Jumat, 13 Agustus 2010

KEHAMPAAN SPIRITUAL

KEHAMPAAN SPIRITUAL

Oleh : Ahmad Alim, M.A

Peradaban Barat sebagaimana ditulis oleh sejarawan Marvin Perry, adalah sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama) . Peradaban ini penuh kontradiksi. Satu sisi, ia memberi sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membuat berbagai kemudahan fasilitas hidup, tapi pada sisi lain peradaban ini memberi kontribusi yang tidak kecil kepada penghancuran alam semesta. Hal itu dikarenakan barat menyandarkan peradabannya hanya berdasarkan pada rasio dan panca indera, jauh dari wahyu dan tuntunan Ilahi.
Seiring dengan perjalanan waktu, manusia semakin terpesona dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai produk kerja ratio. Bahkan ironisnya, hanya dikarenakan berbagai kemudahan dalam menjalankan aktivitas kehidupan sebagai tawaran dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari kian berkembang, manusia telah berani meniscayakan “ratio” yang terbukti telah berhasil menghadirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tanpa disadari seiring dengan itu pula ia telah mereduksi keniscayaan realitas lainnya termasuk agama dengan berbagai elemen spiritual yang terkandung di dalamnya. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya berdasar pada sudut pandang pinggiran eksistensi. Sementara pandangan tentang spiritual atau pusat spritualitas dirinya, terpinggirkan. Makanya, meskipun secara material manusia mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatatif dan keseluruhan tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan.
Kemajuan sains yang hanya mengandalkan kecerdasan rasio , sampai batas-batas tertentu akan dapat mengerosikan benteng-benteng nilai idealism humanism dan semakin menuju kearah rasionalisme, pragmatism, dan relativisme. Berbagai akibat buruk pun muncul, antara lain nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup matrealistik, sekularistik dan hedonistik, yang menafikan aspek-aspek etika-religius, moralitas dan humanistic.
Kebudayaan modern yang mengedepankan gaya hedonisme , matrealisme, sekulerisme, pluralisme, rasionalisme, utilitarianisme, telah menyebabkan kedangkalan jiwa manusia. Kedangkalan jiwa ini berdampak signifikan terhadap tatanan nilai masyarakat. Sehingga kerusakan moral mewabah disemua sektor kehidupan. Akibatnya, tatanan sosial menjadi rusak dan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu ditandai oleh semakin jauhnya manusia modern dari sentuhan nilai-nilai ilahi , hilangnya orientasi hidup ,mewabahnya kegelisahan,ketakutan, stress, depresi, meningkatnya angka kriminalitas, dekadensi moral. Daniel Goleman sebagaimana dinukil Akmansyah menyebutkan, bahwa tahun-tahun terakhir millenium ini memperkenalkan “ zaman kemurungan “ ( age of melancholy ), seperti halnya abad XXI menjadi “ abad kecemasan “ ( the age of anxienty ). Data internasional memperlihatkan apa yang tampaknya merupakan wabah depresi modern, wabah yang meluas seiring diterimanya gaya hidup modern di seluruh dunia. John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000“ mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas manusia modern.
Lembaga pendidikan yang diharapkan mampu memberi solusi terhadap kehampaan spiritual ini, sayangnya ternyata telah terkontaminasi oleh agenda skulerasi yang menyesatkan. Pelajaran agama hanya diberi waktu dua jam per minggu. Hal ini tidak seimbang dengan pelajaran sains dan teknologi yang waktunya jauh lebih banyak. Dengan hanya dua jam pendidikan agama, tidak mungkin bisa menciptakan generasi yang bermoral, pantang korupsi, enggan menyuap, dan suka menolong sesama, di tengah serbuan budaya global . Akan tetapi dengan dua jam ini , agama hanyalah dianggap sebagai pengetahuan yang boleh dilupakan, Sehingga Kenyataan yang ada sekarang, pendidikan hanyalah mencetak generasi yang pintar bergaya hedonistik, hidup bermewah-mewah dan suka hura-hura, serta permisif (serba boleh), mengesahkan pergaulan bebas, menyalahgunakan sains dan teknologi, suka tawuran serta terampil mengkonsumsi narkoba. Tapi, mereka tidak pintar menjalankan kehidupan sesuai dengan aturan Allah, Sang Pencipta. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, seorang filosof dan pemikir ternama, mengeluarkan pernyataan bahwa hilangnya unsur adab (moral) karena isi pendidikan telah terkorupsi oleh pemikiran-pimikiran sekuler --memisahkan urusan duniawi dengan agama (spiritual). Lebih lanjut Al-Attas mengidentifikasi bahwa kebingungan dalam menafsirkan pengetahuan akibat praktik sekularisme akan melahirkan generasi. Termasuk para pemimpin yang bermental buruk dan salah. Mereka akan berperilaku bukan selayaknya pemimpin karena dengan kekuasannya akan cenderung menyalahgunakan dan mempropagandakan urusan yang merugikan rakyat yang dipimpinnya. Adnin menambahkan, Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. “Gelar” dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab.
Selain itu, Pendidikan agama yang semestinya diandalkan mampu memberi solusi bagi permasalahan spiritual, sayangnya ternyata terkontaminasi paham liberalisme dan pluralisme. Hal ini ditandai dengan masuknya kurikulum yang berbasis gender, multikulturalisme, dan persamaan agama di Pesantren-Pesantren maupun Perguruan tinggi Islam. Akibatnya, Nilai-nilai orisinilitas wahyu menjadi terdesakralisasikan, sehingga manusia bukannya lebih dekat dengan wahyu, akan tetapi justeru alergi dengannya. Menurut Adian Husaini, Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim, Amerika Serikat mensponsori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang pluralisme, toleransi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan. Dalam membantu jangkauan jangka panjang, lima American Corners dibuka di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Muslim di seluruh Indonesia. Amerika Serikat juga mendanai The Asia Foundation untuk mendirikan suatu pusat internasional dalam memajukan hubungan regional dan internasional di antara para intelektual dan aktivis Muslim progresif dalam mengangkat suatu wacana tingkat internasional tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat juga memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesantren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan. Mengembangkan suatu lingkungan dimana orang Indonesia dapat secara bebas menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka adalah kritis bagi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memelihara pluralisme dan toleransi untuk menghadapi ekstrimisme.”
Munculnya problem spiritual yang menimpa manusia modern bermula dari hilangnya visi keilahiyan yang disebabkan oleh ulahnya sendiri, yakni bergerak menjauh dari pusat eksistensinya. Untuk itu , tidak ada solusi lain kecuali manusia harus kembali ke pusat eksistensi tersebut. Menurut Hamid, westernisasi berimplikasi pada peminggiran (marjinalisasi) peradaban Islam. Jawaban bagi problem westernisasi, sudah tentu adalah de-westernisasi. Malik menambahkan , pada hakikatnya manusia adalah subjek fitri yang terpengaruh oleh dinamika sekelilingnya. Dalam usaha memposisikan kembali subjek fitri tersebut, maka dibutuhkan pembersihan jiwa ( tazkiyah al-nafs ), karena dengan usaha inilah jiwa akan terbebas dari hal-hal yang mengotorinya. Zakiah Darajat, menyatakan bahwa fungsi agama adalah memberikan bimbingan bagi manusia dalam mengendalikan dorongan-dorongan sebagai konsekwensi dari pertumbuhan fisik dan psikis seseorang. Agama juga dapat memberikan terapi mental bagi manusia dalam menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup. Seperti pada saat menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang kadang dapat menggelisahkan bathin dan dapat membuat orang putus asa. Disini agama berperan mengembalikan kesadaran kepada sang pencipta.Disisi lain, agama juga sebagai pengendali moral, terutama pada masyarakat yang mengahadapi problematika etis, seperti prilaku sex bebas .