Jumat, 19 Februari 2010

Dakwah Nabi Muhammad SAW Sebagai Suatu Konsep Pendidikan

Dakwah Nabi Muhammad SAW Sebagai Suatu Konsep Pendidikan

Oleh :
Wendi Zarman


1. Pendahuluan
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kekuatan dan ilmu untuk bisa menuliskan makalah ini. Jika ada kebaikan di dalam tulisan ini, maka itu semata-mata karena karunia Allah SWT dan semoga Ia menerimanya sebagai amal shalih penulis. Semoga kesejahteraan dan keselamatan senantiasa dilimpahkan kepada utusan Allah yang agung Nabi Muhammad, demikian juga bagi seluruh pengikutnya yang senantiasa menunaikan ajaran-ajaran beliau, baik dalam sempit maupun lapang.
Jika disimak para tokoh yang ditulis oleh Michael Hart di dalam karyanya mengenai tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia , maka dapat disimpulkan bahwa karya atau warisan ketokohan orang-orang berpengaruh itu pada umumnya berkisar pada dua hal. Pertama, karya-karya mereka berupa pikiran-pikiran besar yang mengubah masyarakat secara berarti, baik pada tingkat regional tertentu atau bahkan seluruh dunia. Kehebatan pikiran-pikiran besar ini terlihat ketika pikiran-pikiran itu menginspirasi dan mengilhami banyak orang dalam rentang waktu yang lama setelah tokoh-tokoh ini wafat. Bentuk pikiran-pikiran besar ini bisa seperti ajaran agama, filsafat, teori-teori sains, teori-teori sosial, serta berbagai karya seni dan sastra. Tokoh-tokoh yang masuk kelompok ini adalah Budha, Kong Hu Cu, Aristoteles, Isaac Newton Karl Marx, John Locke, Ludwig Van Beethoven, dan lain-lain.
Kedua, prestasi-prestasi nyata yang mengagumkan yang terwujud saat mereka hidup seperti daerah kekuasaan yang luas, suatu negara yang disegani, atau angkatan bersenjata yang kuat seperti diantaranya . Mereka yang termasuk kelompok ini diantaranya adalah Jengis Khan, Alexander Agung, Hitler, Napoleon Bonaparte, Mao Tse Tung, dan lain-lain. Walaupun sangat mungkin tokoh-tokoh ini juga memiliki pikiran-pikiran besar, namun orang-orang sesudah mereka lebih mengenang kebesaran mereka dari prestasi mereka yang bersifat fisik dibandingkan karya yang bersifat pikiran.
Dari semua tokoh paling berpengaruh yang disebut Michael Hart dalam bukunya itu, Nabi Muhammad SAW merupakan tokoh paling berpengaruh yang memiliki keistimewaan tersendiri karena semua prestasi hebat para tokoh itu terkumpul di dalam diri beliau. Hanya dalam diri Nabi Muhammad SAW pikiran-pikiran besar diwujudkan sendiri dan mencapai keberhasilan besar pada masa hidup beliau. Beliau adalah satu-satunya pemimpin yang berhasil baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Tidak satupun tokoh yang disebut Michael Hart memiliki keistimewaan seperti ini. Atas alasan inilah mengapa Michael Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW di peringkat pertama pemimpin paling berpengaruh di dunia.
Sebenarnya jika dicermati lebih jauh terdapat kelebihan lain Nabi Muhammad SAW yang semakin menegaskan keistimewaan beliau atas tokoh-tokoh lain. Kelebihan itu adalah keberhasilan beliau menghasilkan insan-insan terbaik yang pernah muncul di pentas sejarah dalam jumlah besar. Pengertian terbaik di sini bukan semata-mata dalam arti kecerdasan (intelektual), kepemimpinan, keberanian, kekayaan, atau keberhasilan di medan perang, tetapi lebih dalam pengertian akhlaq yang merupakan wujud dari keshalihan seorang hamba Allah. Beliau juga tidak sekedar menghasilkan beberapa gelintir tokoh ternama tetapi sebuah masyarakat yang beradab yang melanjutkan prestasi besar beliau. Ketika Alexander Agung, Hitler, Napoleon Bonaparte, Julius Caesar, atau Lenin wafat kita tidak melihat generasi penerus mereka ini melanjutkan prestasi pendahulunya sebagaimana para sahabat melanjutkan prestasi Nabi Muhammad SAW.
Sejarah mencatat bahwa setelah beliau wafat perkembangan wilayah Islam tidaklah berhenti malah berkembang semakin cepat karena terdapat semangat dakwah yang kuat dalam diri para sahabat untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Seiring dengan berkembangnya daerah kekuasaan Islam, para sahabat ini menyebar ke seluruh penjuru mengislamkan dan memakmurkan daerah-daerah yang telah ditaklukkan para tentara Islam. Dalam rentang sekitar satu abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Islam telah tumbuh menjadi kekuatan yang tidak tertandingi oleh peradaban lain yang kekuasaannya menjangkau tiga benua (Asia, Afrika, Eropa) merentang dari Andalusia (Spanyol) hingga tanah Hindustan (India)
Ini adalah buah dari pendidikan Nabi Muhammad SAW yang mampu melakukan perubahan mendasar suatu masyarakat dalam waktu sangat singkat, sebuah revolusi sosial. Dari sebuah negeri yang kurang dikenal dan kalah pamor dari tetangganya Persia dan Rumawi, bangsa padang pasir yang tercerahkan ini bangkit mengambil alih kepemimpinan dunia dan tampil sebagai masyarakat berperadaban tinggi. Dengan demikian tidaklah berlebihan untuk menyebut Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendidik yang paling istimewa yang pernah hadir dalam lintasan sejarah manusia. Keberhasilan ini membangkitkan sebuah pertanyaan : pendidikan seperti apakah yang mampu membangkitkan kekuatan dari sebuah masyarakat yang terpuruk dalam kegelapan kemudian bangkit menjadi peradaban yang penuh cahaya dalam waktu yang singkat.
2. Lebih Mudah Mengatasi Kebodohan Daripada Kesesatan
Ketika Nabi Muhammad SAW diutus untuk berdakwah di jazirah Arab, beliau mewarisi suatu masyarakat bodoh (jahiliah), yaitu mereka tidak bisa mengenali mana kebaikan dan mana keburukan. Bangsa Arab kala itu adalah bangsa yang kesenangannya adalah bermabuk-mabukan di setiap waktu; gemar berjudi yang terkadang taruhannya adalah istri mereka sendiri; menipu dan merampok sudah menjadi kelaziman; anak-anak perempuan dikuburkan; istri seorang laki-laki dapat diwariskan kepada anaknya sendiri; fanatik berlebihan terhadap suku sehingga perselisihan sepele dapat menimbulkan perang antar-suku; laki-laki dapat memiliki istri berapa saja yang mereka mau.
Ramadhan al-Buthy menyebutkan bahwa memang masyarakat Arab pada masa itu berada dalam alam kebodohan, namun mereka tidak dalam keadaan tersesat. Kebejatan moral mereka lebih pada karena menuruti hawa nafsu yang tidak dibimbing oleh ilmu yang benar dan bukan berangkat dari keyakinan yang mapan. Masyarakat Arab pada masa itu ibarat sebuah bahan baku yang belum diolah sehingga lebih mudah untuk membinanya. Itu sebabnya bangsa Arab dipandang memiliki potensi baik sebagai tempat yang baik bagi berkembangnya Islam. Keadaan ini berbeda jika dibandingkan dengan dua negara besar saat itu, yaitu kerajaan Persia dan Byzantium yang lebih tepat disebut sebagai masyarakat yang tersesat. Di Persia berkembang ajaran Zoroaster penyembah api, sedangkan di Romawi telah berkembang ajaran Nasrani yang telah menyimpang dari ajaran tauhid Nabi Isa ‘alaihis salam. Kedua negara yang mengapit jazirah Arab pada masa itu juga mengalami kebejatan moral yang parah seperti juga yang terjadi pada bangsa Arab namun kerusakan ini dipelihara dan dibina suatu oleh pemikiran dan keyakinan yang telah mapan. Mereka terjebak dalam lubang kerusakan dengan penuh kesadaran, perencanaan dan pemikiran.
Menurut Ramadhan al-Buthy, hal ini merupakan salah satu hikmah diturunkannya Islam di jazirah Arab dan bukan di tempat lain. Allah telah menyiapkan jazirah Arab sebagai tempat yang baik untuk bersemainya agama Islam. Hal ini memberi pelajaran bahwa membina atau mendidik suatu masyarakat yang bodoh lebih mudah daripada yang tersesat. Hal ini karena masyarakat bodoh yang belum disusupi oleh pemikiran yang menyesatkan cenderung lebih terbuka ketika menerima pengetahuan baru. Sebaliknya masyarakat yang terlanjur sesat cenderung mempunyai sikap penolakan yang lebih besar ketika berhadapan dengan pengetahuan baru karena keyakinan mereka telah terbentuk secara kuat.
3. Kepribadian Mulia sebagai Modal Dakwah
Sebelum menyampaikan dakwah, Nabi Muhammad SAW memerlukan modal kepercayaan yang kuat dari masyarakat. Hal ini sangat penting agar seruan-seruan beliau mau didengar masyarakat. Apalagi seruan-seruan beliau merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan tradisi dan keyakinan masyarakat masa itu. Menyerukan penyembahan hanya kepada Allah, Tuhan yang Esa, kepada masyarakat yang menyembah banyak tuhan atau berhala merupakan suatu seruan yang mengejutkan. Demikian juga pemberitaan beliau tentang adanya hari akhir kepada masyarakat yang hanya mengenal kehidupan dunia dan tidak punya visi kehidupan akhirat yang kekal tentulah merupakan suatu gagasan yang mengganggu ketenangan batin mereka.
Seruan-seruan Nabi SAW yang seringkali berlawanan dengan arus umum pandangan-alam (worldview) masyarakat Mekah masa itu tentu saja mengundang penolakan dari mereka. Ini adalah sesuatu yang lumrah terjadi di mana-mana. Paling tidak ada dua bentuk penolakan (resistensi) masyarakat ketika mereka berhadapan dengan seruan-seruan Nabi Muhammad SAW. Yang pertama adalah menertawakan dan mengolok-olok beliau seperti menyebut beliau sebagai orang gila dan menuduh ucapan yang beliau katakan sebagai sihir. Bila cara ini gagal, mereka mengambil langkah kedua yaitu berusaha menghentikan dakwah beliau secara lebih terencana, baik dengan cara halus maupun keras. Cara halus yang dimaksud misalnya dilakukan dengan cara melakukan perundingan dengan menawarkan harta dan kedudukan. Tawaran seperti ini praktis diabaikan oleh beliau. Sedangkan cara keras adalah dengan melakukan ancaman fisik terhadap beliau.
Meskipun terjadi penolakan, ternyata hal itu tidak mampu menghentikan dakwah Rasulullah SAW karena penolakan itu pada umumnya datang dari segelintir tokoh Mekah yang merasa kewibawaan mereka tersaingi oleh kharisma Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar masyarakat sebenarnya bersimpati dengan dakwah Nabi Muhammad SAW, namun simpati ini tidak ditunjukkan secara terbuka karena hal itu akan menempatkan mereka dalam suatu konflik terbuka dengan tokoh papan atas Mekah. Masyarakat tahu pasti bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang terkenal paling baik kepribadiannya dan ini saja sudah cukup untuk membuat mereka bersimpati, terlepas dari apapun yang beliau serukan kepada masyarakat.
Sekurangnya, ada tiga kekuatan kepribadian Nabi Muhammad SAW. yang menjadi modal dasar beliau berdakwah. Pertama, kejujuran. Jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul orang-orang Mekah sudah mengenal Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang paling terpercaya ucapannya sehingga tidak heran orang menggelarinya dengan “al-Amin.” Jika seseorang telah digelari “al-Amin” maka tidak ada lagi alasan untuk tidak mempercayai perkataannya. Besarnya kepercayaan orang kepada beliau dapat dilihat ketika beliau hendak hijrah ke Madinah. Pada saat itu beliau harus menugaskan Ali bin Abi Thalib ra. untuk menngembalikan sejumlah barang orang lain yang dititipkan kepada beliau. Padahal saat itu semua pengikut Nabi Muhammad SAW, kecuali Abu Bakar dan Ali, sudah berangkat meninggalkan Mekah menuju Yatsrib (Madinah). Berarti, kemungkinan besar barang-barang titipan itu merupakan milik orang non-Islam. Hal ini menunjukkan betapa besarnya kepercayaan orang-orang Mekah kepada Nabi Muhammad SAW meskipun mereka bukan pengikut beliau.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW mulai berdakwah secara terbuka beliau memanggil semua suku Quraisy agar mereka berkumpul di atas bukit Shafa, lalu ia berkata, “Bagaimana jika kukabarkan bahwa di lembah ini akan ada sepasukan kuda yang mengepung kalian, apakah kalian percaya?” Ini bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab karena orang-orang Mekah tahu persis kejujuran Muhammad SAW sehingga tanpa ragu mereka menjawab, “Percaya! Kami tidak pernah punya pengalaman dengan engkau kecuali kejujuran.”
Kedua, kebersahajaan. Beliau adalah orang yang sederhana baik sebelum maupun sesudah berhasil menguasai jazirah Arab. Beliau juga tidak pernah terlibat dalam perbuatan yang sifatnya hura-hura dan bermewah-mewahan, termasuk juga setelah beliau menikahi Khadijah ra. yang masa itu merupakan salah seorang peniaga yang berhasil. Bahkan di masa mudanya sekalipun, Nabi Muhammad SAW belum pernah ikut-ikutan dalam segala bentuk acara pesta dan hura-hura. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW pernah dua kali menginginkan hadir dalam suatu pesta. Namun niat itu gagal kedua-duanya, dan sejak itu beliau tidak pernah menginginkan terlibat dalam pesta semacam itu. Bagaimanapun juga, termasuk di dalam masyarakat yang serba-boleh (permisif) dan suka bersenang-senang (hedonis) sekalipun, orang-orang yang terjaga dari kegiatan hura-hura akan selalu mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Disamping itu, kebersahajaan akan memutus kemungkinan tuduhan orang-orang bahwa dakwah Nabi SAW dilakukan demi mendapat harta dan kedudukan.
Ketiga, kedermawanan. Nabi Muhammad SAW merupakan orang yang sangat dermawan sehingga riwayat tentang kedemawanan ini sangat banyak dan dengan mudah bisa kita temukan di dalam berbagai kitab sirah atau hadits. Sejak sebelum diutus sebagai Rasul, Nabi Muhammad SAW sudah terkenal sebagai orang paling dermawan meskipun beliau dalam keadaan sempit. Beliau selalu memberi jika diminta dan hal itu dilakukannya dengan senang hati. Beliau juga lebih mementingkan orang lain daripada dirinya. Bahkan ketika beliau diberi sesuatu, beliau akan membalasnya dengan yang lebih baik. Kalau beliau berhutang, beliau selalu mengembalikan lebih banyak daripada yang dipinjamnya. Kedermawanan ini dilakukan baik sebelum maupun sesudah beliau diangkat sebagai Rasul Allah SWT.
Tiga kepribadian mulia ini – masih banyak kepribadian mulia Nabi SAW yang lainnya – ini merupakan beberapa kunci keberhasilan Nabi Muhammad SAW. Pada dasarnya, orang-orang yang memiliki sifat lurus (cenderung kepada kebenaran) dan akal yang sehat tidak mungkin dapat menolak seruan Nabi Muhammad SAW. Dalam bentuk pertanyaan yang sederhana : bagaimana mungkin bisa menuduh dusta ucapan dari seseorang yang terkenal paling jujur ?; bagaimana mungkin menolak ajakan orang yang demikian bersahaja sehingga semua yang dilakukannya tidak pernah diniatkan untuk memperoleh harta atau kedudukan?; bagaimana bisa menentang ajakan seseorang yang paling banyak berbuat baik dan dermawan kepada orang orang lain? Dengan ketiga modal kepribadian mulia ini saja orang tidak akan bisa menolak seruan Nabi Muhammad SAW, kecuali memang di dalam dirinya terdapat dorongan untuk menolak kebenaran.
4. Dakwah sebagai Proses Pendidikan
Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk membentuk menghasilkan orang-orang baik – Ini berlaku di mana saja, baik di masyarakat muslim maupun bukan-muslim. Namun demikian, pengertian baik di sini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Konsep baik dan buruk ini sangat sangat terkait dengan pandangan-alam (worldview) masyarakat bersangkutan. Sebagai contoh, di dalam masyarakat Barat yang sekular dan hanya memiliki visi keduniawian, manusia yang baik adalah manusia berguna bagi negaranya serta taat kepada hukum yang berlaku. Dalam hal ini Islam memiliki padangan yang berbeda mengenai pengertian orang baik. Di dalam Islam tujuan pendidikan selalu bersifat religius karena manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah. Al-Qur’an menjelaskan :
      
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan orang baik adalah orang yang menyadari kedudukan dirinya sebagai hamba Allah yang berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya dan menaati segala aturan-Nya. Meskipun Islam pun mengakui bahwa setiap orang juga seyogyanya berguna bagi negara dan taat pada hukum, namun hal itu tidak boleh terlepas dari konteks ketaatannya kepada Allah.
Jika dakwah diartikan sebagai seruan kepada manusia agar beriman kepada Allah dan pada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, berarti tujuan yang hendak dicapai dakwah adalah sama dengan tujuan pendidikan. Dengan pengertian ini berarti dakwah pada dasarnya merupakan suatu bentuk proses pendidikan juga.
5. Konsep Dakwah Nabi Muhammad SAW
5.1. Mendahulukan Keyakinan Sebelum Perintah dan Larangan
Imam al-Ghazali menyebutkan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin bahwa ilmu yang fardhu ‘ain – ilmu yang wajib bagi setiap muslim sehingga ia terhindar dari berbuat dosa kepada Allah – itu ada dua jenis. Yang pertama adalah ilmu mukasyafah, yaitu ilmu yang wajib diketahui saja. Yang kedua adalah ilmu mua’amalah, yaitu ilmu yang wajib diketahui dan diamalkan. Menurut al-Ghazali ilmu mukasyafah ini terlalu rumit tapi bisa dicapai dengan mengamalkan ilmu mu’amalah. Jadi, dari kedua ilmu ini hanya ilmu mu’amalah saja yang bisa dipraktikkan.
Ilmu mu’amalah mencakup tiga hal. Pertama, segala hal yang terkait dengan keyakinan (i’tiqad). Kedua, segala hal yang harus dilakukan (perintah), dan ketiga, segala sesuatu yang harus ditinggalkan (larangan). Ketiga hal ini adalah inti dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Meskipun al-Qur’an dan Sunnah tidak semuanya berbicara tentang aqidah, perintah, atau larangan secara langsung, namun secara tersirat selalu ada kaitannya dengan ketiga hal ini. Misalnya, ketika al-Qur’an membahas tentang alam semesta, maka secara tersirat maupun tersurat al Qur’an menjelaskan tentang keyakinan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya pemilik dan pemelihara alam semesta. Demikian juga ketika al-Qur’an berbicara tentang kisah-kisah orang yang dimurkai Allah, terdapat larangan untuk tidak mengulangi perbuatan orang-orang tersebut.
Dari ketiganya, keyakinan adalah ilmu yang paling awal dan paling penting sebab keyakinanlah yang mendorong seseorang melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Itu sebabnya sebelum seseorang terikat dengan syariat Islam ia harus memulainya dengan mendeklarasikan keyakinannya (syahadat). Tanpa keyakinan, berarti tidak ada kewajiban melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan.
Nabi Muhammad SAW – yang selalu mendapat bimbingan Allah SWT dalam menjalankan tugas dakwahnya – menyadari betul bahwa kunci perubahan terletak pada kekokohan keyakinan. Tanpa keyakinan orang akan bimbang dan hidup tanpa arah sehingga setiap langkahnya selalu diliputi keraguan. Dengan kata lain, keyakinan inilah yang menjadi kekuatan setiap amal dan tidak ada amal yang sempurna kecuali berangkat dari keyakinan yang sempurna. Itu sebabnya di masa permulaan dakwah, Nabi SAW secara terus menerus membina aqidah umat Islam. Hal ini bersesuaian dengan tema ayat-ayat Makiyyah yang diturunkan pada fase pertama dakwah, yaitu saat umat Islam belum melakukan hijrah ke Madinah, dimana kebanyakan ayat-ayat yang turun itu merupakan ayat-ayat tentang aqidah atau tauhid yang membahas tentang kewajiban hanya beribadah kepada Allah, bukti tentang kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, hari pembalasan, surga, dan neraka. Sedangkan pada fase kedua, yaitu sesudah hijrah, ayat-ayat Qur’an cenderung lebih banyak membahas tentang kewajiban dan larangan seperti masalah ibadah, muamalah, keluarga, warisan, jihad, dan lain-lain.
5.2. Ilmu Yang Kokoh
Pada dasarnya agama Islam adalah agama yang berdiri di atas hujjah ilmu, bukan suatu dogma yang tanpa dasar. Terdapat banyak sekali ayat Qur’an tentang keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu, demikian juga di dalam hadits Nabi dan atsar (pendapat sahabat). Para ulama sepakat bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Hal ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena Allah telah memberikan perlengkapan yang dibutuhkan manusia untuk bisa mengenal kebenaran seperti penglihatan, pendengaran, akal, dan hati, sehingga manusia tidak punya alasan kalau sampai dirinya tersesat. Penyebab ketersesatan bukanlah karena tidak bisa mengenali kebenaran tetapi lebih karena tidak mau atau malas menggunakan faslitas yang Allah berikan tersebut. Itu sebabnya banyak sekali al-Qur’an menyindir orang-orang yang malas berpikir dengan ungkapan seperti “apakah kamu tidak memikirkannya?” atau “apakah kamu tidak menggunakan akal?” Bahkan, al-Qur’an mencela sikap ikut-ikutan atau mengerjakan sesuatu yang tanpa dasar pengetahuan yang kuat.

        •         
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Ketika Nabi Muhammad SAW berdakwah beliau tidak hanya meminta orang-orang mengikuti beliau, tetapi juga menyodorkan bukti dan argumentasi mengapa mereka harus mengikuti seruan beliau. Beliau tidak ingin pendengarnya pasif, menerima begitu saja apa yang beliau katakan, tetapi juga meminta mereka memikirkannya baik-baik. Di dalam al Qur’an juga disebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Ini berarti bahwa keislaman seseorang harus dilakukan dengan kesadaran bukan karena paksaan atau iming-iming tertentu (harta, kedudukan, wanita, dll). Satu-satunya jalan sampai pada kesadaran adalah dengan ilmu, karena dengan ilmulah manusia bisa menangkap makna dari semua tanda-tanda kebesaran Allah.
Jika Nabi Muhammad SAW sendiri mengajarkan bahwa manusia tidak dipaksa masuk Islam kecuali jika dilakukan dengan kesadaran, sedangkan untuk memperoleh kesadaran harus dengan ilmu, maka ajakan Nabi Muhammad SAW agar orang-orang mengikuti seruannya pastilah berlandaskan pada ilmu. Para sahabat mengikuti Nabi Muhammad SAW bukan karena mengharap keuntungan duniawi tetapi karena mengetahui kebenaran dan kebenaran itu tertanam ke dalam hati mereka. Mereka tahu bahwa yang mereka perjuangkan itu jauh lebih berharga dari perbendaharaan dunia manapun, sehingga mereka tidak pernah bisa diiming-imingi dengan harta atau kedudukan. Cyrus, seorang pejabat dalam pemerintahan Heraklius di Bizantium berusaha menyogok tentara Muslim pimpinan Amr bin Ash ketika terkepung di Babilonia (640 M). Ia mengirim utusan untuk bernegosiasi dengan pasukan Muslim. Ibn Abdul Hakam menuliskan kesan utusan Cyrus saat menyaksikan keadaan pasukan Muslim :
“Kita melihat orang-orang yang lebih menyukai kematian ketimbang kehidupan, sangat bersahaja dan sama sekali tidak tertarik dengan kehidupan dunia. Mereka duduk di atas tanah, dan makan dengan bertelekan. Mereka duduk di atas tanah dengan bertelekan. Pemimpin mereka tidak ada bedanya dengan lainnya; orang rendahan tidak bisa dibedakan dengan petinggi; begitu juga antara tuan dan budaknya. Dan ketika tiba waktu shalat, tidak seorangpun mangkir, semua membasuh ujung-ujung tubuhnya dan melaksanakan shalat dengan khidmat.”
5.3. Aktif Mendatangi Masyarakat
Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai rasul – setelah turunnya wahyu pertama – Nabi Muhammad SAW tidak hanya diam di rumahnya, menunggu orang-orang datang mendengar nasihatnya. Beliau bukanlah seperti seorang pertapa yang berdiam diri di dalam gua atau puncak bukit mencari ketenangan batin atau ilham pencerahan. Meskipun beliau pernah mengalami fase menyendiri di gua Hira, proses itu tidaklah berlangsung selamanya. Begitu sampai ilmu (wahyu) , beliau meninggalkan aktivitas menyendiri di gua Hira kemudian pergi keluar menyampaikan kebenaran.
Islam adalah agama dakwah, yang artinya senantiasa aktif menyeru manusia agar mengikuti jalan yang lurus sesuai yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Masyarakat yang bodoh (jahil) seringkali tidak mengerti mengapa mereka harus belajar dan mengubah keyakinan yang selama ini mereka pegang. Kebodohan membuat mereka tidak menyadari betapa pentingnya ilmu. Itu sebabnya orang bodoh sulit keluar dari lingkaran kebodohan kecuali jika dibantu oleh kehadiran orang-orang yang secara intensif menasihati dan mengajarkan mereka tentang kebenaran. Disamping itu keaktifan seorang da’i juga akan membantu menyempurnakan informasi yang kurang, mengokohkan pendirian mereka yang masih ragu, menambah semangat bagi yang malas, serta membentengi diri dari suara-suara yang bertentangan dengan kebenaran. Inilah makna penting dari firman Allah :
  •              
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Oleh karena itu seorang da’i hendaknya aktif mendatangi masyarakat sebagaimana telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Beliau mendatangi dan mendakwahi setiap kabilah tanpa terkecuali. Beliau juga mengunjungi tempat-tempat keramaian seperti di bukit Shafa atau di sekitaran Ka’bah. Musim Haji merupakan waktu yang ditunggu-tunggu karena pada waktu ini banyak peziarah yang datang mengunjungi Mekah untuk menunaikan Haji. Beliau juga ada kalanya keluar kota mengunjungi tempat lain untuk seperti Thaif untuk berdakwah. Terkadang juga beliau tidak mengunjungi langsung, tetapi meminta sahabat untuk menggantikan beliau seperti Mush’ab bin Umair yang beliau utus ke Yatsrib untuk mengajar penduduk kota tersebut. Setiap kali berkumpul dengan sahabat beliau selalu menjadikan kesempatan itu untuk menyampaikan nasihat. Pendeknya, dalam setiap kesempatan dan tempat beliau terus senantiasa mengingatkan manusia tentang kebenaran dan mengajar mereka ilmu pengetahuan.
6. Simpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dakwah merupakan suatu proses mendidik masyarakat agar menjadi masyarakat yang baik. Belajar dari perjalanan dakwah Rasulullah SAW, umat Islam dapat mengambil pelajaran bagaimana suatu proses dakwah seharusnya dilaksanakan, yaitu :
1. Para guru atau da’i adalah orang-orang yang terbaik akhlaqnya
2. Pentingnya menyempurnakan keyakinan sebelum melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan.
3. Pendidikan harus berlandaskan ilmu yang kuat
4. Para da’i harus aktif mendatangi masyarakat
Demikianlah beliau mencontohkan cara mendidik manusia dan teladan inilah yang patut diikuti oleh umat Islam, khususnya bagi para da’i yang mendapat amanah mendidik umat. Sesungguhnya, keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW adalah keberhasilan yang manusiawi meskipun di dalamnya terdapat unsur-unsur kemukjizatan. Artinya, bahwa kaum muslim yang mewarisi dan meneladani ajaran-ajaran beliau akan dapat, dengan izin Allah, mencapai keberhasilan yang sama jika mau belajar dari cara beliau berdakwah, meskipun tingkat keberhasilannya tidak akan mampu menyamai keberhasilan beliau. Wallahu a’lam bi ash-shawab.




























7. Arti Dakwah
Selasa, 22/04/2008
Makna etimologis Dakwah dapat dilihat dari kata dakwah dalam Al-Quran yang memiliki banyak arti, antra lain :

• Menyampaikan dan menjelaskan (lihat QS Fushilat:24, Yusuf : 108 dll)
• Berdo’a dan berharap (lihat QS Al-A’raf : 55)
• Mengajak dan mengundang (lihat QS Yusuf : 33)

Para ulama dan pemikir muslim memberi makna dakwah secara terminologis dengan definisi yang variatif seperti :

1. Ibnu Taimiyah : "Dakwah ke jalan Allah adalah dakwah untuk beriman kepada Allah dan kepada apa yang dibawa nabi Muhammad SAW, yang mencakup keyakinan kepada rukun iman dan rukun Islam (Lihat Al Fatawa al-Kubro 15/158, cet 1, Mathobi’al-Riyadh)

2. Al-Ustadz Al bahi-al-Khuli : "Dakwah Islam yaitu menghantarkan umat dari satu tempat/ kondisi ke tempat/ kondisi yang lain (Tadzkiroh ad-Du’at hal:35,th.1379H, Daarul Qalam).

3. Rauf Syalabi : "Dakwah Islam adalah gerakan revitalisasi sistem Illahi yang diturunkan Allah kepada Nabi terakhir" (Ad-Dakwah al Islamiyah Fi 'Ahdiha al-Makky, Manahijuha wa Ghoyatuha, hal : 32)

4. Abu Bakar Dzikri : "Dakwah ialah bangkitnya para ulama Islam untuk mengajarkan Islam kepada umat Islam, agar mereka faham tentang agamanya dan tentang kehidupan, sesuai kemampuan setiap ulama (ad-Dakwah ila al-Islam, hal:8 Maktabah Darul Arubah Mesir).
Penulis memahami definisi-definisi tersebut diatas secara utuh dan lengkap dengan menyimpulkan, bahwa "Dakwah Islam ialah menyampaikan Islam kepada umat manusia seluruhnya dan mengajak mereka untuk komitmen dengan Islam pada setiap kondisi dan dimana serta kapan saja, dengan metodologi dan sarana tertentu, untuk tujuan tertentu".