Rabu, 11 Agustus 2010

WASPADA TERHADAP TAFSIR ESQ

TARSIR SUARA HATI ( Membongkar kesesatan Tafsir ESQ )

Ahmad Alim, MA

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Ary menggunakan ayat ini sebagai landasan terhadap adanya got spot yang bisa dirasakan melalui value lewat suara hati. Sebenarnya, kalau kita mau merujuk pada penafsiran Ulama salaf, maksud dari ayat tersebut adalah menjelaskan tentang fitrah , bukan got spot. Fitrah menurut Ibn Hajar sebagaimana terdapat dalam riwayat Ikrimah, dan dinukil juga oleh At-Thabari, bahwa yang dimaksud fitrah di sini adalah Islam. Menurut Abu Bakar Al-Jazairi, yang dimaksud fitrah di sini adalah iman. As Sa’di menguatkan , yang dimaksud fitrah di sini adalah cinta kebenaran ( mahabah al-Haq ) dan mendahulukan yang benar ( isar al-Haq ). Sekilas, setelah kita melihat dua perbandingan penafsiran antara Ary dan Ulama Ahli Tafsir , maka jelas bahwa penafsiran Ary hanya berdasarkan angan-angan kosong saja, tidak memiliki dasar pijakan yang jelas, ditambah lagi dia bukanlah ahli dalam bidang ini dan tidak memiliki otoritas di dalamnya, sehingga fakta penafsiran ESQ selalu dilarikan ke Suara hati.
Kalau kita teliti mengamat, ternyata suara hati inilah yang menjadi nyawa bagi ESQ. Ary mengatakan : “ tujuan dari penulisan buku ini adalah sebagai pemandu dalam pengembaraan suara hati serta mengajak anda menelusuri keindahan relung-relung hati ( inner journey ) sekaligus membangun ESQ”. Tidak hanya itu, kekaguman Ary terhadap konsep suara hati ini, telah mewarisi bias dalam pemahamannya terhadap sejarah Rasulallah saw, sehingga ia mengira keberhasilan beliau dalam memimpin umat disebabkan oleh bimbingan suara hati. Ary menegaskan : “ Ia berhasil memimpin dunia dengan suara hatinya, dan diikuti pula oleh suara hati pengikutnya. Ia bukan hanya memimpin manusia,Ia adalah pemimpin segenap hati manusia, Ia adalah pemimpin abadi”. Dalam hal ini, Ary telah lupa bahwa keberhasilan kepemimpinan Rasulallah adalah faktor bimbingan wahyu, bukan suara hati. Suara hati hanyalah wadah, yang kemudian dituntun wahyu sehingga terarah menuju keberhasilan tersebut. Berlebihan Ary dalam memahami konsep suara hati yang terkesan berlebihan, telah menyeretnya pada pembauran istilah, diantaranya istilah “ zakat suara hati”. Ary mengatakan : “ Fitrah manusia berupa suara hati Ilahiyyah pada God Spot harus dizakatkan/dikeluarkan dalam bentuk action, dan tidak hanya disimpan di dasar hati dalam bentuk values saja.
ESQ selalu menekanan konsep ‘suara hati’ sebagai rujukan utama dalam menentukan segala hal. Ary menulis : “ Suara hati itulah yang harusnya dijadikan pusat prinsip yang mampu memberi rasa aman, pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan. Ary juga menganggap suara hati sebagai sumber utama kebenaran, berikut ungkapnya: “Pergunakanlah suara hati anda yang terdalam sebagai sumber kebenaran, yang merupakan karunia Tuhan”. Lebih lanjut ia mengatakan: “….,Dan yang terpenting adalah legitimasi suara hati anda sendiri, sebagai nara sumber kebenaran sejati”. Untuk melegitimasi pendapatnya, ary juga banyak bersandar pada pendapat-pendapat tokoh barat yang tidak jelas aqidahnya, diantaranya adalah pendapat Robert K Cooper, Ia mengatakan : “ Hati mengaktifan nilai-nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yag kita jalani. Hati mampu mengetahui hal-hal mana yang tidak boleh, atau tidak dapat diketahui oleh pikiran kita. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas serta komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita untuk melakukan pembelajaran , menciptakan kerjasama, memimpin serta melayani”.
Ary juga mengutip pendapat Stephen R covey yang mengatakan : “ di sinilah anda berurusan dengan visi dan nilai anda. Di sinilah anda gunakan anugerah anda – kesadaran diri (self awareness )-untu memeriksa peta diri anda, dan jika anda menghargai prinsip yang benar, maka paradigm anda sesungguhnya berdasarkan pada prinsip dan kenyataan dimana suara hati perperan sebagai kompasnya”. Bahkan Ary juga menukil pendapat John Stuart Mill tokoh pendukung fanatik rasionalitas, Ia mengatakan : “ Kebenaran yang berasal dari hati nurani merupakan kebenaran yang dijadikan acuan bagi semua kebenaran lain”.
Suara hati yang diagungkan Ary ada kemiripan dengan suara hati dalam devinisi kaum sufi, hanya saja mereka lebih sering menggunakan istilah Dzauq (rasa hati). Dzauq ini oleh kaum sufi digunakan untuk membedakan mana yang haq dan mana yang batil, tanpa merujuk terlebih dahulu pada Nash . kalau suara hati dijadikan sebagai rujukan kebenaran , maka yang terjadi adalah bukan kebenaran yang akan didapatkan , akan tetapi penyimpangan-penyimpangan dalam syari’at akan bertambah semakin banyak. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Ustaimin pernah ditanya tentang satu masalah, yaitu : seseorang yang masih awam terhadap agama, kemudian ketika dihadapkan suatu masalah dia berdalih dengan hadist “ mintalah fatwa hatimu “ , dan jika orang lain menegurnya agar meminta fatwa kepada orang yang lebih Alim, Ia menjawab, setiap manusia tergantung niatnya”. Bagaimana pendapat Syaikh ?, kemudian Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Ustaimin menjawab : “ dalam hal ini tidak dibenarkan, seharusnya bagi orang yang tidak tahu hendaklah Ia belajar, dan bagi orang yang jahil hendaknya bertanya kepada orang Alim, adapun hadist ini oleh Rasulallah SAW ditujukan kepada sahabat yang hatinya bersih yang tidak tercampur dengan bid’ah dan hawanafsu. Jika seandainya setiap orang salah faham dengan hadist ini, tentu akan bermunculan madzhab baru, agama baru, dan ahlu bid’ah akan mengira bahwa mereka di atas kebenaran, karena telah minta fatwa hati mereka. Maka dari itu, wajib bagi setiap muslim untuk bertanya atas urusan agamanya, dan haram berkata atas Allah dan Rasulnya tanpa ilmu , demikian juga haram menafsirkan ayat atau hadist yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah an rasulnya.