Minggu, 21 Februari 2010

Ketika Anda Berniat Untuk Qurban

Ketika Anda Berniat Untuk Qurban

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ:أَنَّ النَّبِيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: "إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئاً".
Dari Ummu Salamah radhiya’l-lahu ‘anha, Nabi s.a.w bersabda: “Jika sudah masuk hari kesepuluh (dalam riwayat Abu Dawud: hilal Dzulhijjah), dan salah seorang di antara kalian berniat untuk menyembelih (qurban). Maka, janganlah ia menyentuh rambutnya dan jangan pula dari kukunya, barang sedikit pun (dalam riwayat lain: sampai waktu menyembelih).” (HR.Muslim [3/1977], Abu Dawud (2791), an-Nasa’i (7/211,212), Ibnu Majah (3149), Ahmad [6/289,301,311], Baihaqi [9/266], al-Hakim [4/220], al-Baghawi (1127)).

Bursa Pahala 10 Dzulhijjah
Sepuluh rangkaian hari Dzulhijjah adalah ladang amal serta bursa pahala bagi pemburu fadha’ilul a‘mal. Di luar lailah al-Qadar, tulis Imam Ibnu Taimiyah tidak ada bulan yang lebih agung dan paling Allah sukai daripada rangkaian hari 10 Dzulhijjah, dari tanggal satu sampai puncaknya hari ‘Arafah dan berakhir pada ayyamut tasyriq, 11-13 Dzulhijjah (HR.Ahmad dari Ibnu ‘Umar, Ibnu Taimiyah,25/287, Ibnu Qayyim,1/57). Firman Allah "Demi fajar, dan malam yang sepuluh." (al-Fajar: 1-2) dalam Tafsir Mujahid, Ibnu Zubaer, Dhahhak, as-Suddy dan al-Kalbi serta umumnya Tafsir Salaf maksudnya adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sebagaimana Qur’an tegaskan pada ayat lain, "pada hari-hari yang telah ditentukan."(al-Hajj:28).
Rasulullah s.a.w bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ
"Tiada amal ibadah di hari apapun yang lebih utama dari 10 hari ini" Sahabat bertanya, "tidak pula jihad? Rasulullah bersabda: "Tidak pula jihad, kecuali seseorang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun." (HR. Bukhari, Turmudzi,Abu Dawud,Ibnu Majah,Ahmad dan Darimi dari Ibnu ‘Abbas) . Dalam riwayat lain: "Tiada hari-hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal di dalamnya daripada 10 hari (Dzulhijjah) ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada saat ini." (HR. Thabrani dari Ibnu ‘Umar).

Kesempurnaan Hewan Qurban
Qurban sebagai ibadah andalan pada tanggal 10-13 Zulhijjah dengan hewan ternak berkaki empat (domba,kambing,unta,sapi/kerbau) sebagai udlhiyah, disyaratkan oleh Nabi s.a.w harus bebas dari cacat. Cacat mata (buta), cacat telinga, cacat usia (tidak cukup umur), cacat kaki (pincang), kurus badan dan cacat cela lainnya. Semua ini untuk menjaga kesehatan binatang juga yang menikmatinya.
Hewan harus dipastikan benar-benar dalam keadaan sehat, bebas virus dan penyakit bawaan. Fakir-miskin merasa tenang, tanpa was-was dan ragu-ragu saat menyantap daging qurban bersama keluarga. Dan yang pasti, umumnya pemberian/persembahan kepada Allah, harus dari benda/barang yang terbaik, karena balasannya lebih banyak dari yang dikeluarkan.
Zaid bin Arqam berkata: "Mereka telah bertanya, wahai Rasullullah, apakah Udhhiyah (Qurban) itu? Nabi Muhammad s.a.w. menjawab: "Ia sunnah bagi bapak kalian Nabi Ibrahim." Mereka bertanya lagi: Apakah ia wajib untuk kita? Rasulullah s.a.w. menjawab: "Pada tiap-tiap helai bulu mengandung satu kebaikan." Mereka bertanya: "Meskipun bulu yang halus pula? Rasullullah s.a.w bersabda yang bermaksud "Dengan tiap-tiap helai bulu yang halus itu satu kebaikan." (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)

Hewan Qurban atau Pengurban?
Bagi yang sudah berniat memotong hewan qurban ditanggal 10 Zulhijjah nanti, disunnahkan untuk tidak memotong rambut (di kepala, kumis, janggut dan rambut rambut yang lain dengan segala namanya), serta kuku mulai tanggal 1 Zulhijjah. Ibrahim al-Marwadzi (Baghdad,w.340 H), pemegang tampuk Fikih di Irak setelah Ibnu Suraij (w.306 H/908 M), seorang hakim teladan di masanya, menyesuaikan larangan ini pada orang yang ihram, yang tidak boleh memotong, mencabut atau menggunting bulu dari badannya selama memakai pakaian ihram.
Penyesuian larangan ihram (qiyas hukmi) oleh Imam al-Marwadzi (w.340 H) ini tidak disetujui oleh Imam Dawud az-Zhahiry (202-270 H/818-884 M), yang tetap membolehkan bercukur, berhias dan sejenisnya ketika memasuki rangkaian hari Dzulhijjah sampai tiba waktu berqurban. Topik larangan yang diperbincangkan di sini, jelas terkena pada mudhahhi (pengurban,orang) bukan binatang, seperti judul bab hadits pada sunan Abu Dawud,
باب الرجل يأخذ من شعره في العشر وهو يريد أن يضحي أي في أول عشر ذي الحجة
(Bab Orang yang mencukur rambut pada rangkaian hari 10 Dzulhijjah, sementara ia berniat untuk Qurban).
Imam Nawawi berkata: "berkata para senior kami, bahwa maksud larangan tersebut adalah dilarang memotong kuku dengan gunting dan semacamnya, memotong rambut; baik dengan cara gundul, memendekkan rambut, mencabutnya, membakarnya atau selain itu. Dan termasuk dalam hal ini, memotong bulu ketiak, kumis, kemaluan dan bulu lainnya yang ada di badan (Syarah Muslim [3/138-139]).
Berkata Ibnu Qudamah: "Siapa yang melanggar larangan tersebut hendaknya minta ampun kepada Allah, meskipun tidak ada fidyah (tebusan) baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa (al-Mughni,11/96)."
Dari keterangan di atas sejumlah tokoh Hadits seperti Sa‘id bin Musayyab(Fuqaha’7 Madinah, w.93 H), Rabi’ah bin’Abdurahman, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahaweih, Daud az-Dzahiri dan sebagian Madzhab Syafi’iyah, mengharamkan bagi para pengurban untuk mencukur rambut dan mengunting kuku, terhitung dari 1-10 Dzulhijjah dan atau hewan qurbannya disembelih pada ayyam tasyriq. Imam Syaukani (Nailul Authar, 5/112), Syeikh Utsaimin (kitab Min Ahkam al-Udlhiyah), Syeikh Jibrin (Fadhl Ayyam Asyru Dzulhijjah) dan Syaikh Ali hasan (Ahkamul ‘Idain) memutuskan haram total.
Ada juga yang mengatakan, larangan ini terkena pada binatang qurban, bukan pada pengurbannya. Karena itu ketika Imam ‘Abdurahman bin Mahdi (w.198 H), tokoh jarh wat ta‘dil abad ke-2 ditanya orang mengenai kejelasan hadits ini beliau menjawab: “hadits ini interpretable, punya tafsir ganda. Hadits Ummu Salamah bermakna (larangan) khusus, sedang hadits ‘A‘isyah bermakna umum (lebih terbuka), seperti ungkapan: لم يحرم عليه شيء” ‘Nabi s.a.w tidak mengharamkan sesuatu, yang haram bagi orang ihram.” (Muttafaq ‘alaih).
Selengkapnya hadits ‘Aisyah itu adalah:

حديث عائشة -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- قالت: "كُنْتُ أَفْتُلُ قَلاَئِدَ هَدْيِ رَسُوْل اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ثمَّ يُقَلِّدُهُ وَيَبْعَثُ بِهِ، وَلاَ يُحَرِّمْ عَلَيْهِ شَيءٌ أَحَلَّهُ اللهُ حَتَّى يَنْحَرَ هَدْيَهُ" رواه البخاريُّ ومسلم.
“Aku pernah mengirim qurban Rasul (hadyu), binatang ini dikalungkan lalu diserahkan kepada Rasulullah s.a.w. Nabis.a.w tidak mengharamkan atasnya sesuatu apapun yang Allah halalkan sebelumnya, hingga binatang qurban (hadyu) ini disembelih.” (Bukhari-Muslim).
Dalam redaksi Imam Muslim disebutkan:
Aisyah r.ah meriwayatkan, Rasulullah s.a.w pernah mengirimkan binatang qurban dari Madinah dan akulah yang memintal kalung-kalung binatang qurbannya. Beliau tidak menjauhi apa pun yang sepatutnya dijauhi oleh orang yang sedang berihram.” (HR. Muttafaq ‘Alaih, kitabul Hajj, CD-R al-Bayan (759)
Hewan Qurban memang harus sempurna, tak boleh ada cacat cela. Dengan mengambil sesuatu dari bulu dan dagingnya, jelas mendatangkan aib pada binatang dan bisa berpengaruh pada rasa daging. Jika bulunya diambil, kukunya dipotong, maka bukankah ia kelak bisa menjadi saksi dihadapan Allah terhadap pengurbannya, seperti disebutkan dalam banyak hadits.(Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Dengan demikian tafsir hadits Ummu Salamah di atas terbagi pada 3 (tiga) pandangan:
Pertama, Terkena pada binatang qurban, bukan pada orangnya. Kedua: Larangan itu telak pada orangnya dengan qiyas ihram umrah/haji, ketiga: Larangan ini terkena pada kedua-keduanya.

Tarjih:
Dilihat dari judul bab hadits, komentar dan keterangan yang ada, maka pandangan terkuat (arjahul aqwal) mengenai larangan mencukur rambut dan memotong kuku tertuju pada mudhahhi (pengurban) bukan pada binatang qurban.
Dasarnya adalah:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ, وفى النسائي: حَتَّى يُضَحِّيَ (رواه مسلم, كتاب الأضاحي باب نهي من دخل عليه عشر ذي الحجة وهو مريد التضحية)
Dari Sa‘id bin Musayyab dari Ummu Salamah, Rasulullah s.a.w bersabda: “Jika kalian sudah melihat hilal Dzulhijjah, sedang kalian ingin berqurban. Maka tahanlah oleh kalian rambut dan kukunya.(Dalam riwayat an-Nasa’i: sampai ia selesai menyembelih)” (Muslim, kitab adhahi, Bab: Larangan bagi saat memasuki rangkaian10 Dzulhijjah bagi mereka yang berniat untuk qurban).
Perkataan Nabi ini diperkuat langsung oleh fi‘linya, yaitu riwayat ‘Amr bin ‘Ash. Nabi s.a.w bersabda kepada seorang sahabat: “aku diperintah untuk menjadikan hari raya Qurban ini sebagai hari besar, sebagaimana Allah tetapkan terhadap ummat ini. Sahabat ini menjawab: “bagaimana jika aku tidak punya hewan qurban, kecuali maniyhah untsa (sejenis domba betina yang susunya tidak bisa dimanfaatkan) apakah aku boleh berqurban dengannya. Nabi menjawab: “Tidak, melainkan ambillah rambutmu potonglah kukumu, pendekkan kumismu, cabut bulu ketiakmu, dengan demikian sempurnalah qurbanmu di sisi Allah s.w.t.
(HR. Nasa’i, kitab Dhahaya, bab: Man Lam Yajid al-Udlhiyah no:4289, Abu Dawud: Dhahaya (2407))
Lihatlah, betapa terhadap orang yang tidak mampu berqurban, Nabi s.a.w cabut larangan bagi pengurban terhadap sahabat yang tidak mampu berkorban. Jadi, benarlah bahwa larangan itu khusus bagi pengurban, sementara bagi yang lain tidak berlaku. Bahkan sunnah baginya untuk cukur rambut, potong kuku, rapikan kumis dan cabut belu ketiak sebagai ganti ketidakmampuan berqurban. Sungguh sangat sempurna dan berkeadilan sekali aturan Allah s.w.t. Selamat berqurban dan melaksanakan sunnah Nabi s.a.w yang mulai ditinggalkan ini.

Hukum Upah Qurban
Bagaimana hukumnya mengambil upah qurban atau menggaji tukang jagal untuk menyembelih hewan qurban ? Dari mana upah/gajinya diambil, dari hewan Qurban atau dana lain. Sudahkah panitia Qurban memahami dan melaksanakan masalah ini dengan baik. Ikuti uraian berikut ini.

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ- أَنْ أَقُومَ عَلَىَ بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا. قَالَ: "نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا".صحيح البخاري، الجزء الأول - كتاب الحج - باب: لا يعطي الجزار من الهدي شيئا. [ر:1621]. مسلم: ج 2 / كتاب الحج باب 61/349.

`Ali bin Abi Thalib r.a meriwayatkan: "Rasulullah s.a.w. telah memerintahkan aku menyembelih unta-untanya. Beliau menyuruh aku mensedekahkan daging, kulit dan apa yang menutupi belakang unta-unta itu (seperti pelana dan sejenisnya). Nabi s.a.w juga memerintahkan aku agar tidak memberikan kepada al-Jazzar (penyembelih/jagal) sedikit pun darinya. ‘Ali melanjutkan: "kami memberikan upah untuknya dari apa yang ada pada kami.” (ٍShahih Bukhari (1/1621) no.:-1716, Shahih Muslim (2/349) no.:1317)

Berqurbanlah Setiap Tahun
Imam Ibnu Taymiyah (w.728 H) dalam Majmu‘ Fatawa (Juz 6/304) menandaskan: “qurban, ‘aqiqah dan hadyu (dam haji) secara nilai, jauh lebih baik daripada shadaqah.” Qurban diunggulkan, antara lain karena ia mencakup amal kebaikan dan ketaatan secara umum. Meskipun posisinya, sama-sama berbentuk ibadah sosial, atau sama-sama diniatkan untuk taqarrub ila’l-lâh atas dasar ikhlas, ittiba’ dan mengharap mardhati’llah. Namun, qurban tetap dipandang sebagai ibadah unggulan yang sarat makna, penuh dengan nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan (dimensi sosial), piur syi‘ar, aura mahâsinul Islam (sisi keluhuran) sekaligus bukti ketaatan mutlak seorang hamba kepada Allah s.w.t.
Imam as-Syafi‘i seperti dikutip dalam Majmu‘ Syarah Muhazdab mengatakan, pendapat terkuat mengenai hukum qurban adalah sunnah mu’akkadah. Sebagai syi‘ar Islam, sudah selayakya qurban tetap diupayakan pelaksanaannya oleh mereka yang mampu, setiap tahun, sesuai sabda Nabi s.a.w:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ ...(رواه الترمذي وحسنه:1518, وابوداود 2788, والنسائي 4235, وابن ماجه 3125, واحمد (4/215) وحسنه الألباني في صحيح ابن ماجه (3/82)

“Wahai manusia, untuk setiap penghuni rumah sejatinya tetap berqurban setiap tahun.” (Turmudzi (1518), Abu Dawud (2788), Nasa’iy (4235), Ibnu Majah (3125), Ahmad (4/215). Dihasankan oleh Syeikh Abani dalam Shahih Ibnu Majah (3/82).

Ibnu ‘Umar mengatakan, al-udlhiyah hiya sunnatun wa ma‘rûf, qurban itu perbuatan sunnah dan sangat populer. Populer karena akar historisnya, hampir sama tuanya dengan usia manusia. Qurban sudah lama dikenal dalam syari‘at para Nabi, di mana tuturan ceritanya mengharumkan nama pelakunya, sepanjang sejarah. Qurban menjadi cermin nilai, yang layak menjadi amal andalan kaum muslimin di hari raya haji, setiap tahun.
Qurban sangat bisa menjadi terapi penyembuhan yang efektif untuk mengikis habis sifat tamak, watak angkuh dan tinggi hati para penguasa dan pengusaha. Pada sisi ini, qurban layak dijadikan media persatuan antara elemen bangsa yang kini tengah dirundung duka atas anjloknya popularitas pejabat Negara di mata rakyat miskin.

Pro-Kontra Upah Qurban
Setiap tiba musim qurban, terpuji bagi kita untuk saling mengingatkan adab-adab yang berkaitan dengan fikih qurban sebagai bagian inti dari tawashaw bi’l-haq. Tujuannya antara lain, sebagai upaya ittiba‘ dan usaha nyata mengikuti adab syar‘iyah dari salafus shalih, sehingga pelaksanaan qurban tidak melanggar batasan yang digariskan. Satu di antaranya adalah hukum mengambil upah dari menyembelih hewan qurban.
Selama ini, ada dua pandangan yang berkembang mengenai hukum mengambil upah dari hewan qurban; kulit, jeroan, daging atau kepala. Pertama: Tidak mengapa para penyembelih mengambil bagian tertentu sebagai upah, ini pendapat Hasan al-Bashri dan ‘Abdullah bin ‘Ubeid bin ‘Umeir, Imam Abu Hanifah, Imam an-Nakha’iy, Imam al-Auza‘i, dan Ishaq. Ibnu ‘Umar seperti dinukil oleh Imam Ibnu Mundzir memegang fikih ini. Dikatakannya, “tidak mengapa menjual kulit hewan qurban, lalu menyedekahkannya dengan uang hasil penjualan.” (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, Juz 6/99).
Kedua: Terlarang bagi penyembelih untuk mengambil bagian selain bagian yang dihadiahi atau disedekahkan untuknya, baik pada qurban sunnah atau qurban nadzar. Demikian pendapat Jumhur. Dalilnya adalah kutipan hadits di atas.
Imam Ahmad mengatakan: “tidak boleh menjual-belikannya, meskipun hanya sedikit. Bagaimana mungkin qurban itu diperjual-belikan, padahal niatnya hanya diperuntukkan pada Allah semata.
Syeikh Mar‘iy bin Yusuf al-Muqaddasi dalam Manârus Sabîl berkomentar keras: “Diharamkan menjual sesuatu dari hewan qurban, kepala maupun kulitnya. Tidak boleh memberikan upah pada tukang potong, barang apapun dari hewan qurban itu. Baik dengan alasan jatah pemberian atau sebagai shadaqah untuknya, sesuai keumuman nash. ‘Ali bin Abu Thalib meriwayatkan dengan redaksi lain:
“Aku diperintah oleh Rasul s.a.w untuk menyembelih binatang qurbannya. Beliau menyuruh untuk membagi daging, kulit dan jeroannya pada fakir-miskin. Dan tidak memberikannya sebagai upah kepada tukang potong, barang sedikitpun.” (Muttafaq ‘Alayh)
Ketika mengulas hadits ini, Imam an-Nawawi (Juz 9:66) menyatakan dalam Syarh Shahih Muslim: "Hadits ini meminta agar kita tidak memberikan kepada penyembelih bagian tertentu dari hewan qurban. Karena jika diberikannya sebagai ganjaran pekerjaan tukang jagal, maka sama artinya dengan menjual satu bagian dari hewan qurban. Jelas, ini tidak dibolehkan"
Umumnya para fuqaha sependapat bahwa haram hukumnya menjual daging qurban (al-udhiyah). Imam Ibnu Rusyd di dalam Bidayah al-Mujtahid (1/masalah ke-703) menandaskan: "sepengetahuanku para ulama telah sepakat bahwa tidak dibolehkan menjual daging qurban."
Kata al-Imam Taqiyuddin al-Syafi`i di dalam Kifayah al-Akhyar: "tidak boleh dijadikan bahagian dari qurban itu sebagai upah untuk penyembelih walaupun itu adalah qurban sunat.”

Tarjih
Mengamati perbedaan ini, Pengarang Kitab Nihâyah al-Mujtahid memberikan opsi kompromi, ia menulis: “para ‘ulama tampaknya hanya menyepakati kesimpulan hukum tidak bolehnya menjual daging qurban secara mutlak. Namun mereka tetap berbeda dalam menentukan hukum menjual kulit dan bulu hewan qurban yang masih dapat dimanfaatkan, dengan nilai satu atau dua dirham, umapamnya. Sebab pada dasarnya pembagian qurban itu bertumpu pada 3 (tiga) jatah; 1/3 untuk jatah pengurban, 1/3 untuk fakir-miskin, 1/3 lagi untuk dihadiahkan. Yang jelas, para fuqaha’ setuju asas pemanfaatan hewan qurban, daripada terbuang begitu saja.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa:
a. Boleh mengambil bagian tertentu dari hewan qurban, jika betul-betul merupakan jatah sedekah atau hadiah sebagai fuqara’ maupun sebagai kerabat atau kawan dekat pemilik hewan qurban.
b. Panitia qurban yang mengambil kulit hewan qurban yang dimanfaatkan/kembali pada tujuan Fi Sabilillah, dibolehkan. Asal keuntungan yang diperoleh, dimanfaatkan kembali untuk masjid.
c. Menjual-belikan bagian tertentu dari hewan qurban, semata-mata untuk tujuan bisnis, haram total, sesuai isyarat nash.
Imam Syaukani dalam Nail al-Authar (5/221) mengutip pandangan Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam al-Baghawi bahwa dibolehkan memberi bagian qurban kepada penyembelih, jika dia seorang yang fakir dan setelah diberi kepadanya upah yang lain, di luar bagian kurban. Sungguh pun begitu, cara penyelesaian yang ditunjukkan oleh Sahabat `Ali bin Abu Thalib di dalam hadits di atas, sangat patut untuk diteladani. Supaya tradisi qurban tidak tercemar dan meninggalkan cerita yang buruk dibelakang hari, yang bisa jadi dapat mengaburkan nilai pahala berbagai pihak. Akhirnya, panitia juga yang repot.

Syamsul Bahri
Majlis Fatwa Dewan Da’wah