Jumat, 13 Agustus 2010

PENDIDIKAN ISLAM DDII

Ahmad Misbahul Anam, M.A


PENDIDIKAN ISLAM DDII (Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

I. PENDAHULUAN
Untuk menampilkan rekam jejak Pendidikan yang dilakukan Dewan Da’wah dalam bentuk tulisan -penulis merasakan sulitnya- karena data yang ada, Pertama: secara filosofis tidak bisa dilepaskan – selalu menginduk pada sosok Pak. M.Natsir dan juga tokoh-tokoh seperjuangannya di Dewan Da’wah seperti Prof.Dr. Rasyidi, H.Daud Datuk Palimo Kayo, KH.Taufiqurrahman, H.Hasan Basri, Prawoto Mangkusasmito, Nawawi Duski, Abdul Hamid, H.Abdul Malik Ahmad, H.Bukhari Tamam. Sejak didirikan pada hari Ahad, 17 Dzulqa’idah 1386H/26 Februari 1967, kegiatan-kegiatan yang dilakukan juga masih sangat terkait dengan cita-cita yang pernah ada ketika mereka masih di Masyumi . Kedua; sebagian besar data tentang ide-ide pendidikan secara detail masih menyatu dengan sang tokoh, tidak di dokumentasikan menjadi satu, alasanya untuk menjaga kelangsungan da’wah. Hal ini dikarenakan kebanyakan para pelaku terutama era P.Natsir selalu diposisikan menjadi lawan pemerintah . Sekedar contoh dizaman Pak Anwar Haryono pengganti setelah Pak Rasyidi menyebutkan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Da’wah, “bertekad untuk menggunakan peluang-peluang yang terbuka dalam perubahan cuaca sekarang ini untuk memperbaiki keadaan bersama-sama siapa saja yang tujuanya sama . . . . . . . setapak demi setapak, menurut perundangan yang berlaku” . Ketiga, kesulitan tersebut bertambah, karena focus (tujuan) kegiatan Dewan Da’wah adalah adalah aktfitas da’wah , bahkan ada dokumen yang menyebutkan dakwah yang dimaksud adalah da’wah untuk menghadang Kristenisasi .
Pandangan-pandangan dasar yang diperjuangkan oleh Masyumi rupanya banyak (sebagian) diteruskan dan diperjuangkan oleh Dewan Da’wah, dengan harapan segera terwujudnya tatanan kehidupan yang Islami dengan menggiatkan dan meningkatkan mutu da’wah di Indonesia . Dengan fokus terpenting yang dilakukan oleh Dewan Da’wah semenjak didirikanya adalah da’wah . Kegiatan pendidikan yang kemudian dikembangkan pada masa-masa berikutnya, dilaksanakan dengan tujuan untuk menjawab kebutuhan da’wah. Da’wah dimaksud (hakekatnya) adalah usaha sadar untuk mengubah seseorang, sekelompok orang, atau suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan Rasul-Nya. Da’wah terhadap Umat Islam Indonesia adalah segala usaha untuk mengubah posisi, situasi dan kondisi umat menuju keadaan yang lebih baik agar terpenuhi perintah-Nya untuk menjadi ummatan wasathan yang merupakan rahmatan lil-‘alamin.
Diantara jalan untuk merealisasikan perwujudan hamba Allah yang berkeseimbangan (ummatan wasathan) tersebut, perlu dirumuskan kebijakan pendidikan umat yang mampu membentuk, mengembangkan, dan melaksanakan penghayatan nilai dan norma, pengenalan akan potensi diri, pemanfaatan sumber-sumber agama, alam dan sejarah serta pengamalan kemampuan dan keterampilannya untuk mencapai kesejahteraan dan peningkatan peradaban yang Islami . Selain istilah pendidikan, digunakan juga istilah-istilah yang lain, seperti ; daurah, penataran, training, dan pelatihan. Bahkan pengabdian para da’I dilapangan juga dimaksudkan sebagai proses pendidikan .
II. LANDASAN KEBIJAKAN
Dewan Da’wah yang dikukuhkan keberadaanya melalui akte-notaris Syahrim Abdul Manan No.4 tertanggal 9 Mei 1967, melandaskan kebijaksanaannya kepada empat hal :
1). Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia berdasarkan taqwa dan keridhaan Allah.
2). Dalam mencapai maksud dan tujuanya, Dewan Da’wah mengadakan kerjasama yang erat dengan badan-badan dakwah yang telah ada di seluruh Indonesia,
3). Dalam hal yang bersifat kontroversial (saling bertentangan) dan dalam usaha melicinkan jalan da’wah, Dewan Da’wah bersikap menghindari dan atau mengurangi pertikaian faham antara pendukung da’wah, istimewa dalam melaksanakan tugas da’wah.
4). Di mana perlu dalam keadaan mengizinkan, Dewan Da’wah dapat tampil mengisi kekosongan, antara lain menciptakan suatu usaha berbentuk atau bersifat da’wah, usaha mana sebelumnya belum pernah diadakan.
Berikutnya, dalam Khittah Da’wah, yang dipandang sebagai dokumen resmi Dewan Da’wah tentang arah perjuangan lembaga, yang baru diberikan kata pengantar dan ditandatangani Pak Natsir pada tanggal 8 April 1990 – masa-masa akhir hidupnya dalam Bab IV tentang Modal, Kecenderungan dan Permasalahan Masyarakat Umat Islam di sebutkan.
“Salah satu modal yang dimiliki umat Islam Indonesia di bidang pendidikan ialah kesadaran dan keyakinan umat akan dinul Islam sebagai materi program pendidikan dan sumber nilai. Demikian pula kesadaran tentang alam dengan segala hukumnya termasuk diri manusia, sebagai sumber ilmu dan teknologi.
Umat Islam Indonesia juga mempunyai tradisi keilmuan dan lembaga-lembaga pendidikan , seperti: pesantren, madrasah, sekolah-sekolah Islam, masjid, usrah, lembaga pengajian, dan keluarga muslim sebagai tempat kegiatan pendidikan berprogram dan berproses, disamping lembaga Islam Internasional yang ada.

Jika landasan dasar dan juga penjelasannya di potret dengan melihat kenyataan yang dilakukan oleh Dewan Da’wah dan para tokohnya, secara sederhana dapat di dipetakan bahwa lembaga ini memilki peran antara lain : Pertama, sebagaimana yang dinyatakan P.Natsir, ‘lebih baik urusan sekolah dan pesantren diserahkan kepada organisasi-organisasi Islam yang memang telah sejak lama menekuninya. Kami membantu, dan memberikan usulan . Pernyataan ini kelihatanya dilandasi karena latar-belakang sejarah para tokoh yang memang berasal dari berbagai unsur umat. Bisa dilihat ketika Masyumi dibubarkan oleh orde lama, yang berantakan adalah lapis atasnya bukan jama’ah yang ada dibawahnya. Karena jama’ah adalah ‘milik’ organisasi-organisasi pembentuk Masyumi. Hal inilah yang kemudian juga difahami oleh para pendiri dan pengurus Dewan Da’wah setelah Masyumi bubar. Dewan Da’wah tidak membuat institusi pendidikan tersendiri, tapi hanya bersifat mendukung kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembentuknya. Dukungan tersebut dalam bentuk pencarian pendanaan pendidikan, pengiriman pelajar ke luar negeri, pengadaan buku dan penerjemahan .
Kedua, menempatkan diri sebagai laboratorium dan konsultasi untuk penyebaran Islam secara efektif di dalam masyarakat modern . Ketiga, dalam setiap kegiatannya selalu mendasarkan pada pola binaan wa difa’an. Pertama membina mereka yang sudah Muslim, baik Muslim sejak lahir maupun yang baru masuk Islam berkat keberhasilan dakwah. Kedua mempertahankan Islam dan umat Islam dari mereka yang tidak senang melihat kemajuan umat Islam dan bahkan yang melihat islam sebagai rivalnya .
III. Potret Permasalahan Dalam Pendidikan
Sungguhpun umat Islam Indonesia mempunyai potensi dan kegiatan pendidikan yang lebih luas, namun dirasakan pula adanya berbagai permasalahan, yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan penghambat tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Permasalahan tersebut meliputi ;
(a) Aspek Pendekatan meliputi ,
 Dalam proses pendidikan, agama cenderung dipelajari secara juridis-teoritik, sehingga agama lebih sebagai “ilmu” daripada sebagai tuntunan atau pandangan hidup yang membuahkan pemikiran dan perilaku serta akhlak Islami,
 Ilmu agama tidak berkembang, dan sejalan dengan itu para ahli di bidang itu pun makin menyusut, baik mengenai jumlah maupun mengenai mutunya,
 Padangan sebagian besar umat Islam terhadap agamanya masih bersifat dikotomik atau sekularistik. Agama hanya dipandang mengatur masalah-masalah keakhiratan saja, sedang masalah dunia tidak diatur oleh agama, tetapi oleh yang lain dari agama.
(b) Aspek ke Lembaga
 Lembaga Pendidikan Pesantren cenderung bersifat tradisional dan merupakan milik pribadi. Sementara kerjasama antar pesantren tidak efektif, dan kontaminasi pihak luar makin nyata,
 Banyak lembaga pendidikan madrasah dan sekolah Islam yang menghadapi masalah kemandirian karena kepemimpinannya ditetapkan oleh pihak pemberi subsidi, sedang yayasan pendukung tidak dibenarkan menginduk pada lembaga/organisasi pusatnya.
 Masjid, usrah dan lembaga pengajian lain tidak mempunyai program yang utuh serta terencana sebagai lembaga penidikan umat dan cenderung bersifat sporadis dan simplistis. Karena sifat “non-institutional”-nya, maka proses pendidikan di lembaga-lembaga tersebut lebih bersifat individual dari pada humatik dan behavioral.
(c) Aspek Perangkat halus,
 Tujuan pendidikan kebanyakan terlalu umum, sehingga tidak dapat diukur,
 Kurikulum bersifat diferensial, non-integratif, elitis, berorientasi pada guru, dan “paket non komposit”
 System evaluasi tidak jelas, bersifat “seleksi alamiah” atau sebaliknya bersifat pragmatic (menuju pada ketentuan”, dan bersifat mekanistik.
 Khusus untuk pesantren kurikulum bersifat statis, sementara untuk sekolah Islam dam madrash kurikulumnya bergeser kearah ilmu-ilmu sekuler.
(d) Aspek Perangkat keras pendidikan, terutama berupa : alat-alat bantu pelajaran yang amat minim, kepustakaan yang amat terbatas, sarana bangunan dan pembiayaan yang sangat terbatas.
(e) Pola pengembangan pendidikan ialah tidak adanya “pola ilmiah pokok” dan tolak ukur yang baku .
II. BENTUK KEGIATAN DALAM PENDIDIKAN
(a) Menakar kekuatan dan kekurangan
Pandangan-pandangan Dewan Da’wah tentang pendidikan (sekali lagi) tidak bisa dilepaskan dengan sosok Natsir dan pendiri yang lain, walupun sampai sekarang belum dapat diwujudkan dengan sempurna. Mengapa, banyak pernyataanya yang bersifat filosofi dalam rangka (keinginan) untuk memayungi semua madzhab (perbedaan furu’iyah), aliran dan golongan. Para tokohnya, terutama Natsir, memiliki daya tarik pemersatu diantara umat yang ada dan lembaga diluar yang tidak secara langsung menjadi bagian struktural di Dewan Da’wah. Cita-cita pemersatu tersebut terungkap dalam suatu wawancara dengan Said Tuhuleley untuk majalah Inovasi UMY Yogyakarta beliau menyebutkan perlunya “Menyatukan Kampus, Masjid dan Pesantren” .
Kampus adalah representasi para intelektual, Masjid adalah basis pemersatu umat dan Pesantren adalah mewakili komunitas pendidikan pedesaan yang sangat tangguh dan memiliki komitmen terhadap tafaqquh fiddin. Jika kita tengok lebih jauh bagaimana Natsir memandang pendidikan memiliki dimensi vertical dan horizontal yang tidak harus di-dikhotomikan. Akan tetapi kedua dimensi ini bukanlah merupakan pilihan yang berdiri sendiri, terasing dari satu dari lainya. Dimensi ketundukan vertical tidak dapat kemudian “dicap” sangat berwarna akhirat, sedangkan dimensi dialectical horizontal lebih berhubungan dengan kehidupan dunia. Akan tetapi kehidupan akhirat dan dunia lebur di dalam kedua dimensi tersebut.
Dalam dokumen Khittah Da’wah Pasal 2 poin 5 dinyatakan bahwa, “Dewan Da’wah bersifat kordinatif, mengutamakan kebersamaan secara sinergi dengan sesama lembaga-lembaga Islam, baik Nasional maupun Internasional”. Selanjutnya ciri ini dijelaskan dalam Anggaran Rumah Tangga Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Pasal 6 tentang Program, Poin b (Bidang Pendidikan) nomor 2 berbunyi “Menciptakan dan mengembangkan model-model pendidikan yang dapat menghilangkan kebodohan, meningkatkan keterampilan, dan menumbuhkan sikap yang mandiri bagi umat Islam, serta mengembalikan kepeloporan umat Islam di bidang pendidikan” .
Pendidikan dimaksudkan untuk menambah kemampuan da’I dalam melaksanakan tugas da’wah, sehingga aktifitas da’wahnya tidak hanya bermodalkan niat atau semangat daripada kemampuan professional dalam menunaikan fungsinya. Keterbatasan tersebut diantaranya karena factor :
 Da’I tidak memperoleh pendidikan yang memadai
 Terbatasnya perhatian dan waktu yang diberikan, karena da’wah, bagi sebagian besar da’I hanya merupakan tugas atau profesi “sampingan” .

(b) Sumbangan Dewan Da’wah Pada Dunia Pendidikan Islam
1. Perguruan Tinggi Islam dan Pesantren
a. Untuk Perguruan Tinggi nasional yang mendapat perhatian UII, UNISBA, Unisula Semarang, UIK Bogor, UISU, UIR Riau dan IAI Al-Ghuraba.Untuk yang bersifat internasional adalah ikut memberikan respond dan bantuan adalah beridirinya LPIA. Setelah berdirinya LPIA maka pengiriman mahasiswa keluar negeri lewan Dewan Da’wah tidak lagi dilakukan. Dewan Da’wah hanya sebatas diberikan mandat (prudential) untuk memberikan rekomendasi saja. Selanjutnya individu atau lembaga-lah yang harus berusaha sendiri.
b. Pesantren, pendidikan alternative ini diberikan keistimewaan di mata para pengurus Dewan Da’wah karena kedekatan sosiologi dengan masyarakat kebanyakan warga Indonesia. Pesantren yang secara resmi dijadikan laboratorium pendidikan untuk mencetak para da’I adalah Pesantren Darul Fallah Ciampea Bogor pimpinan KH.Sholeh Iskandar dan KH. Sholeh Widodo. Bahkan pesantren ini dijadikan tempat persiapan untuk mendidik para da’I yang akan mengabdi di lapangan selama 2 tahun, dan ini juga menjadi syarat para da’I yang akan diberangkatkan ke Timur Tengah. Pesantren ini memiliki takhasus pertanian. Di Jogyakarta, didirikan Yayasan Solahudiin yang membawahi Pesantren Mahasiswa Budi Mulia yang dikomandani oleh Amin Rais setelah kepulanganya dari Amerika. Di Bogor dirikan Pesantren Ulul Albab yang berada di Komplek UIK Bogor yang dipimpin oleh KH.Didin Hafiduddin.
2. Pengiriman Mahasiswa ke Luar Negeri
Pada zaman Pak Natsir, banyak mahasiswa yang diberangkatkan ke Universitas-universitas di Timur Tengah karena kebaikan Raja Faisal. Berawal dari tawaran Raja Faisal terhadap Natsir terkait dengan hadiah setelah keluar dari penjara orde baru. Pak Natsir meminta diberikan kesempatan para kader “ediologis” untuk dapat mengambil kuliah di Timur Tengah khusunya Arab Saudi.
Dewan Da’wah juga ikut serta mendirikan RISEP (Regional Islamic Council for Southeast Asia and the Pacific0 tahun 1980, dengan menempatkan wakilnya yaitu Osman Raliby,
3. Lembaga Pengkajian
a. LIPPM (Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat) dilembaga penelitian ini banyak berkumpul para akademisi dan peneliti. Didirikan pada tahun 1980 dan Deliar Noer duduk sebagai ketua dan dibantu oleh Ramli Hutabarat, dll. Lembaga ini banyak meneliti soal hubungan Kristen dan Islam termasuk usaha kristenisasi. Lembaga ini mendapatkan santunan dari Rabithah Alam Islami karena P.Natsir Ketuanya dan Griffith Australia. Muhammad Daud Ali termasuk pipmpinan di LIPPM sedangkan Boerhanuddin Harahap dan Anwar Haryono bertindak sebagai konsultan penelitian.
b. Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI)
Lembaga ini di pimpin oleh Ust. Amin Jamaluddin, memiliki focus tentang gerakan penyesatan umat (aliran sesat). Contoh ; LDDI, Ahamdiyah dll.
c. Badan Kordinasi Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI)
Lembaga ini berawal dari Pesantren-pesantren yang ada di Jawa Barat dan kemudian dikembangkan atas dorongan P.Natsir dan dipimpin oleh KH.Sholeh Iskandar. Pernah
4. Koreksi Terhadap Kebijakan Pemerintah
Ikut berperan secara aktif dalam perumusan RUUSPN Pendidikan tahun 1989 bersama ormas-ormas Islam yang lain. Dewan Da’wah diwakili oleh P. Natsir, Anwar Haryono dan Husain Umar. Diantara usulanya adalah agar memberikan hak dan perhatian yang sama kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren .
5. Kegiatan Pendidikan di Kramat 45
Mengingat focus dan landasan kerja Dewan Da’wah yang memang tidak memasuki wilayah pendidikan praktis sebagaimana NU, Muhammadiyah dan lembaga semisal, maka kegiatan di Dewan Da’wah diserahkan kepada wilayah masing-masing. Sampai tahun meninggalnya P.Natsir (1993) dan beberapa tahun sesudahnya lembaga formal yang mengurusi pendidikan belum dibuat. Baru pada tahun 1998 mulai difikirkan perlunya membuat lembaga pendidikan formal yang langsung diurus oleh Dewan Da’wah Pusat karena dirasakan kurangnya kader (ulama) yang bisa diajak bersama untuk melaksanakan tugas da’wah. Juga karena banyaknya permintaan dari Dewan Da’wah daerah untuk menitipkan kadernya yang mereka bina selama ini.

Lembaga Pendidikan non-Formal Yang di Kelola Dewan Da’wah DKI Jakarta
a. AKBAR (Akademi Bahasa Arab)
Akademi Bahasa Arab ini dilaksanakan oleh Dewan Da’wah DKI Jakarta pada awal tahun 1984. Pesertanya adalah Pimpinan Majlis Ta’lim yang ada di Jakarta, dalam sepekan 4 kali pertemuan dari hari Senin sampai Kamis. Waktu belajar dilaksanakan setiap ba’da ‘Asar. Akademi ini hanya berlangsung sampai tahun 1997, karena kemudian diganti dengan LPDI.
b. LPDI (Lembaga Pendidikan Da’wah Islam)
Lembaga ini sebagaimana namanya adalah mendidik calon-calon kader da’wah, dengan lama pendidikan selama 2 tahun. Sekarang lembaga semisal dilakukan di Sambas, Kalimantan Barat yang dipimpin oleh anak lulusan STID M.NAtsir.
c. BMD (Bina Mujahid Da’wah)
Untuk mengatasi kekurangan da’I di ibu kota, maka dibuatlah kegiatan percepatan untuk mencetak da’I yang bernama BMD. Kegiatan ini dikelola oleh Dewan Da’wah DKI Jakarta, sejak tahun 2000-an sampai tahun 2004 masuk setiap Sabtu. Kemudian pada awal tahun 2005 diperbaharui dengan model materi yang lebih terfokus pada kekuatan akidah dan untuk up-grading da’I lapangan.
Lembaga Pendidikan Formal
a. STID M.Natsir
Musyawarah Besar (MUBES) ke-2 Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada tanggal 12-14 Juni 1998 di Jakarta memutuskan untuk meningkatkan program LPDI dari program D1 menjadi program Strata satu (S1). Tim dipimpin oleh Abdul Wahid Alwi, setelah melalui serangkaian pertemuan, tim akhirnya memutuskan untuk meningkatkan status LPDI secara bertahap menjadi Universitas dengan nama Universitas Islam Muhammad Natsir, dengan fakutas-fakultas : Da’wah, Ekonomi Islam, Teknik Industri, Hukum dan Pertanian. Berkaitan dengan 5 fakultas tersebut, kemudian dibentuk tim lebih kecil untuk menyiapkan Statuta dan RIP (rencana induk pengembangan). Mulai tahun akademik 1999-2000 kepada semua perwakilan dan pondok pesantren untuk mengirimkan calon mahasiswa baru untuk fakultas da’wah, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Pada perkembangan berikutnya dengan berbagai masalah yang dihadapi baik nasional maupun global, Dewan Da’wah belum dapat menyediakan dana untuk pembukaan 4 fakultas yang lainya. Maka untuk tahap awal ini diputuskan untuk merubahnya dengan Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) M.Natsir sebagai pengganti fakultas da’wah. Jika dana memungkinkan akan dibuka beberapa Sekolah Tinggi lainya. Langkah berikutnya apabila beberapa Sekolah Tinggi telah dapat didirikan akan digabung menjadi Universitas seperti rencana semula.
Visi STID M.Natsir ialah sebagai pusat pendidikan tinggi yang membangun kembali tradisi intelektualisme Islam berdasarkan al-Qur’an dan Hadist serta Manhaj As-Salafu Shalih. Sedangkan misinya ialah: Membangun peradaban Islam melalui Islamisasi ilmu pengetahuan dan tradisi intelektual yang kaffah serta mengembangkan ilmu pengetahuan melalui pendidikan, penelitian dan pelayanan masyarakat.
Adapaun tujuan pendidikan STID M.Natsir ialah, melahirkan : 1) Pribadi muslim yang bertauhid dan berakhlak karimah, 2) Sarjana Muslim dan kader ulama yang mutafaqqih fi diin, 3) Kader pemimpin umat yang cakap berdedikasi tinggi dan amanah, dan 4) Mujahid da’wah yang handal sesuai dengan tuntunan Islam dan tuntunan masa depan yang memiliki kemampuan menajerial da’wah.
Diharapkan lulusan STID ini bisa mengisi kekosongan tenaga da’wah dilapangan. Maka pada setiap mahasiswa diwajibkan mulai semester 5 untuk mengabdi di masjid-masjid dan lembaga Islam di sekitar Jakarta, selain mereka melakukan kafilah da’wah keluar Jawa pada musim liburan. Setelah mereka menyelesaikan skripsi (setelah ujian skripsi), para mahasiswa masih memiliki tugas pengabdian selama satu tahun keluar Jawa lagi, sebelum mengikuti wisuda. Selanjutnya mereka diperbolehkan untuk ikut program beasiswa S2.

b. Program Kader Ulama (PKU)
Program Kader Ulama termasuk program rintisan, karena disadari bahwa yang akan bisa menyelamatkan bangsa ini adalah para da’I yang ada dilapangan, cara ini ditempuh karena mandulnya peran politik Islam dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam secara maksimal. Kader 1000 ulama dicanangkan dengan menggandeng beberapa lembaga donatur sebagai lembaga penyedia beasiswa. Program kader ulama lewat jalur formal untuk program S2 dan S3, bekerja-sama dengan Universitas Ibnu Khaldun Bogor, UMS Solo dan UPI Bandung, serta PT di Malaysia.
Sedangkan kader ulama non-gelar (program tahfidhul Qur’an dan menguasai kitab kuning) bekerja-sama dengan pesantren.
Diharapkan dari semua kegiatan yang dilakukan oleh Dewan Da’wah, adalah selalu mengacu pada garis perjuangan Dewan Da’wah itu sendiri, yaitu soal reintegrasi umat.
c. Penerbitan
Media yang sempat terbit dari Kramat 45 adalah Media Dakwah, Suara Masjid, Majalah anak Sahabat, Buletin Da’wah, Serial Khutbah Jum’at dan Penerbit Media Da’wah dengan toko bukunya.
d. Pusdiklat
Pusdiklat Pusdiklat dibangun baru sebatas di Tambun Bekasi dengan konsentrasi pada wilayah pendidikan keterampilan (BLK baru rencana) dan formal (STID, TKIT, SDIT). Sedangkan Islamic Centre juga di dirikan pada beberapa Dewan Da’wah Daerah dengan harapan akan menjadi pusat pengkajian diantaranya Jawa Barat (Jonggol), Sumatera Utara, Riau, dan Solo
e. Perpustakaan
Perpustakaan yang dikelola Dewan Da’wah adalah limpahan perpustakaan yang pernah dimiliki oleh LIPPM dan Masyumi.

III. PENUTUP
Dari pemaparan di atas, kiprah pendidikan yang di lakukan oleh Dewan Da’wah bisa dikatagorikan menjadi 2 periode dengan model yang berbeda secara metodologinya
1. Pada masa P. Natsir, dari era 1967 sampai 1991 memiliki corak lebih menonjolnya peran individu . Dari sisi model kegiatannya diserahkan kepada masing-masing lembaga ataupun individu. Usaha ini dipertahankan, menurut Ust. Abdul Wahid Alwi karena Dewan Da’wah tidak ingin menambah ‘madzhab baru’ yang akan menjadi beban da’wah .
2. Setelah era 1991 sampai sekarang, Dewan Da’wah mulai ada usaha untuk membuat lembaga pendidikan yang langsung dikelola oleh Dewan Da’wah, diantaranya adalah : TKIT, SDIT Menara Dakwah, Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah M. Natsir. Sedangkan untuk mengatasi kekurangan tenaga da’wah lapangan dan integrasi umat Dewan Da’wah membuat Program Kaderisasi Ulama, yang pesertanya diambil dari berbagai lembaga da’wah yang ada. Sedangkan untuk pendidikan yang sifatnya keterampilan di dirikan Balai Latihan Kerja (Tambun) di kawasan industry dan juga LTQ (Lembaga Tilawatil Qur’an).

Wallahu a’lam bi shawab
Daftar Pustaka :

AD/ART Dewan Da’wah, PT. Abadi Jakarta 2007, Cet. 1
Deliar Noer, Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa, Mizan 1996, cet. Pertama
- - - - - - - - , Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, Mizan 2001
Endang Saifuddin Anshari & M.Amin Rais (Penyunting), Pak Natsir 80 tahun: Buku Pertama Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, Media Da’wah 1988
Khittah Da’wah, Pent. Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, tahun 20007, cet III
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Mizan Bandung 1998, cet. VIII
Laporan Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah M.Natsit pada MUBES III Dewan Da’wah Islamiyah Indonesi 1426H/ 2005
Laporan Tahunan Dewan Da’wah 2009
Lukman Hakiem, 70 thn H.Buchari Tamam; Menjawab Panggilan Risalah,
Lukman Hakim, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan; Biografi DR. Anwar Haryono,
Majalah Pesantren No.4/Vo.IV/1978
Media Da’wah, 1992,
Media Da’wah, 1993,
Menunaikan Panggilan Risalah; 30 Tahun Dewan Da’wah
Nurbowo, Biodakwah Husein Umar Penerus Jejak M.Natsir, Teras 2007, cet. 1
TEMPO, 2 Desember 1989
Wawancara dengan Ust.Ahmad Abdurrahman pada hari Jum’at tanggal 14 Mei 2010