikan persaksian ( QS. Al-Baqarah : 283 )
· Menjaga lisan ( QS. Annisa' : 148-149 )
· Menyantuni anak yatim ( QS. Addhuha : 9-10 )
· Menjauhi ghosip ( QS. Al –Hujurat : 12 )
· Menepati janji ( QS. al-maidah : 1 , al-isra' : 34 )
· Etika berbicara ( QS. 31:19, 49:314:24, 14:25, 14:26, 24:26, 28:55, 39:18 )
· Menghormati dan meluaskan tempat kepada orang saat berkumpul ( QS . 58:11 : 58:8, 58:9 : 24:62 )
· Memberi salam ( QS. 15:52, 16:32, 19:15, 51:25 : 58:8 , 4:86, 51:25 )
· Menghormati dan melayani tamu ( Qs18:77, 51:26, 51:27 : 11:69, 24:61, 33:53, 51:26, 51:27 )
· Menghormati tetangga ( QS 4:36 , 4:36, 107:7 )
· Akhlak terhadap hamba sahaya ( QS. 4:36 , 4:36 , 4:36, 4:36 )
BAB VII : KESIMPULAN
Akhlak adalah sebuah sifat yang tertanam dalam jiwa ( Al-Shifah Al-Nafsiyyah ) seseorang baik secara fitrah atau usaha ( fitriyah/muktasabah ) yang melahirkan kehendak kebiasaan, baik yang terpuji maupun yang tercela.
Konsep Akhlak dalam Islam berbeda jauh dari konsep barat, Islam melihat akhlak dari dua sisi yang tidak bisa dipisahkan yaitu sisi lahir dan batin, sementara barat hanya melihat dari sisi lahirnya saja ( behavior ), hal itu karena barat melihatnya dari sudut pandang logika semata dan tidak mengenal konsep wahyu.
Akal dan Nafsu merupakan dua pendorong terwujudnya akhlak, jika akal yang dominan maka akan melahirkan akhlak mulia, dan sebaliknya, jika nafsu yang dominant maka akan melahirkan akhlak yang tercela.
Akhlaq ada yang merupakan tabiat atau ketetapan asli ( al maurus/al jibiliyyah/thabi'ah ) , ada juga yang bisa diupayakan dengan jalan berusaha ( al muktasabah ).
Ruang lingkup Akhlak terbagi menjadi dua yaitu Akhlak terhadap Kholiq dan Akhlak terhadap Makhluk.
Akhlak yang mulia memiliki kedudukan yang tinggi dan urgensi sangat penting dalam membangun masyarakat islam
Akhlak yang mulia merupakan tonggak kejayaan satu bangsa atau umat.
Akhlak yang mulia merupakan salah satu rukun dakwah para Rasul
Akhlak yang mulia meliputi akhlak terhadap Allah dan makhluknya.
Daftar Pustaka
Al-Qur'an
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. Ke-4, hal. 788
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Gema Insani, (2004 )
Muhammad bin Sholeh Ustaimin, Budi Pekerti Yang Mulia, Maktabah Abu Salma
Miqdad yalijin, jawanib al-tarbiyyah al-Islamiyyah , ( Riyadl : 1986 )
Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12
Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin , Maktabah Ays Syamilah
Abu Usman al-Jahidz , Tahdhib Al-Ahlak , Maktabah Ays Syamilah
Ibnu Maskawaih, Tahdhib Al-Ahlak, Maktabah Ays Syamilah
Ahmad Amin, Kitab Al-Akhlak, ( kairo : Dar al-kutub al-misriyah, tt )
Ibrahim Anis , Al-Mu'jam Al-Wasith , ( kairo : Dar al-Ma'arif , 1972 )
Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq al Hasani, Tajjul ‘Arusy, Maktabah Ays Syamilah
Al-Jurjani , Al-Ta'rifat, (bairut : alam al-kitab, 1987 )
Abdurrahman Hasan Al-Medani, Al-Akhlak Al-Islamiyah wa Asasuha, ( Beirut : dar al-qalam : 1992 )
Ibn Mandzur, Lisanul Arab, Al Maktabah Asy Syamilah
Ibn Kastir, Tafsir Ibn Kastir, jilid 8, Al Maktabah Asy Syamilah
Al-mawardi, Adab Al-Dunya wa Al-Din, Al Maktabah Asy Syamilah
Al- Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an,Al Maktabah Asy Syamilah
Syarh An Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, Al Maktabah Asy Syamilah
Imam Abu Thayyid Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud,. Al Maktabah Asy Syamilah
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Al Maktabah Asy Syamilah
dll
AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN DAN HADIST
Makalah Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Tafsir Hadist Pendidikan
Oleh :
Akhmad Alim
Dosen Pembimbing :
Prof. DR.KH.Didin Hafidhudin, MS
PROGAM DOKTOR PENDIDIKAN
PASCA SARJANA UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
TAHUN 2010
KATA PENGANTAR
إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله. فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه و سلم، وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.
Segala puji hanya milik Allah yang telah memberikan banyak nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Diantara nikmat itu dimudahkannya atas terselesaikannya makalah ini.
Tidak lupa kami ucapkan jazakumullah khairan kastira kepada DR.H.Adian Husaini, M.A, yang telah banyak memberikan ilmu dalam perkuliyahan , sekaligus bersedia membimbing dalam penulisan makalah ini.
Makalah ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas individu mata kuliah Islamic Worlview , pada semester awal pada progam doktor pemikiran pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor. Semoga makalah yang sederhana ini bermanfaat, dan besar untuk mendapatkan kritik saran demi kebaikan penulisan berikutnya.
Bogor, 07 Januari 2010
Al-faqir ilallah
Akhmad Alim
[1] - Ali Abdlul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Gema Insani : 2004, hlm.62
[2] - Thoha Ali Husain, Asalib Tadris Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, Dar Assuruq, cet. 2003, hlm.151
[3] -Dikeluarkan oleh Abu Daud, No (4682) di Kitaabus Sunnah. Dan Tirmidzi, No (1162) di
Kitaabur Radhaa', dengan tambahan: " Dan sebaik-baik kalian adalah yang berbuat baik terhadap istrinya ", Imam Tirmidzi berkata: hadits hasan shahih, dan keduanya terdapat dalam kitab Shahiihul Jaami', No (1230 & 1232).
[4] - Ibn Faris, Maqayis al-lughah, jilid 2 , hlm.214 ، مادة (خ ل ق). , Ibn Mandzur, Lisan al-arab, jilid 10, hlm. 86
[5] - Qs. Al-Ankabut : 44
[6] - Ibn Faris, Maqayis al-lughah, jilid 2 , hlm.214 ، مادة (خ ل ق). , Ibn Mandzur, Lisan al-arab, jilid 10, hlm. 86, Ibn A'syur, al-Tahrir wa At-Tanwir, jld 29,hlm.64
[7] - Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq al Hasani, Tajjul ‘Arusy, Hal. 6292. Al Maktabah Ays Syamilah
[8] - lihat. HR. Muslim, Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab Bab Tafsir Al Birr wal Itsm, Juz. 12, Hal. 403, no hadits. 4632. Al Maktabah Asy Syamilah
[9] -Ibn Mandzur, Lisan al-arab, jilid 10, hlm. 86
[9] - Muhammad bin Muhammad bin Abdurraza
[10] - lihat. Ad-dzari'ah ila makarimi al- akhlaq, hlm. 39, lisan al-arab, jilid 10, hlm. 86
[11] - hadis riwayat Ahmad
[12] -Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Gema Insani, (2004 ), hlm.28
[13] - Muhammad bin Sholeh Ustaimin, Budi Pekerti Yang Mulia, Maktabah Abu Salma, Hlm. 3
[14] - Miqdad yalijin, jawanib al-tarbiyyah al-Islamiyyah , ( Riyadl : 1986 ), hlm.285
[15] - Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 192
[16] - Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12, h. 38
[17] -Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin , Jilid 3 hlm. 53
[18] - Abu Usman al-Jahidz , Tahdhib Al-Ahlak , Hlm 12
[19] - Ibnu Maskawaih, Tahdhib Al-Ahlak , Hlm 25
[20] - Ahmad Amin, Kitab Al-Akhlak, ( kairo : Dar al-kutub al-misriyah, tt ) hlm.15
[21] - Ibrahim Anis , Al-Mu'jam Al-Wasith , ( kairo : Dar al-Ma'arif , 1972 ) hlm. 202
[22] - Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq al Hasani, Tajjul ‘Arusy, Hal. 6292. Al Maktabah Ays Syamilah
[23] - Al-Jurjani , Al-Ta'rifat, (bairut : alam al-kitab, 1987 ), Hlm.135
[24] - Ibn A'syur, al-Tahrir wa At-Tanwir, jld 29,hlm.64
[25] - Abdurrahman Hasan Al-Medani, Al-Akhlak Al-Islamiyah wa Asasuha, ( Beirut : dar al-qalam : 1992 )jilid 1, hlm.10
[26] -Lihat, Ibn Mandzur, Lisanul Arab, 11/458
[27] -
[28] - lihat Ibn Kastir, Tafsir Ibn Kastir, jilid 8, hlm.394, Al Maktabah Asy Syamilah
[29] - QS. Al-Fajr : 5
[30] - lihat Ibn Kastir, Tafsir Ibn Kastir, jilid 8, hlm.394, Al Maktabah Asy Syamilah
[31] - Al-mawardi, Adab Al-Dunya wa Al-Din,jilid 1 , halm. 3, Al Maktabah Asy Syamilah
[32] - Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz. 3, Hal. 393. Al Maktabah Asy Syamilah
[33] - Lihat , Ibnu Abi ‘Izz Al-Hanafi , Syarh Aqidah Thahawiyah, hal: 339
[34] - QS Shaad : 26
[35] -QS An-Nazi'aat : 40-41
[36] - QS.Al-Jasyiyah : 23
[37] - QS.Al-Kahfi : 28
[38] - Lihat Qowa’id Wa Fawa’id minal Arba’in An-Nawawiyah, karangan Nazim Muhammad Sulthan hal. 355, Misykatul Mashabih takhrij Syaikh Al Albani, hadits no. 167, juz 1, Jami’ Al Ulum wal Hikam oleh Ibn Rajab)
[39] - Dikeluarkan oleh Abu Daud, No (5225) di Kitaabul Adab, dan Ahmad (4 / 206). ImamMuslim hanya mengeluarkan bagian yang pertama saja, No (25 & 26) di Kitaabul Iimaan,juga oleh Imam Tirmidzi, No (2011) di Kitaabul Bir Wash Shilah
[40] -Ibn Qoyyim, Madarikussalikin, Jilid 3, hlm. 315
[41] - Muhammad bin Sholeh Ustaimin, Budi Pekerti Yang Mulia, Maktabah Abu Salma, Hlm. 7
[42] - Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di kitab Al-Musnad (2 / 381), dan Hakim di kitab Al- Mustadrok (2 / 613) dan di-shahih-kan olehnya sesuai dengan persyaratan Imam Muslim serta disepakati oleh Imam Dzahabi. Dan dikeluarkan juga oleh Imam Bukhari di kitab al-Adabul Mufrad, No (273), Baihaqi (10 / 192), Ibnu Abi Dunya dalam kitab Makaarimul Akhlaaq, No (13). Berkata Imam Al-Haitsami dalam kitab Majma'uz Zawaa-id (9 / 15): Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah perawi Shahih. Dan dishahihkan uga oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Silsilatush Shahiihah, No (45).
[43] - QS. Al-Jumuah : 2
[44] - HR. Bukhari, kitab Zakat, bab : الاستعفاف عن المسألة (1469), Muslim, (1053 )
[45] - Ibn Qoyyim, Madarikussalikin, Jilid 3, hlm. 315
[46] - Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di kitab Al-Musnad (2 / 381), dan Hakim di kitab Al- Mustadrok (2 / 613) dan di-shahih-kan olehnya sesuai dengan persyaratan Imam Muslim serta disepakati oleh Imam Dzahabi. Dan dikeluarkan juga oleh Imam Bukhari di kitab al-Adabul Mufrad, No (273), Baihaqi (10 / 192), Ibnu Abi Dunya dalam kitab Makaarimul Akhlaaq, No (13). Berkata Imam Al-Haitsami dalam kitab Majma'uz Zawaa-id (9 / 15): Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah perawi Shahih. Dan dishahihkan uga oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Silsilatush Shahiihah, No (45).
[47] - basha'ir dzawi Tamyiiz , jilid2, hlm. 568
[48] - QS. Al Qolam (68): 4
[49] - Al- Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Jilid 23, Hlm. 528. Al Maktabah Asy Syamilah
[50] - Al- Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Jilid 23, Hlm. 528. Al Maktabah Asy Syamilah
[51] - lihat Ibn Kastir, Tafsir Ibn Kastir, jilid 4, hlm.429, Assyaukani, Tafsir Assyaukani, jilid 5, hlm.364
[52] - Ibid, Juz. 23, Hal.529-530. Al Maktabah Asy Syamilah
[53] - HR. Al Hakim, katanya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, Juz. 9, Hal. 39, No hadits. 3801. Al Maktabah Asy Syamilah
[54] - QS. Asy Syu’ara: 105-110, Demikian juga Nabi Hud ‘alaihis salam mengajak kaumnya berakhlak mulia , lihat . QS. Asy Syu’ara:123-135, Nabi Shalih ‘alaihissalam pun mengajak kaumnya kepada akhlak yang mulia, lihat. QS. 26:141-147, nabi Luth ‘alaihis salam, lihat. (QS. 26:141-147)., Nabi Syu’aib ‘alaihis salam, lihat. (QS. 26:176-184).
[55] - QS. Al-Hujurat : 13
[56] - HR. Abu Daud, no. (5225) , Bazzar, no. (2746) Tabrani, no. (5313) , Baihaqi, no. (7/102).
[57] - HR. Bukhori, no. (3559), Muslim, no. (2321)
[58] - HR. Muslim, Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab Bab Tafsir Al Birr wal Itsm, Juz. 12, Hal. 403, no hadits. 4632. Al Maktabah Asy Syamilah
[59] - Syarh An Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, Juz. 8, Hal. 343, no hadits. 4632. Al Maktabah Asy Syamilah
[60] - As syaukani, Fath al-qodir, jilid 1, hlm. 128
[61] - HR. At Tirmidzi, Kitab Al Birr wasAsh Shilah ‘an Rasulillah bab Maa Ja’a fi Husnil Khuluq, Juz. 7, Hal. 286 No hadits. 1927. Katanya: shahih gharib. Syaikh Al Albany mengatakan hasan. Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, Hal. 5, Juz. 4, no. 2004. Al Maktabah Asy Syamilah
[62] - Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 5, Hal. 252. Al Maktabah Asy Syamilah
[63] - Sunan At Tirmidzi, juz. 7, Hal. 287, no. 1928. Al Maktabah Asy syamilah
[64] - HR. At Tirmidzi, Kitab Al Bir wash Shilah ‘an Rasulillah Maa Ja’a fi Husnil Khuluq, Juz. 7, Hal. 285, no hadits. 1926. Abu Daud, Kitab Al Adab Bab Fi Husnil Khuluq, Juz.12, Hal. 421, No hadits. 4166. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad jayyid,lihat Tuhfah al Ahwadzi, Juz. 5 Hal. 251, Al Mundziri berkata: juga diriwayatkan At Tirmidzi katanya: hasan shahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, Juz. 10, Hal. 321. Al Maktabah Asy Syamilah
[65] - Imam Abu Thayyid Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 10 Hal. 321, No. 4166. Al Maktabah Asy Syamilah
[66] - HR. Ahmad, (4/193 ( Ibn Abi Saibah, (5/210 ) Tabrani, (22/221 ـ 588 ) dari abi sa'labah al-husyani, dihasankan oleh Al-Bani
[67] - lihat Tahdzib al-sunan, jilid 7, hlm. 161-162)
[68] - Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam, Jilid 1, hlm. 398
[69] - HR Tirmidzi dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Mu’adz bin Jabal rodhiallohu ‘anhu, bab الناس : ما جاء في معاشرة no. 1987, Ia berkata, “Hadits ini hasan. Dalam naskah lainnya dikatakan, hadits ini hasan shohih.
[70] - Ibn Rajab, Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam, Jilid 1, hlm. 398
[71] - Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 5, Hal. 252. Al Maktabah Asy Syamilah