Senin, 08 Februari 2010

AGENDA LIBERALISASI PESANTREN DI INDONESIA

AGENDA LIBERALISASI PESANTREN DI INDONESIA

MENGENALKAN BUDAYA PLURALISME MELALUI SEMINAR ILMIYAH , BEDAH BUKU
Mengkaji kitab kuning bagi santri Pesantren Tradisional adalah hal yang biasa, akan tetapi pada akhir-akhir ini ada yang tidak biasa dilakukan oleh mereka yaitu acara seminar dan bedah buku. Semenjak munculnya isu-isu global , kaum liberalis giat menggalakkan kegiatan ini demi menyebarkan paham mereka , diantaranya adalah sebagai berikut :
· Bedah buku Gusdur yang berjudul : " Islam Ku, Islam Anda, Islam kita ", buku nyeleneh yang berpaham pluralis ini di bedah di Pesantren Miftahul Muta’allimin Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jabar. Sabtu (24/3/2007). Sebagai pembicara yaitu Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif the WAHD Institute sekaligus editor buku Gus Dur itu. Pembicara lainnya adalah mantan Rais Syuriah PCNU Kabupaten Cirebon KH. Syarif Utsman bin Yahya dan sebagai moderator yaitu ustadz Nuruzzaman. Kegiatan ini 100% didanai oleh WAHD Institut.[1]
· Bedah desertasi DR. Fariz Tentang “Hermeneutika paul Ricoeur melihat Shalat dan ziarah kubur”. Desertasi sesat yang satu ini mengajarkan gaya penafsiran baru yang sama sekali tidak dikenal di kalangan Ulama' salaf, acara itu diselenggarakan di Pesantren CIGANJUR, Minggu, 01 Maret 2009. kajian ini ingin memperkenalkan HERMENEUTIKA kepada para santri , agar menafsirkan AL-qur'an tidak hanya dari sudut classik saja tapi harus diiringi dari penafsiran luar.[2] Sehingga tidak heran kalau Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid dalam Metode tafsir hermeneutikanya, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Dan yang aneh lagi kelompok yang menolak HERMENEUTIKA di kambing hitamkan sebagai kaum fundamentalis.[3]
· Pada tahun 2002 yang lalu penulis mendapat undangan untuk mengikuti seminar yang bertajuk : " Pesantren dan Budaya Lokal " yang di seponsori oleh Desantara - Institute For Cultural Studies di Pesantren Roudlotul Ulum Guyangan pati. Seminar ini mengundang seluruh pimpinan Pesantren se Kabupaten Pati dengan tujuan memperkenalkan kepada santri dan Kiyai akan Budaya Pluralisme. Di undang juga pada seminar ini tokoh lintas agama dan tokoh Tradisional Kejawen seperti Kepala Suku Samin di Pedalaman Sukolilo Pati. Selain seminar, pada malam harinya di datangkan pertunjukan-pertunjukan yang tidak layak ditonton oleh santri pesantren, seperti gambus, emprak, teater, samproh, ketoprak, dangdut, barongsai, dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan besar adalah berapa dana yang dikeluarkan untuk seminar dan pertunjukan yang berlangsung 5 hari berturut-turut ini, tentu ada pihak asing yang mendanainya.[4]

MENDIRIKAN PESANTREN PLURALIS DAN MULTIKULTURAL
Di bawah ini adalah beberapa contoh pesantren nusantara yang bercorak liberal, sebagai berikut :
Pesantren CIGANJUR, atau yang lebih dikenal dengan Pesantren GUSDUR, adalah pesantren Percontohan LIBERAL yang favorit di Nusantara . Maklum saja sesepuh pesantren ini adalah bapak kaum leberalis nasional bahkan internasional yaitu GUSDUR. Pesantren ini ditujukan untuk santri yang berstatus sebagai mahasiswa senior pada program Strata satu (SI) semua jurusan seperti UIN Syahid, Paramadina, STF Driyarkarya dan PTIQ. Para Pengajar di Pesantren ini adalah Para Tokoh Liberal yang yang sudah tidak diragukan lagi akan keliberalannya, seperti GUSDUR sendiri sesepuh kaum liberal, Prof. Dr. K.H.Said Aqiel Siradj, M.A, Dr. Fariz dan Dr. Suryabudinata dan lain-lain. Ajaran pesantren ini selain mengkaji Kitab Kuning, Juga di selingi kajian HAM, Jender, Hermeneutika,demokrasi, filsafat dan materi liberal lainnya, dari kajian ini banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran kontemporer yang dibukukan dalam jurnal “Pesantren Ciganjur” [5]
Pesantren AL QODIR terletak di Tanjung Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta didirikan pada tahun 1990 oleh Kyai Masrur Ahmad MZ. Selain memposisikan diri sebagai Pondok Pesantren Salafiyah, Pesantren ini sangat kental dengan multikulturalnya dan pluralismenya salah satu budaya yang dikembangkan di Pesantren ini adalah kesenian JATILAN, bahkan sang Kiyai adalah sosok pemain kesenian JATILAN yang tenar di daerahnya.[6] mengenai pendidikan pesantren multikulturalisme ini tidak lepas dari pemikiran Cak Nur yang sesat itu, sebagaimana dikutip oleh salah satu pengikutnya sebagai berikut : “Gagasan Nurcholish Madjid tentang titik temu agama-agama atau gagasan kesatuan transcendental agama-agama (the transcendent unity of religions) Frithjop Schuon, semakin memberikan afirmasi baik secara teologis maupun filosofis tentang pentingnya pengembangan studi agama berbasis multikulturalisme. Penggunaan konsep multikulturalisme dalam studi agama, dengan demikian, tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Multikulturalisme bahkan dapat menempati posisi sebagai kerangka berpikir, atau epistemologi, untuk memahami serta mendiseminasikan gagasan titik temu di antara pelbagai agama. Bila dalam hubungan antarumat beragama lebih ditekankan paham kesatuan – meskipun tetap menyadari adanya perbedaan pada level eksoterik – maka konflik dan aksi kekerasan bias dikurangi, bahkan dikikis[7].
Pesantren Budaya Ilmu Giri, atau yang lebih dikenal Pesantren KH Nasruddin Anshoriy, terletal di Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta . sebagaimana pesantren tradisional yang lainnya, pesantren ini selain mengajarkan ilmu agama, juga terkenal dengan pluralitasnya. Hal itu terbukti dengan progam mondok bersama kaum PLURALIS yang diikuti para santri Kristen dan para pendeta, tokoh lintas agama di Pesantren itu untuk membicarakan budaya, agama, lingkungan, HAM, Jender dan pluralitas. progam – progam Pesantren ini mendapat dukungan dari The Wahid Institute salah satu kepanjangan tangan Zionis di Indonesia.[8]
Pesantren Darut At-Tauhid Cirebon. Secara ekilas nama pesantren ini sama dengan nama pesantren Darut At-Tauhid pimpinan Da'I kondang A'Agym. Tapi pesantren yang satu ini di asuhan seorang Kiyai Haji Tangan Besi kaum Liberalis, yang tak asing lagi di dunia Liberal, yaitu KH.Husein Muhammad pembela Isu Gender atas nama persamaan dan keadilan , pornografi atas nama seni dan keindahan, yang tidak sungkan-sungkan memberikan pengantar untuk buku In The Name Of Sex karya Soffa Ihsan, buku berbau porno yang tak malu membeberkan sederet pengalaman menghirup kenikmatan sesaat bersama perempuan lain dari yang muda hingga yang tua. [9]
Pesantren ROUDLOTUL THALIBIN REMBANG, asuhan KH.Musthafa Bisri, Kiyai sekaligus budayawan mertua Ulil Abshar Abdala ( gembong JIL ) yang tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Pesantren ini sifatnya adalah pesantren tradisional yang mengkaji kitab-kitab kuning, dan mengajarkan multikulturalisme.

MENERBITKAN BUKU-BUKU TENTANG LIBERALISASI PESANTREN.
Untuk meliberalisasikan pendidikan Pesantren kaum Liberalis sangat gencar sekali menulis dan menerbitkan buku-buku ataupun makalah-makalah yang bernuansa pesantren. Tema Pesantren ini dipilih sebagai upaya pendekatan untuk menyusupkan paham pluralisme di Pesantren.
Tema ini tidak terlalu sulit bagi mereka, karena kalau kita telusuri lebih jauh, mayoritas petinggi kelompok liberal di Indonesia merupakan alumni pondok pesantren. Tokoh liberal seperti Abdurrahman Wahid ( gusdur) , Nurcholish Madjid ( cak nur ), Husein Muhammad , Ulil Absar Abdala, Abdul Muqsid Ghazali, Luthfi As-Syaukanie, Taufik Adnan Amal, Hamid Basyaib , Sastro Ngatawi, Gunthur Ramli, Zuhairi Misrawi, adalah santri pesantren bahkan kebanyakan Ayah dari mereka adalah pendiri pesantren. Di bawah ini beberapa buku dan makalah hasil kerja keras mereka yaitu sebagai berikut :

Tasawuf dan Pesantren/ Nurcholis madjid
Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan / Nurcholis madjid
Pesantren dan Pembaharuan/ M. Dawam Rahardjo
Pemberdayaan Perempuan Berbasis Pesantren/Sukidi
Fiqh perempuan: refleksi kiai atas wacana agama dan gender/ Husein Muhammad
Pergumulan pesantren dengan masalah kebudayaan / Abdul Mun'im D.Z.
Pesantren dan pluralisme / M.B. Badruddin Harun
Pandangan pesantren tentang kedudukan perempuan / Taftazani
Antara konflik dan perdamaian, peran pesantren / Badrus Sholeh
Pesantren dan politik formalisasi syari'at Islam / S. Yunanto
Pesantren dan kultur damai pengalaman pesantren Bugis-Makassar / Ahmad Baso
Demi kedamaian peradaban, karsa pesantren / Badrus Sholeh dan Abdul Mun'im D.Z
Menyorot dinamika kelembagaan pesantren / Badrus Sholeh
Pesantren mencari makna / Marwan Ja'far
Pesantren nusantara dan budaya lokal/ Muhammad Muhibbudin[10]


MEMBERIKAN BEASISWA BAGI TENAGA PENGAJAR DAN SANTRI YANG CERDAS
The Asia Foundation telah mendanai lebih dari 1000 pesantren untuk berpartisipasi dalam mempromosikan nilai-nilai pluralisme, toleransi dan masyarakat sipil dalam komunitas sekolah Islam di seluruh Indonesia.
Tahun 2004, TAF memberikan pelatihan kepada lebih dari 564 dosen yang mengajarkan pelatihan tentang pendidikan kewarganegaraan yang kental dengan ide liberalis-sekular untuk lebih dari 87.000 pelajar.
Fakta lain, AS dan Australia juga membantu USD 250 juta dengan dalih mengembangkan pendidikan Indonesia. Padahal, menurut sumber diplomat Australia yang dikutip The Australian (4/10/2003), sumbangan tersebut dimaksudkan untuk mengeliminasi ‘madrasah-madrasah’ yang menghasilkan para ’teroris’ dan ulama yang membenci Barat.
Di samping bantuan pendidikan, pemberian beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke negeri Barat sudah menjadi modus operandi lama. Sejarah awal terjadi pada tahun 1950-an, saat sejumlah mahasiswa Indonesia belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS) yang didirikan oleh orientalis Cantwell W. Smith. Di antara mahasiswa itu adalah Harun Nasution, Rasyidi dan Mukti Ali. Pasca pulang dari belajar Islam gaya orientalis, Harun Nasution menjadi penggerak proses liberalisasi di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sosok ini juga menjadi tokoh kunci terjadinya liberalisasi di seluruh Indonesia. Bukunya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, yang banyak berisi liberalisme pemikiran Islam menjadi buku rujukan wajib seluruh IAIN di Indonesia. Adapun Mukti Ali menggawangi Departemen Agama; ia banyak berperan menciptakan iklim kondusif secara kebijakan untuk percepatan liberalisasi Islam. Kerjasama beasiswa ini dilakukan dengan Australia, Jerman, Belanda dan AS. Sosok kontroversial Nurcholish Madjid juga hasil dari cuci otak di Chichago University. Modus beasiswa ini bagaikan mafia agen liberalisasi. Apabila dalam liberalisasi ekonomi ada “Mafia Berkeley”, dalam liberalisasi pemikiran Islam kita kenal “Mafia McGill” dan “Mafia Chichago”.[11]

5. PEMBENTUKAN JARINGAN INTELEKTUAL MUSLIM YANG BERLATAR BELAKANG PESANTREN.
Jaringan intelektual ini diwakili oleh Jaringan Liberal yang berlabelkan Islam yang memiliki latar belakang Pesantren, seperti Ulil Abshar Abdala, dkk. bekerjasama dengan para intelektual, penulis dan akademisi dalam dan luar negeri. Jaringan ini gencar menyuarakan kampanye dan pengopinian reorientasi pendidikan Islam menuju pendidikan Islam yang pluralis melalui berbagai media propaganda.
Khamami Zada di Jurnal Tashwirul Afkar edisi II/2001 menuliskan:
Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain, mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman, kafir, muslim-non-muslim dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar, agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan.[12] Di jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis, "Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah "lawan" secara aqidah."[13] .
.
6. LIBERALISASI MELALUI MEDIA FILM PESANTREN
Atas nama seni dan kebebasan berkreasi, rupanya kaum Liberalis mempunyai inisiatif baru untuk meliberalkan Pesantren, hal itu sebagaimana dilakukan mereka akhir-akhir ini dengan membuat dan menayangkan FILM PBS " Perempuan Berkalung Serban " yang berlatar Pesantren yang menghebohkan masyarakat, khususnya kalangan Pesantren itu sendiri.
Film ini mengusung paham kesetaraan Jender, isu yang menjadi andalan mereka untuk digulirkan di masyarakat atas nama keadilan dan pembelaan atas harkat martabat perempuan.
Film ini mula-mula berasal dari novel yang ditulis oleh Abidah atas seponsor dari Ford Foundation melalui Fatayat NU Yogyakarta. Novel itu dikerjakan oleh seorang modernis yang tidak mengenal dunia pesantren NU bahkan tidak senang dengan Pesantren NU, sehingga Novel ini cenderung antipati dan memojokkan dunia Pesantren.
Menurut ketua yayasan Komunitas Sastra Indonesia Hesti Prabowo, bahwa penulisan tentang dunia Pesantren selama ini di biayai oleh kelompok neo – Liberal, termasuk novel PBS" Perempuan Berkalung Serban " . [14]


7. TARGET AKHIR : LIBERALISASI PEMIKIRAN ISLAM DAN MUSLIM MODERAT.
Target akhir dari upaya liberalisasi pendidikan Islam dan pondok pesantren di Indonesia adalah liberalisasi pemikiran Islam dan menciptakan Muslim moderat yang pro Barat. Dari merekalah selanjutnya agenda liberalisasi pemikiran Islam akan disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat.
Sasaran pembentukan Muslim moderat diprioritaskan dari kalangan intelektual Muslim dan ulama. Alasannya, karena intelektual Muslim dinilai memiliki peran strategis, baik dalam menentukan kebijakan pemerintah maupun peluang memimpin masyarakat; sedangkan ulama dinilai memiliki pengaruh di tengah-tengah masyarakat akar rumput, di samping sebagai pelegitimasi hukum terhadap berbagai fakta baru yang berkembang. Dari sini dapat dipahami mengapa Barat begitu getol mengontrol dan mengarahkan sistem pendidikan Islam pencetak para intelektual Muslim dan ulama.[15]

[1] - lihat Cirebon, gusdur.net
[2] -lihat pesantren ciganjur-net
[3] - Dr. Hamim Ilyas, ”Akar Fundamentalisme Dalam Perspektif Al-Qur’an” , pengantar untuk buku Is Religion Killing Us, karya Jack Nelson-Pallmeyer.
[4] - lihat seminar : pesantren dan budaya local, Pon.Pes. Raudlotul Ulum Guyangan, 2002
[5] - http://www.pesantren-ciganjur.or
[6] -lihat Pesantren Al-Qodir.net
[7] - Prof. Dr. Syamsul Arifin, guru besar UNMUH Malang, “Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial”. hal. 47
[8] - lihat Suara Pembaruan, Selasa, 8 April 2008

[9] - Lihat Majalah Gatra Nomor 13 Beredar 4 Februari 2005
[10] - http://openlibrary.org/b/OL16745513M/Budaya-damai-komunitas-pesantren, http://moxeeb.wordpress.com/2008/12/31/pesantren-nusantara-dan-budaya-lokal/

[11] -www.hizbut-tahrir.or.id
[12] - Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islam: Dari Eksklusivisme Menuju Inklusivisme dan Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi no. 11, tahun 2001
[13] - M. Amin Abdullah, "Pengajaran Kalam dan Teknologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama", Jurnal Tashwirul Afkar, edisi no. 11, tahun 2001

[14] - lihat, www.NUbatik.net
[15] - www.hizbut-tahrir.or.id