Rabu, 18 Agustus 2010

Tidak Semua Perbedaan Pendapat Bisa Diterima

Quraish Shihab menulis bahwa: ”Menghidangkan satu pendapat saja disamping dapat mempersempit dan membatasi seseorang, juga berbeda dengan kenyataan bahwa hampir dalam semua persoalan rinci keagamaan Islam ditemukan keragaman pendapat. Keragaman itu sejalan dengan ciri redaksi Al Qur'an dan hadits yang sungguh dapat menampung aneka pendapat.“ (M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm. 5)

Kalau saja Quraish Shihab menghidangkan berbagai pendapat ulama yang diakui otoritas keilmuannya, tentunya tidak akan berdampak buruk seperti yang terjadi sekarang. Yang disayangkan, ternyata beliau menghidangkan pendapat orang-orang yang – nota bene – hanya pemikir yang kurang otoritatif dan sama sekali bukan ulama yang mu’tabar, sehingga menyeleweng jauh dari kebenaran dan cenderung berpendapat nyleneh.

Makanya, jauh-jauh sebelumnya, para ulama telah menyebutkan bahwa tidak setiap perbedaan pendapat dalam suatu masalah bisa diterima, karena bisa dimungkinkan bahwa yang berbeda itu adalah pendapat orang yang bukan ahlinya. Berkata Ibnu Hajar Al Haitami:

َلَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا إلَّا خِلَافًا لَهُ حَظٌّ مِنْ النَّظَرِ

"Tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima, kecuali perbedaan pendapat yang mempunyai dasar pijakan (menurut disiplin keilmuan)." (Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarhi al Minhaj, Dar Ihya Turats al Araby, Juz III, hlm. 209)

Kita lihat bagaimana Ibnu Hajar Al Haitami, seorang ulama besar dari Madzhab Syafi’i telah meletakkan sebuah kaidah yang sangat penting, khususnya bagi kaum muslimin di Indonesia yang kebanyakan masih menganggap bahwa seluruh perbedaan pendapat bisa ditampung dan diakomodir dengan alasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi, sehingga pendapat-pendapat nyleneh dan jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist serta ijma’ pun harus diterima sebagai perbedaan pendapat. Sampai-sampai saat ini ada yang menyatakan, bahwa pendapat yang menghalalkan homoseks dan lesbian pun harus dihormati juga sebagai bagian dari perbedaan, karena perbedaan pendapat adalah rahmat. Tentu saja pendapat semacam ini sangat keliru.

Perkataan Ibnu Hajar Al-Haitami di atas dikuatkan juga dengan perkataan ulama besar, Imam Ar Romli:

إلَّا أَنْ يُقَالَ إنَّ هَذَا الْقَوْلَ شَاذٌّ , وَلَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ يُرَاعَى

"Hanyasanya, bisa dikatakan bahwa pendapat ini adalah nyleneh, dan tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima." (Muhammad bin Shihabudin Ar Romli, Nihayah al Muhtaj ila Syarh al Minhaj, Beirut, Dar al Fikr.)

Dari sini, bisa penulis katakan bahwa pendapat-pendapat yang selayaknya ditampilkan dalam masalah jilbab ini, hanyalah terbatas pendapat-pendapat para ulama yang bergelut dalam bidang syari'ah dan memang telah diakui kredibilitas dan kemampuannya.

Seandainya Quraish Shihab hanya menampilkan dua pendapat kelompok besar dari para ulama tentang batasan aurat tentu kita sepakat dan mendukungnya. Berkata Quraish Shihab: "Secara garis besar, dalam konteks pembicaraan tentang aurat wanita, ada dua kelompok besar ulama masa lampau. Yang pertama menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sedang kelompok kedua mengecualikan wajah dan telapak tangan.“ (M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Juz II, hlm. 8)

Dua pendapat yang sudah disebutkan Qurasih, menurut hemat penulis secara umum sudah cukup mewakili seluruh ulama yang ada. Adapun jika ada perinciannya lagi dalam beberapa hal, maka bisa disesuaikan dengan kaidah-kaidah fiqh yang ada. Jadi, tidak perlu menampilkan lagi pendapat-pendapat cendekiawan kontemporer yang sebenarnya tidak berhak sama sekali ikut bicara dalam masalah yang bukan menjadi bidang garapannya, karena hal itu akan merusak tatanan disiplin keilmuan yang sudah ada. Dan jika beliau menampilkan pandangan cendekiawan kontemporer tersebut secara sepintas saja, tentunya dampak negatifnya lebih kecil dari pada sekarang. Tetapi kenyataannya beliau justru menyendirikan pandangan cendekiawan kontemporer tentang jilbab itu dalam satu bab secara lengkap, yaitu dari halaman 113 sampai 164, yaitu sekitar 30% dari jumlah keseluruhan isi buku -- sesuatu yang tidak dilakukan oleh Quraish Shihab ketika menerangkan tentang pendapat ulama yang diakui otoritasnya.

Bukan hanya pendapat para cendekiawan saja yang dipermasalahkan oleh para ulama, bahkan pendapat pakar ushul fiqh pun –yang dalam hal ini sangat dekat dengan ahli fiqh- belum tentu bisa diterima pendapatnya jika ia berbicara masalah fiqh. Berkata Imam Zarkasyi:

"Apakah pendapat pakar ushul fiqh ketika berbicara masalah fiqh bisa diterima? ....Adapun mayoritas ulama, termasuk di dalamnya Abul Husain bin Qattan menyatakan bahwa pendapat seorang pakar ushul fiqh dalam permasalahan fiqh tidaklah bisa diterima, karena dia tidak termasuk ahli fatwa." (Badruddin Zarkasy, Bahru al-Muhith, Dar al Kutby, Juz VI, hlm. 416, lihat juga Al Ghozali, Al Mutashfa, hlm : 144)

Kalau keadaannya demikian, bagaimana para ulama tersebut jika hidup pada zaman sekarang dan mendengar seorang insiyur bangunan, sarjana politik, mantan perwira, dokter gigi, ekonom atau sejenisnya yang sama sekali buta dengan ilmu-ilmu syariah kemudian berfatwa tentang hukum jilbab, tentunya akan ditolak mentah-mentah. Jika tidak memahami atau tidak mempunyai otoritas di bidang itu, seharusnya kembali kepada ulama yang diakui otoritasnya.

Ditulis Oleh: DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A

Selasa, 17 Agustus 2010

Mengoreksi Tafsir Liberal

Mengoreksi Tafsir Liberal dan Feminis tentang Wanita
Oleh: Kholili Hasib

Wanita, selalu menjadi tema sentral dalam pemikiran modernisasi dan isu-isu globalisasi. Kebebasan wanita dan elemen-elemen yang terkait hampir selalu mencuat menjadi tema-tema utama wacana liberalisasi, persamaan (equality) dan modernisasi. Dalam perspektif liberal, kebebasan wanita adalah salah satu ikonnya. Saat ini, setidaknya ada dua isu hangat yang sedang mengalir; kasus video porno yang diperankan artis dan pilkada yang diramaikan calon-calon artis wanita.

Untuk pilkada, yang menjadi bahan perdebatan, artis-artis yang mancalonkan diri ada yang memiliki cacat moral –alias terkenal sebagai artis yang selalu tampil seksi dan porno di media. Dukungan bersumber dari aktivis feminis yang di antara tokohnya terkenal sebagai ilmuwan muslimah-berjilbab, dosen sebuah perguruan tinggi Islam terkenal yang pernah melontarkan pernyataan kontroversial tentang lesbian dan penafsiran agama.

Penafsiran liberal juga diaplikasikan kepada wacana pornografi, yang menjadikan wanita sebagai objek eksploitasi. Pornografi dianggap seni, yang perlu diapresiasi. Inilah nalar postmo, tidak mengenal ukuran normatif. Tidak dikenal benar-salah. Klaim kebenaran, dianggap menghambat orang lain dan menyuburkan otoriteriarisme. Ketika, korban-korban video porno yang menimpa anak-anak dan remaja semakin banyak, aktivis feminis dan liberal ‘tiarap’ tak dengar ‘nyanyian’ argumentatifnya. Itulah paradoks yang menimpa pemikiran postmodernisme – yang sejak awal kelahirannya selalu menjadi wacana kontroversial, terutama tentang diskursus perempuan.

…Penafsiran liberal juga diaplikasikan kepada wacana pornografi, yang menjadikan wanita sebagai objek eksploitasi. Pornografi dianggap seni, yang perlu diapresiasi. Inilah nalar postmo, tidak mengenal ukuran normatif…
Penindasan Dibalik Kampanye Feminisme

Diskursus perempuan dan aspek-aspek lainnya yang dikaitkan dengannya memang menjadi arena wacana yang selalu menarik. Lebih khusus dalam akal manusia Barat – di mana feminisme lahir darinya. Bagi Barat, sedari zaman kuno hingga abad modern, perempuan dan kecantikan serta seksualitas adalah wacana yang tidak bisa dipilah. Dalam patung-patung Yunani kuno misalnya, banyak ditampilkan model wanita telanjang. Tampaknya, Yunani kuno memuja-muja kemolekan perempuan, hal itu bisa dilihat dari arena Olympus Yunani kuno. Kebiasaan inilah barangkali yang diwariskan kepada budaya Barat saat ini.

Ironinya, di satu sisi keindahan fisik dipuja, di sisi lain hak dan jiwa wanita Barat saat itu dipenjara. Sejarah kelam institusi Inkuisisi Gereja pada era darkages menampilkan kerendahan perempuan dalam otoritas Gereja Eropa. Mayoritas korban penyiksaan keji lembaga Inkuisisi adalah perempuan. Hak dan kehormatan wanita dieksploitasi, bahkan oleh orang Barat kuno, wanita dianggap sebagai jelmaan setan. Naudzubillah.

Berangkat dari kutup ekstrim kembali pada kutub ekstrim yang lain. Inilah barangkali yang dialami diskursus perempuan Barat. Setelah mengalami eksploitasi hebat pada darkages, gerakan feminisme pada era pencerahan Eropa justru mebebeaskan perempuan sebebas-bebasnya, tanpa batas, mengenyahkan ukuran normatif agama.

Kelahiran feminisme, seiring dengan modernisasi agama di barat. Pada era selanjutnya, postmodernisme –memeriahkan intelektualitas Barat yang tidak hanya merambah dunia seni, arsitektur, dan sastra akan tetapi pada akhirnya ‘menyodok’ pula pada ruang agama. Inti kandungan filsafat postmodernisme ini adalah anti otoritas keagamaan, relativisme, pluralisme dan kesetaraan dalam semua aspek.

Term postmodernisme beserta ruang lingkupnya berpengaruh secara massif terhadap analisis kefilsafatan dan keberagamaan. Religiuitas Barat modern disesaki dengan pendekatan postomodern – yang doktrin utamanya adalah – nihilisme, anti-otoritas, pluralisme dan equality (kestaraan) tanpa memandang agama dan jenis kelamin.

Di sinilah, wacana tentang wanita mengalami perjalanan pada kutup ekstrim yang kedua. Dan dari sinilah wacana equality dan kebebasan perempuan justru menemukan titik eksploitas yang memuncak. Hal ini semakin menggugah pertanyaan, adakah kemajuan dan kemuliaan dari Liberalisasi Perempuan?

…Barat yang memelopori pembukaan kran liberalisasi perempuan, dan Barat pula yang melanggar hak-hak keperempuanan…
Barat yang memelopori pembukaan kran liberalisasi perempuan, dan Barat pula yang melanggar hak-hak keperempuanan. Berdasarkan laporan PBB tahun 2006, kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi gender di lingkungan kerja Prancis sangat mengkhawatirkan. Menurut laporan tersebut, dua pertiga pekerja rendahan yang semuanya perempuan dalam kondisi mengkhawatirkan.

Di Inggris, kasus hamil di luar nikah, aborsi dan eksploitasi tubuh wanita oleh media juga menjadi menghiasi laporan PBB tahun 2008. Kondisi di AS lebih tragis, menurut laporan FBI AS, pada tahun 2003 sebanyak 93 korban perkosaan dan pelecehan seksual di AS tidak ditanggapi serius oleh pengadilan.

Liberalisasi dan slogan equaliy ternyata gagal mengangkat derajat mulia kaum perempuan. Liberalisasi dan feminisme, satu sisi membongkar kemapanan beragama kaum perempuan. Bahkan istilah feminis mengandung makna tidak beragama. Feminis berasal dari kata “Fe-minus” yang artinya tidak beriman. Di balik itu pula slogan equaliy seperti bunuh diri, yakni, perempuan dieksploitasi.

Di Indonesia, wacana tersebut ternyata diminati bahkan semakin percaya diri. Perempuan dan seks sengaja menjadi isu sentral dalam membentuk opini Liberal – yang antiotoritas normatif agama. Islam dalam konteks ini sengaja dikreasi menjadi agama Postmo – yakni doktrin-doktrinnya dibongkar diganti dengan norma-norma humanis-sekuler. Kelihatannya indah, tetapi mematikan. Rasanya nikmat, namun beracun.

…Di Indonesia, wacana liberalisasi dan feminisme sangat diminati. Perempuan dan seks sengaja menjadi isu sentral dalam membentuk opini Liberal. Seorang kandidat doktor menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas…
Sebuah buku yang ditulis SQ, seorang kandidat doktor sebuah kampus di AS, mengatakan “Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas”. Menurutnya, praktik seks bebas tidak secara jelas diatur dalam diktum keagamaan. Bahkan yang lebih ekstrim dia berkomentar “Agama yang masih mengatur seks, beserta hukumnya, adalah agama kuno”. Astaghfirullah…

Bagi kaum Liberal, inilah era posmo. Sebuah zaman yang tidak memerlukan aturan agama untuk menjadi manusia baik, sebab, seperti dikumandangkan oleh Nietzsche, Tuhan telah terbunuh. Otoritas tidak lagi normatif keagamaan, akan tetapi nilai-nilai rasio manusia. Dalam hal ini diskursus perempuan menjadi arena menarik untuk menjejali manusia modern agar menjadi manusia yang posmo.

Dalam konteks ini, wanita-wanita telah dimanfaatkan oleh pejuang-pejuang Feminisme untuk menipu para wanita, agar mereka beranggapan bahwa perjuangan Feminisme memiliki di negerinya sendiri, Sehingga, muncul persepsi bahwa kebangkitan wanita perlu dilakukan dan ditingkatkan, Namun sayang, perjuangan wanita kebanyakan telah menyimpang mereka berusaha menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, yang kadangkala sampai di luar batas kodrat mereka sebagai wanita.

Tanpa mereka sadari, wanita-wanita telah diarahkan kepada perjuangan Feminisme dengan membawa ide-ide Kapitalisme–Sosialisme, yang pada akhirnya menjerumuskan wanita-wanita itu sendiri, bahkan membawa kehancuran bagi masyarakat dan negaranya. Hal ini disebabkan, mereka meninggalkan tugas utama sebagai ummun wa robbatul bait (ibu dan pengatur Rumah tangga) dan posisi mereka sebagai muslimah yang harus terikat dengan hukum-hukum syara’. Mereka telah terbelenggu kepada perjuangan yang bersifat individual dan semata-mata mendapatkan keuntungan.

…Tanpa mereka sadari, wanita diarahkan kepada perjuangan Feminisme dengan membawa ide-ide Kapitalisme–Sosialisme, yang pada akhirnya menjerumuskan wanita itu sendiri, bagi kehancuran masyarakat dan negaranya…
Disinilah menjadi suatu keharusan, untuk meluruskan peran wanita (khususnya muslimah) dalam usaha untuk mengembalikan kehidupan yang hakiki yang didasarkan kepada Islam sebagai diin yang syamil dan kamil. Perjuangan muslimah untuk kebangkitan umat yang hakiki tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dengan laki-laki, karena untuk mewujudkan masyarakat Islam, di mana di dalam masyarakat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, mengharuskannya berjuang bersama-sama tidak terpisah-pisah dan bersaing satu sama lain.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor-Ponorogo

KH Hasyim Asy'ari Menentang Liberalisasi Agama dan Pemikiran

KH Hasyim Asy'ari Menentang Liberalisasi Agama dan Pemikiran
Oleh: Kholili Hasib


Para intelektual muda NU yang hanyut dalam arus liberalisme agama, harus ditanggapi serius, karena pemikiran anak-anak muda itu cukup membahayakan, tidak hanya bagi NU tapi juga bagi keberagamaan di Indonesia secara umum. Pemikiran tersebut, sangat jauh dari ajaran-ajaran KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang dikenal tegas dan tidak kompromi terhadap tradisi-tradisi batil.

Kecemerlangan pemikiran Kyai Hasyim tersebut berbeda dengan kader-kader muda NU yang berfaham Liberal saat ini. “KH Hasyim adalah tokoh moderat, menghargai keberagamaan, dan terbuka,” ungkap seorang kader muda NU, dalam acara bedah bukunya berjudul “Hadratussyaikh; Moderasi Keumatan dan Kebangsaan” pada 13 Maret 2010 di Jombang. Penulis yang juga aktivis Islam Liberal, ingin menarik-narik, bahwa pemikiran Kyai Hasyim sesuai dengan pemikiran progresif anak-anak muda NU saat ini.

Progresif dalam pemikirannya, adalah yang tak jauh dari pemikiran liberal dan inklusif. Tentu, ini sebuah kesimpulan yang berani dan cenderung gegabah. Kesimpulannya tersebut akan membawa dampak tidak sehat terhadap organisasi NU ke depan. Sebab, ketokohan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, sangat jauh dari ide-ide inklusivisme (keterbukaan) mereka. Pada zamannya, Kyai Hasyim adalah tokoh yang memegang kokoh fundamen-fundamen syariat.

Dalam konteks dinamika pemikiran progresif anak-anak muda NU seperti sekarang, cukup menarik bila kita mengomparasikan dengan pemikiran founding father Jam’iyah NU ini. Ada jarak yang cukup lebar ternyata antara ide-ide Kyai Hasyim dengan wacana-wacana yang dikembangkan kader-kader muda NU yang liberal itu.

Ketokohan KH Hasyim Asy’ari yang sangat disegani, yang membuat orang NU ingin diakui sebagai pengikut beliau. Akan tetapi, upaya pengakuan yang dilakukan anak-anak muda liberal NU tidak dilakukan dengan mengaca pada perjuangan dan ideologi Kyai Hasyim.

Sebaliknya, pemikiran Kyai Hasyim justru secara paksa disama-samakan dengan pemikiran inklusivisme mereka. Padahal Kyai Hasyim Asy’ari pada zamannya terkenal sebagai ulama’ yang tegas dan tidak kompromi dengan tradisi-tradisi yang tidak memiliki dasar.

…Kyai Hasyim Asy’ari pada zamannya terkenal sebagai ulama’ yang tegas dan tidak kompromi dengan tradisi-tradisi yang tidak memiliki dasar…
Ketegasan Kyai Hasyim

Wajah pemikiran pendiri NU ini yang paling menonjol adalah dalam pendidikan Islam, sosial politik dan akidah. Akan tetapi pemikiran yang terakhir beliau ini belum banyak dielaborasi. Padahal untuk bidang keyakinan ini, beliau dikenal mengartikulasikan basicfaithnya secara ketat, tegas, dan tidak kompromi.

Dalam kitabnya “Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat” mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai Hayim berjumpa dengan orang-orang yang merayakan maulid Nabi SAW. Mereka berkumpul membaca al-Qur’an, dan sirah nabi.

Akan tetapi, perayaan itu disertai aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai syariat. Misalnya, ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu tempat tanpa hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa dan permainan yang tidak bermanfaat. Kenyataan ini membuat Kyai Hasyim geram. Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut.

Dalam aspek keyakinan, Kyai Hasyim juga telah wanti-wanti warga Nahdliyin agar menjaga basic faith dengan kokoh. Pada Muktamar ke-XI pada 9 Juni 1936, Kyai Hasyim dalam pidatonya menyampaikan nasihat-nasihat penting. Seakan sudah mengetahui akan ada invasi Barat di masa-masa mendatang, dalam pidato yang disampaikan dalam bahasa Arab, beliau mengingatkan, “Wahai kaum muslimin, di tengah-tengah kalian ada orang-orang kafir yang telah merambah ke segala penjuru negeri, maka siapkan diri kalian yang mau bangkit untuk…dan peduli membimbing umat ke jalan petunjuk”.

Dalam pidato tersebut, warga NU diingatkan untuk bersatu rapatkan melakukan pembelaan, saat ajaran Islam dinodai. “Belalah agama Islam. Berjihadlah terhadap orang yang melecehkan al-Qur’an dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kasih juga terhadap penganut ilmu-ilmu batil dan akidah-akidah sesat”, lontar Kyai Hasyim. Untuk menghadapi tantangan tersebut, menurut Kyai Hasyim, para ulama harus meninggalkan kefanatikan pada golongan, terutama fanatik pada masalah furu’iyah. “Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu’) kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan dan permusuhan” tegasnya.

Tegas, tidak kenal kompromi dengan tradisi-tradis batil serta bijaksana. Inilah barangkali karakter yang bisa kita tangkap dari pidato beliau tersebut. Bahkan, pidato tersebut disampaikan kembali dengan isi yang sama pada muktamar ke-XV 9 Februari 1940 di Surabaya. Hal ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap masa depan warga Nahdliyin dan umat Islam Indonesia umumnya, terutama masa depan agama mereka ke depannya – yang oleh beliau telah diprediksi mengalami tantangan yang berat.

Situasi aktual yang akan dihadapi kaum muslim ke depan sudah menjadi bahan renungan Kyai Hasyim. Dalam kitab “Risalah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah,” beliau mengutip hadits dari kitab “Fathul Baariy,” bahwa akan datang suatu masa bahwa keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama’ dan pakar hukum telah banyak yang tiada. Yang tersisa adalah segolongan yang mengedepankan rasio dalam berfatwa. Mereka ini yang merusak Islam dan membinasakannya.

…Dalam kitab yang sama, Mbah Hasyim menyinggung persoalan aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan meluber ke dalam umat Islam Indonesia…
Dalam kitab yang sama, Mbah Hasyim menyinggung persoalan aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan meluber ke dalam umat Islam Indonesia. Misalnya, kelompok yang meyakini ada Nabi setelah nabi Muhammad, Rafidhah yang mencaci sahabat, kelompok Ibahiyyun – yaitu kelompok sempalan sufi mulhid yang menggugurkan kewajiban bagi orang yang mencapai maqam tertentu - , dan kelompok yang mengaku-ngaku pengikut sufi beraliran wihdatul wujud, hulul dan sebagainya.

Menurut Kyai Hasyim, term wihdatul wujud,dan hulul dipahami secara keliru oleh sebagian orang. Kalaupun term itu diamalkan oleh seorang tokoh sufi dan para wali, maka maksudnya bukan penyatuan Tuhan dan manusia (manunggaling kawula). Seorang sufi yang mengatakan “Maa fi al-Jubbah Illa Allah” maksudnya adalah bahwa sesuatu yang ada dalam jubbah atau benda-benda lainnya di ala mini tidak akan wujud kecuali karena kekuasaan-Nya. Artinya, menurut Kyai Hasyim, jika istilah itu dimaknai manunggaling kawula, maka beliau secara tegas menghukumi kafir.

…Tak sedikit punggawa Jaringan Islam Liberal berlatar belakang NU. Akan tetapi, yang diperjuangkan bukan lagi ke-NU-an sebagaimana ajaran Kyai Hasyim Asy’ari…
Karakter pemikiran yang diproduk Kyai Hasyim memang terkenal berbasis pada elemen-elemen fundamental. Dalam karya-karya kitabnya, ditemukan banyak pandangan-pandangan beliau yang menjurus pada penguatan basis akidah. Dalam kitabnya “Risalah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah” itu misalnya, Kyai kelahiran Jombang ini menulis banyak riwayat-riwayat tentang kondisi pemikiran umat pada akhir zaman.

Oleh sebab itu, Kyai Hasyim mewanti-wanti agar tidak fanatik pada golongan, yang menyebabkan perpecahan dan hilangnya wibawa kaum muslim. Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalil mu’tabarah, akan tetapi berbeda dengan amalan Syafi’i yah, maka mereka tidak boleh diperlakukan keras menentangnya. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada Al-Qur’an, Hadits, dan pendapat para ulama.

NU Liberal Tak Sama dengan NU-nya KH Hasyim Asy’ari

Sayangnya, model pemikiran-pemikiran KH Hasyim Asy’ari tersebut tidak menjadi kaca yang baik. Bahkan ‘kaca’ pemikiran Kyai Hasyim berusaha diburamkan sedemikian rupa, terutama oleh anak-anak muda NU yang liberal.

Tak sedikit punggawa Jaringan Islam Liberal berlatar belakang NU. Akan tetapi, yang diperjuangkan bukan lagi ke-NU-an sebagaimana ajaran Kyai Hasyim Asy’ari. Pluralisme, sekularisme, kesetaraan gender, dan civil society adalah ide-ide yang diperjuangkan kader-kader muda NU di JIL.

Beberapa intelektual muda NU yang hanyut dalam arus liberalisme agama. harus ditanggapi serius, pemikiran anak-anak muda itu cukup membahayakan, tidak hanya bagi NU tapi juga keberagamaan di Indonesia secara umum.

...Ketika masih menjabat Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi gerah dengan munculnya wacana liberalisasi agama yang melanda kalangan muda NU. Beliau sadar bahwa liberalisme telah menjadi tantangan di NU…
Ketika masih menjabat Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi merasa gerah dengan munculnya wacana liberalisasi agama yang melanda kalangan muda NU. Beliau telah menyadari bahwa liberalisme telah menjadi tantangan di NU.

Sebab, liberalisasi agama jelas menyalahi tradisi NU, apalagi melawan perjuangan KH Hasyim Asy’ari. ” Liberalisme ini mengancam akidah dan syariah secara bertahap,” ujar Hasyim seperti dikutip www.nuonline.com pada 7 Februari 2009.

Kekhawatiran tersebut memang perlu menjadi bahan muhasabah di kalangan warga NU. Sebab, invasi anak-anak muda tersebut pelan-pelan akan menghujam ormas Islam terbesar tersebut. Kasus Ulil yang memberanikan diri mencalonkan diri sebagai ketua PBNU dalam muktamar kemarin adalah sebuah sinyal kuat. Bagaimana, tokoh liberal bisa masuk bursa calon ketua. Harusnya, ada ketegasan sikap dari elit-elit NU untuk mencegah.

Padahal, KH Hasyim Asy’ari sangat menentang ide-ide pluralisme, memerintah untuk melawan terhadap orang yang melecehkan al-Qur’an, dan menentang penggunaan ra’yu mendahului nas dalam berfatwa (lihat Risalah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah). Dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Hadratu Syekh mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam laut fitnah, bid’ah dan dakwah mengajak kepada Allah padahal mengingkari-Nya.

Memang mestinya, nahdliyin yang liberal tidak mendapat tempat di dalam NU. Sebab, perjuangan Kyai Hasyim pada zaman dahulu adalah menerapkan syariat Islam. Untuk itulah beliau, sepulang dari belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah – sebagai wadah perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Ketegasan semoga tidak sekedar diwacanakan secara verbal. Tentu ini tidaklah cukup dibanding dengan kuatnya arus liberalisme di tubuh ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Tindakan nyata dan tegas hukumnya fardlu 'ain bagi beliau dan para ulama' yang memiliki otoritas dalam tubuh organisasi.

Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia seperti NU adalah aset bangsa yang harus diselamatkan dari gempuran virus liberalisme. NU dan Muhammadiyah bagi muslim Indonesia adalah dua kekuatan yang perlu terus dibackup. Jika dua kekuatan ini lemah, tradisi keislaman Indonesia pun bisa punah. Maka, andai Kyai Hasyim hidup saat ini, beliau pasti akan berada di garda depan menolak pemikiran Liberal. [taz/voa-islam.com]

(Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor dan peneliti Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) ISID

Mendidik Anak Menjadi Mujahid

KETIKA berita tentang tentara Salibis yang telah bersiap untuk meluluhlantakkan Islam sampai kepadanya, Abu Qudamah ASy-Syami bergerak cepat menuju mimbar masjid. Dalam pidato yang emosional dan bertenaga, Abu Qudamah membakar semangat masyarakat muslim untuk mempertahankan tanah air mereka, dengan jihad fi sabilillah. Tak lama setelah dia meninggalkan masjid, menuruni lorong sempit dan gelap, tiba-tiba seorang wanita menghentikan langkahnya dan berkata, “Assalamu’alaikum wa rahmatullah!” Abu Qudamah berhenti, dan tidak menjawabnya.

Wanita itu mengulangi lagi salamnya, seraya menambahkan, “Hal demikian bukanlah tindakan yang seharusnya dilakukan orang shalih.” Lalu wanita itu berjalan selangkah mendekati bayangan Abu Qudamah. “Aku mendengar engkau di masjid memotivasi orang-orang beriman untuk pergi berjihad, dan yang aku punya hanyalah ini,” tuturnya seraya menyeragkan dua buah kuncir yang dipotong dari rambutnya. Wanita itu meneruskan, “Ini bisa digunakan sebagai tali kendali kuda. Semoga Allah menetapkan diri sebagai salah seorang yang pergi berjihad.

Pada hari berikutnya ketika penduduk perkampungan muslim telah bersiaga untuk berkonfrontasi dengan laskar Kristen, tiba-tiba seorang anak kecil berlari ke kerumunan dan berdiri di hadapan kuda yang ditunggangi Abu Qudamah. “Demi Allah, aku memohon kepada engkau agar mengizinkanku untuk bergabung ke dalam pasukan,” terang anak kecil itu. Tak ayal, beberapa mujahid yang lebih tua menertawakan anak tersebut. “Nanti kuda akan menginjak-injak engkau,” ejek yang lain.

Akan tetapi Abu Qudamah menatap dalam-dalam kedua matanya, lalu bocah kecil itu berkata lagi, “Demi Allah, izinkan aku untuk bergabung.” Abu Qudamah menimpali, “Tapi dengan satu syarat, jika engkau terbunuh, maka engkau akan membawaku ke surga bersama orang-orang yang engkau masukkan ke dalam syafaat (syahid)mu.” Anak itu lantas tersenyum sembari berucap, “Itu adalah janji.”

…Dia menggapai tingkatan ketakwaan maksimal, yang mana dia rela mengorbankan rambutnya, ketika hari ini banyak wanita memperindah rambut mereka untuk meniru orang-orang kafir…
Tatkala dua pasukan bertemu dan tensi pertempuran semakin meninggi, anak kecil yang dibonceng di belakang Abu Qudamah itu meminta, “Demi Allah aku meminta kepadamu untuk memberiku tiga anak panah!” Abu Qudamah menjawab, “Engkau akan menyia-nyiakannya.” Anak itu mengulangi lagi, “Demi Allah, aku meminta kepadamu untuk memberiku anak panah.”

Lalu Abu Qudamah pun memberinya tiga anak panah, lantas anak itu mulai membidik. “Bismillah,” ucapnya. Kemudian anak panah pertama itu melesat dan membunuh seorang tentara Romawi. “Bismillah,” ucapnya kedua kali. Lalu anak panah kedua melesat dan menewaskan seorang tentara Romawi lagi. “Bismillah,” ucapnya lagi. Kemudian anak panah terakhir itu pun menyungkurkan seorang tentara Romawi lainnya.

Tak lama setelah itu, sebuah anak panah melesat menembus dada anak kecil itu, membuatnya jatuh terpelanting dari kuda. Sontak Abu Qudamah pun loncat dari kudanya dan mendekati anak itu, lalu mengingatkannya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, “Jangan melupakan janji!” kemudian anak itu meraih sakunya, dan mengeluarkan sebuah kantong seraya berujar, “Tolong kembalikan ini kepada ibuku.” “Siapa ibumu?” tanya Abu Qudamah. Anak itu berkata dengan terengah-engah, “Wanita yang kemarin memberimu dua buah kuncirnya.”

Demikian kisah teladan mujahid Islam yang dikisahkan Ibnul Jauzi dalam Shifat Ash-Shafwah. Kisah wanita yang memotong kuncirnya tersebut dikomentari Ibnul Jauzi sbb: “Wanita ini niatnya baik, namun caranya keliru karena dia tidak tahu bahwa perbuatannya itu –yakni memotong kuncirnya– terlarang, karenanya dalam hal ini kita hanya menyoroti niatnya saja.” (Shifat Ash-Shafwah, 1/459)

Renungkanlah wanita tersebut; bagaimana dia menggapai tingkatan ketakwaan maksimal, yang mana dia rela mengorbankan rambutnya, ketika hari ini banyak wanita memperindah rambut mereka untuk meniru orang-orang kafir. Dan dia juga pasrah mengorbankan anaknya, ketika dewasa ini para wanita justru sanggup mati asalkan anak-anak mereka bersama mereka. Ya, wanita dalam kisah di atas menghabiskan hidupnya dalam ketaatan kepada Allah, dan ketika ujian itu datang, dia dengan mudahnya melewatinya. Bukan hanya dirinya yang sanggup melewati ujian tersebut. Anak lelaki yang telah didiknya pun bersinar dengan kemilau keimanan seperti ibunya.

…Sejarah Islam diwarnai dengan banyak wanita beriman yang sukses mencetak mujahid tangguh dan para pembela Islam. Mereka patut ditiru. Mereka adalah teladan sempurna…
Sejarah Islam diwarnai dengan banyak wanita beriman yang sukses mencetak pribadi-pribadi tangguh dan para pembela Islam. Mereka patut ditiru, karena mereka adalah teladan sempurna. Kita mungkin pernah mendengar kisah tentang seorang pemuda dengan seorang raja kafir. Yaitu ketika seluruh penduduk desa berbondong-bondong memeluk Islam dikarenakan syahidnya pemuda tersebut, maka raja memerintahkan supaya di setiap jalan digali parit dan dinyalakan api. Lalu setiap penduduk ditanya tentang agamanya, jika dia telap setia kepada agama raja, maka dibiarkan. Akan tetapi jika dia tetap beragam dengan agama si pemuda (percaya kepada Allah), maka akan dimasukkan ke dalam parit api itu.

Maka orang berjejal-jejal saling dorong untuk masuk ke dalam parit api itu, disebabkan keyakinan mutlak mereka terhadap akidah sang pemuda yang syahid. Sehingga tiba giliran seorang wanita menggendong bayinya yang masih menyusu, ketika bayinya diangkat oleh pengikut-pengikut raja untuk dimasukkan ke dalam parit api itu, wanita itu hampir menuruti mereka untuk murtad, karena merasa kasihan kepada anaknya yang masih bayi. Tiba-tiba bayi itu berkata dengan suara lantang, “Bersabarlah wahai ibuku, karena engkau sedang mempertahankan yang benar.” Akhirnya, wanita mukminah itu masuk ke dalam parit api bersama bayi yang digendongnya.

Mengenai hal ini, Allah berfirman, “Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Buruj 8-9).

…Melalui pembinaan Al-Khansa yang dikenal sebagai ibunda para syahid, keempat anak lelakinya tampil menjadi pahlawan Islam yang terkenal. Ia mendorong keempat anak lelakinya tentang kemuliaan gugur syahid di medan Al-Qadisiyah…
Dan salah satu sosok mukminah yang sudah tak asing lagi adalah Al-Khansa yang dikenal sebagai ibunda para syahid. Dia menikah dengan Rawahah bin Abdul Aziz As-Sulami. Dari pernikahan itu dia mendapatkan empat orang anak lelaki. Dan melalui pembinaan dan pendidikan tangan-tangannya, keempat anak lelakinya ini tampil menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Hal itu dikarenakan dorongannya terhadap keempat anak lelakinya yang telah gugur syahid di medan Al-Qadisiyah.

Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan sengit di rumah Al-Khansa. Di antara keempat putranya telah terjadi perebutan kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling tunjuk menunjuk kepada yang lainnya untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh fi sabilillah.

Rupanya, pertengkaran mereka itu telah terdengar oleh ibunda mereka, Al-Khansa. Maka Al-Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata:

“Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan. Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang lelaki dan dari seorang perempuan yang sama. Tidak pantas bagiku untuk mengkhianati bapakmu, atau membuat malu pamanmu, atau mencoreng arang di kening keluargamu.

Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah, majulah paling depan niscaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat. Negeri keabadian.

Wahai anakku, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah. Inilah kebenaran sejati, maka untuk itu berperanglah dan demi itu pula bertempurlah sampai mati.

Wahai anakku, carilah maut niscaya dianugrahi hidup.”

Pemuda-pemuda itu pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh, sehingga banyak musuh yang terbunuh di tangan mereka. Akhirnya nyawa mereka sendirilah yang tercabut dari tubuh-tubuh mereka. Ketika ibunda mereka, Al-Khansa, mendengar kematian anak-anaknya dan kesyahidan semuanya, sedikit pun dia tidak merasa sedih dan kaget. Bahkan ia berkata, “Alhamdulillah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan mempertemukan aku dengan putra-putraku dalam naungan Rahmat-Nya yang kokoh di surgaNya yang luas.”

…Ketika Al-Khansa, mendengar kesyahidan semua anaknya, sedikitpun dia tidak merasa sedih dan kaget. Bahkan ia berkata, “Alhamdulillah, Allah telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku…
Inilah mengapa Al-Khansha dijuluki ibunda para syahid (ummu syuhada). Namun bukan gelar sebagai Ummu Syuhada ini yang dia cari, melainkan keridhaan dari Allah SWT. Diberi gelar ataupun tidak adalah sama baginya, dia akan tetap memotivasi anaknya untuk tetap tegar di medan perang, dan rela melepas mereka semua pergi menuju kampung abadi dengan gelar sebagai syuhada.

MENCETAK PARA MUJAHID TANGGUH

Seandainya semua ibu dewasa ini memiliki orientasi hidup dan prinsip sebagaimana para ibunda dalam kisah di atas, maka dunia Islam akan melihat para pahlawan dan pejuang yang siap memperjuangkan Islam.

Namun, pada zaman ini, peran ibu seolah tergantikan oleh para pembantu, baby sitter, atau dititipkan di tempat penampungan anak (day care). Betapa banyak ibu yang lebih fokus dan ambisius pada karier mereka sehingga perhatian dan kasih sayang pada anak pun berkurang bahkan hilang. Tidak jarang pula dijumpai banyak para ibu yang memiliki banyak waktu bersama anak namun merasa bingung apa yang harus dilakukan untuk mengasah potensi buah hatinya.

Dua kondisi tersebut menunjukkan minimnya pemahaman seorang ibu tentang perannya dan optimalisasi perannya, yaitu berusaha melahirkan generasi mulia; generasi para mujahid. Tentunya, menjadi ibu pencetak mujahid meniscayakan proses pembelajaran, di antaranya adalah:

1. Bagaimana dia bisa memberikan pendidikan dan pengajaran terbaik pada anak-anaknya, meliputi pemahaman akidah yang benar, syariat yang komprehensif, dan akhlak terpuji.

…pendidikan dan pengajaran terbaik pada anak-anaknya, meliputi pemahaman aqidah yang benar, syariat yang komprehensif, dan akhlak terpuji…
2. Bagaimana agar anak-anaknya selalu memberikan respon positif kepada ibu mereka.

3. Bagaimana menampilkan pesona sejati ibu shalihah dan anak-anak yang shaleh serta shalihah?

4. Bagaimana ibu dan anak-anaknya dicintai Allah dan Rasul-Nya

5. Bagaimana ibu menemukan rahasia metodologi dan epistemologi dalam mencetak generasi mujahid, berdasarkan manhaj ahlussunnah wal jama’ah dan paradigma tha`ifah manshurah (kelompok yang selamat).

6. Terakhir, bagaimana menghadirkan suasana ‘perjuangan setiap hari' di rumah. Dalam artian, anak-anak harus diberi pemahaman bahwa antara kebenaran dan kebatilan senantiasa bertarung, dan kebenaran harus bisa melenyapkan kebatilan, dalam setiap ranah kehidupan.

…Hadirkan suasana ‘perjuangan setiap hari' di rumah. Anak-anak harus diberi pemahaman bahwa antara kebenaran dan kebatilan senantiasa bertarung. Dan kebenaran harus bisa melenyapkan kebatilan…
Guna merealisasikan hal-hal di atas, syariat Islam kaffah (integral) memberikan peranti-peranti yang dibutuhkan oleh ibu untuk belajar menjadi pencetak generasi mujahid. Pertama, ilmu Allah dengan Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kedua, teladan yang baik bagi para manusia, khususnya muslim dan muslimah dalam mendidik generasi mujahid, yakni Rasulullah, para shahabat dan shahabiyah, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, serta para ulama Salafus-Shaleh lainnya. Sementara hal-hal teknisnya bisa diketahui dan dipelajari dari berbagai majlis ilmu dan buku-buku keislaman yang bermanhaj lurus.

Demikianlah, semoga dalam waktu dekat kita akan menyaksikan munculnya para mujahid dari para ibunda seperti Al-Khansha dan lainnya. Sehingga mereka dapat tampil memberangus kebatilan, kemaksiatan kemusyrikan, hal-hal bid’ah, atau meruntuhkan hukum thaghut yang berkuasa. Amin! [ganna pryadha/voa-islam.com]

Jumat, 13 Agustus 2010

PERAN ORMAS-ORMAS इस्लाम PRA KEMERDEKAAN

PERAN ORMAS-ORMAS ISLAM
DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
PADA ZAMAN PRA KEMERDEKAAN


Oleh Avid Solihin,M.Pd

A. Pendahuluan

Pendidikan Islam di Indonesia sudah dikenal sejak Islam datang ke Indonesia. Dari catatan sejarah kita mengetahui bahwa Islam menjadi salah satu komponen penting dalam membentuk corak dan warna kehidupan masyarakat Indonesia. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keberhasilan Islam dalam menyebarkan da’wahnya baik melalui pendidikan maupun melalui bentuk dan pola da’wah lainnya.
Penyebaran Islam waktu itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dari rumah ke rumah, agar tidak dicurigai dan dianggap menentang norma-norma adat yang sudah dipegang kuat oleh penguasa dan diikuti oleh masyarakat pada umumnya.
Dari sinilah timbul kegiatan pendidikan Islam. Mereka belajar di rumah-rumah, di langgar/surau/ meunasah, mesjid dan sebagainya, lalu bekembang menjadi pondok-pondok pesantren. Setelah itu, timbul sistem pendidikan yang teratur dalam bentuk madrasah dan sekolah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Ada hal yang menarik dalam proses penyebaran Islam khususnya di Pulau Jawa, proses penyebaran Islam di daerah pesisir berjalan dengan damai, sementara di daerah pedalaman dan pantai selatan, memerlukan waktu yang lebih lama. Menurut Hasbullah, itu disebabkan karena orang-orang di pedalaman dan pantai selatan sangat kuat memegang kepercayaan dan adatnya yang lama. Namun, meskipun demikian, prinsip hidup damai, hidup bertetangga antara orang pantai yang sudah Islam dengan orang pedalaman yang masih kuat memegang keyakinan Hindu, Budha dan keyakinan tradisionalnya, pada waktu itu masih tetap dipertahankan.
Meskipun demikian sederhananya upaya para ulama saat itu, tetapi ternyata Islam dapat tersebar luas dan menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia, bahkan pada masa kerajaan Pasai di Aceh (abad ke 13) hingga Kerajaan Demak di Jawa Tengah (akhir abad ke 15) agama Islam pernah menjadi agama resmi Negara. Dan pada zaman Sultan Agung setidaknya ada tiga hal menonjol tentang pengaruh Islam terhadap kerajaan Mataram: (1) Atas perintah Sultan Agung, perayaan Grebek waktunya disesuaikan dengan hari ‘Idul Fitri dan Maulid Nabi yang kemudian dikenal dengan Grebek Poso (Puasa) dan Grebek Mulud; (2) Gamelan sekaten dipukul di halaman Mesjid Agung hanya dibunyikan pada Grebek Mulud saja; (3) Hitungan tahun Saka (yang waktu itu tahun saka sudah mencapai tahun 1555 dan tahun miladiyah sudah mencapai tahun 1633M) diasimilasikan dengan tahun Hijriyah, sehingga sejak saat itu nama hari dan bulan menggunakan nama bulan dan hari penanggalan Hijriyah, sedangkan tahun menggunakan penanggalan Jawa, sehingga sejak saat itu disebut sebagai tahun Jawa.
Keberhasilan Islam menyebar dan menyusup ke tengah masyarakat Indonesia waktu itu, belum didukung oleh dukungan organisasi atau metode da’wah yang canggih seperti sekarang ini. Organisasi Islam pada waktu itu baru merupakan perkumpulan beberapa orang yang melakukan keinginan bersamanya untuk menyebarkan ajaran Islam. Barulah pada tahapan-tahapan berikutnya organisasi-organisasi tersebut berkembang lebih maju bahkan menyelenggarakan kegiatan pendidikan dalam tatanan yang teratur, terencana dan terkoordinir secara lebih maju hingga saat ini.
Tulisan ini mencoba memotret kembali peran organisasi-organisasi Islam dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dimulai dari sebelum kedatangan bangsa Eropa hinga zaman kemerdekaan.


B. Pendidikan Islam Sebelum dan Semasa Penjajahan Belanda

Sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada mulanya didasarkan pada sistem kedaerahan. Belum terkoordinir dan terpusat seperti sekarang. Sebab, setiap daerah berusaha melancarkan pendidikan dan pengajaran Islam menurut daerah masing-masing. Karena itu, corak pendidikan Islam suatu daerah berbeda dengan pendidikan daerah lainnya. Misalnya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya.
Para ulama da’watul Islam melaksanakan kegiatan pendidikan melalui system sorogan atau perorangan dan berlangsung secara sangat sederhana, tidak mengenal strata atau tingkatan seperti pada pendidikan di langgar dan pesantren (yang selanjutnya menjadi ciri khas model pendidikan Islam di Indonesia) yang kemudian berkembang dengan system kelas seperti pada pendidikan di madrasah. Itulah yang menjadi alasan Mahmud Yunus (1985) mengatakan bahwa sejarah pendidikan Islam di Indonesia sama tuanya dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Ajaran dan tata cara beribadah dalam agama Islam mendorong masyarakat untuk dapat memahami dan menjalankan nya, walaupun dalam tataran yang sederhana.
Kegiatan penyiaran sekaligus pelaksanaan pendidikan Islam pada waktu itu berjalan sangat sederhana dan tidak menemui kendala yang berarti, sampai datangnya imperialis dari Eropa yang misi kedatangannya tidak hanya sekedar berdagang dan menguasai daerah yang ia datangi, tetapi juga membawa misi lainnya, yaitu menyebarkan agama Kristen. Sehingga wajar jika kedatangannya menimbulkan reaksi dan pertentangan dari masyarakat Indonesia di mana-mana, karena apa yang mereka lakukan, disamping merugikan penduduk pribumi, juga merusak tatanan sosial-budaya masyarakat yang sudah ada.
Sejak awal kedatangan kolonial Belanda ke Indonesia, mereka mendapatkan reaksi dari raja-raja yang berkuasa di bumi Indonesia, misalnya serangan Adipati Unus terhadap Portugis di Malaka, serangan Sultan Agung terhadap Belanda yang disusul dengan serangan-serangan berikutnya seperti yang dilakukan oleh Trunojoyo, Diponegoro, Perang Padri di Minangkabau, Aceh dan sebagainya. Itu semua menggam-barkan reaksi kehadiran bangsa Barat ke Indonesia. Dan sebagian besar reaksi menentang kedatangan bangsa Barat atau kolonialis tersebut dilakukan oleh para tokoh Islam.
Hampir di setiap daerah yang penduduknya beragama Islam berdiri mesjid yang berfungsi selain tempat ibadah juga sebagai pusat kegiatan Islam. Begitu juga pada periode Demak, banyak mesjid yang dibangun, seperti: Mesjid Demak, Kudus, Ampel, Giri dan sebagainya. Setiap tokoh Islam pada zaman dahulu (kiyai, wali dan sejenisnya) selalu mementingkan dan mendahulukan pembangunan mesjid sebagai pusat kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan demikian, pendidikan agama non-formal semakin luas dan terarah.

Diberikannya pendidikan agama pada waktu itu bertujuan untuk:
1. Mengajak manusia berbuat baik, patuh menjalankan agama secara bersungguh-sungguh dalam arti mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya;
2. Menjaga tradisi, maksudnya sesuatu yang dianggap penting dan diperlukan oleh keluarga dan masyarakat, harus diturunkan dan diajarkan kepada anak-cucu secara turun temurun sebagai regenerasi.

Metode pendidikan yang digunakan waktu itu bermasam-macam, antara lain:
1. Ceramah atau nasehat langsung; Metode ini biasa digunakan di tempat-tempat berkumpulnya kaum muslimin, seperti masjid, mushalla atau langgar. Nasihat yang diberikan terutama tentang persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat pada umumnya;
2. Pemberian tauladan yang baik; Dengan penampilan pribadi yang baik dan mengesankan, menonjolkan tingkah laku yang baik dan terpuji, sehingga melahirkan daya tarik bagi para murid untuk ditiru dan ditauladani yang kemudian diamalkan;
3. Menggunakan media kesenian; Melalui kesenian, para ulama menyebarkan pemahaman keislaman kepada masyarakat. Sunan Giri, misalnya, menanamkan faham agama kepada anak-anak melalui bermacam-macam permainan dan nyanyian dalam bahasa Arab. Sunan Kalijaga menyebarkan pemahaman keislaman melalui wayang. Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Solo dan Yogjakarta dengan menggunakan Gamelan Sekaten (Sekaten berasal dari kata Syahadatain= Dua kalimat Syahadat). Cara ini yang kemudian dilakukan oleh misionaris Kristen saat ini dalam menyebarkan agama Kristen di Indonesia.

Hal tersebut menggambarkan adanya akomodasi dan kontak kultural dalam pengembangan agama Islam dengan berbagai jenis kebudayaan dan masyarakat di Indonesia. Karena, kontak tersebut, disamping dilakukan melalui dunia dagang, juga dilakukan melalui kontak intelektual, seperti berdialog, diskusi, dan sejenisnya.
Memang diakui, para penjajah, khususnya Belanda, banyak mewarnai perjalanan sejarah (Islam) di Indonesia. Banyak peristiwa dan pengalaman yang dicatat Belanda sejak awal kedatangannya di Indonesia. Mereka merasakan bahwa kehadi-rannya di Indonesia mendapatkan tantangan dan perlawanan penduduk pribumi, raja-raja dan tokoh-tokoh agama. Mereka juga tahu bahwa mayoritas penduduk primbumi beragama Islam, sehingga untuk mempertahankan kekuasaan-nya di Indonesia mereka harus berusaha mengerti dan memahami seluk beluk penduduk pribumi yang dikuasainya. Itulah yang dilakukan oleh Snouch Hurgronje yang kemudian berhasil menundukkan kekuatan Aceh yang terkenal keras.
Kedatangan bangsa Barat di Indonesia, memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi kemajuan itu tidak dinikmati oleh penduduk pribumi, melainkan untuk mening-katkan hasil penjajahannya. Begitu juga dalam hal pendidikan, mereka memperkenalkan sistem dan metode baru dan tentu dinilai lebih efektif, namun semua dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah dibanding dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari negerinya sendiri. Dan kenyataannya, Belanda memang benar-benar mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, memeras tenaga pribumi, menguras sumber alam dan sebagainya.
Apa yang mereka sebut dengan pembaharuan pendidikan, hakekatnya dalah adalah westerinsasi dan kristenisai, yaitu untuk kepentingan Belanda/Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijakan penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung selama 3,5 abad.
KH. Saefuddin Zuhri (1978), menggambarkan bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim, tidak memandang orang-orang Barat tersebut melainkan sebagai penakluk dan penjajah, tidak peduli mereka Katolik atau Protestan. “Dalam dada penjajah tesebut begitu kuatnya bersemayam ajaran Machiavelli, politikus yang curang dan licik yang antara lain mengajarkan bahwa:

1. Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah (kolonial);
2. Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat;
3. Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa dan digunakan untuk memecah-belah dan agar mereka (pribumi) berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah;
4. Janji dengan rakyat tidak perlu ditepati jika merugikan;
5. Tujuan dapat menghalalkan segala cara”

Oleh karenaitu, kebijakan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan tentu untuk kepentingan mereka sendiri terutama untuk kepentingan agama Kristen. Hal ini terlihat jelas, misalnya ketika Van Den Boss menjadi gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap sebagai sekolah pemerintah. Sedangkan departe-men yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu, dan di setiap daerah Kresidenan didirikan satu sekolah Agama Kristen.
Inisiatif mendirikan lembaga pendidikan bagi pribumi adalah ketika Van Den Capellen menjabat Gubernur Jenderal. Ia mengeluarkan surat edaran kepada para Bupati yang isinya antara lain meminta agar secepat mungkin membuat peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum Negara yang ditetapkan Belanda.
Begitu juga dalam meredam perlawanan umat Islam yang dipelopori oleh kerajaan-kerajaan Islam dan ulama, Belanda melaksanakan dua rekomendasi Snouck Hurgronje sebagai berikut:
1. Menyarankan kepada pemerintah Belanda agar netral terhadap agama, yakni tidak campur tangan dan tidak memihak kepada salah satu agama yang ada. Menurut Snouck, fanatisme Islam itu akan luntur sedikit demi sedikit melalui proses pendidikan secara evolusi;
2. Pemerintah Belanda diharapkan dapat membendung masuknya Pan Islamisme yang (saat itu) sedang berkembang di Timur Tengah dengan cara menghalangi masuknya buku-buku dan brosur-brosur lain dari luar ke wilayah Indonesia; mengawasi kontak langsung dan tidak langsung tokoh-tokoh Islam Indonesis dengan tokoh luar serta mengawasi dan membatasi orang-orang yang pergi ke Mekkah dan kalu memungkinkan melarangnya sama sekali. Karena dikhawatirkan pengalaman yang ia dapatkan dari luar akan dibawa pulang ke Indonesia dan mempengaruhi kelanggengan kekuasaan kolonial.

Oleh sebab itu pernyataan Wertheim ada benarnya bahwa apapun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasan tersebut. Tekanan demi tekanan sama sekali tidak mennggoyahkan mereka.
Namun betapapun ketatnya pengawasan Belanda saat itu, perkembangan dan penyebaran Islam di Indonesia tidak dapat dibentung. Para tokoh Islam masih mendapatkan brosur-brosur dan majalah dari timur tengah yang dilarang oleh Belanda. Jumlah jamaah haji terus melimpah. Orang-orang Islam yang belajar di Baratpun tidak kehilangan identitasnya sebagai muslim dan bangsa Indonesia.Upaya Belanda membatasi pribumi untuk bersekolah, justru telah menggiring pribumi untuk measukkan anak-anaknya ke prondok-pondok pesantren. Inilah yang menda-sari kuatnya kepercayaan beragama bagi penduduk pribumi yang beragama Islam. Pendidikan Islampun dari kurun waktu ke waktu terus tumbuh dan berkembang sebagai berikut:

1. Pendidikan Islam Sebelum Tahun 1900.
Sebelum tahun 1900, pendidikan Islam dilakukan secara perorangan, secara rumah tangga dan melalui surau/langgar atau mesjid. Pendidikan perorangan dan rumah tangga itu lebih menekankan pada pelajaran praktis, misalnya tentang ketuhanan, keimanan dan masalah-masalah yang berhubung-an dengan ibadah. Pelajaran yang sistematis belum ada, dan pemisahan mata pelajaranpun belum ada. Sedangkan pendidi-kan surau mempunyai dua tingkatan, yaitu: pelajaran al Quran dan pengkajian kitab.
Menurut Mahmud Yunus, pendidikan Islam pada masa ini setidaknya memiliki 8 ciri, yaitu:
a. Pelajaran diberikan satu demi satu;
b. Pelajaran ilmu sharaf didahulukan daripada ilmu nahwu;
c. Buku pelajaran mulanya dikarang oleh ulama Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa daerah setempat;
d. Kitab yang digunakan umumnya ditulis tangan;
e. Pelajaran suatu ilmu hanya diajarkan dalam satu macam buku saja;
f. Toko buku belum ada, yang ada hanyalah menyalin buku dengan tulisan tangan;
g. Karena terbatasnya bacaan, materi ilmu agama sangat sedikit;
h. Belum lahir aliran baru dalam Islam.

Pada periode ini memang sulit untuk menentukan secara pasti kapan dan dimana surau atau langgar dan pesantren yang pertama berdiri. Namun para penulis sejarah mendapatkan data, bahwa pada abad ke-17 M di Jawa telah berdiri pesantren Sunan Bonang di Tuban, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti Giri, dan sebagainya.
Namun menurut Mahmud Yunus, sebenarnya jauh sebelum itu berdiri sebuah pesantren di hutan Glagah Arum (sebelah selatan Jepara) yang didirikan oleh Raden Fatah pada tahun 1475 M. Sementara itu, menurut Hasbullah, jauh sebelum itu, di Sumatera, telah ada juga tempat pengajian berupa surau, walaupun keterangan ini sulit untuk diketahui secara pasti, baik tahun maupun tempatnya.

2. Pendidikan Islam Pada Masa Peralihan (1900-1908).
Pada jaman peralihan, banyak berdiri tempat-tempat pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti Surau Parabek Bukit Tinggi (1908) yang didirikan oleh Syekh H. Ibrahim Parabek dan pesantren Tebuireng di Jawa.
Menurut Sidi Ibrahim Bukhari (1981), periode peralihan ini dapat dikatakan dipelopori oleh Syekh Khatib Minangkabau dan kawan-kawan yang bengitu banyak mengajar pemuda di Mekkah, terutama pemuda-pemuda asal Indonesia dan Malaya. Murid-murid beliau antara lain H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) yang kemudian mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang, K.H, Ahmad Dahlan di Yogjakarta, dan K.H. Adnan di Solo.
Dengan demikian murid-murid mereka yang dari Mekkah, sekembalinya ke tanah air, ikut andil dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Dengan demikian cukup beralasan jika Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan kawan-kawan disebut sebagai reformer pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di Sumatera. Walaupun Syekh Ahmad Khatib Minangkabau sendiri bukan orang pertama yang mengadakan pembaruan, karena jauh sebelumnya pada awal abad ke 19 ada tokoh terkenal seperti Haji Abdurrahman Piobang, Haji Miskin dari Pandai Sikek dan Muhammad Arif Sumanik, alumni Mekkah yang kembali ke Sumatera dan menyebarkan pemikiran Islam yang mencoba menghapus kebiasaan adat masyarakat yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Kemudian mereka mendapatkan penolakan dari kaum adat, sehingga memicu peperangan antara kaum ulama dengan kaum adat.
Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, tidak saja diilhami oleh para ulama yang menjadi pendidik di Mekkah, tetapi juga yang berasal dari Mesir. Syekh Thaher Jalaluddin, misalnya, yang banyak memperkenalkan pemikiran Muhammad Abduh melalui majalah al-Manar yang terbit di Singapura tahun 1906 yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Majalah ini pula yang mengilhami H. Abdullah Ahmad untuk menerbitkan Majalah Al-Munir di Padang pada tahun 1911.

Menurut Mahmud Yunus, ciri pelajaran agama Islam pada masa peralihan ini antara lain sebagai berikut:
a. Pelajaran untuk dua sampai enam ilmu dihimpun secara sekaligus;
b. Pelajaran ilmu Nahwu didahulukan atau disamakan dengan ilmu sharf;
c. Buku pelajaran semnuanya karangan ulama Islam Kuno dan dalam bahasa Arab;
d. Buku-buku semua dicetak;
e. Suatu ilmu diajarkan dari beberapa macam buku, rendah, menengah dan tinggi;
f. Ilmu agama telah berkembang luas berkat banyaknya buku bacaan;
g. Aliran baru dalam Islam seperti dibawa oleh Majalah Al-Manar di Mesir mulai lahir.

Dari gambaran ini terlihat bahwa pendidikan Islam setelah tahun 1900 sudah mengalami kemajuan sedemikian rupa. Padahal waktu itu, kebijakan pemerintah Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia sedang ketat-ketatnya dan gencar mempropagandakan pendidikan yang mereka kelola, yaitu pendidikan yang membedakan antara golongan pribumi dengan golongan priyayi atau pejabat yang beragama Kristen.

3. Pendidikan Islam Sesudah Tahun 1909
Isyu Nasionalisme gaungnya merambah ke mana-mana. Ini berkat tampilnya Boedi Oetomo pada tahun 1908 yang menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa perjuangan mereka selama ini yang hanya mengandalkan kekuatan dan kedaerahan tanpa menunjukkan persatuan, sulit untuk mencapai keberhasilan. Karena itulah, sejak tahun 1908 timbuil kesadaran baru dari bangsa Indonesia untuk memperkuat persatuan.
Selain kesadaran akan persatuan, para ulama juga menyadari bahwa pendidikan sistem langgar dan pesantren tradisional mereka tidak begitu sesuai dengan iklim Indonesia, selain itu masyarakat yang ingin bersekolah juga semakin banyak. Maka dirasakan perlunya memberikan pelajaran secara teratur. Menurut Mahmud Yunus, itulah melatarbelakangi berdirinya sekolah Adabiyah di Padang yang dipimpin oleh Syekh Abdullah Ahmad (1908), madrasah Diniyah di Padang Panjang pimpinan Zaenuddin Labay El Yunusi (1915).
Selanjutnya, pada tahun 1921 Syekh Abdul Karim Amrullah menerapkan proses pembelajaran dengan sistem kelas di Surau Sumatera Thawalib Padang Panjang, pada tahun yang sama diikuti oleh Surau Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi pimpinan Syekh Ibrahim Musa. Sedangkan madrasah pertama di Aceh adalah Madrasah Sa’adah Adabiyah yang didirikan oleh Jam’iyah Diniyah pimpinan T. Daud Beureuh tahun 1930 di Belang Pasai Sigli. Kemudian di Jawa pada tahun 1919 KH. Hasyim Asy’ari mendirikan madrasah Salafiyah di Tebuireng, Jombang.

4. Pendidikan Islam Zaman Penjajahan Jepang.
Tahun 1940, Jepang muncul sebagai kekuatan baru di Asia. Jepang bercita-cita menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Jepang bercita-cita menjadi pusat lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, Daratan Cina, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo Cina dan Rusia. Dengan slogan: “Kemakmuran Bersama Asia” sebagai satu keharusan, maka oleh kalangan militer diterima dan disambut hangat, karena menjanjikan adanya prestise kepahlawanan dan dedikasi. Dengan munculnya kekuatan Jepang, 8 Maret 1942 Belanda bertekuk lutut kepada Jepang, maka jaman keemasan penjajah Belanda hilang. Selanjutnya Jepang menguasai Indonesia.
Kebijakan pendidikan pemerintahan Jepang, menerapkan strategi “Hakko Ichu”, yakni mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Aria Raya. Oleh karena itu, setiap hari, terutama pagi hari, setiap ,pelajar harus mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran.
Menurut Djumhur (1979), pada zaman Jepang, sistem sekolah Belanda diganti dengan sistem Jepang. Semuanya diarahkan untuk kepentingan perang. Setiap hari murid-murid mendapatkan pendidikan militer dan latihan perang, sehingga sedikit sekali mendapatkan pengetahuan. Kegiatan sehari-hari sekolah, menurut Wasti Soemanto (1983) antara lain:
a. Mengumpulkan batu dan pasir, untuk kepentingan perang;
b. Membersihkan bengkel-bengkel, asrama militer;
c. Menanam umbi-umbian, sayur-sayuran di pekara-ngan sekolah untuk persediaan makanan;
d. Menanam pohon jarak untuk bahan pelumas.

Tujuan pendidikannya adalah menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan prajurit-prajurit untuk membantu peparangan bagi kepentingan Jepang.
Kendatipun demikiann, ada hal yang perlu dicatat, yaitu adanya perubahan mendasar dalam bidang pendidikan yang penting artinya bagi bangsa Indonesia. Yaitu:


a. Hapusnya dualisme pengajaran;
b. Berubahnya jenjang pengajaran (SR=6 tahun, Sekolah Menengah=3 tahun, dan Sekolah Menengah Tinggi=3 tahun);
c. Diberikan pelajaran bahasa Indonesia);
d. Tumbuh dan berkembangnya madrasah-madrasah;
e. Sikap Jepang terhadap pendidikan Islam relative lunak disbanding Belanda, pendidikan Islam diberi ruang gerak yang leluasa:
1) Kepemimpinan Kantor Urusan Agama, diberikan kepada Umat Islam (Waktu itu kepada KH. Hasyim Asy’Ari);
2) Pondok Pesantren yang besar sering mendapat kunjungan dari Pembesarpembesar-pembesar jepang;
3) Di sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti;
4) Pemerintah Jepang mengijinkan berdirinya barisan Hizbullah;
5) Pemerintah Jepang mengijinkan berdirinya Sekolah Tingi Islam;
6) Para ulama diijinkan mendirikan barisan Pembela Tanah Air (PETA);
7) Umat Islam diijikan meneruskan organisasi persatuan yang disebut MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang bersifat kemasyarakatan;
8) Pemerintah Jepang mengijinkan berdirinya Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) sebagai pengganti MIAI.

5. Pendidikan Islam Zaman Kemerdekaan.
Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidi-kan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah Negeri maupun Swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945 yang menyebutkan bahwa:

“Madrasah dan pesantren yang pada hakekatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdaan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah”.

Kenyataan demikian timbul karena kesadaran umat islam yang dalam, setelah sekian lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Sebab, pada zaman penjajahan Belanda, pintu masuk pendidikan modern bagi umat islam sangat sempit. Ini setidaknya disebabkan karena dua hal:
a. Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonisl amat diskriminatif terhadap kaum muslimin;
b. Politik non kooperatif para ulama terhadap Belanda dengan memfatwakan bahwa ikut serta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikannya adalah suatu bentuk penyelewengan agama.

Tetapi setelah kemerdekaan Indonesia dicapai, terjadi perubahan yang sangat radikal dalam pendidikan Islam, termasuk berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh organisasi-organisasi sosial Islam.

C. Organisasi Islam Penyelenggara Pendidikan.

Lahirnya organisasi-organisasi Islam di Indonesia, lebih banyak disebabkan karena adanya dorongan dari sikap patriotisme dan rasa nasionalisme, sekaligus sebagai respon para ulama Islam terhadap kepincangan-kepincangan yang ada dalam masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19. Sebagaimana sejarah mencatat, pada akhir abad ke-19 Indonesia mengalami kemunduran total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Wujud pertama sikap tersebut berupa kesadaran berorganisasi.
Melalui organisasi tersebut, umat Islam mempunyai andil besar, baik dalam pencerdasan umat maupun dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Dalam organisasi Islam ini tumbuh dan berkembang sikap dan rasa nasionalime di kalangan masyarakat melalui pendidikan.
Diantara sekian banyak organisasi Islam yang menonjol dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pada kurun waktu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Jam’iatul Khair.
Jam’iyatul Khair diririkan tanggal 17 Juli 1905 di Jakarta. Anggota organisasi ini mayoritas orang Arab dengan tidak menutup pintu bagi umat Islam Indonesia non Arab, tanpa diskriminasi di dalamnya. Umumnya orang-orang yang bergabung dalam organisasi ini adalah orang-orang berada, sehingga memungkinkan penggunaan waktu mereka untuk mengembangkan organisasi tanpa mengorbankan usaha ekonomi mereka. Usaha organisasi ini dipusatkan pada pendidikan, da’wah dan penerbitan surat kabar.
Oleh karena perkumpulan ini lebih ditujukan kepada pendidikan, maka hal-hal yang sangat menjadi perhatiannya adalah:
a. Pendirian dan pembinaan sekolah pada tingkat dasar;
b. Pengiriman anak-anak ke Turki untuk melanjutkan studinya;

Dari dua bidang kegiatan yang menjadi tumpuan tersebut, tampaknya pengiriman anak-anak ke Turki seering mendapat benturan karena kekurangan biaya, di samping kemunduran khilafat, dalam arti, hampir tidak ada seorangpun dari mereka yang dikirim ke Timur Tengah itu memainkan peranan yang penting setelah mereka kembali ke Indonesia.
Pendidikan yang dikelola oleh Jam’iyatul Khair termasuk maju dibanding dengan sekolah-sekolah rakyat yang masih bersifat tradisional yang ada pada waktu itu, karena pengajaran yang diberikan pada sekolah-sekolah Dasar Jam’iyatul Khair tidak semata-mata pengetahuan agama, melainkan juga pelajaran umum, sehingga sekolah-sekolah Jam’iyatul Khair mampu menyaingi sekolah-sekolah yang dilaksanakan oleh Belanda.
Di bidang kurikulum dan jenjang kelas, diatur dan disusun secara terorganisir, sementara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar. Sedangkan bahasa Belanda tidak diajarkan, sebagai gantinya diberikan pelajaran bahasa Inggris dan menjadi pelajaran wajib. Sehingga dengan demikian terhimpunlah anak-anak keturunan Arab atau anak-anak Islam dari Indonesia sendiri yang menguasai pengajaran agama, pengajaran umum dan kemampuan berbahasa Arab dan Bahasa Inggris.
Tenaga pengajar didatangkan dari luar daerah, bahkan ada dari luar negeri. Pada bulan Oktober 1911 didatangkan 3 orang guru dari Timur Tengah, mereka adalah: Syekh Ahmad Surkati dari Sudan, Syekh Muhammad Thaib dari Maroko dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah. Kemudian, Syekh Muhammad Abdul Hamid dipindahkan ke Bogor dan mendirikan sekolah bernama Jam’iyatul Khair Bogor.
Selanjutnya, pada tahun-tehun berikutnya didatangkan lagi guru lainnya seperti: Al Hasyimi dari Tunis, Muhammad Abdul Fatah Ansari (Sudan), Muhammad Noor (Abdul Anwar) al-Ansari, Hasan Hamid al-Antasari, dan Ahmad Al-Awif yang ditugaskan dan mendirikan sekolah Jam’iyatul Khair di Surabaya.
Dalam catatan sejarah pendidikan Islam Indonesia, organisasi Jam’iyatul Khair termasuk organisasi Islam pertama yang memulai melaksanakan bentuk organuisasi modern: memiliki AD/ART, memiliki daftar anggota, ada rapat secara berkala, dan mendirikan lembaga pendidikan.
Dalam pelaksanaan pendidikan, Jam’iyatul Khair dapat dikatakan sebagai pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia: memiliki kurikulum, buku-buku pelajaran bergambar, ada kelas-kelas, menggunakan bangku, papan tulis dan sebagainya.
Jam’iyatul Khair telah merhail memulai dan mendorong lahirnya organisasi-organisasi pergerakan Islam di Indonesia. Dari Jam’iyatul Khair ini pula lahir tokoh ulama berikutnya yang cukup berpengaruh, antara lain: KH Ahmad Dahlan dan HOS Cokroaminoto.
Namun sayang, Jam’iyatul Khair mengalami perpecahan disebabkan karena masalah perbedaan pendapat tentang kedudukan sayid dalam masyarakat Islam di Indonesia. Dari perpecahan ini kemudian lahir organisasi Al-Islah wal-Irsyad.


2. Al-Islah wal-Irsyad
Syeikh Ahmad Surkati yang sampai di Jakarta dalam bulan Februari 1912, seorang ‘alim yang terkenal, meninggalkan Jam’iyatul Khair dan pada tahun 1914 mendirikan gerakan sendiri yang diberi nama Al-Islah wal-Irsyad dengan misi pokok mengadakan pembaharuan dalam Islam (reformisme).
Anggota organisasi Al-Irsyad ini terdiri dari golongan Arab Alawi. Tahun 1915 berdiri sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta yang kemudian disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu. Menurut Hasbullah, sekolah Al Irsyad di Jakarta ini merupakan sekolah tertua dan termasyhur.
Al-Irsyad menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, terutama bagi warga keturunan Arab dan pada permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat Arab, walaupun orang Indonesia Islam bukan Arab juga ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun, dengan bekerjasama dengan organisasi Islam lainnya, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam, organisasi Al-Irsyad meluaskan perhatiannya pada persoalan-persoalan yang lebih luas mencakup persoalan-persoalan Islam di Indonesia pada umumnya.
Al-Irsyad bergabung pada Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) ketika federasi ini didirikan pada tahun 1937 setelah sebelumnya, tahun 1920-an ikut serta dalam kongres Umat Islam.
Sebenarnya Al-Irsyad memperlihatkan fitalitas dan energi yang lebih besar dari Jam’iyatul Khair dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Kegairahan yang cukup besar dari kalangan pendukung Al-Irsyad tercermin antara lain dalam pengumpulan dana yang cukup besar dari para anggotanya.
Kegairahan ini kemudian membangkitkan kawan-kawan masyarakat Arab di berbagai kota lain untuk mendirikan cabang-cabang Al-Irsyad seperti di Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Surabaya, dan Lawang. Cabang-cabang ini juga mendirikan sekolah-sekolah walaupun masih pada tingkat sekolah rendah. Pada tahun 1930an, cabang Surabaya mendirikan sekolah guru 2 tahun dan sekolah dasar rendah berbahasa Belanda yang bernama Schakelschool.
Pada periode 1930-an itu pula Al Irsyad memberikan Beasiswa untuk beberapa lulusannya untuk studi di luar negeri, terutama ke Mesir. Namun sayangnya, upaya ini kurang memenuhi harapan, karena sekembalinya dari studi tersebut penerima Beasiswa tidak bergitu banyak berperan, terutama daklam pengembangan pembaruan pemikiran. Yang banyak berperan justru mereka yang studi dengan biaya sendiri atau dengan bantuan keluarganya.
Peran Al-Irsyad dalam bidang pendidikan ini cukup nyata, Al-Irsyad telah mampu melahirkan guru-guru agama yang tidak sedikit jumlahnya. Dan saat ini organisasi Al-Irsyad terus bekembang, dan bidang garapannya-pun semakin luas: pendidikan, kesehatan, da’wah dan sebagainya.
3. Persyarikatan ‘Ulama
Organisasi Perserikatan Ulama yang pendiriannya di gagas oleh KH Abdul Halim tahun 1911 ini merupakan perwujudan dari lahirnya gerakan-gerakan pembaharu Islam di Indonesia, dan hal ini khususnya terjadi di Majalengka Jawa Barat.
KH Abdul Halim belajar agama sejak masa kanak-kanak di banyak pesantren di daerah Majalengka hingga ia berusia 22 tahun. Setelah itu ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah hajisekaligus melanjutkan studinya. Di Mekkah ini ia bertemu dengan teman-temannya dari Sumatera dan mengenal tulisan-tulisan dan pembaruan pemikiran dari Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Tulisan-tulisan ini menjadi bahan perbincangan beliau dengan teman-temannya dari Sumatera.
Di Mekkah itu pula ia mengenal KH Mas Mansyur yang kemudian menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Tetapi, dalam beberapa segi nampaknya ia tidak tepemngaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Ia tetap berpegang kepada madzhab Syafi’i hingga akhir hayatnya tahun 1962.
Sekembalinya dari Mekkah, KH Abdul Halim mendirikan organisasi yang bergerak di bidang ekonomi dan pendidikan yang diberi nama Hayatul Qulub. Pelajaran agama yang dibeerikan adalah pelajaran Fiqh dan Hadits.
Tetapi Hayatul Qulub tidak dapat berlangsung lama. Karena persaingan dengan pedagang Cina terkadang menimbulkan bentrokan dan keributan. Karena itu pemerintah menganggap kehadiran Hayatul Qulub itu sebagai pemicu kerusuhan. Akhirnya tahun 1915 organisasi itu dilarang melakukan aktifitas.
Namun walaupun organisasi itu dilarang, dalam bidang pendidikan tetap dilanjutkan melalui organisasi baru yang benama Majlisul ‘Ilmi. Tahun 1916 kemudian berkembang menjadi organisasi modern yang diberi nama Jam’iyat I’anat al-Musta’alimin. Organisasi ini mendapat sambutan baik dari masyarakat.
Dalam upaya memperbaiki sistem pendidikannya, KH Abdul Halim melakukan komunikasi dengan Jam’iyatul Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Akhirnya, tahun 1917 organisasi Jam’iyat I’anat al-Musta’alimin diganti namanya menjadi Parserikatan ‘Ulama yang diakui secara hukum oleh pemerintah dengan bantuan HOS Cokroaminoto (Pimpinan Serikat Islam). Persyarikatan Ulama ini disebut juga Perikatan Umat Islam yang pada tahun 1952 bersama-sama dengan organisasi Al-Ittihadul Islamiyah dan organisasi Islam lainnya menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).
Mulai tahun 1924, Persyarikatan Ulama resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura. Dan pada tahun 1937 menyebar secara lebih jauh lagi ke seluruh pelosok Indonesia.
Dalam kongres Persyarikatan Ulama tahun 1937, KH Abdul Halim menguruslan mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya dengan berbagai cabang ilmu, bukan sekedar pengetahuan agama saja, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan lain, berupa pengembangan profesi dan keterampilan seperti pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, tergantung kepada bakat masing-masing muridnya.



4. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah satu organisasi Sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan mungkin juga hingga saat ini. Dasar organisasi Muhammadiyah adalah Islam, sosial, dan kebangsaan. Didirikan di Yogjakarta tanggal 8 Dzulhijjah 1330H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan atas anjuran dari beberapa muridnya anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Muhammadiyah mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kangjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera” dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Untuk mencapai tujuan ini Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh dimana dibicarakan masalah-masalah Islam, menertibkan wakaf dan mendirikan masjid-masjid, serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah-majalah.

Usaha lain untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan:
a. Mengadakan da’wah Islam;
b. Memajukan pendidikan dan pengajaran;
c. Menghidupsuburkan masyarakat tolong-menolong;
d. Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf;
e. Mendidik dan memelihara tempat ibadah dan wakaf;
f. Mendidik dan mengasuh dnak-anak pemuda-pemuda, supaya kelak menjadi Muslim yang berarti;
g. Berusaha kea rah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam;
h. Berusaha dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat (Anggaran dasar Muhammadiyah Desember 1950).

Muhammadiyah bukan hanya semata bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran, tetapi juga di lapangan lain, terutama menyangkut soal umat Islam. Sebagai gerakan sosial, Muhammadiyah memikliki ciri sebagai berikut:

a. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Sebagai organisasi yang mendasarkan cita-cita organisasi kepada Islam, Muhammadiyah merupaua mewujudkan Syari’at islam dalam kehidupan perorangan, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian segala yang diupayakan oleh Muhammadiyah, selalu diarahkan pada upaya untuk melaksanakan ajaran Islam;
b. Muhammadiyah sebagai gerakan da’wah. Untuk mewujudkan cita-cita muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf nahi munkar, maka da’wah yang dilakukan oleh Muhammadiyah dilakukan menurut cara yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW, dengan hikmah, kebijaksanaan, nasihat, ajakan dan jika perlu dilakukan dengan berdialog;
c. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Seluruh usaha yang dilakukan Muhammadiyah selalu berupaya memperbaharui danj meningkatkan pemahaman Islam secara rasional, sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh seganap lapisan masyarakat.

Muhammadiyah mendirikan berbagai jenis dan tingkat sekolah, serta tiak memisah-misahkan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum. Tujuannya adalah agar bangsa Indonesia dapat dididik menjadi bangsa yang utuh kepribadiannya, yaitu pribadi yang berilmu pengetahuan umum luas dan agama yang mendalam.
Adapun sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah antara lain:
a. Kweekschool Muhammadiyah Yogjakarta;
b. Mu’alimin Muhammadiyah, Solo dan Jakarta;
c. Mu’aliman Muhammadiyah, Yogjakarta;
d. Zu’ama/Za’imat, Yogjakarta;
e. Kuliyatul Mubalighin/Mubalighat, Padang Panjadng (Sumatera Barat);
f. Tablighschool, Yogjakarta;
g. HIK Muhammadiyah, Yogjakarta.

Banyak lagi HIS Muhammadiyah, MULO, AMS Muhammadiyah, Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah/ Wustha Muhammadiyah dan lain-lain. Semuanya itu didirikan pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, dan tersebar di setiap cabang Muhammadiyah di seluruh kepulauan Indonesia.
Pada masa Indonesia merdeka, perkembangan pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah sangat pesat. Yang pada dasarnya ada beberapa jenis lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah, yaitu:

a. Sekolah-sekolah umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional, yaitu SD, SMTP, SMTA, SPG, SMEA SMK, dan sebagainya. Pada sekolah ini diberikan pelajaran agama sebaganyak 6 jam seminggu.
b. Sekolah-sekolah yang bernaung di bawah Departemen Agama, yaitu: Madrasah Ibtidaiyah, (MI), MTs dan Madrasah Aliyah (MA). Madrasah-madrasah ini setelah adanya SK Menteri tahun 1976 dan SKB 2 menteri tahun 1984, mutu pengetahuan umum sederajat dengtan pengetahuan dari sekolah umumnya yang sederajat, dalam hal ini MI=SD, MTS=SMTP, dan MA = SMTA.
c. Jenis sekolah atau madrasah khusus Muhammadiyah, yaitu Mu’alimin, Mu’alimat, Sekolah Tabligh dan Pondok Pesantren Muhammadiyah;
d. Perguruan Tinggi Muhammadiyah;
e. Pesantren Muhammadiyah.

Selain menyelenggarakan pendidikan, Muhammadiyah juga memiliki kesatuan-kesatuan kerja yang bertugas menangani kegiatan-kegiatan khusus, seperti Majlis Tarjih, Majlis Tabligh, Majlis Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Majlis Pembinaan Kesejahteraan Umat (PKU), Majlis Pustaka dan Majlis Bimbingan Pemuda.
Selain itu, masih ada organisasi otonom di bawah Muhammadiyah, seperti: “Aisyiyah, Nasi’atul ‘Aisyiyah (Bagi putri-putri Muhammadiyah), Pemuda Muhammadi-yah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), dan Hizbul Wathan (Kepanduan).
Yang menjadi dasar pendidikan Muhammadiyah adalah tajdid, kemasyarakatan, aktifitas, kreatifitas dan optimisme.
Tajdid, adalah kesediaan jiwa berdasarkan pemikiran untuk mengubah cara berpikir dan cara berbuat yang sudah terbiasa demi mencapai tujuan pendidikan. Kemasyara-katan, yaitu upaya menciptakan suasana saling membutuhkan demi mencapai keselamatan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Aktifitas,yaitu nak didik harus mengamalkan semua yang diketahuinya dan menjadikan aktifitas sendiri sebagai salah satu cara memperoleh pengetahuan yang baru.
Kreatifitas, yaitu si anak didik harus mempunyai kecakapan atau kleterampilan dalam menentukan sikap yang sesuai dan menetapkan alat-alat yang tepat dalam menghadapi situasi-situasi baru. Dan optimism, yaitu si anak didik harus yakin bahwa dengan keridhaan Allah, pendidikan akan dapat embawanya kepada hasil yang dicita-citakan, asal dilaksanakan dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menyimpang dari segala yang digariskan oleh agama Islam.
Sedangkan lembaga pendidikannya berfungsi sebagai:
a. Alat da’wah ke dalam dan ke luar anggota Muhammadiyah, atau untuk seluruh masyarakat;
b. Tempat pembibitan kader yang dilaksanakan secara sistematis dan selektif sesuai dengan kebutuhan Muhammadiyah khsusnya dan masyarakat Islam pada umumnya.
c. Gerak amal anggota. Penyelenggaraan pendidikan diatur secara berkewajiban terhadap penyelenggara dan peningkatan pendidikan itu dan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah.

Kelahiran Muhammadiyah pada tahun 1912M itu tidak bisa dipisahkan dengan kondisi dan situasi social yang ada pada saat itu., diantaranya situasi keberagamaan ummat yang masih minim, masalah kemiskinan, kesempatan pendidikan bagi pribumi yang kurang, dan lain-lain. Sistem pendidikan yang memprihatinkan dan bertentangan dengan sistem pendidikan penjajah yang dikembangkan di Indonesia, melatarbelakangi KH Ahmad Dahlan untuk memperkenalkan metode baru sistem pendidikan Islam.
Sistem yang dikembangkan KH Ahmad Dahlan adalah sintesis antara sistem pendidikan Islam tradisional yang berbasis di Pesantren dengan sistem pendidikan modern, yang diperkenalkan oleh colonial. Visi pendidikan yang ditawarkan ialah memadukan aspek-aspek keagamaan yang selama ini dikembangkan dalam pendidikan Islam dengan pendidikan yang bersifat duniawi dari sistem pendidikan colonial. Tujuan akhir dari konsep pendidikan ini adalah menghasilkan ulama yang yang memiliki pengetahuan umum yang memadai, atau disebut dengan “ulama intelek”.
Konsep dari pendidikan Muhammadiyah ini adalah upaya memadukan atau rekonsiliasi antara Islam dengan pemikiran Barat, sehingga lulusannya dapat menjembatani kesenjangan antara kaum santri tradisional dengan intelektual lulusan Barat. Hasilnya, mereka tersebar di berbagai posisi strategis di birokrasi pemerintahan, tapi mereke tetap memiliki komitmen dengan Muhammadiyah sebagai induk organisasinya.
Perjuangan Muhammadiyah di bidang pendidikan cukup luar biasa, sehingga kini organisasi ini tersebar ke seluruhpelosok tanah air secara vertical, dan diorganisir secara rapi mulai dari tingkat Pusat sampai dengan Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting/Kecamatan.


5. Nahdatul ‘Ulama
“Nahdlatul Ulama” didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut mazhab -yang seringkali menyebut dirinya sebagai golongan- Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah.
Menurut Choerul Anam (1985), berdirinya gerakan NU tersebut adalah sebagai reaksi terhadap gerakan reformasi dalam kalangan umat Islam dan berusaha mempertahankan salah satu dari empat madzhab dalam masalah yang berhubungan dengan fiqh, Madzhab Hanafi, Madzhanb Maliki, Madzhab Syyafi’i dan Madzhab Hanafi. Sedangkan dalam I’tiqad, NU berpegang kepada aliran Ahlusunnah wal Jama’ah. Dalam konteks ini, NU memahami hakikat ahlusunnah wal Jama’ah sebagai ajaran islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya.
Pada mulanya NU merupakan organisasi keagamaan, akan tetapi disebabkan karena sebagai organisasi yang lahir dan tumbuh pada masa menghebatnya perjuangan pergerakan Nasional, maka NU tidak dapat terlepas dari langkah-langkah yang berisi dan berjiwa pergerakan anti penjajahan, atau terlibat dalam bidang politik, antara lain:
1) Menolak subsidi yang ditawarkan pemerintah untuk madrasah NU dan menolak kerja rodi yang dibebankan kepada bangsa Indonesia;
2) Menolak rncana ordenansi perkawinan tercatat;
3) Menolak diadakan milisi;
4) Mendukung tuntutan berparlemen;
5) Mengadakan usaha-usaha social dalam masyarakat;
6) Mendidik mental beragama diantaranya mendirikan pondok-pondok pesantren.
Motivasi utama berdirinya NU adalah untuk mengorganisasikan potensi dan peranan ‘ulama pesantren yang sudah ada, untuk ditingkatkan dan dikembangkan secara luas, yanhg bagi NU digunakan sebagai wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren di dalam tugas pengabdian yang tidak terbatas pada masalah kepesantrenan dan kegiatan ritual Islam saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar para ulama lebih peka terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan masalah-masalah kemasyarakatan pada umumnya.
Dalam rangka memajukan masyarakat yang disebabkan karena pendidikan yang kurang memadai, dan untuk membentuk masyarakat yang mempunyai akhlak yang mulia, maka NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang lahirnya dari pesantren, mencoba memajukan masyarakat melewati jalur pendidikan.
Dengan kehadiran pesantren sebagai basis atau sumber penyedia tenaga-tenaga untuk menjadi dua fungsi, yaitu sebagai ulama dan sebagai politisi. Beberapa ulama dan politisi direkrut dari pesantren-pesantren demi kepentingan kepengurusan NU mulai dari tingkat local maupun pusat.
Di beberapa pesantren, selain mengajarkan pendidikan model lama, juga mendirikan sekolah-sekolah agama, misalnya: Madrasah Ibtidaiyah, MTs dan MA serta sekolah-sekolah umum yang menjadi benteng furifikasi ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah.
Dalam bidang pengajaran formal, NU mendirikan satu bagian khusus yang menanganinya yang disebut Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdatul Ulama. Tugas lembaga ini adalah untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikanh di lingkungan NU.
Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (PP LP Ma'arif NU) merupakan salah satu aparat departemen-tasi di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Didirikannya lembaga ini di NU bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan NU. Bagi NU, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi mewujudkan masyarakat yang mandiri. Gagasan dan gerakan pendidikan ini telah dimulai sejak perintisan pendirian NU di Indonesia. Dimulai dari gerakan ekonomi kerakyatan melalui Nadlatut Tujjar (1918), disusul dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan politik di bidang pendidikan, maka ditemukanlah tiga pilar penting bagi Nadhlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H, yaitu: (1) wawasan ekonomi kerakyatan; (2) wawasan keilmuan, sosial, budaya; dan (3) wawasan kebangsaan.
Untuk merealisasikan pilar-pilar tersebut ke dalam kehidupan bangsa Indonesia, NU secara aktif melibatkan diri dalam gerakan-gerakan sosial-keagamaan untuk memberdayakan umat. Di sini dirasakan pentingnya membuat lini organisasi yang efektif dan mampu merepresentasikan cita-cita NU; dan lahirlah lembaga-lembaga dan lajnah seperti Lembaga Dakwah, Lembaga Pendidikan Ma'arif, Lembaga Sosial Mabarrot, Lembaga Pengembangan Pertanian, dan lain sebagainya--, yang berfungsi menjalankan program-program NU di semua lini dan sendi kehidupan masyarakat. Gerakan pemberdayaan umat di bidang pendidikan yang sejak semula menjadi perhatian para ulama pendiri ( the founding fathers ) NU kemudian dijalankan melalui lembaga yang bernama Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU). Lembaga ini bersama-sama dengan jam'iyah NU secara keseluruhan melakukan strategi-strategi yang dianggap mampu meng- cover program-program pendidikan yang dicita-citakan NU.
Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) ini yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pendidikan Nahdlatul Ulama, yang ada di tingkat Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang.
Hubungan antara Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) dengan Organisasi NU-nya sendiri terdiri dari tiga model, yaitu:
1. Pola Hubungan Konsultatif
Hubungan kelembagaan yang bersifat konsultatif adalah hubungan antara Pimpinan LP Ma'arif NU dengan Dewan Penasehat pada masing-masing tingkatannya. Selain itu hubungan konsultatif juga dibangun antara LP Ma'arif dengan para ulama, tokoh, dan sesepuh di kalangan Nahdlatul Ulama. Hubungan seperti ini diperlukan untuk meminta pertimbangan-pertimbangan yang bersifat moral di luar kebijakan dasar konstitusional organisasi dalam rangka mengembangkan program-program LP Ma'arif NU.
2. Pola Hubungan Koordinatif-Konsolidatif
Hubungan koordinatif-konsolidatif adalah hubungan antar Pimpinan LP Ma'arif NU yang secara bertingkat dapat diurutkan dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Wakil Cabang. Hubungan koordinatif-konsolidatif juga dilakukan antara Pimpinan LP Ma'arif NU dengan sekolah, madrasah, maupun perguruan tinggi yang menjadi binaannya.
3. Pola Hubungan Instruktif
Hubungan instruktif adalah hubungan antar Pengurus NU dan Pimpinan LP Ma'arif NU yang secara bertingkat dapat diurutkan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kepada Pimpinan Pusat LP Ma'arif, Pengurus Wilayah NU kepada Pimpinan Wilayah LP Ma'arif, Pengurus Cabang NU kepada Pimpinan Cabang LP Ma'arif.
Lembaga Pendidikan Ma'arif NU dalam perjalannya secara aktif melibatkan diri dalam proses-proses pengembangan pendidikan di Indonesia. Secara institusional, LP Ma'arif NU juga mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi; sekolah yang bernaung di bawah Departemen Nasional RI (dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI) maupun madrasah; maupun Departemen Agama RI) yang menjalankan Hingga saat ini tercatat tidak kurang dari 6000 lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bernaung di bawahnya, mulai dari TK, SD, SLTP, SMU/SMK, MI, MTs, MA, dan beberapa perguruan tinggi.

6. Persatuan Islam (Persis).
Persatuan Islam (Persis) didirikan secra resmi pada tanggal 12 september 1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktifitas keagamaan yang dipimpin oleh KH. Zam Zam, KH. Moh Yunus. Organisasi ini bergerak di bidang sosial keagamaan.
PERSIS didirikan atas dasar Islam, dengan tujuan untuk mengamalknan ajaran islam dari segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat, dan untuk menempatkan kaum muslim pada ajaran akidah dan syariah yang murni berdasarkan al-Qur'an dan hadits
Sistem pendidikan PERSIS terdiri dari: roudlatul Athfal 2 tahun, ibtidaiyyah 6 tahun, tajhijiyyah 2 tahun, tsanawiyah 4 tahun, diniyyah 'ula 6 tahun, diniyyah wustha 4 tahun, muallimin 2 tahun, pesantren luhur 4-5 tahun.
Disamping ilmu-ilmu keislaman juga diperkenalkan beberapa buku yang secara khusus membahas persoalan keorganisasian dan kejamiyyahan PERSIS. Ditingkat muallimin pelajaran umum juga diajarkan, seperti bahasa indonesia, bahasa inggris, matematika, ilmu pengetahuan sosial, pendidikan kesehatan dan pendidikan keguruan.
Pada tahun 1988 terjadi perubahan yang cukup mendalam sistem pendidikan PERSIS, yakni ketika pimpinan pesantren PERSIS secara kelembagaan mengijinkan para santrinya untuk mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi tahap akhir persamaan. Hal ini berlaku bagi siswa yang merampungkan studinya ditingkat tsanawiyyah maupun tingkat mu'allimin. Hal ini merupakan langkah besar bagi persis karena pada masa kepemimpina sebelumnya dibawah pimipinan KH.E. Abdurrahman, para santri dan siswanya tidak boleh mengikuti ujian negara yang salah satu tujuan utamanya mendapatkan ijazah negri. Dalam perspektif Kyai hal ini akan mempengaruhi sisi dan orientasi para siswa didik di lingkungan PERSIS untuk menjadi ‘ulama menjadi cenderung pragmatis seperti pegawai negeri.
Diantara ulama Persis yang terkenal antara lain Ahmad Hasan. Beliau dianggap sebagai guru yang utama pada masa sebelum perang, Ahmad Hasan sendiri lahir di Singapura tahun 1887, dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Sinna Vappu Maricar, seorang penulis dan ahli agama dan kesusastraan Tamil. Ia pernah menjadi redaktur Nur al-Islam, sebuah majalah agama dan sastra Tamil. Ibunya berasal dari Surabaya, berasal dari keluarga sederhana tetapi sangat taat beragama.
Tokoh penting lainnya adalah Mohammad Natsir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang sedang brkembang dan yang tampaknya bertindak sebagai juru bicara PERSIS dari kalangan anak muda. Lahir tanggal 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Sumatera Barat. Ayahnya seorang pegawai pemerintah. Natsir memperoleh teman dalam memecahkan problema-problema hidup yang mulai tumbuh dalam pemikirannya bersama dengan pemimpin PERSIS lainnya.
Majalah PERSIS bernama Pembela Islam memberikan kesempatan yang luas kepada Natsir untuk mengeluarkan pendapatnya. Perhatian Natsir terhadap studi Islam sangat besar, sehingga ia pernah menolak tawaran beasiswa dari pemerintah Belanda untuk sekolah di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta dan Roterdam. Ia menyelesaikan studinya di AMS dan memperoleh diploma Ilmu Pendidikan pada tahun 1931.
Satu kegiatan penting dalam rangka kegiatan pendidikan PERSIS adalah lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang dilancarkan Natsir yang terdiri dari beberapa buah sekolah: TK, HIS (1930), sekolah MULO (1931) dan sekolah guru (1932). Inisiatif Natsir ini merupakan jawaban terhadap tuntutan dari berbagai pihak, termasuk beberapa orang yang mengambil pelajaran privat bahasa Inggris dan pelajaran lainnya kepada beliau.
Di samping pendidikan islam, PERSIS juga mendirikan pesantren yang disebut Pesantren Persis di Bandung (Maret 1936) untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untuk menyebarkan agama. Usaha ini terutama merupakan inisiatif Hassan yang senang bereksperimen. Pesantren dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur, ketika Hassan pindah ke sana dengan membawa 25 dari 40 siswanya di Bandung.
PadaDesember 1941, terjadi Perang Dunia ke-dua. Sebagian murid-murid pulang kampong. Ketika tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, di pesantren tinggal beberapa anak laki-laki yang tidak dapat pulang. Dalam masa pendudukan Jepang, pesantren itu terpaksa ditutup, tetapi pada 1 Muharam 1371 (Oktober 1951) dibuka kembali secara resmi. Alhamdulillah sampai sekarang terus berkembang, bahkan sejumlah pesantren lainnya dibuka demi memberikan kesempatan kepada anak-anak Indonesia untuk menuntut ilmu pengetahuan agama dan umum.

7. Indonesian Nederland School (INS)
INS adalah sebuah sekolah yang didirikan oleh tokoh Sumatra Barat yaitu M Syafei pada tanggal 31 oktober 1926. Sekolah ini berada disebuah desa dengan bernama Kayutanam, Sumatra Barat oleh karena itu sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan INS kayutanam. Sekolah ini berawal dari sebuah rumah yang disewa sebgai kelas belajar. Namun kemudian dengan sebuah tekad dan cita-cita kuat, INS berkembang menjadi sebuah kampus. Tetapi INS masih berdiri di Kayutanam Sumatra Barat. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, INS memiliki falsafah pendidkan yang berorientasi kepad bakat serta aktif, kreatif dan prodoktif yang berlandasakan kepada alam yang berkembang.
Di dalam kurikulumya Moh Syafei membedakan antara pendidikan dan pengajaran menurutnya, pendidikan berfungsi melatih jiwa dan hati. Sedangkan pengajaran berfungsi sebagai pengisi otak. Dalam penyusunan kurikulum kedua unsur itu dipadukan. Materi kurikulum berisi bahan-bahan teoritis, pendidikan dengan belajar praktis serta dipadukan dengan kreatifitas anak-anak yang terarah dan terprogram untuk memproduksikan karya yang bernilai dan bermanfaat. Untuk itu disusunya kurikulum yang terdiri atas mata pelajaran teori dan mata pelajaran ketrampilan. INS Kayutanam dalam menerapkan kurikulum pendidikanya terutama dalam bidang ketrampilan senantiasa dikaitkan dengan tujuan menanamkan jiwa aktif kepada siswa, dengan demikian setiap pengajara mengandung latar belakang pembinaan yang berbeda tetapi mengarah pada tujuan akhir yaitu mampu hidup mandiri serta bermanfaat bagi masyarakat.






8. Al-Washliyah
Jam’iyatul Washliyah didirikan di Medan tanggal 30 November 1930 bertepatan dengan tanggal 9 Rojab, 1249H oleh para pelajar dan para guru Maktab Islamiyah Tapanuli/ Maktab Islamiyah Tapanuli. Maktab Islamiyah Tapanuli ini adalah sebuah madrasah yang didirikan di Medan tanggal 19 Mei 1918 oleh masyarakat Tapanuli dan merupakan madrasah tertua di Medan.
Al Washliyah, adalah sebuah organisasai yang berasaskan Islam, yang dalam fiqh memakai madzhab Syafi’i serta dalam hal ‘i’tiqad adalah Ahklusunnah Waljama’ah. Al Wasliyah, bergerak dalam bidang pendidikan, social dan keagamaan.
Usaha-usaha yang dilakukannya antara lain:
a. Mengusahakan berlakunya hokum Islam;
b. Memperbanyak tabligh, tadzkir, dan pengajaran di tengah-tengah Umat Islam.
c. Menerbitkan kitab-kitab, surat kabar-surat kabar, majalah, surat-surat siaran dan mengadakan taman bacaan;
d. Membangun perguruan dan mengatur kesempurnaan pelajaran, pendidikan dan kebudayaan;
e. Menyantuni fakir miskin dan memelihara serta mendidik anak yatim piatu;
f. Menyampaikan seruan Islam kepada orang-orang yang belum beragama Islam;
g. Mendirikan, memelihara serta memperbaiki tempat ibadah;
h. Memajukan dan menggembirakan penghidupan dengan jalan yang halal;
i. Dan lain-lain.
Dari hasil usaha da’wahnya, banyak suku bangsa Batak yang memeluk agama Islam, disamping itu juga pendidikan al-Wasliyah menyebar ke hampir seluruh provinsi di Indonesia;
Al-Washliyah sengaja menyelenggarakan pendidikannya dengan susunan sebagai berikut:
a. Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun;
b. Madrasah Tsanawiyah 3 tahun;
c. Madrasah Qismul ‘Ali 3 tahun;
d. Madrasah Mu’alimin 3 tahun;
e. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun;
f. SD al-Washliyah 6 tahun
g. SMP Al-Washliyah 3 tahun
h. SMA al-Washliyah 3 tahun.

Untuk lembaga pendidikan Sekolah Dasar sampai SMA, materi pelajaran diatur 70:30%: 70% pengetahuan umum dan 30% ilmu Agama.
Pada tahun 1958 al-Washliyah telah mampu mendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Medan dan Jakarta. Di Medan, kemudian berubah menjadi Universitas dengan mempunyai banyak cabang, seperti di Sibolga, Kebon Jahe, Rantau Prapat, Langsa (Aceh) dan lain-lain, bahkan sampai ke Kalimantan (di daerah Brabai, kalimanhtan Selatan dan sekarang namanya berubah menjadi STIT al-Washliyah Barabai.
Al-Wasliyah tergolong mempunyai andil besar dalam menykseskan pendidikan dan da’wah, hal ini akan lebih terlihat lagi setelah Indonesia merdeka.



d. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Perjalanan Pendidikan Islam di Indonesia, tidak bisa dilepas dari perjalanan da’wah Islam di Indonesia itu sendiri. Melalui pendidikan yang mula-mula dilakukan secara sederhana, telah sama-sama menjadi factor dominan dalam penyebaran Islam di Indonesia;
2. Dalam menyebarkan Islam di Indonesia, banyak ulama yang mendirikan organisasi-organisasi masa Islam. Lahirnya organisasi-organisasi tersebut, lebih banyak disebabkan karena adanya dorongan dari sikap patriotisme dan rasa nasionalisme, sekaligus sebagai respon para ulama Islam terhadap kepincangan-kepincangan yang ada dalam masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19 sebagai dampak dari penjajahan yang dilakukan bangsa Eropa, khususnya Belanda.
3. Organisasi-organisasi penyelenggara pendidikan Islam di Indonesia ternyata memiliki peran yang cukup besar bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Peran tersebut antara lain:
a. Menjadi pelopor model pendidikan Islam di Indonesia;
b. Menjadi pelopor adanya pendidikan akhlaq/budi pekerti;
c. Memberi kesempatan bagi masyarakat yang ingin bersekolah yang tidak dapat ditampung oleh lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
4. Model-model penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam di Indonesia sesungguhnya merupakan model pendidikan integrative yang tidak hanya sekedar melahirkan lulusan yang menguasai pengetahuan umum dan keterampilan berteknologi mutakhir, melainkan mampu melahirkan out put yang berkepribadian utuh. Model-model tersebut selanjutnya dapat ditiru dengan melakukan inovasi dan penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi saat ini.

e. Referensi:

Aboebakar, H., “Sejarah Hidup KHA Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta, 1957.
Anam, Chaerul,: Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdatul ‘Ulama, Penerbit Jatayu, Solo, 1985.
Djaelani, H.A. Timur, MA., Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama, CV Darmaga, Jakarta, 1980,
Boechori, Sidi Ibrahim, Drs.H. S.H., “Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau,” Gunung Tiga, Jakarta, 1981, hlm.
Hasbullah, Drs., “”Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 199.,
Dra. Zuhairini, dkk., “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”, Dirjend Binbaga Islam, Jakarta, 1996.
Noer, Deliar, Dr.,”Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1980.
Yunus, Mahmud, Prof. H. “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”, Hidakarya Agung, Jakarta 1985,