Selasa, 17 Agustus 2010

Mendidik Anak Menjadi Mujahid

KETIKA berita tentang tentara Salibis yang telah bersiap untuk meluluhlantakkan Islam sampai kepadanya, Abu Qudamah ASy-Syami bergerak cepat menuju mimbar masjid. Dalam pidato yang emosional dan bertenaga, Abu Qudamah membakar semangat masyarakat muslim untuk mempertahankan tanah air mereka, dengan jihad fi sabilillah. Tak lama setelah dia meninggalkan masjid, menuruni lorong sempit dan gelap, tiba-tiba seorang wanita menghentikan langkahnya dan berkata, “Assalamu’alaikum wa rahmatullah!” Abu Qudamah berhenti, dan tidak menjawabnya.

Wanita itu mengulangi lagi salamnya, seraya menambahkan, “Hal demikian bukanlah tindakan yang seharusnya dilakukan orang shalih.” Lalu wanita itu berjalan selangkah mendekati bayangan Abu Qudamah. “Aku mendengar engkau di masjid memotivasi orang-orang beriman untuk pergi berjihad, dan yang aku punya hanyalah ini,” tuturnya seraya menyeragkan dua buah kuncir yang dipotong dari rambutnya. Wanita itu meneruskan, “Ini bisa digunakan sebagai tali kendali kuda. Semoga Allah menetapkan diri sebagai salah seorang yang pergi berjihad.

Pada hari berikutnya ketika penduduk perkampungan muslim telah bersiaga untuk berkonfrontasi dengan laskar Kristen, tiba-tiba seorang anak kecil berlari ke kerumunan dan berdiri di hadapan kuda yang ditunggangi Abu Qudamah. “Demi Allah, aku memohon kepada engkau agar mengizinkanku untuk bergabung ke dalam pasukan,” terang anak kecil itu. Tak ayal, beberapa mujahid yang lebih tua menertawakan anak tersebut. “Nanti kuda akan menginjak-injak engkau,” ejek yang lain.

Akan tetapi Abu Qudamah menatap dalam-dalam kedua matanya, lalu bocah kecil itu berkata lagi, “Demi Allah, izinkan aku untuk bergabung.” Abu Qudamah menimpali, “Tapi dengan satu syarat, jika engkau terbunuh, maka engkau akan membawaku ke surga bersama orang-orang yang engkau masukkan ke dalam syafaat (syahid)mu.” Anak itu lantas tersenyum sembari berucap, “Itu adalah janji.”

…Dia menggapai tingkatan ketakwaan maksimal, yang mana dia rela mengorbankan rambutnya, ketika hari ini banyak wanita memperindah rambut mereka untuk meniru orang-orang kafir…
Tatkala dua pasukan bertemu dan tensi pertempuran semakin meninggi, anak kecil yang dibonceng di belakang Abu Qudamah itu meminta, “Demi Allah aku meminta kepadamu untuk memberiku tiga anak panah!” Abu Qudamah menjawab, “Engkau akan menyia-nyiakannya.” Anak itu mengulangi lagi, “Demi Allah, aku meminta kepadamu untuk memberiku anak panah.”

Lalu Abu Qudamah pun memberinya tiga anak panah, lantas anak itu mulai membidik. “Bismillah,” ucapnya. Kemudian anak panah pertama itu melesat dan membunuh seorang tentara Romawi. “Bismillah,” ucapnya kedua kali. Lalu anak panah kedua melesat dan menewaskan seorang tentara Romawi lagi. “Bismillah,” ucapnya lagi. Kemudian anak panah terakhir itu pun menyungkurkan seorang tentara Romawi lainnya.

Tak lama setelah itu, sebuah anak panah melesat menembus dada anak kecil itu, membuatnya jatuh terpelanting dari kuda. Sontak Abu Qudamah pun loncat dari kudanya dan mendekati anak itu, lalu mengingatkannya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, “Jangan melupakan janji!” kemudian anak itu meraih sakunya, dan mengeluarkan sebuah kantong seraya berujar, “Tolong kembalikan ini kepada ibuku.” “Siapa ibumu?” tanya Abu Qudamah. Anak itu berkata dengan terengah-engah, “Wanita yang kemarin memberimu dua buah kuncirnya.”

Demikian kisah teladan mujahid Islam yang dikisahkan Ibnul Jauzi dalam Shifat Ash-Shafwah. Kisah wanita yang memotong kuncirnya tersebut dikomentari Ibnul Jauzi sbb: “Wanita ini niatnya baik, namun caranya keliru karena dia tidak tahu bahwa perbuatannya itu –yakni memotong kuncirnya– terlarang, karenanya dalam hal ini kita hanya menyoroti niatnya saja.” (Shifat Ash-Shafwah, 1/459)

Renungkanlah wanita tersebut; bagaimana dia menggapai tingkatan ketakwaan maksimal, yang mana dia rela mengorbankan rambutnya, ketika hari ini banyak wanita memperindah rambut mereka untuk meniru orang-orang kafir. Dan dia juga pasrah mengorbankan anaknya, ketika dewasa ini para wanita justru sanggup mati asalkan anak-anak mereka bersama mereka. Ya, wanita dalam kisah di atas menghabiskan hidupnya dalam ketaatan kepada Allah, dan ketika ujian itu datang, dia dengan mudahnya melewatinya. Bukan hanya dirinya yang sanggup melewati ujian tersebut. Anak lelaki yang telah didiknya pun bersinar dengan kemilau keimanan seperti ibunya.

…Sejarah Islam diwarnai dengan banyak wanita beriman yang sukses mencetak mujahid tangguh dan para pembela Islam. Mereka patut ditiru. Mereka adalah teladan sempurna…
Sejarah Islam diwarnai dengan banyak wanita beriman yang sukses mencetak pribadi-pribadi tangguh dan para pembela Islam. Mereka patut ditiru, karena mereka adalah teladan sempurna. Kita mungkin pernah mendengar kisah tentang seorang pemuda dengan seorang raja kafir. Yaitu ketika seluruh penduduk desa berbondong-bondong memeluk Islam dikarenakan syahidnya pemuda tersebut, maka raja memerintahkan supaya di setiap jalan digali parit dan dinyalakan api. Lalu setiap penduduk ditanya tentang agamanya, jika dia telap setia kepada agama raja, maka dibiarkan. Akan tetapi jika dia tetap beragam dengan agama si pemuda (percaya kepada Allah), maka akan dimasukkan ke dalam parit api itu.

Maka orang berjejal-jejal saling dorong untuk masuk ke dalam parit api itu, disebabkan keyakinan mutlak mereka terhadap akidah sang pemuda yang syahid. Sehingga tiba giliran seorang wanita menggendong bayinya yang masih menyusu, ketika bayinya diangkat oleh pengikut-pengikut raja untuk dimasukkan ke dalam parit api itu, wanita itu hampir menuruti mereka untuk murtad, karena merasa kasihan kepada anaknya yang masih bayi. Tiba-tiba bayi itu berkata dengan suara lantang, “Bersabarlah wahai ibuku, karena engkau sedang mempertahankan yang benar.” Akhirnya, wanita mukminah itu masuk ke dalam parit api bersama bayi yang digendongnya.

Mengenai hal ini, Allah berfirman, “Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Buruj 8-9).

…Melalui pembinaan Al-Khansa yang dikenal sebagai ibunda para syahid, keempat anak lelakinya tampil menjadi pahlawan Islam yang terkenal. Ia mendorong keempat anak lelakinya tentang kemuliaan gugur syahid di medan Al-Qadisiyah…
Dan salah satu sosok mukminah yang sudah tak asing lagi adalah Al-Khansa yang dikenal sebagai ibunda para syahid. Dia menikah dengan Rawahah bin Abdul Aziz As-Sulami. Dari pernikahan itu dia mendapatkan empat orang anak lelaki. Dan melalui pembinaan dan pendidikan tangan-tangannya, keempat anak lelakinya ini tampil menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Hal itu dikarenakan dorongannya terhadap keempat anak lelakinya yang telah gugur syahid di medan Al-Qadisiyah.

Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan sengit di rumah Al-Khansa. Di antara keempat putranya telah terjadi perebutan kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling tunjuk menunjuk kepada yang lainnya untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh fi sabilillah.

Rupanya, pertengkaran mereka itu telah terdengar oleh ibunda mereka, Al-Khansa. Maka Al-Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata:

“Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan. Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang lelaki dan dari seorang perempuan yang sama. Tidak pantas bagiku untuk mengkhianati bapakmu, atau membuat malu pamanmu, atau mencoreng arang di kening keluargamu.

Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah, majulah paling depan niscaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat. Negeri keabadian.

Wahai anakku, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah. Inilah kebenaran sejati, maka untuk itu berperanglah dan demi itu pula bertempurlah sampai mati.

Wahai anakku, carilah maut niscaya dianugrahi hidup.”

Pemuda-pemuda itu pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh, sehingga banyak musuh yang terbunuh di tangan mereka. Akhirnya nyawa mereka sendirilah yang tercabut dari tubuh-tubuh mereka. Ketika ibunda mereka, Al-Khansa, mendengar kematian anak-anaknya dan kesyahidan semuanya, sedikit pun dia tidak merasa sedih dan kaget. Bahkan ia berkata, “Alhamdulillah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan mempertemukan aku dengan putra-putraku dalam naungan Rahmat-Nya yang kokoh di surgaNya yang luas.”

…Ketika Al-Khansa, mendengar kesyahidan semua anaknya, sedikitpun dia tidak merasa sedih dan kaget. Bahkan ia berkata, “Alhamdulillah, Allah telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku…
Inilah mengapa Al-Khansha dijuluki ibunda para syahid (ummu syuhada). Namun bukan gelar sebagai Ummu Syuhada ini yang dia cari, melainkan keridhaan dari Allah SWT. Diberi gelar ataupun tidak adalah sama baginya, dia akan tetap memotivasi anaknya untuk tetap tegar di medan perang, dan rela melepas mereka semua pergi menuju kampung abadi dengan gelar sebagai syuhada.

MENCETAK PARA MUJAHID TANGGUH

Seandainya semua ibu dewasa ini memiliki orientasi hidup dan prinsip sebagaimana para ibunda dalam kisah di atas, maka dunia Islam akan melihat para pahlawan dan pejuang yang siap memperjuangkan Islam.

Namun, pada zaman ini, peran ibu seolah tergantikan oleh para pembantu, baby sitter, atau dititipkan di tempat penampungan anak (day care). Betapa banyak ibu yang lebih fokus dan ambisius pada karier mereka sehingga perhatian dan kasih sayang pada anak pun berkurang bahkan hilang. Tidak jarang pula dijumpai banyak para ibu yang memiliki banyak waktu bersama anak namun merasa bingung apa yang harus dilakukan untuk mengasah potensi buah hatinya.

Dua kondisi tersebut menunjukkan minimnya pemahaman seorang ibu tentang perannya dan optimalisasi perannya, yaitu berusaha melahirkan generasi mulia; generasi para mujahid. Tentunya, menjadi ibu pencetak mujahid meniscayakan proses pembelajaran, di antaranya adalah:

1. Bagaimana dia bisa memberikan pendidikan dan pengajaran terbaik pada anak-anaknya, meliputi pemahaman akidah yang benar, syariat yang komprehensif, dan akhlak terpuji.

…pendidikan dan pengajaran terbaik pada anak-anaknya, meliputi pemahaman aqidah yang benar, syariat yang komprehensif, dan akhlak terpuji…
2. Bagaimana agar anak-anaknya selalu memberikan respon positif kepada ibu mereka.

3. Bagaimana menampilkan pesona sejati ibu shalihah dan anak-anak yang shaleh serta shalihah?

4. Bagaimana ibu dan anak-anaknya dicintai Allah dan Rasul-Nya

5. Bagaimana ibu menemukan rahasia metodologi dan epistemologi dalam mencetak generasi mujahid, berdasarkan manhaj ahlussunnah wal jama’ah dan paradigma tha`ifah manshurah (kelompok yang selamat).

6. Terakhir, bagaimana menghadirkan suasana ‘perjuangan setiap hari' di rumah. Dalam artian, anak-anak harus diberi pemahaman bahwa antara kebenaran dan kebatilan senantiasa bertarung, dan kebenaran harus bisa melenyapkan kebatilan, dalam setiap ranah kehidupan.

…Hadirkan suasana ‘perjuangan setiap hari' di rumah. Anak-anak harus diberi pemahaman bahwa antara kebenaran dan kebatilan senantiasa bertarung. Dan kebenaran harus bisa melenyapkan kebatilan…
Guna merealisasikan hal-hal di atas, syariat Islam kaffah (integral) memberikan peranti-peranti yang dibutuhkan oleh ibu untuk belajar menjadi pencetak generasi mujahid. Pertama, ilmu Allah dengan Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kedua, teladan yang baik bagi para manusia, khususnya muslim dan muslimah dalam mendidik generasi mujahid, yakni Rasulullah, para shahabat dan shahabiyah, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, serta para ulama Salafus-Shaleh lainnya. Sementara hal-hal teknisnya bisa diketahui dan dipelajari dari berbagai majlis ilmu dan buku-buku keislaman yang bermanhaj lurus.

Demikianlah, semoga dalam waktu dekat kita akan menyaksikan munculnya para mujahid dari para ibunda seperti Al-Khansha dan lainnya. Sehingga mereka dapat tampil memberangus kebatilan, kemaksiatan kemusyrikan, hal-hal bid’ah, atau meruntuhkan hukum thaghut yang berkuasa. Amin! [ganna pryadha/voa-islam.com]