Ditulis Oleh DR. KH.Ahmad Zain An-Najah,Lc, M.A
Ushul Fiqh adalah : “ Ilmu yang membahas tentang dalil- dalil fiqh secara global, tentang metodologi penggunaannya serta membahas tentang kondisi orang-orang yang menggunakannya . “
Apa hubungan pengertian ushul fiqh di atas dengan masalah kontemporer ? Paling tidak ada enam hal yang bisa diungkapkan di sini :
1/ Ushul Fiqh sebagai model percontohan untuk melakukan riset ilmiyah .
Seseorang yang ingin memproduksi sebuah hukum syare’at, diharuskan terlebih dahulu menentukan reverensi yang ingin digunakannya. Kemudian mengolah reverensi tersebut sesuai dengan standar ilmiyah yang telah ditentukan oleh para ulama, hal itu untuk memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan tidak akan melenceng dari koridor syareat.
Begitu juga seorang yang ingin melakukan riset ilmiyah, diharuskan untuk menentukan dahulu reverensi yang ingin digunakannya, dan obyek yang ingin diteliti, dan apakah sumber dan obyek tersebut valid atau tidak ? Setelah itu dia harus mengolahnya secara ilmiyah dan jujur sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, sehingga hasil dari penelitian itu bisa dipastikan tidak melenceng dari koridor ilmiyah.
2/ Ushul Fiqh sebagai model percontohan untuk melakukan dialoq yang sistimatis dan bermutu.
Hal ini kita dapatkan di dalam pembahasan Qiyas dan etika dialoq yang tersusun di dalamnya dengan rapi. Dalam etika dialoq tersebut, tidak sembarang orang bisa mengeluarkan produksi hukum kecuali harus tunduk dengan teeori-teori yang telah ditetapkan di dalam Qiyas. Produk hukum yang telah dihasilkan melalui proses Qiyas tersebut, memungkinkan untuk dikritisi kembali dengan tata cara dan sisitimatis yang telah ditentukan para ulama. Intinya : tidak sembarang orang ngomong dan tidak sembarang orang mengritik omongan tersebut. Tapi semuanya dibungkus dengan ‘ bingkai yang sarat dengan ilmu ‘
3/ Ushul Fiqh dan Masalah Sosial.
Ushul Fiqh, bukan sekedar teori yang ngawang-ngawang di langit , bukan seperti orang yang hidup dimenara gading, jauh dari hiruk pikuk masyarakat dengan segala problematikanya. Ushul Fiqh adalah ilmu yang menyatu dengan masyarakat, berbaur dengan segala problematikanya, bahkan menawarkan ribuan, atau mungkin jutaan solusi yang sangat strategis dan relevan. Bagaimana tidak ? coba tengok umpamanya di dalam Bab : “ Dalil –dalil yang masih diperdebatkan “ kita temui dalil “ Al Urfu ‘ ( Adat istiadat atau kebiasaan ) di dalam suatu masyarakat. Ushul Fiqh adalah ilmu yang menghargai karya dan budaya masyarakat selama masih dalam koridor syareat.
4/ Ushul Fiqh dan Kemaslahatan Umat .
“ Masholih Mursalah “ adalah salah satu bab di dalam Ushul Fiqh yang membahas hal- hal yang berhubungan dengan kemaslahatan kehidupan manusia. Tidak berlebihan, kalau kita katakan bahwa tidak ada satupun fenomena kehidupan manusia yang lepas dari kontrol Ushul Fiqh. Mungkin kalau hanya ada satu bab ini saja dalam Ushul Fiqh, niscaya sudah cukup untuk memberikan kontribusi di dalam menciptakan maslahat kehidupan manusia.
5/ Ushul Fiqh dan Pandangan Masa Depan
Hal lain yang menarik dalam ilmu Ushul Fiqh adalah kemampuannya untuk memprediksi tentang masa depan, atau memperkirakan hal-hal yang akan terjadi, mempersiapkan sesuatu sebelum terjadi, mennyediakan payung sebelum turun hujan. Selanjutnya menentukan hukum ‘ preventif “ untuk jaga-jaga sebelum datangnya bencana dengan cara menutup semua jalan yang menuju ‘ kerusakan “ . Proses semacam ini di dalam Ilmu Ushul Fiqh terkenal dengan sebutan “ Sadd Al- Dzarai’ “ . Sebuah proses pengambilan hukum yang menekankan pandangan ke depan.
6. Ushul Fiqh dan penghargaan terhadap ilmu dan ulama.
Kalau di dalam ranah politik, demokrasi yang selama ini dijadikan favorit para politikus sebagai alternatif solusi terhadap berbagai problematika bangsa… walaupun kenyataanya tidak lebih dari sebuah utopia yang tidak pernah dan tidak akan terwujud…demokrasi yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai ratu adil yang tidak pernah adil..salah satu kelemahannya adalah karena tidak pernah menghargai ilmu dan ulama. Iya.. sistem yang terbukti telah menyengsarakan banyak orang ini menyamakan orang-orang berilmu dengan orang-orang yang bodoh. Seorang Profesor yang belajar puluhan tahun lamanya, sehingga rambutnya rontok dan kepalanya menjadi botak disamakan suaranya dengan seorang pelacur dan pemabuk yang perkerjaannya hanya bersenang-senang mengumbar syahwat. Pandangan seperti ini, tidak akan didapat di dalam ilmu Ushul Fiqh. Para ulama, khususnya para fuqaha, yaitu orang-orang yang konsen di dalam proses pengambil hukum telah dihargai dengan penghargaan yang setinggi-tingginya. Hal ini terlihat secara gamblang di dalam “ Konsensus Para Ulama “ yang mempunyai otoritas tinggi dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun juga. Bahkan karena daya tawarnya yang begitu tinggi, oleh sementara kalangan diletakkan di atas teks-teks Al Qur’an dan Hadist yang keduanya masih sarat dengan penafsiran ( Dhanniyat Al Dalalat ) . Ini semua tidak berlaku bagi kelompok lain, yang tidak mempunyai keahlian di dalam merumuskan hukum, walaupun kelompok tersebut adalah kumpulan profesor dari segala bidang ilmu. Ini yang professor….bagaimana orang –orang awam yang tidak pernah belajar ilmu agama.
Sabtu, 18 Desember 2010
Sekilas Tentang Revisi Ushul Fiqh
Ditulis Oleh DR.KH. Ahmad Zain An-Najah, Lc,M.A
PENGANTAR
Akhir-akhir ini, fenomena pembaharuan mencuat kepermukaan bersamaan dengan bermulanya era reformasi. Reformasi sekarang bukan terbatas pada reformasi pembangunan bangsa dengan memperbaiki ekonomi, kebudayaan, dan sosial saja, akan tetapi meluas dan menembus peradaban dan agama.
Berhubung dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, dan terjadinya gesekan peradaban yang menglobal, khususnya pada era globalisasi, tentunya para agamis juga tertuntut untuk memperbaharuhi ajaran agamanya. Agama Islam yang ajarannya tentunya selalu luwes dan up to date dengan perkembangan zaman, yang sementara ini dinilai oleh sebagian kalangan masih bersifat kaku dan jumud.
Di berbagai tempat mulai tumbuh generasi yang mulai sadar akan arti reformasi dan tajdid. Mereka menginginkan pembumian ajaran Islam. Mereka mencoba menerapkan ajaran Islam dalam kontek lokal. Mereka juga berusaha menafsirkan pesan- pesan yang ada dalam Al Quran dan Al Hadits agar sesuai dengan keadaan yang ada.
Usaha- usaha tersebut patut disyukuri, karena sebagai seorang muslim tentunya menginginkan agar ajaran Islam ini mampu menghantarkan bangsa dan umat manusia ini kepada kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi perlu diingat bahwa untuk mencapai sebuah cita-cita dan tujuan, seseorang harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan di tengah-tengah perjalanannya nanti. Dia harus menpersiapkan bekal dan modal, dia harus mempunyai pengetahuan tentang jalan yang dituju , sarana yang mengantarkannya, serta cara menggunakannya, sehingga tujuan yang dicita-citakan selama ini bisa tercapai.
Jadi, modal semangat saja tidak cukup. Tanpa disertai dengan penguasaan ilmu yang mapan, usaha- usaha pembaharuan dan tajdid hanya akan menemui jalan buntu, bahkan sebaliknya, bukan tajdid dan penyegaran yang di dapat, akan tetapi justru kerusakan-lah yang terjadi. Begitu juga seorang dokter, yang ingin melakukan operasi pada pasiennya yang sedang menderita penyakit akut, dia harus mempunyai keahlian dan keilmuan yang matang tentang operasi dan penyakit yang diderita pasien tersebut. Tanpa itu, berarti dia telah bertindak sembrono , karena bisa mengakibatkan melayangnya nyawa pasien tersebut. Jika dokter tersebut mempunyai ilmu dan pengalaman yang mapan dan matang dan telah “ berusaha “ dengan sekuat tenaga dan secara sungguh- sungguh untuk menyelamatkan nyawa pasien, kemudian tiba-tiba berakhir dengan kematian, maka insya Allah, dokter tersebut akan mendapatkan pahala , karena kesungguhannya, walaupun dia tidak berhasil. Lain halnya, jika yang melakukan pembedahan adalah seorang petani, atau sopir taksi yang tidak mengetahui kedokteran dan ilmu bedah sama sekali, maka dia akan berdosa, bahkan mungkin akan dipenjara, karena gegabah dalam bertindak dan tidak mau menyerahkan urusan tersebut kepada para ahlinya.
Begitulah kira-kira permisalan tentang pentingnya ilmu agama. Melakukan pembaharuan agama atau berfatwa tentang agama tanpa mempunyai bekal yang cukup dan tanpa mengindahkan aturan-aturan main yang telah disepakati oleh para ulama, tidak hanya menyebabkan kematian seseorang, tapi lebih dari itu, akan menjerumuskan masyarakat secara keseluruhan ke dalam pemahaman yang keliru dan berakibat fatal.
Ushul Fiqh adalah salah satu ilmu yang sangat diperlukan oleh siapa saja yang mempunyai kepentingan di dalam proses pengambilan hukum dalam Syareat Islam. Seorang pembaharu agama dituntut untuk memahami ilmu ini dengan baik. Para ulama telah meletakkan ilmu Ushul Fiqih ini sebagai bekal untuk menjawab setiap permasalahan yang akan terus mencuat dan berkembang sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Jadi, Ushul Fiqih ini, selain telah mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi pada masa silam dan pada saat ini, juga dipersiapkan untuk generasi masa depan. Ushul Fiqh ini adalah ilmu yang tidak pernah lekang dan rapuh sepanjang masa.
Maka tidak berlebihan jika kita nyatakan bahwa ilmu Ushul Fiqih ini menduduki poros terdepan di dalam gerakan pembaharuan masa kini. Garda terdepan di dalam membela kepentingan umat dalam koridor ajaran agama Islam yang anggun dan penuh dengan rahmat dan berkah ini. Semoga tulisan sederhana ini, bisa dijadikan bekal awal di dalam melakukan reformasi dan pembaharuan di dalam segala bidang dan sektor kehidupan Bangsa dan Negara, karena semua itu tidak bisa terlepas dari ajaran Islam ini, semoga.
ME- REVISI ULANG KAJIAN USHUL FIQH
Kenapa ushul fiqh perlu direvisi kembali ? Ya, karena Ushul Fiqh pertama kali dimunculkan sebagai salah satu bidang keilmuan pada abad kedua Hijriyah. Artinya ilmu ushul fiqh ini sudah berumur 13 abad lamanya.
Kalau kita telusuri perjalan dan perkembangan ushul fiqh dari waktu ke waktu selama 13 abad tersebut, ternyata telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat mendasar, baik dari segi metodolgi penulisan , maupun dari segi materi pembahasan ushul fiqh itu sendiri.
Kita dapati, umpamanya, Imam Syafi’ di dalam ” Ar Risalah ” –nya yang juga dikatagorikan sebagai peletak batu pertama dalam sejarah ushul fiqh, menulis tentang ushul fiqh dengan metodologi yang masih sangat sederhana dan jauh dari sistematis, namun isinya sangat padat dan berbobot. Kemudian buku “Ar Risalah ” yang masih sangat sederhana tersebut dikembangkan oleh ulama Syafi’yah, seperti Imam Haramain ( 478 H ) , Imam Ghozali ( 505 H ) , dan di susun secara lebih sitematis dan apik oleh Imam Fakhru Rozi ( 606 H ) . Kemudian dikembangkan oleh Imam Qarafi ( 687 H ) dari ulama Malikiyah.
Di sisi lain, para ulama Hanafiyah, seperti Abu Mansur Al Maturidi ( 333 H ) , Abu Hasan Al Karkhi ( 340 H ) , Abu Bakar Al Jashos, Al- Dabusi ( 430 H ) Al Bazdawi, As Sarakhsi ( 483 H ) , dan An Nasfi ( 710 H ) telah menyusun ushul Fiqh dengan metodologi tersendiri.
Disamping itu, terdapat beberapa ulama mutakhirin yang menulis ushul fiqh dengan cara menggabungkan dua metodologi di atas, seperti Imam Qarafi, Imam As Subki, Imam Ibnu Qoyim ( 751 H ) , Imam Syatibi, Imam Syaukani dan lain-lainya.
Kemudian pada abad ke 15 H sekarang ini, setelah melalui modifikasi dan perkembangan selama 13 abad lamanya, bermunculan buku- buku ushul fiqh yang metodogi penulisannya menggunakan pendekatan- pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu, atau yang menekankan pada penelitian, atau yang cenderung kepada studi komperatif , ataupun yang cenderung untuk mengambilkan fungsi awal ushul fiqh yang digunakan untuk memahami Al Qur’an dan Hadist.
PENGANTAR
Akhir-akhir ini, fenomena pembaharuan mencuat kepermukaan bersamaan dengan bermulanya era reformasi. Reformasi sekarang bukan terbatas pada reformasi pembangunan bangsa dengan memperbaiki ekonomi, kebudayaan, dan sosial saja, akan tetapi meluas dan menembus peradaban dan agama.
Berhubung dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, dan terjadinya gesekan peradaban yang menglobal, khususnya pada era globalisasi, tentunya para agamis juga tertuntut untuk memperbaharuhi ajaran agamanya. Agama Islam yang ajarannya tentunya selalu luwes dan up to date dengan perkembangan zaman, yang sementara ini dinilai oleh sebagian kalangan masih bersifat kaku dan jumud.
Di berbagai tempat mulai tumbuh generasi yang mulai sadar akan arti reformasi dan tajdid. Mereka menginginkan pembumian ajaran Islam. Mereka mencoba menerapkan ajaran Islam dalam kontek lokal. Mereka juga berusaha menafsirkan pesan- pesan yang ada dalam Al Quran dan Al Hadits agar sesuai dengan keadaan yang ada.
Usaha- usaha tersebut patut disyukuri, karena sebagai seorang muslim tentunya menginginkan agar ajaran Islam ini mampu menghantarkan bangsa dan umat manusia ini kepada kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi perlu diingat bahwa untuk mencapai sebuah cita-cita dan tujuan, seseorang harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan di tengah-tengah perjalanannya nanti. Dia harus menpersiapkan bekal dan modal, dia harus mempunyai pengetahuan tentang jalan yang dituju , sarana yang mengantarkannya, serta cara menggunakannya, sehingga tujuan yang dicita-citakan selama ini bisa tercapai.
Jadi, modal semangat saja tidak cukup. Tanpa disertai dengan penguasaan ilmu yang mapan, usaha- usaha pembaharuan dan tajdid hanya akan menemui jalan buntu, bahkan sebaliknya, bukan tajdid dan penyegaran yang di dapat, akan tetapi justru kerusakan-lah yang terjadi. Begitu juga seorang dokter, yang ingin melakukan operasi pada pasiennya yang sedang menderita penyakit akut, dia harus mempunyai keahlian dan keilmuan yang matang tentang operasi dan penyakit yang diderita pasien tersebut. Tanpa itu, berarti dia telah bertindak sembrono , karena bisa mengakibatkan melayangnya nyawa pasien tersebut. Jika dokter tersebut mempunyai ilmu dan pengalaman yang mapan dan matang dan telah “ berusaha “ dengan sekuat tenaga dan secara sungguh- sungguh untuk menyelamatkan nyawa pasien, kemudian tiba-tiba berakhir dengan kematian, maka insya Allah, dokter tersebut akan mendapatkan pahala , karena kesungguhannya, walaupun dia tidak berhasil. Lain halnya, jika yang melakukan pembedahan adalah seorang petani, atau sopir taksi yang tidak mengetahui kedokteran dan ilmu bedah sama sekali, maka dia akan berdosa, bahkan mungkin akan dipenjara, karena gegabah dalam bertindak dan tidak mau menyerahkan urusan tersebut kepada para ahlinya.
Begitulah kira-kira permisalan tentang pentingnya ilmu agama. Melakukan pembaharuan agama atau berfatwa tentang agama tanpa mempunyai bekal yang cukup dan tanpa mengindahkan aturan-aturan main yang telah disepakati oleh para ulama, tidak hanya menyebabkan kematian seseorang, tapi lebih dari itu, akan menjerumuskan masyarakat secara keseluruhan ke dalam pemahaman yang keliru dan berakibat fatal.
Ushul Fiqh adalah salah satu ilmu yang sangat diperlukan oleh siapa saja yang mempunyai kepentingan di dalam proses pengambilan hukum dalam Syareat Islam. Seorang pembaharu agama dituntut untuk memahami ilmu ini dengan baik. Para ulama telah meletakkan ilmu Ushul Fiqih ini sebagai bekal untuk menjawab setiap permasalahan yang akan terus mencuat dan berkembang sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Jadi, Ushul Fiqih ini, selain telah mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi pada masa silam dan pada saat ini, juga dipersiapkan untuk generasi masa depan. Ushul Fiqh ini adalah ilmu yang tidak pernah lekang dan rapuh sepanjang masa.
Maka tidak berlebihan jika kita nyatakan bahwa ilmu Ushul Fiqih ini menduduki poros terdepan di dalam gerakan pembaharuan masa kini. Garda terdepan di dalam membela kepentingan umat dalam koridor ajaran agama Islam yang anggun dan penuh dengan rahmat dan berkah ini. Semoga tulisan sederhana ini, bisa dijadikan bekal awal di dalam melakukan reformasi dan pembaharuan di dalam segala bidang dan sektor kehidupan Bangsa dan Negara, karena semua itu tidak bisa terlepas dari ajaran Islam ini, semoga.
ME- REVISI ULANG KAJIAN USHUL FIQH
Kenapa ushul fiqh perlu direvisi kembali ? Ya, karena Ushul Fiqh pertama kali dimunculkan sebagai salah satu bidang keilmuan pada abad kedua Hijriyah. Artinya ilmu ushul fiqh ini sudah berumur 13 abad lamanya.
Kalau kita telusuri perjalan dan perkembangan ushul fiqh dari waktu ke waktu selama 13 abad tersebut, ternyata telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat mendasar, baik dari segi metodolgi penulisan , maupun dari segi materi pembahasan ushul fiqh itu sendiri.
Kita dapati, umpamanya, Imam Syafi’ di dalam ” Ar Risalah ” –nya yang juga dikatagorikan sebagai peletak batu pertama dalam sejarah ushul fiqh, menulis tentang ushul fiqh dengan metodologi yang masih sangat sederhana dan jauh dari sistematis, namun isinya sangat padat dan berbobot. Kemudian buku “Ar Risalah ” yang masih sangat sederhana tersebut dikembangkan oleh ulama Syafi’yah, seperti Imam Haramain ( 478 H ) , Imam Ghozali ( 505 H ) , dan di susun secara lebih sitematis dan apik oleh Imam Fakhru Rozi ( 606 H ) . Kemudian dikembangkan oleh Imam Qarafi ( 687 H ) dari ulama Malikiyah.
Di sisi lain, para ulama Hanafiyah, seperti Abu Mansur Al Maturidi ( 333 H ) , Abu Hasan Al Karkhi ( 340 H ) , Abu Bakar Al Jashos, Al- Dabusi ( 430 H ) Al Bazdawi, As Sarakhsi ( 483 H ) , dan An Nasfi ( 710 H ) telah menyusun ushul Fiqh dengan metodologi tersendiri.
Disamping itu, terdapat beberapa ulama mutakhirin yang menulis ushul fiqh dengan cara menggabungkan dua metodologi di atas, seperti Imam Qarafi, Imam As Subki, Imam Ibnu Qoyim ( 751 H ) , Imam Syatibi, Imam Syaukani dan lain-lainya.
Kemudian pada abad ke 15 H sekarang ini, setelah melalui modifikasi dan perkembangan selama 13 abad lamanya, bermunculan buku- buku ushul fiqh yang metodogi penulisannya menggunakan pendekatan- pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu, atau yang menekankan pada penelitian, atau yang cenderung kepada studi komperatif , ataupun yang cenderung untuk mengambilkan fungsi awal ushul fiqh yang digunakan untuk memahami Al Qur’an dan Hadist.
Al- Muwafaqoot dan Imam Syatibi
Ditulis Oleh DR. KH.Ahmad Zain An-Najah, Lc,M.A
Muwafaqoot, karya terbesar Imam Syatibi, merupakan karya ilmiyah dalam bidang ushul fiqh sekaligus salah satu bentuk reformasi ilmiyah syariah secara menyeluruh. Buku ini, bukan hanya menjelaskan dasar- dasar ilmu ushul fiqh dengan metodologi baru yang berlandaskan penelitian penuh ( istiqra’) dari sumber utama Syareah Islamiyah ( Kitab dan Sunnah ) , tapi juga menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami Syareah Islamiyah secara menyeluruh.
Alquran karim yang merupakan pedoman utama umat Islam berisikan pokok-pokok ajaran Islam secara global, kemudian dijelaskan oleh As Sunah. Yang keduanya menggunakan bahasa Arab. Oleh karenanya, bagi siapa saja yang ingin memahami kedua kitab tersebut, harus memahami bahasa Arab.
Syareah Islamiyah yang diturunkan kepada umat manusia bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia supaya lebih baik. Syareah diturunkan ke dunia ini agar terjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia, yang kesemuanya itu merupakan unsur utama kehidupan manusia,. Tanpanya barangkali manusia akan punah. Kelima unsur penting tersebut disebut “ Dhoruriyat Khomsah “ . Syareah juga diturunkan untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia yang kalau tidak disediakan, maka manusia akan hidup dalam keadaan susah dan payah, yang terkenal kemudian dengan “ Hajiyat “ begitu juga diturunkan untuk memperhatikan “ Tahsinaat “ yang menganjurkan makarimul akhlak dan perbuatan baik.
Seluruh pembahasan fiqih, bahkan pembahasan syareah secara keseluruhan tidak akan bisa dilepaskan dari tiga permasalahan diatas. Oleh karenanya, setiap orang Islam diharapkan mampu meletakkan tiga tujuan utama kehidupan itu pada proporsinya masing-masing. Memprioritaskan masalah yang paling penting kemudian yang penting dan kurang penting dan seterusnya. Salah di dalam meletakkan unsur-unsur tadi, merupakan sebuah kegagalan di dalam memahami syareah, sekaligus kegagalan di didalam bertindak.
Oleh karenanya, kalau seseorang hendak mengetahui semua hal itu secara sempurna, tidaklah cukup hanya mengetahui dalil-dalil syareah secara sepihak dan sepenggal, akan tetapi dia harus memahami dalil-dalil syareah tersebut secara menyeluruh dan menjadikan dalil-dalil tersebut satu kesatuan yag tidak dapat dipisah-pisahkan. Allah sendiri telah memberikan isyarat dan pesan seperti ini di dalam salah satu firman-Nya :
“ Wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam Islam secara keseluruhan “ ( QS.Al Baqarah : 208 )
Ini juga di kuatkan dalam ayat lain :
“Apakah engkau beriman kepada sebagian isi kitab dan mengkafiri sebagian yang lain ? “ (QS.Al Baqarah : 85 )
Dari keterangan diatas, bisa dikonklusikan bahwa untuk memahami Syareah Islam ini dibutuhkan dua perangkat yang sangat urgen : pengetahuan tentang bahasa Arab dan pengetahuan tentang tujuan diturunkannya syareah dan penempatan segalanya menurut prioritas yang dimaukan syareah.
Adapun masalah yang pertama , banyak ulama yang telah memperhatikan dan membahasnya , baik itu dalam bentuk kaidah-kaidah bahasa Arab, dalam ilmu Nahwu dan Shorof, maupun dalam bentuk yang lebih mendetail lagi di dalam ilmu ushul fiqh
Akan tetapi sangat di sayangkan, sebagian besar ulama tidak banyak membahas secara lengkap dan sistematis masalah maqhosid ini , selama 3 abad lebih mereka tenggelam di dalam methodologi ushul fiqih yang telah diletakkan oleh para pendahulunya, sehingga datanglah Imam Syatibi pada abad ke 8 , meletakkan batu pertama dalam masalah ini.
Memang - harus di akui- bahwa pembahasan maqhosid sendiri sebetulnya telah disentuh, walau sekilas, oleh sebagian ulama, seperti Imam Tirmidzi di dalam bukunya “ As -Sholat wa Maqhoshiduha”, Abu Manshur Al Maturudy di dalam “ Ma’khod Syarai’ “, Abu Bakar Qoffal As- Syasyi di dalam “ Mahasin Syareah “ , Al Baqilani di dalam “ Ahkam wa ‘ilal “, Al Qhodhi Husain di dalam “ Asror Fiqih” nya, Imam Haromain di dalam “ Burhan “ , dan generasi sesudahnya seperti Imam Ghozali, Fakhruddin Ar Rozi, Saifuddin Al Amidi, Ibnu Hajib, Isnawi, dan Ibnu Subki.
Selain ulama ushul di atas, terdapat ulama-ulama muhaqiqun yang sebenarnya lebih banyak perhatiannya kepada masalah maqhosid dari pada mereka, yang karya- karya mereka justru pada akhir- akhir ini dijadikan rujukan dan reverensi utama oleh banyak ulama kontemporer di dalam banyak karyanya, mereka itu adalah : Izuddin Abdus Salam dengan bukunya “ Qowaid Ahkam fi Masholih Al anam”, dan muridnya “ Syihabuddin Al Qorrofi “ di dalam “ Al furuq “, begitu juga Ibnu Taimiyah di dalam “ Majmu’ Fatawa “ dan muridnya Ibnu Qoyyim di dalam “ I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil Alamin “.
Dari situ, kita mengetahui betapa pentingnya buku ini bagi siapa saja yang ingin memahami Syreat Islamiyah secara benar.
Muwafaqot adalah nama asli dari karya Imam Syatibi ini, tetapi beberapa ulama dan muhakikin menambahkannya dengan “ Muwafaqot fi Ushul Syareah’ seperti yang ditulis Syekh Daraz, juga “ Muwaqot fi Ushul Ahkam” sebagaimana ditulis oleh Muhyidin Abdul Hamid
Tentang Isi Buku Muwafaqat
Adapun buku muwafaqot sendiri terdiri dari 5 bagian yang dibagi menjadi 4 buku dan dijadikan 2 jilid
I / Pembukaan
Pembukaan ini terdiri dari 13 kaidah dan 5 pasal berisikan tentang pembahasan dasar-dasar ilmu ushul fiqh, sebagai pengantar menuju substansi yang sebenarnya. Diantaranya :
1. Bahwa masalah-masalah di dalam ushul fiqih semuanya berdasarkan dalil-dalil qoth’i, tidak dhonni, karena berdasarkan masalah- masalah kuliyat, yang tak terbantahkan ( yaitu : Dhoruriyat, Hajiyat dan Tahsinat ). Sebagaimana Ijma’ merupakan dalil qhot’I, walaupun ijma’ itu sendiri pada hakekatnya kumpulan dari perorangan yang mungkin kalau berdiri sendiri akan lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran syar’i.
2. Dalil-dalil aqli di dalam masalah ushul tidak digunakan kecuali digabungkan dengan dalil naqli.
3. Setiap dasar syareah yang belum ada nash akan tetapi sesuai dengan ruh syareah, maka dasar tersebut itu boleh dipakai.
4. Semua permasalahan yang diletakkan didalam ushul fikih, tetapi tidak bisa dijadikan dasar untuk menjabarkan fikih, maka peletakkannya adalah hanya membuang energi dan tidak banyak manfaatnya. ( seperti masalah mubah apakah taklif atau tidak dan masalah siapa yang meletakkan bahasa pertama kali ).
5. Sebagaimana diterangkan juga bahwa menyibukkan diri di dalam banyak teori ilmu secara umum tanpa ada kaitannya dengan amal perbuatan, itupun tidak banyak manfaatnya dan bertentangan dengan maksud diturunkannya syareat itu sendiri.
6. Dan lain-lainnya .
II / Kitab Ahkam ,
Kitab ini terdiri dari : Ahkam Taklifiyah dan Wadh’iyah.
III / Kitab Maqhosid
Di dalam kitab ini dijelaskan secara terperinci bahwa Syare’ah Islamiyah ini diturunkan kepada manusia semata-mata untuk kesejahteraan mereka. Karena berisikan kaidah-kaidah umum tentang kehidupan manusia, peraturan dan batas-batas yang semua manusia wajib mentaatinya dan melaksanakannya agar kehidupan mereka teratur, tertib dan aman. Sekilas nampaknya ajaran- ajaran di dalam agama Islam memberatkan dan mengikat kebebasan manusia. Tapi sebenarnya yang konsisten dengan ajarannya justru orang yang paling bebas dan paling tenang, karena seluruh ajarannya baik yang kecil maupun yang besar mengandung maslahah bagi manusia itu sendiri, walau dia tidak menyadarinya. Sebaliknya, yang keluar dan tidak mentaati aturan –aturan didalamnya, akan terikat dan terbeleggu dengan nafsunya, yang walau kelihatannya enak dan menyenangkan tetapi pada hakekatnya adalah kerugian dan madhorot.
Orang yang paling mengetahui maslahat dan mafasid pada suatu kasus adalah para ulama yang telah menguasai ilmu syareah dan mengetahui betul hikmah dibalik hukum-hukum yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Islam. Diantaranya :
1. Bahwa untuk menjaga syareat ini secara keseluruhan, maka unsur-unsur di dalamnya harus dijaga walau sekecil apapun. Karena kuliyat dan juziat di dalam ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
2. Begitu juga bahwa Syareat Islamiyah ini diturunkan dalam bahasa Arab .
3. Sengaja di pilih bahasa Arab , karena hanya bahasa Arab saja yang mempunyai “ma’na tab’I “ ( makna tersirat ) yang paling mendetail di dalam susunan kata- katanya. Dan itu tidak dimiliki bahasa- bahasa lainnya. Oleh karenanya, tidak dibolehkan, bahkan tidak akan bisa menerjemahkan Alquran secara letterligh ke dalam bahasa lain. Yang bisa (dan dibolehkan hanyalah menafsirkan kandungan Al quran secara global.
4. Alquran – walaupun berbahasa Arab- akan tetapi diturunkan kepada umat umiyyin ( yang tidak pandai membaca dan menulis ), oleh karenanya hendaknya cara memahami Al Quran harus di sesuaikan dengan pemahaman mereka. Maksudnya tidak bertele-tele di dalam membahas sebuah lafadh, tapi cukup mengetahui maksud dari kalimat tersebut. Dan inilah rahasia kenapa Al Quran diturunkan dengan tujuh huruf. Oleh karena itu, Umar bin Khottob ketika ditanya tentang arti “ abba “ dalam ayat ( wafaakihata wa abba) beliau menjawab : kita tidak diperintahkan untuk bertele-tele seperti itu. Bahkan beliau menghukum seorang yang bernama Dhobii’ , karena selalu menanyakan makna ( walmursalaati ) dan ( wal ashifat ) .
5. Begitu juga di dalam memahami masalah aqidah, termasuk di dalamnya ayat-ayat sifat dan mutasyabihat, cukup dipahaminya secara umum tanpa tenggelam di dalam masalah-masalah yang pelik.
6. Dalam furu’ yang berhubungan dengan ibadah amaliyah, Alquran meletakkan kaidah-kaidah yang bisa dipahami orang awam, seperti tanda untuk mengetahui datangnya waktu-waktu sholat, puasa dengan tenggelamnya matahari atau terbitnya bulan.
Muwafaqoot, karya terbesar Imam Syatibi, merupakan karya ilmiyah dalam bidang ushul fiqh sekaligus salah satu bentuk reformasi ilmiyah syariah secara menyeluruh. Buku ini, bukan hanya menjelaskan dasar- dasar ilmu ushul fiqh dengan metodologi baru yang berlandaskan penelitian penuh ( istiqra’) dari sumber utama Syareah Islamiyah ( Kitab dan Sunnah ) , tapi juga menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami Syareah Islamiyah secara menyeluruh.
Alquran karim yang merupakan pedoman utama umat Islam berisikan pokok-pokok ajaran Islam secara global, kemudian dijelaskan oleh As Sunah. Yang keduanya menggunakan bahasa Arab. Oleh karenanya, bagi siapa saja yang ingin memahami kedua kitab tersebut, harus memahami bahasa Arab.
Syareah Islamiyah yang diturunkan kepada umat manusia bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia supaya lebih baik. Syareah diturunkan ke dunia ini agar terjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia, yang kesemuanya itu merupakan unsur utama kehidupan manusia,. Tanpanya barangkali manusia akan punah. Kelima unsur penting tersebut disebut “ Dhoruriyat Khomsah “ . Syareah juga diturunkan untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia yang kalau tidak disediakan, maka manusia akan hidup dalam keadaan susah dan payah, yang terkenal kemudian dengan “ Hajiyat “ begitu juga diturunkan untuk memperhatikan “ Tahsinaat “ yang menganjurkan makarimul akhlak dan perbuatan baik.
Seluruh pembahasan fiqih, bahkan pembahasan syareah secara keseluruhan tidak akan bisa dilepaskan dari tiga permasalahan diatas. Oleh karenanya, setiap orang Islam diharapkan mampu meletakkan tiga tujuan utama kehidupan itu pada proporsinya masing-masing. Memprioritaskan masalah yang paling penting kemudian yang penting dan kurang penting dan seterusnya. Salah di dalam meletakkan unsur-unsur tadi, merupakan sebuah kegagalan di dalam memahami syareah, sekaligus kegagalan di didalam bertindak.
Oleh karenanya, kalau seseorang hendak mengetahui semua hal itu secara sempurna, tidaklah cukup hanya mengetahui dalil-dalil syareah secara sepihak dan sepenggal, akan tetapi dia harus memahami dalil-dalil syareah tersebut secara menyeluruh dan menjadikan dalil-dalil tersebut satu kesatuan yag tidak dapat dipisah-pisahkan. Allah sendiri telah memberikan isyarat dan pesan seperti ini di dalam salah satu firman-Nya :
“ Wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam Islam secara keseluruhan “ ( QS.Al Baqarah : 208 )
Ini juga di kuatkan dalam ayat lain :
“Apakah engkau beriman kepada sebagian isi kitab dan mengkafiri sebagian yang lain ? “ (QS.Al Baqarah : 85 )
Dari keterangan diatas, bisa dikonklusikan bahwa untuk memahami Syareah Islam ini dibutuhkan dua perangkat yang sangat urgen : pengetahuan tentang bahasa Arab dan pengetahuan tentang tujuan diturunkannya syareah dan penempatan segalanya menurut prioritas yang dimaukan syareah.
Adapun masalah yang pertama , banyak ulama yang telah memperhatikan dan membahasnya , baik itu dalam bentuk kaidah-kaidah bahasa Arab, dalam ilmu Nahwu dan Shorof, maupun dalam bentuk yang lebih mendetail lagi di dalam ilmu ushul fiqh
Akan tetapi sangat di sayangkan, sebagian besar ulama tidak banyak membahas secara lengkap dan sistematis masalah maqhosid ini , selama 3 abad lebih mereka tenggelam di dalam methodologi ushul fiqih yang telah diletakkan oleh para pendahulunya, sehingga datanglah Imam Syatibi pada abad ke 8 , meletakkan batu pertama dalam masalah ini.
Memang - harus di akui- bahwa pembahasan maqhosid sendiri sebetulnya telah disentuh, walau sekilas, oleh sebagian ulama, seperti Imam Tirmidzi di dalam bukunya “ As -Sholat wa Maqhoshiduha”, Abu Manshur Al Maturudy di dalam “ Ma’khod Syarai’ “, Abu Bakar Qoffal As- Syasyi di dalam “ Mahasin Syareah “ , Al Baqilani di dalam “ Ahkam wa ‘ilal “, Al Qhodhi Husain di dalam “ Asror Fiqih” nya, Imam Haromain di dalam “ Burhan “ , dan generasi sesudahnya seperti Imam Ghozali, Fakhruddin Ar Rozi, Saifuddin Al Amidi, Ibnu Hajib, Isnawi, dan Ibnu Subki.
Selain ulama ushul di atas, terdapat ulama-ulama muhaqiqun yang sebenarnya lebih banyak perhatiannya kepada masalah maqhosid dari pada mereka, yang karya- karya mereka justru pada akhir- akhir ini dijadikan rujukan dan reverensi utama oleh banyak ulama kontemporer di dalam banyak karyanya, mereka itu adalah : Izuddin Abdus Salam dengan bukunya “ Qowaid Ahkam fi Masholih Al anam”, dan muridnya “ Syihabuddin Al Qorrofi “ di dalam “ Al furuq “, begitu juga Ibnu Taimiyah di dalam “ Majmu’ Fatawa “ dan muridnya Ibnu Qoyyim di dalam “ I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil Alamin “.
Dari situ, kita mengetahui betapa pentingnya buku ini bagi siapa saja yang ingin memahami Syreat Islamiyah secara benar.
Muwafaqot adalah nama asli dari karya Imam Syatibi ini, tetapi beberapa ulama dan muhakikin menambahkannya dengan “ Muwafaqot fi Ushul Syareah’ seperti yang ditulis Syekh Daraz, juga “ Muwaqot fi Ushul Ahkam” sebagaimana ditulis oleh Muhyidin Abdul Hamid
Tentang Isi Buku Muwafaqat
Adapun buku muwafaqot sendiri terdiri dari 5 bagian yang dibagi menjadi 4 buku dan dijadikan 2 jilid
I / Pembukaan
Pembukaan ini terdiri dari 13 kaidah dan 5 pasal berisikan tentang pembahasan dasar-dasar ilmu ushul fiqh, sebagai pengantar menuju substansi yang sebenarnya. Diantaranya :
1. Bahwa masalah-masalah di dalam ushul fiqih semuanya berdasarkan dalil-dalil qoth’i, tidak dhonni, karena berdasarkan masalah- masalah kuliyat, yang tak terbantahkan ( yaitu : Dhoruriyat, Hajiyat dan Tahsinat ). Sebagaimana Ijma’ merupakan dalil qhot’I, walaupun ijma’ itu sendiri pada hakekatnya kumpulan dari perorangan yang mungkin kalau berdiri sendiri akan lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran syar’i.
2. Dalil-dalil aqli di dalam masalah ushul tidak digunakan kecuali digabungkan dengan dalil naqli.
3. Setiap dasar syareah yang belum ada nash akan tetapi sesuai dengan ruh syareah, maka dasar tersebut itu boleh dipakai.
4. Semua permasalahan yang diletakkan didalam ushul fikih, tetapi tidak bisa dijadikan dasar untuk menjabarkan fikih, maka peletakkannya adalah hanya membuang energi dan tidak banyak manfaatnya. ( seperti masalah mubah apakah taklif atau tidak dan masalah siapa yang meletakkan bahasa pertama kali ).
5. Sebagaimana diterangkan juga bahwa menyibukkan diri di dalam banyak teori ilmu secara umum tanpa ada kaitannya dengan amal perbuatan, itupun tidak banyak manfaatnya dan bertentangan dengan maksud diturunkannya syareat itu sendiri.
6. Dan lain-lainnya .
II / Kitab Ahkam ,
Kitab ini terdiri dari : Ahkam Taklifiyah dan Wadh’iyah.
III / Kitab Maqhosid
Di dalam kitab ini dijelaskan secara terperinci bahwa Syare’ah Islamiyah ini diturunkan kepada manusia semata-mata untuk kesejahteraan mereka. Karena berisikan kaidah-kaidah umum tentang kehidupan manusia, peraturan dan batas-batas yang semua manusia wajib mentaatinya dan melaksanakannya agar kehidupan mereka teratur, tertib dan aman. Sekilas nampaknya ajaran- ajaran di dalam agama Islam memberatkan dan mengikat kebebasan manusia. Tapi sebenarnya yang konsisten dengan ajarannya justru orang yang paling bebas dan paling tenang, karena seluruh ajarannya baik yang kecil maupun yang besar mengandung maslahah bagi manusia itu sendiri, walau dia tidak menyadarinya. Sebaliknya, yang keluar dan tidak mentaati aturan –aturan didalamnya, akan terikat dan terbeleggu dengan nafsunya, yang walau kelihatannya enak dan menyenangkan tetapi pada hakekatnya adalah kerugian dan madhorot.
Orang yang paling mengetahui maslahat dan mafasid pada suatu kasus adalah para ulama yang telah menguasai ilmu syareah dan mengetahui betul hikmah dibalik hukum-hukum yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Islam. Diantaranya :
1. Bahwa untuk menjaga syareat ini secara keseluruhan, maka unsur-unsur di dalamnya harus dijaga walau sekecil apapun. Karena kuliyat dan juziat di dalam ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
2. Begitu juga bahwa Syareat Islamiyah ini diturunkan dalam bahasa Arab .
3. Sengaja di pilih bahasa Arab , karena hanya bahasa Arab saja yang mempunyai “ma’na tab’I “ ( makna tersirat ) yang paling mendetail di dalam susunan kata- katanya. Dan itu tidak dimiliki bahasa- bahasa lainnya. Oleh karenanya, tidak dibolehkan, bahkan tidak akan bisa menerjemahkan Alquran secara letterligh ke dalam bahasa lain. Yang bisa (dan dibolehkan hanyalah menafsirkan kandungan Al quran secara global.
4. Alquran – walaupun berbahasa Arab- akan tetapi diturunkan kepada umat umiyyin ( yang tidak pandai membaca dan menulis ), oleh karenanya hendaknya cara memahami Al Quran harus di sesuaikan dengan pemahaman mereka. Maksudnya tidak bertele-tele di dalam membahas sebuah lafadh, tapi cukup mengetahui maksud dari kalimat tersebut. Dan inilah rahasia kenapa Al Quran diturunkan dengan tujuh huruf. Oleh karena itu, Umar bin Khottob ketika ditanya tentang arti “ abba “ dalam ayat ( wafaakihata wa abba) beliau menjawab : kita tidak diperintahkan untuk bertele-tele seperti itu. Bahkan beliau menghukum seorang yang bernama Dhobii’ , karena selalu menanyakan makna ( walmursalaati ) dan ( wal ashifat ) .
5. Begitu juga di dalam memahami masalah aqidah, termasuk di dalamnya ayat-ayat sifat dan mutasyabihat, cukup dipahaminya secara umum tanpa tenggelam di dalam masalah-masalah yang pelik.
6. Dalam furu’ yang berhubungan dengan ibadah amaliyah, Alquran meletakkan kaidah-kaidah yang bisa dipahami orang awam, seperti tanda untuk mengetahui datangnya waktu-waktu sholat, puasa dengan tenggelamnya matahari atau terbitnya bulan.
Pengertian Ushul Fiqh
Ditulis Oleh DR. KH. Ahmad Zain An-Najah, Lc, M.A
Secara sederhana Ushul Fiqh bisa kita artikan : “ Dasar-dasar untuk memahami Fiqh “ .
Adapun rinciannya sebagai berikut :
“ Ushul” berasal dari kata “ Ashlun “ yang berarti : dasar, pondasi atau akar.
Allah swt berfirman :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء
“ Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. “ ( Qs Ibrahim : 24 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa pembagian suatu masalah , atau suatu ilmu menjadi : Ashlun ( Dasar ) dan Far’un ( Cabang ) , mempunyai landasan dari Al Qur’an.
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai dasar-dasar ilmu yang kuat , atau menguasai dasar-dasar ilmu, niscaya dia akan bisa menguasai cabang-cabangnya juga, dan hal tersebut berlaku sebaliknya juga . Ada sebuah ungkapan :
من حرم الأصول حرم الوصول
« Barang siapa yang tidak bisa menguasai dasar-dasar suatu ilmu, tentunya dia tidak akan bisa menguasai cabang-cabangnya . «
Sedangkan Fiqh berarti pemahaman .
Allah berfirman :
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
« dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku
supaya mereka memahami perkataanku « ( Qs Toha : 27-28 )
Allah juga berfirman :
وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
“ Tetapi kamu sekalian tidak memahami tasbih mereka. “ ( QS. Al Isra’ : 44 )
Allah juga berfirman :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُواْ بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ وَهُوَ الَّذِيَ أَنشَأَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ فَمُسْتَقَرٌّ وَمُسْتَوْدَعٌ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَفْقَهُونَ
“ Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang memahami.” ( Qs Al An’am : 97-98 )
Dalam dua ayat di atas Allah membedakan antara “ Al-Ilmu “ dan “ Al Fiqh“ . Untuk mengetahui tentang penciptaan manusia, kita harus membutuhkan pemahaman yang ekstra dan ketekunan yang luar biasa, karena seluk beluk tentang manusia sangatlah rumit, tidak bisa memahaminya kecuali orang-orang tertentu. Berbeda dengan pegetahuan tentang bintang-bintang di langit, mayoritas pelayar dan orang yang sering mengadakan perjalan sering menjadikan bintang-bintang di atas kangit tersebut, sebagai acuan di dalam menentukan arah, jadi tidak perlu pemahaman yang mendetail.
Allah swt berfirman :
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا
“ maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat () ; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu . “ ( QsAl Anbiya’ : 79 )
Di sini Allah juga membedakan antara “ Al Fahmu “ dengan “ Al Ilmu “. Nabi Daud dan Nabi Sulaiman masing-masing diberikan kepadanya ilmu dan hikmah, akan tetapi Nabi Sulaiman mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh Nabi Daud yaitu Al Fahmu. Adapun “ Al Fahmu “ di dalam ayat ini adalah pemahaman tentang hukum yang sangat mendetail, ini sesuai dengan sebab turunnya ayat seperti yang disebutkan Ibnu Abbas. Al Fahmu di sini juga bisa berarti Firasat yang benar.
Adapun pengertian Ilmu Fiqh itu sendiri ( arti Fiqh secara istilah keilmuan ) adalah : “ Ilmu yang mempelajari ( Pengetahuan tentang ) Hukum-hukum Syare’ah yang terkait dengan praktek ibadah dengan dalil-dalil yang terperinci . “
Ilmu Fiqh ini bukan ilmu yang pasti, karena pengetahuan tentang hukum-hukum syare’ah ada yang bersifat pasti dan ada yang bersifat praduga. Seorang ahli fiqh di dalam menentukan hukum pada suatu masalah , kemungkinan bisa salah. Oleh karenanya, sebagian ulama di dalam menyebutkan pengertian Ilmu Fiqh , mereka menggunakan kata “ Ma’rifat “ bukan dengan “ Ilmu “ . Adapun perbedaaan Ma’rifat dengan Ilmu adalah sebagai berikut :
1. Ma’rifat mencakup sesuatu yang bersifat pasti dan yang bersifat praduga. Sedang Ilmu bersifat pasti.
2. Ma’rifat biasanya digunakan untuk hal-hal yang bisa diraba dan dirasakan , sedang Ilmu biasanya digunakan untuk sesuatu yang bisa dicerna dan dipikirkan.
ya, Allah mempunyai sifat “ ‘Alim “ , bukan “ ‘Arif “ , walaupun kedua- duanya berarti mengetahui , tetapi secara rinci terjadi perbedaan sebagaimana yang diterangkan di atas.
3. ( Hukum-hMa’rifat adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tersembunyi baginya, sedangkan Ilmu tidaklah demikian.
Oleh karenanukum Syare’ah )
Ilmu Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum yang diambil dari Syareah Islam, bukan dari akal maupun kebiasaan.
Dari sini hukum terbagi menjadi tiga macam :
1. Hukum Syar’I : Hukum yang diambil dari Syareah Islam
2. Hukum ‘Aqly : Hukum yang berdasarkan akal , seperti 1+1 = 2
3. Hukum ‘Ady : Hukum yang beradasarkan kebiasaan, seperti : kepala akan terasa sakit kalau dipukul dengan palu.
( yang terkait dengan praktek ibadah )
Yang dipelajari di dalam Ilmu Fiqh adalah hukum yang terkait dengan praktek Ibadah, seperti kewajiban melakukan sholat 5 waktu. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan keyakinan, seperti kewajiban beriman kepada Allah swt tidak dibahas di dalam Ilmu Fiqh.
Bagaimana dengan sebagian ulama yang memasukkan masalah keyakinan dan aqidah ke dalam katagori Fiqh ? Jawabannya bahwa hal itu ditinjau dari segi bahasa , oleh karenanya mereka menyebutnya dengan Fiqh Akbar.
Masalah-masalah Aqidah, Ilmu Tafsir , Ilmu Hadist , Ilmu Bahasa Arab, kesemuanya termasuk di dalam Fiqh secara bahasa. Ini sesuai dengan sabda Rosulullah saw :
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“ Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, niscaya Allah akan memberikan pemahaman baginya tentang agama . “ ( HR Bukhari no 71 , Muslim no : 2354 )
Dan agama mencakup seluruh ilmu-ilmu yang disebut di atas.
Sebagian ulama tidak setuju dengan pembagian Hukum-hukum Syare’ah menjadi : masalah –masalah yang mendasar ( Ushul ) dan masalah-masalah yang tidak mendasar ( Furu’ ) . Masalah-masalah yang mendasar adalah beberapa permasalahan yang jika seorang muslim mengingkarinya, dia menjadi kafir, seperti tidak beriman kepada nabi Muhammad saw. Sedang masalah yang tidak mendasar adalah beberapa permasalahan yang jika seorang muslim mengingkarinya , dia tidak menjadi kafir, seperti kewajiban membaca sholawat dalam tasyahud akhir. ()
Sebenarnya pembagian Hukum-hukum Syare’ah menjadi Ushul ( masalah –masalah yang mendasar ) dan Furu’ ( yang tidak mendasar ) pada hakekatnya mempunyai persamaan dengan pembagian sebagian ulama yang menjadi Al I’tiqadiyah ( masalah-masalahyang terkait dengan keyakinan ) dan Al ‘Amaliyah (yang terkait dengan praktek ibadah) . Masing-masing pembagian tersebut mempunyai beberapa kelemahan , karena praktek ibadahpun tidak bisa dipisahkan dengan masalah keyakinan, sebagaimana masalah-masalah ushul tidak bisa dipisahkan dengan masalah –masalah furu’. Pembagian tersebut sebenarnya hanya untuk mempermudah pemahaman saja .
Secara sederhana Ushul Fiqh bisa kita artikan : “ Dasar-dasar untuk memahami Fiqh “ .
Adapun rinciannya sebagai berikut :
“ Ushul” berasal dari kata “ Ashlun “ yang berarti : dasar, pondasi atau akar.
Allah swt berfirman :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء
“ Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. “ ( Qs Ibrahim : 24 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa pembagian suatu masalah , atau suatu ilmu menjadi : Ashlun ( Dasar ) dan Far’un ( Cabang ) , mempunyai landasan dari Al Qur’an.
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai dasar-dasar ilmu yang kuat , atau menguasai dasar-dasar ilmu, niscaya dia akan bisa menguasai cabang-cabangnya juga, dan hal tersebut berlaku sebaliknya juga . Ada sebuah ungkapan :
من حرم الأصول حرم الوصول
« Barang siapa yang tidak bisa menguasai dasar-dasar suatu ilmu, tentunya dia tidak akan bisa menguasai cabang-cabangnya . «
Sedangkan Fiqh berarti pemahaman .
Allah berfirman :
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
« dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku
supaya mereka memahami perkataanku « ( Qs Toha : 27-28 )
Allah juga berfirman :
وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
“ Tetapi kamu sekalian tidak memahami tasbih mereka. “ ( QS. Al Isra’ : 44 )
Allah juga berfirman :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُواْ بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ وَهُوَ الَّذِيَ أَنشَأَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ فَمُسْتَقَرٌّ وَمُسْتَوْدَعٌ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَفْقَهُونَ
“ Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang memahami.” ( Qs Al An’am : 97-98 )
Dalam dua ayat di atas Allah membedakan antara “ Al-Ilmu “ dan “ Al Fiqh“ . Untuk mengetahui tentang penciptaan manusia, kita harus membutuhkan pemahaman yang ekstra dan ketekunan yang luar biasa, karena seluk beluk tentang manusia sangatlah rumit, tidak bisa memahaminya kecuali orang-orang tertentu. Berbeda dengan pegetahuan tentang bintang-bintang di langit, mayoritas pelayar dan orang yang sering mengadakan perjalan sering menjadikan bintang-bintang di atas kangit tersebut, sebagai acuan di dalam menentukan arah, jadi tidak perlu pemahaman yang mendetail.
Allah swt berfirman :
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا
“ maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat () ; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu . “ ( QsAl Anbiya’ : 79 )
Di sini Allah juga membedakan antara “ Al Fahmu “ dengan “ Al Ilmu “. Nabi Daud dan Nabi Sulaiman masing-masing diberikan kepadanya ilmu dan hikmah, akan tetapi Nabi Sulaiman mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh Nabi Daud yaitu Al Fahmu. Adapun “ Al Fahmu “ di dalam ayat ini adalah pemahaman tentang hukum yang sangat mendetail, ini sesuai dengan sebab turunnya ayat seperti yang disebutkan Ibnu Abbas. Al Fahmu di sini juga bisa berarti Firasat yang benar.
Adapun pengertian Ilmu Fiqh itu sendiri ( arti Fiqh secara istilah keilmuan ) adalah : “ Ilmu yang mempelajari ( Pengetahuan tentang ) Hukum-hukum Syare’ah yang terkait dengan praktek ibadah dengan dalil-dalil yang terperinci . “
Ilmu Fiqh ini bukan ilmu yang pasti, karena pengetahuan tentang hukum-hukum syare’ah ada yang bersifat pasti dan ada yang bersifat praduga. Seorang ahli fiqh di dalam menentukan hukum pada suatu masalah , kemungkinan bisa salah. Oleh karenanya, sebagian ulama di dalam menyebutkan pengertian Ilmu Fiqh , mereka menggunakan kata “ Ma’rifat “ bukan dengan “ Ilmu “ . Adapun perbedaaan Ma’rifat dengan Ilmu adalah sebagai berikut :
1. Ma’rifat mencakup sesuatu yang bersifat pasti dan yang bersifat praduga. Sedang Ilmu bersifat pasti.
2. Ma’rifat biasanya digunakan untuk hal-hal yang bisa diraba dan dirasakan , sedang Ilmu biasanya digunakan untuk sesuatu yang bisa dicerna dan dipikirkan.
ya, Allah mempunyai sifat “ ‘Alim “ , bukan “ ‘Arif “ , walaupun kedua- duanya berarti mengetahui , tetapi secara rinci terjadi perbedaan sebagaimana yang diterangkan di atas.
3. ( Hukum-hMa’rifat adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tersembunyi baginya, sedangkan Ilmu tidaklah demikian.
Oleh karenanukum Syare’ah )
Ilmu Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum yang diambil dari Syareah Islam, bukan dari akal maupun kebiasaan.
Dari sini hukum terbagi menjadi tiga macam :
1. Hukum Syar’I : Hukum yang diambil dari Syareah Islam
2. Hukum ‘Aqly : Hukum yang berdasarkan akal , seperti 1+1 = 2
3. Hukum ‘Ady : Hukum yang beradasarkan kebiasaan, seperti : kepala akan terasa sakit kalau dipukul dengan palu.
( yang terkait dengan praktek ibadah )
Yang dipelajari di dalam Ilmu Fiqh adalah hukum yang terkait dengan praktek Ibadah, seperti kewajiban melakukan sholat 5 waktu. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan keyakinan, seperti kewajiban beriman kepada Allah swt tidak dibahas di dalam Ilmu Fiqh.
Bagaimana dengan sebagian ulama yang memasukkan masalah keyakinan dan aqidah ke dalam katagori Fiqh ? Jawabannya bahwa hal itu ditinjau dari segi bahasa , oleh karenanya mereka menyebutnya dengan Fiqh Akbar.
Masalah-masalah Aqidah, Ilmu Tafsir , Ilmu Hadist , Ilmu Bahasa Arab, kesemuanya termasuk di dalam Fiqh secara bahasa. Ini sesuai dengan sabda Rosulullah saw :
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“ Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, niscaya Allah akan memberikan pemahaman baginya tentang agama . “ ( HR Bukhari no 71 , Muslim no : 2354 )
Dan agama mencakup seluruh ilmu-ilmu yang disebut di atas.
Sebagian ulama tidak setuju dengan pembagian Hukum-hukum Syare’ah menjadi : masalah –masalah yang mendasar ( Ushul ) dan masalah-masalah yang tidak mendasar ( Furu’ ) . Masalah-masalah yang mendasar adalah beberapa permasalahan yang jika seorang muslim mengingkarinya, dia menjadi kafir, seperti tidak beriman kepada nabi Muhammad saw. Sedang masalah yang tidak mendasar adalah beberapa permasalahan yang jika seorang muslim mengingkarinya , dia tidak menjadi kafir, seperti kewajiban membaca sholawat dalam tasyahud akhir. ()
Sebenarnya pembagian Hukum-hukum Syare’ah menjadi Ushul ( masalah –masalah yang mendasar ) dan Furu’ ( yang tidak mendasar ) pada hakekatnya mempunyai persamaan dengan pembagian sebagian ulama yang menjadi Al I’tiqadiyah ( masalah-masalahyang terkait dengan keyakinan ) dan Al ‘Amaliyah (yang terkait dengan praktek ibadah) . Masing-masing pembagian tersebut mempunyai beberapa kelemahan , karena praktek ibadahpun tidak bisa dipisahkan dengan masalah keyakinan, sebagaimana masalah-masalah ushul tidak bisa dipisahkan dengan masalah –masalah furu’. Pembagian tersebut sebenarnya hanya untuk mempermudah pemahaman saja .
Memahami Turast Ushul Fiqh
Oleh : DR.KH.Ahmad Zain An-Najah,Lc, M.A
PENGERTIAN TURAST
Istilah “ Turast “ , sebenarnya belum pernah dikenal oleh kaum muslimin sepanjang sejarah peradaban Islam. Namun ketika tulisan-tulisan orentalis Barat mulai mewarnai dan merasuk ke dalam pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam akhir- akhir ini, saat itu juga istilah “ Turast “ , mulai dikenal luas di kalangan intelektual muslim dan sering hadir dalam koran, majalah dan buku- buku.
Turast menurut pemahaman Barat adalah hasil sebuah peradaban umat masa lampau, yang perlu ditinjau ulang menurut barometer keilmuan kontemporer. Pemahaman tersebut muncul akibat pertarungan antara gereja dan gerakan pembaharuan. Doktrin-doktrin gereja sering kali memasung perkembangan dan gerakan pembaharuan. Selain itu, ajaran-ajran gereja terkesan lambat dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Sehingga, kaum pembaharu memberontak dan ingin lepas dari kungkungan doktrin-doktrin gereja. Mereka mengritik teks-teks Taurat dan Injil, yang nota benenya sudah banyak di manipulasi oleh para pendeta dan pemimpin agama. Dengan pemahaman tersebut, Barat ingin menerapkannya pada seluruh turast yang merupakan peradaban umat manusia. Mereka menerapkan pemahaman tersebut “ Turast “ hasil peradaban Yunani , Fir’aun, India dan Persia. Demikian pula, mereka melakukan hal yang sama, ketika berhadapan dengan apa yang mereka namakan “ Turast “ Islam.
Seperti yang kita ketahui, bahwa peradaban dan kebudayaan Islam serta ajaran- ajarannya sangat berbeda dengan doktrin-doktrin gereja maupun dengan peradaban umat-umat lainnya. Maka, sangatlah tidak tepat jika kita berinteraksi dengan “Turast ” Islam, tetapi menggunakan metodologi yang diadobsi dari ajaran agama lain. Selain itu, mereka ( Barat ) membentuk konspirasi terselubung untuk menghancurkan Islam dari dalam dengan memisahkan kebudayaan Islam pada masa lalu dengan masa sekarang, untuk kemudian digantikannya dengan kebudayaan Barat. Hal itu mereka lakukan, karena mereka mengetahui bahwa “ Turats “ Islam, merupakan dokumentasi sejarah yang dijadikan panduan umat Islam untuk membangun peradabannya yang baru, dikarenakan “Turast” tersebut terkait dengan wahyu langit, yaitu Al Quran dan Hadist.
Sebagai seorang insan muslim akademis, tentunya harus mempunyai sikap yang jelas dan tepat, ketika berinteraksi dengan “ Turast” tersebut. Oleh karenanya, di dalam tulisan ini, perlu disebutkan beberapa point penting yang berhubungan dengan “ Turats Islam “ , diantaranya adalah sebagai berkut :
a. Turats Islam sangat berbeda dengan turast-turast peradaban yang perbah dikenal oleh manusia, karena Turast Islam bersumber pada Al Quran dan Sunnah.
b. Al Quran dan Sunnah tidak termasuk di dalam “ Turast “, sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Barat.
c. Harus dibedakan antara “ Turast” yang bersifat pemikiran, kebudayaan, adat istiadat dan yang bersifat agama.
d. Turats tersebut merupakan karya manusia yang tentunya tidak lepas dari kesalahan, sehingga tidak harus diambil seluruhnya. Sebaliknya pula , tidak boleh dibuang semuanya. Barometer yang dipakai untuk mengukurnya adalah Al Qur’an dan Sunnah.
TURATS USHUL FIQH
Berbicara Turast Ushul Fiqh, kita tidak bisa dilepaskan dari beberapa kenyataan seperti di bawah ini :
a. Pada mulanya Ilmu Ushul Fiqh diletakkkan pertama kali oleh Imam Syafi’I , sebagai sarana untuk memahami teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karenanya, kita dapatkan pembahasan – pembahasan di dalam karya-nya “ Ar Risalah “ ,-walaupun ditulis dengan metodologi yang masih sangat sederhana dan jauh dari sistimatis, namun isinya padat dan berbobot, serta tidak tercampur dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti lmu Kalam, dan pembahasan tentang bahasa yang sangat melebar.
b. Selanjutnya pembahasan Ushul Fiqh yang sangat masih sangat sederhana ini dikembangkan oleh para pengikut Imam Syafi’I dengan metodologi yang lebih luas, yang kemudian dikenal sebagai metodologi “ Al Mutakallimin “ . Beberapa ciri dari metodologi Al Mutakallimin adalah sebagai berikut :
1. Mereka mengembangkan penulisan Ushul Fiqih dengan memasukkan beberapa pembahasan Ilmu Kalam, seperti yang kita dapati di dalam muqaddimah “ Al Mustashfa “ karya Al Ghozali. “
2. Para penulis metodologi ini, kebanyakan adalah tokoh-tokoh Ilmu Kalam, yang diwakili oleh ulama-ulama Asy ‘ariyah seperti Qodhi Al Baqilani dengan bukunya,” At Taqrib wal Irsyad “ , dan Imam Haramain dengan bukunya “ Al Burhan “ dan diwakili juga oleh ulama-ulama Mu’tazilah seperti : Qadhi Abdul Jabar dengan bukunya “ Al Ahdu “ , dan Abul Hasan Al Bashori dengan bukunya “ Al Umdah “ .
3. Dalam penulisan Ilmu Ushul Fiqh, mereka terlalu berlebihan di dalam menggunakan dalil-dalil akal serta banyak tenggelam di dalam perdebatan .
4. Mereka banyak berkutat pada teori-teori belaka, tanpa mengaplikasikannya di dalam masalah-masalah furu’.
c. Di sisi lain, ada sebagian ulama, terutama dari kalangan Madzab Hanafi, yang cenderung menulis buku Ushul Fiqh, dengan menggunakan metodologi yang sering dipakai oleh para ahli fiqh, yang kemudian terkenal dengan metodologi “ Al Fuqaha “
Metodologi Penulisan ini mempunyai beberapa ciri,diantaranya :
1. Terlalu mendetail di dalam membahas masalah-masalah furu’.
2. Mereka meletakkan kaidah-kaidah Ushul Fiqh dengan menyimpulkan dari permasalahan-permasalah fiqih yang ada .
3. Di dalam merumuskan kaidah-kaidah Ushul Fiqh tersebut, mereka banyak terpengaruh dengan kaidah-kaidah Madzhab Hanafi.
Perlu di catat di sini, bahwa sebagian ulama Madzhab Syafi’i cenderung menulis Ilmu Ushul Fiqh dengan metodologi « Al Fuqaha « di atas, diantaranya adalah Al-Zinjani, di dalam bukunya « Takhrij Al Furu’ ’ a la al Ushul dan Isnawi di dalam bukunya « Al Tamhid «
d. Kemudian datanglah generasi berikutnya yang menginginkan perubahan di dalam penulisan Ushul Fiqh. Menurut mereka, bahwa penggabungan dua metodologi di atas, merupakan metodologi yang paling relevan, yang kemudian dikenal dengan metodologi Al Mutakhhirin . Diantara tokoh-tokohnya adalah : Al Qarafi dengan bukunya “ Al Furuq “ , As Syatibi dengan bukunya Al Muwafaqat, Ibnu Qayyim dengan bukunya « I’lam Al Muwaqi’in “ . ( Bisa dilihat secara lebih rinci tentang metodologi penulisan ushul fiqh dari masa-ke masa di dalam lampiran )
Setelah tiga metodologi di atas, masih adakah metodogi baru yang akan muncul di permukaan sebagai metodologi alternatif, paling tidak untuk generasi kita ?
MEREVISI TURAST USHUL FIQH
Kenapa ushul fiqh perlu direvisi kembali ? Ya, karena Turast Ushul Fiqh sudah berumur 13 abad lamanya. Tentunya banyak hal-hal yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman sekarang, baik dari sisi metodologi penulisan, isi dan muatan, bentuk cetakan, serta pemilihan bahasa.
Kalau kita telusuri perjalan dan perkembangan ushul fiqh dari waktu ke waktu selama 13 abad tersebut, ternyata telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat mendasar, baik dari sisi metodologi penulisan , maupun dari sisi materi pembahasan .
Kita dapati perubahan yang sangat menyolok, semenjak Imam Syafi’ kemudian Imam Haramain ( 478 H ) kemudian Imam Ghozali ( 505 H ) , setelah itu Imam Fakhru Rozi ( 606 H ), kemudian dikembangkan oleh Imam Qarafi ( 687 H ) .
Dari Madzhab Hanafi, semenjak Abu Mansur Al Maturidi ( 333 H ) , kemudian Abu Hasan Al Karkhi ( 340 H ) , kemudian Abu Bakar Al Jashos, setelah itu Al- Dabusi ( 430 H ), Al Bazdawi, As Sarakhsi ( 483 H ) , dan terakhir An Nasfi ( 710 H ),masing-maisng telah melakukan perubahan yang cukup berarti dari tulisan-tulisan generasi sebelumnya dan begitu seterusnya, sebagaimana yang telah diterangkan di atas.
Kemudian pada abad ke 15 H sekarang ini, setelah melalui modifikasi dan perkembangan selama 13 abad lamanya, bermunculan buku- buku ushul fiqh yang metodogi penulisannya menggunakan pendekatan- pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu, atau pendekataan yang menekankan pada penelitian, atau pendekatan yang cenderung kepada studi komperatif , ataupun pendekatan yang cenderung untuk mengambilkan fungsi awal ushul fiqh yang digunakan untuk memahami Al Qur’an dan Hadist.
Tentunya, perkembangan – perkembangan tersebut tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Kita sebagai insan akademis dituntut untuk tidak puas dengan apa yang telah dikembangkan oleh para ulama tersebut. Pembaharuan dan reformasi harus berjalan terus. Buku- buku turast yang telah ditulis oleh para pendahulu kita, tidak boleh kita pandang sebagai kitab suci yang tidak meninggalkan satu celah sedikitpun. Sehingga kita meng-agung-agungkan dan mendewakan di luar batas kewajaran serta tidak mau keluar dari apa yang telah ditulis oleh para pendahulu tersebut. Begitu juga sebaliknya, kitapun tidak boleh terlalu meremehkan turats-turast tersebut, dengan berdalih sebuah slogan yang berbunyi ” Haula Rijal wa Nahnu Rijal ” , ( Mereka adalah para tokoh, kita pun para tokoh pada zaman ini ) .
Posisi yang paling tepat adalah pada posisi pertengahan, artinya kita menghormati buku-buku turast tersebut, tetapi dalam satu waktu, kita harus kritis terhadap apa yang ditulis di dalamnya. Kritis dalam artian meninjau ulang kembali metodologi dan sistematis penulisan, kesesuaian materi dengan kondisi saat ini, pengembangan pada contoh –contoh materi , memaksimalkan peran ushul fiqih di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia pada abad ini, dan seterusnya.
Sebab-sebab itulah yang menuntut adanya pembaharuan ushul fiqh. Yaitu dengan membungkus kajian ushul fiqh dengan bingkai dan metodologi yang memihak kepada maslahat kehidupan manusia.
Kalau kita perhatikan, ternyata para ulama pendahulu kita, juga bersikap kritis terhadap karya- karya sebelumnya. Kita dapatkan umpamanya Imam Abu Mudhaffar al- Sam’ani yang meninggal tahun 489 H menulis di dalam bukunya ” Qawati’ al Adilah ” :
” Sepanjang hari saya meneliti karya-karya para ulama dalam bidang ushul fiqh ini, ternyata saya mendapatkan mayoritas dari mereka telah puas dengan menulis ilmu kalam dan untaian kata yang indah , sehingga tidak bisa menyentuh hakikat ushul fiqih yang sesuai dengan kebutuhan fiqh itu sendiri. Dan saya mendapatkan sebagian dari mereka terlalu bertele-tele, sehingga sering keluar dari metodologi para ahli Fiqh dalam banyak masalah, dan cenderung untuk memilih metodologi para ahli kalam yang sebenarnya tidak punya kepentingan dengan Fiqh dan masalah sekitarnya … ”
Hal yang senada juga ditulis oleh Imam Syatibi di dalam ” Muwafaqat” (1/ 42) :
” Setiap masalah yang tertulis di dalam ushul fiqh dan tidak bisa dijadikan sandaran di dalam masalah-masalah fiqh atau adab-adab Islam , atau tidak bisa menopang keduanya, maka penyebutannya di dalam ushul fiqh hanya sia-sia belaka. ”
Dalam buku yang sama ( 1/ 46 ) beliau juga menulis :
” Setiap masalah yang tidak bisa dijadikan dasar untuk beramal, maka menekuninya adalah sebuah perbuatan yang tidak ada dasarnya di dalam Syare’ah. Dan yang saya maksud beramal di sini adalah amal perbuatan hati dan anggota badan. ”
Begitu juga apa yang pernah disinggung oleh Al Isnawi ( 772 H ) bahwa sebagian masalah yang berhubungan dengan bahasa, sebenarnya kurang tepat jika diletakkan pada pembahasan ushul fiqh, bahkan permasalahan tersebut hanya akan menambah ruwet pembahasan di dalam ilmu ushul fiqh. Ibnu Rusyd ( 595 H ) di dalam ” Muhtasar Mustasfa ‘ juga mengungkapkan hal sama.
Prof . Dr. Ali Jum’ah -Mufti Mesir – yang konsen dalam ilmu Ushul Fiqh pernah mengritisi beberapa permasalahan yang muncul di dalam Ilmu Ushul Fiqh, beliau menulis dalam bukunya ( Aliyat Al Ijtihad ) hlm : 61 :
” Sesungguhnya sangat aneh sekali, kita dapatkan seorang yang menguasai ushul fiqh dan fiqh secara bersamaan, akan tetapi ternyata dia hanya menguasai ushul fiqh dalam pengajaran saja, tidak lebih dari itu, dan hanya mengetahui fiqh dalam ruang lingkup materi pelajaran saja, tidak leboh dari itu… Sesungguhnya kebanyakan buku-buku ushul fiqh telah membawa kita menjauhi dari fungsi ushul fiqh itu sendiri, dan mendorong kita untuk menjadikannya sebagai tujuan dari materi pelajaran itu sendiri, hanya akan menambah gelar bagi yang mengajar ushul fiqh sebagai ulama ushul . ”
Beliau juga menyatakan dalam ( Aliyat Al Ijtihad hlm ; 48 ) bahwa :
” Kita terus belajar sehingga menyelesaikan semua pembahasan di dalam ushul fiqh, bahkan diantara kita ada yang hafal matan…akan tetapi kita tidak mengetahui cara mengambil manfaat darinya, menggunakan dalil dan maksud dari dalil tersebut. ”
Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa lmu Ushul Fiqh ini , benar- benar memerlukan pembaharuan dan revisi. Diantara masalah yang perlu kaji ulang dan revisi adalah sebagai berikut :
1. Penyederhanaan bahasa, terutama di dalam membuat defenisi.
2. Tidak terlalu membesarkan masalah yang diperselisihkan para ulama.
3. Membuang masalah-masalah yang tidak ada kaitannya dengan ushul fiqh, seperti beberapa masalah tentang bahasa, ilmu kalam, filsafat , mustholah hadits, kode etik perdebatan dan lain-lainnya.
4. Mengaplikasikan setiap masalah yang dibahas dengan contoh-contoh konkrit yang dibutuhkan di masyarakat .
5. Berusaha menggunakannya untuk memahami Al Qur’an dan Al Hadist yang merupakan tujuan utama dari ilmu ushul fiqh itu sendiri.
BEBERAPA TAWARAN DI DALAM MEMAHAMI TURAST USHUL FIQH
Dari penjelasan di atas, kita mengetahaui bahwa buku-buku turats ushul fiqh sudah terlalu jauh dari jangkauan generasi sekarang, baik dari sisi pemahaman, pengenalan maupun dari sisi kepemilikan. Oleh karena itu timbul sebuah pertanyaan : bagaimana mana cara mendekatkan buku-buku turast tersebut kepada generasi sekarang ?
Sebenarnya banyak tehnik yang bisa digunakan untuk memahami buku-buku turast tersebut. Ini tergantung kepada daya tangkap dan kecenderungan orang yang menggunakannya. Namun, tidak salahnya kalau kita paparkan beberapa tehnik mendasar, yang secara pengalaman, bisa banyak membantu di dalam memahami buku-buku turast. Selebihnya bisa dikembangkan oleh masing-masing yang berkepentingan. Tehnik-tehnik itu adalah sebagai berikut :
1/ Belajar dari syekh atau guru.
Cara ini adalah cara yang paling efesien untuk memahami turast, karena dengan bimbingan seorang guru yang berpengalaman, seseorang tidak usah bersusah payah untuk memahami istilah atau kata-kata yang asing baginya. Selain itu, dia akan bisa membandingkan dengan isi buku-buku lainnya yang terkait. Seorang syekh atau guru yang baik, dengan ilmu dan pengalamannya, akan memberitahukan semua yang dibutuhkan muridnya. Akan tetapi sangat disayangkan, metode belajar seperti ini sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian besar para pelajar. Dengan berbagai alasan, diantaranya bahwa belajar dengan syekh akan membuang-buang waktu. Padahal justru sebaliknya, dengan belajar langsung dengan syekh hasilnya lebih bisa dipertanggungjawabkan dan lebih efesien waktu.
Metode belajar ketrampilan, ternyata sampai sekarang masih menggunakan metode “ talaqqi ‘ ( belajar dari ahlinya secara langsung ), seperti halnya dalam belajar menyetir mobil, mengemudikan pesawat terbang , cara menggunakan komputer dan memperbaikinya, serta ilmu-ilmu ketrampilan lainnya. Tentunya untuk menguasai ilmu syare’ah dibutuhkan metode serupa, dan bahkan lebih dari itu, karena ilmu syareah ini bagaikan bahtera yang tidak bertepi ( bahrun la sahila lahu ), sulit bagi seseorang untuk menguasainya tanpa menggunakan cara belajar yang benar. Di Mesir, sangat banyak ditemukan tempat-tempat untuk talaqqi ilmu ushul fiqh, diantaranya masjid Al Azhar, masjid Bilal, masjid Tauhid dan lain-lainnya.
2/Buku- buku pengantar.
Sebagai pendukung dari cara pertama, dianjurkan bagi setiap pelajar untuk melengkapi pemahamnnya dengan membaca buku-buku pengantar. Yaitu buku-buku yang menerangkan tentang seluk beluk salah satu bidang ilmu, seperti fiqh dan hadits, atau tentang istilah-istilah yang dipakai oleh suatu madzhab, atau tentang metodologi yang digunakan oleh seorang ulama di dalam mengarang, atau tentang isi sebuah buku. Ini sangat penting sekali, bagi seorang pelajar, karena dengan membaca buku ini, banyak hal yang bisa diketahui secara singkat dengan tidak harus mencarinya sendiri. Buku ini sebagaimana namanya merupakan “ pintu gerbang “ untuk memasuki sebuah buku atau karangan.
Beberapa contoh dari buku- buku pengantar ilmu ushul fiqh ini adalah :
- Al Madkhol ila madzhab al Imam Ahmad, karya Ibnu Badran
- Al Madkhol ila Ilmu Ushul al Fiqh, karya DR. Al Dawaalibi
3/Risalah Ilmiyah ( Thesis, Desertasi ).
Risalah ini akan sangat membantu di dalam memahami turast, karena ditulis dengan menyertakan referensi yang cukup dan akurat serta dipertanggung jawabkan di depan sidang ilmiyah. Diantara judul-judul Thesis dan Desertasi yang bisa menjadi pendukung untuk memahami turast ushul fiqh adalah :
- Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karya DR Muhammad Husen Al-Jizany.
- Dhowabith al Maslahah fi al Syare’ah al Islamiyah , karya DR. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthi
- Al Maqhosid al ‘ammah li al Syare’ah al Islamiyah, DR. Yusuf Hamid Al ‘Alim
- Al Ijtihad, karya DR. Nadiyah Mushtofa
- Ta’lil al-Ahkam “ , karya DR. Muhammad Musthofa Syalbi
- Atsaru al- Urfi fi al Tassyri’ al Islami, karya DR. Sayid Sholeh Iwad
- Al Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islamy wa Najmuddin Al Thufi, karya DR. Musthofa Zaid dan lain-lainnya
4/ Buku-buku turost yang sudah ditahqiq atau disyareh
Buku turast yang sudah ditahqiq dan bisa dipertanggung jawabkan, baik yang berupa Tesis, Desertasi ataupun yang lainnya, akan sangat membantu di dalam memahami turast, khususnya di dalam memahami istilah-istilah asing ataupun kalimat-kalimat yang sulit. Diantaranya adalah :
- Syarh Al Waraqat Ibnu Qasim Al Abbadi ( 992 H ) , di tahqiq dan disyareh oleh DR Muhammad bin Sholeh Ubaid An Nami ( Desertasi di Universitas Islam Madinah tahun 1410 H ) – 1304 halaman
- Al Mahsul , karya Fahrudin Ar Rozi , di tahqiq dan disyareh oleh DR. Toha Jabir Al Ulwani ( Desertasi di Universitas Imam bin Su’ud Riyadh tahun 1976 )
- Salisil Al Dzahab, karya Al- Zarkasyi , di tahqiq dan disyareh oleh DR. Muhammad Mukhtar Al -Syenkiti , Desertasi di Universitas Al Madinah tahun 1404 H ) – 542 halaman
- Bayan Al Mukhtasor, karya Al Asfahani, di tahqiq dan disyareh oleh, DR. Ubaid Mu’ad Syekj, Desertasi di Universitas Islam Madinah tahun 140 5 H ) – 639 halaman
- Al Hasil, karyaTajuddin Al Armawi, Desertasi di Universitas Al Azhar tahun 1976
- “ Al Muwafaqat “ , karya Abu Ishaq Al Syatibi, yang ditahqiq dan disyareh oleh Syekh Abdullah Darraz.
5/ Buku-buku kontemporer ilmiyah.
Buku-buku kontemporer ilmiyah adalah buku-buku kontemporer yang mengulas dasar- dasar suatu bidang ilmu tertentu atau mengulas suau masalah ilmiyah secara umum. Biasanya buku- buku semacam ini dilengkapi dengan referensi yang memadai. Dalam menerangkan masalah-masalah ilmiyah tersebut, sang penulis menggunakan bahasa kontemporer yang jelas dan bisa dipahami para pembacanya. Tidak sedikit dari para penulis tersebut, menukil pernyataan para ulama terdahulu, yang mungkin kalau membacanya sendiri dari buku turast secara langsung , kita akan mendapatkan banyak kesulitan untuk memahaminya. Selain itu, dengan referensi yang disebutkan oleh pengarang, seorang pelajar bisa mengetahui bahwa suatu masalah telah dibahas oleh ulama-ulama terdahulu di dalam beberapa karangan mereka. Diantara buku- buku ushul fiqh kontemporer ilmiyah tersebut antara lain :
- Ushul Fiqh Al Islamy, DR. Wahwab Zuhaili
- Ushul Fiqh Al Islamy, DR. Amir Abdul Aziz
- Al Ijtihad al Maqhosidi, karya DR. Nurudin bin Mukhtar al Khodimi .
6/Muqaddimah dari buku turast itu sendiri.
Memahami turast juga bisa terbantu dengan membaca kata pengantar atau muqaddimah atau sering disebut dengan “ khutbah al-kitab “ dari pengarangnya. Di dalam muqaddimah tersebut, biasanya para pengarang menjelaskan latar belakang penulisan buku, atau istilah-istilah khusus yang dipakai di dalam tulisan tersebut, dan hal-hal lain yang serupa..
7/Kamus Istilah, Ma’ajim, dan Mausu’at ( Ensiklopedia )
Di sana ada beberapa kamus atau Ma’ajim yang ditulis untuk menerangkan istilah-istilah khusus bagi bidang ilmu tertentu. Buku-buku seperti ini sangat penting dimiliki untuk memahami turast, karena dengannya, kita akan banyak mengetahui arti sebuah kata menurut istilahnya. Beberapa contoh dari buku-buku ini adalah :
- Mu’jam Mushtholahat ushul al Fiqh, karya Qutb Musthofa Sanu
- Fathul Mubin fi Istilah Fuqaha wa Ushuliyyin, karya DR Ibrahim Khafwani.
7/Dilakukan secara bertahap.
Salah satu faktor yang mendukung penguasaan turats adalah dengan mempelajarinya secara betahap dan berurutan. Artinya, seorang pelajar tidak diperbolehkan mempelajai buku- buku yang berat sebelum menguasai buku- buku yang ringan dan ringkas. Tehnis ini berlaku pada semua bidang ilmu. Termasuk ketika kita mempelajari ilmu kedokteran, biologi, fisika, komputer dan lain-lainnya. Ini sesuai dengan firman Allah swt di dalam surat Ali Imran , ayat 79 :
“ Akan tetapi (dia berkata) : “ Hendaknya kamu menjadi orang-orang Robbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya “
“ Robbani “ , menurut sebagian ahli tafsir adalah orang- orang yang mempelajari ilmu dari yang kecil atau dasar kemudian baru yang lebih besar.
Oleh karenanya, dianjurkan bagi para pelajar untuk menguasai matan-matan dan buku-buku kecil terlebih dahulu sebelum beranjak ke buku yang lebih besar dan panjang. Para ulamapun telah meletakkan urut-urutan buku terebut dalam berbagai disiplin ilmu .
Diantara urutan-urutan buku Ushul Fiqh yang patut dilalui oleh para pemula adalah :
1/ Buku “ Al Waraqat “ karya Imam Haramain. Buku ini, walaupun kecil dan ringkas, namun telah diakui oleh para ulama seluruh dunia sepanjang masa. Setelah ditelusuri ternyata lebih dari 52 buku yang telah ditulis untuk mensyareh ( menerangkan ) apa yang terdapat di dalam Al Waraqat tersebut, sebagaimana yang disebutkan di dalam buku “ Al Isyarat ila Syarhil Waraqat “ karya DR. Umar Gani Su’ud Al Ani yang berjumlah 36 halaman . Dan yang paling mutakhir adalah Syareh Syekh Utsaimin dan Syareh Syekh Abdullah Fauzan ( 193 halaman )
2/Selain itu dianjurkan juga mendengarkan kaset-kaset syareh Al Waraqat, diantaranya adalah rekaman dari Syareh Syekh Utsaimin yang berjumlah 5 kaset. Dan rekaman dari Syareh Syekh Kholid Al Musyaiqih yang berjumlah 15 kaset .
3/ Syarh Ushul min Ilmu Ushul ,karya Syekh Utsaimin .
4/ Ushul Fiqh, karya Abdul Wahab Kholaf, Syekh Abu Zahrah, Syekh Ahmad Khudhari, Syekh Abu Nur Zuhaer.
5/ Ushul Fiqh Al Islamy, karya DR. Wahwab Zuhaili dan DR. Amir Abdul Aziz .
6/ Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karya DR Muhammad Husen Al-Jizany
7/Kemudian buku-buku ushul fiqh pengembangan yang ditulis oleh ulama-ulama kontemporer, seperti : Dhowabith al Maslahah fi al Syare’ah al Islamiyah, karya DR. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthi, Al Ijtihad, karya DR. Nadiyah Mushtofa dan lain-lainnya .
8/ Setelah itu baru masuk pada buku-buku Turats Muthowalat .
PENGERTIAN TURAST
Istilah “ Turast “ , sebenarnya belum pernah dikenal oleh kaum muslimin sepanjang sejarah peradaban Islam. Namun ketika tulisan-tulisan orentalis Barat mulai mewarnai dan merasuk ke dalam pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam akhir- akhir ini, saat itu juga istilah “ Turast “ , mulai dikenal luas di kalangan intelektual muslim dan sering hadir dalam koran, majalah dan buku- buku.
Turast menurut pemahaman Barat adalah hasil sebuah peradaban umat masa lampau, yang perlu ditinjau ulang menurut barometer keilmuan kontemporer. Pemahaman tersebut muncul akibat pertarungan antara gereja dan gerakan pembaharuan. Doktrin-doktrin gereja sering kali memasung perkembangan dan gerakan pembaharuan. Selain itu, ajaran-ajran gereja terkesan lambat dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Sehingga, kaum pembaharu memberontak dan ingin lepas dari kungkungan doktrin-doktrin gereja. Mereka mengritik teks-teks Taurat dan Injil, yang nota benenya sudah banyak di manipulasi oleh para pendeta dan pemimpin agama. Dengan pemahaman tersebut, Barat ingin menerapkannya pada seluruh turast yang merupakan peradaban umat manusia. Mereka menerapkan pemahaman tersebut “ Turast “ hasil peradaban Yunani , Fir’aun, India dan Persia. Demikian pula, mereka melakukan hal yang sama, ketika berhadapan dengan apa yang mereka namakan “ Turast “ Islam.
Seperti yang kita ketahui, bahwa peradaban dan kebudayaan Islam serta ajaran- ajarannya sangat berbeda dengan doktrin-doktrin gereja maupun dengan peradaban umat-umat lainnya. Maka, sangatlah tidak tepat jika kita berinteraksi dengan “Turast ” Islam, tetapi menggunakan metodologi yang diadobsi dari ajaran agama lain. Selain itu, mereka ( Barat ) membentuk konspirasi terselubung untuk menghancurkan Islam dari dalam dengan memisahkan kebudayaan Islam pada masa lalu dengan masa sekarang, untuk kemudian digantikannya dengan kebudayaan Barat. Hal itu mereka lakukan, karena mereka mengetahui bahwa “ Turats “ Islam, merupakan dokumentasi sejarah yang dijadikan panduan umat Islam untuk membangun peradabannya yang baru, dikarenakan “Turast” tersebut terkait dengan wahyu langit, yaitu Al Quran dan Hadist.
Sebagai seorang insan muslim akademis, tentunya harus mempunyai sikap yang jelas dan tepat, ketika berinteraksi dengan “ Turast” tersebut. Oleh karenanya, di dalam tulisan ini, perlu disebutkan beberapa point penting yang berhubungan dengan “ Turats Islam “ , diantaranya adalah sebagai berkut :
a. Turats Islam sangat berbeda dengan turast-turast peradaban yang perbah dikenal oleh manusia, karena Turast Islam bersumber pada Al Quran dan Sunnah.
b. Al Quran dan Sunnah tidak termasuk di dalam “ Turast “, sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Barat.
c. Harus dibedakan antara “ Turast” yang bersifat pemikiran, kebudayaan, adat istiadat dan yang bersifat agama.
d. Turats tersebut merupakan karya manusia yang tentunya tidak lepas dari kesalahan, sehingga tidak harus diambil seluruhnya. Sebaliknya pula , tidak boleh dibuang semuanya. Barometer yang dipakai untuk mengukurnya adalah Al Qur’an dan Sunnah.
TURATS USHUL FIQH
Berbicara Turast Ushul Fiqh, kita tidak bisa dilepaskan dari beberapa kenyataan seperti di bawah ini :
a. Pada mulanya Ilmu Ushul Fiqh diletakkkan pertama kali oleh Imam Syafi’I , sebagai sarana untuk memahami teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karenanya, kita dapatkan pembahasan – pembahasan di dalam karya-nya “ Ar Risalah “ ,-walaupun ditulis dengan metodologi yang masih sangat sederhana dan jauh dari sistimatis, namun isinya padat dan berbobot, serta tidak tercampur dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti lmu Kalam, dan pembahasan tentang bahasa yang sangat melebar.
b. Selanjutnya pembahasan Ushul Fiqh yang sangat masih sangat sederhana ini dikembangkan oleh para pengikut Imam Syafi’I dengan metodologi yang lebih luas, yang kemudian dikenal sebagai metodologi “ Al Mutakallimin “ . Beberapa ciri dari metodologi Al Mutakallimin adalah sebagai berikut :
1. Mereka mengembangkan penulisan Ushul Fiqih dengan memasukkan beberapa pembahasan Ilmu Kalam, seperti yang kita dapati di dalam muqaddimah “ Al Mustashfa “ karya Al Ghozali. “
2. Para penulis metodologi ini, kebanyakan adalah tokoh-tokoh Ilmu Kalam, yang diwakili oleh ulama-ulama Asy ‘ariyah seperti Qodhi Al Baqilani dengan bukunya,” At Taqrib wal Irsyad “ , dan Imam Haramain dengan bukunya “ Al Burhan “ dan diwakili juga oleh ulama-ulama Mu’tazilah seperti : Qadhi Abdul Jabar dengan bukunya “ Al Ahdu “ , dan Abul Hasan Al Bashori dengan bukunya “ Al Umdah “ .
3. Dalam penulisan Ilmu Ushul Fiqh, mereka terlalu berlebihan di dalam menggunakan dalil-dalil akal serta banyak tenggelam di dalam perdebatan .
4. Mereka banyak berkutat pada teori-teori belaka, tanpa mengaplikasikannya di dalam masalah-masalah furu’.
c. Di sisi lain, ada sebagian ulama, terutama dari kalangan Madzab Hanafi, yang cenderung menulis buku Ushul Fiqh, dengan menggunakan metodologi yang sering dipakai oleh para ahli fiqh, yang kemudian terkenal dengan metodologi “ Al Fuqaha “
Metodologi Penulisan ini mempunyai beberapa ciri,diantaranya :
1. Terlalu mendetail di dalam membahas masalah-masalah furu’.
2. Mereka meletakkan kaidah-kaidah Ushul Fiqh dengan menyimpulkan dari permasalahan-permasalah fiqih yang ada .
3. Di dalam merumuskan kaidah-kaidah Ushul Fiqh tersebut, mereka banyak terpengaruh dengan kaidah-kaidah Madzhab Hanafi.
Perlu di catat di sini, bahwa sebagian ulama Madzhab Syafi’i cenderung menulis Ilmu Ushul Fiqh dengan metodologi « Al Fuqaha « di atas, diantaranya adalah Al-Zinjani, di dalam bukunya « Takhrij Al Furu’ ’ a la al Ushul dan Isnawi di dalam bukunya « Al Tamhid «
d. Kemudian datanglah generasi berikutnya yang menginginkan perubahan di dalam penulisan Ushul Fiqh. Menurut mereka, bahwa penggabungan dua metodologi di atas, merupakan metodologi yang paling relevan, yang kemudian dikenal dengan metodologi Al Mutakhhirin . Diantara tokoh-tokohnya adalah : Al Qarafi dengan bukunya “ Al Furuq “ , As Syatibi dengan bukunya Al Muwafaqat, Ibnu Qayyim dengan bukunya « I’lam Al Muwaqi’in “ . ( Bisa dilihat secara lebih rinci tentang metodologi penulisan ushul fiqh dari masa-ke masa di dalam lampiran )
Setelah tiga metodologi di atas, masih adakah metodogi baru yang akan muncul di permukaan sebagai metodologi alternatif, paling tidak untuk generasi kita ?
MEREVISI TURAST USHUL FIQH
Kenapa ushul fiqh perlu direvisi kembali ? Ya, karena Turast Ushul Fiqh sudah berumur 13 abad lamanya. Tentunya banyak hal-hal yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman sekarang, baik dari sisi metodologi penulisan, isi dan muatan, bentuk cetakan, serta pemilihan bahasa.
Kalau kita telusuri perjalan dan perkembangan ushul fiqh dari waktu ke waktu selama 13 abad tersebut, ternyata telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat mendasar, baik dari sisi metodologi penulisan , maupun dari sisi materi pembahasan .
Kita dapati perubahan yang sangat menyolok, semenjak Imam Syafi’ kemudian Imam Haramain ( 478 H ) kemudian Imam Ghozali ( 505 H ) , setelah itu Imam Fakhru Rozi ( 606 H ), kemudian dikembangkan oleh Imam Qarafi ( 687 H ) .
Dari Madzhab Hanafi, semenjak Abu Mansur Al Maturidi ( 333 H ) , kemudian Abu Hasan Al Karkhi ( 340 H ) , kemudian Abu Bakar Al Jashos, setelah itu Al- Dabusi ( 430 H ), Al Bazdawi, As Sarakhsi ( 483 H ) , dan terakhir An Nasfi ( 710 H ),masing-maisng telah melakukan perubahan yang cukup berarti dari tulisan-tulisan generasi sebelumnya dan begitu seterusnya, sebagaimana yang telah diterangkan di atas.
Kemudian pada abad ke 15 H sekarang ini, setelah melalui modifikasi dan perkembangan selama 13 abad lamanya, bermunculan buku- buku ushul fiqh yang metodogi penulisannya menggunakan pendekatan- pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu, atau pendekataan yang menekankan pada penelitian, atau pendekatan yang cenderung kepada studi komperatif , ataupun pendekatan yang cenderung untuk mengambilkan fungsi awal ushul fiqh yang digunakan untuk memahami Al Qur’an dan Hadist.
Tentunya, perkembangan – perkembangan tersebut tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Kita sebagai insan akademis dituntut untuk tidak puas dengan apa yang telah dikembangkan oleh para ulama tersebut. Pembaharuan dan reformasi harus berjalan terus. Buku- buku turast yang telah ditulis oleh para pendahulu kita, tidak boleh kita pandang sebagai kitab suci yang tidak meninggalkan satu celah sedikitpun. Sehingga kita meng-agung-agungkan dan mendewakan di luar batas kewajaran serta tidak mau keluar dari apa yang telah ditulis oleh para pendahulu tersebut. Begitu juga sebaliknya, kitapun tidak boleh terlalu meremehkan turats-turast tersebut, dengan berdalih sebuah slogan yang berbunyi ” Haula Rijal wa Nahnu Rijal ” , ( Mereka adalah para tokoh, kita pun para tokoh pada zaman ini ) .
Posisi yang paling tepat adalah pada posisi pertengahan, artinya kita menghormati buku-buku turast tersebut, tetapi dalam satu waktu, kita harus kritis terhadap apa yang ditulis di dalamnya. Kritis dalam artian meninjau ulang kembali metodologi dan sistematis penulisan, kesesuaian materi dengan kondisi saat ini, pengembangan pada contoh –contoh materi , memaksimalkan peran ushul fiqih di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia pada abad ini, dan seterusnya.
Sebab-sebab itulah yang menuntut adanya pembaharuan ushul fiqh. Yaitu dengan membungkus kajian ushul fiqh dengan bingkai dan metodologi yang memihak kepada maslahat kehidupan manusia.
Kalau kita perhatikan, ternyata para ulama pendahulu kita, juga bersikap kritis terhadap karya- karya sebelumnya. Kita dapatkan umpamanya Imam Abu Mudhaffar al- Sam’ani yang meninggal tahun 489 H menulis di dalam bukunya ” Qawati’ al Adilah ” :
” Sepanjang hari saya meneliti karya-karya para ulama dalam bidang ushul fiqh ini, ternyata saya mendapatkan mayoritas dari mereka telah puas dengan menulis ilmu kalam dan untaian kata yang indah , sehingga tidak bisa menyentuh hakikat ushul fiqih yang sesuai dengan kebutuhan fiqh itu sendiri. Dan saya mendapatkan sebagian dari mereka terlalu bertele-tele, sehingga sering keluar dari metodologi para ahli Fiqh dalam banyak masalah, dan cenderung untuk memilih metodologi para ahli kalam yang sebenarnya tidak punya kepentingan dengan Fiqh dan masalah sekitarnya … ”
Hal yang senada juga ditulis oleh Imam Syatibi di dalam ” Muwafaqat” (1/ 42) :
” Setiap masalah yang tertulis di dalam ushul fiqh dan tidak bisa dijadikan sandaran di dalam masalah-masalah fiqh atau adab-adab Islam , atau tidak bisa menopang keduanya, maka penyebutannya di dalam ushul fiqh hanya sia-sia belaka. ”
Dalam buku yang sama ( 1/ 46 ) beliau juga menulis :
” Setiap masalah yang tidak bisa dijadikan dasar untuk beramal, maka menekuninya adalah sebuah perbuatan yang tidak ada dasarnya di dalam Syare’ah. Dan yang saya maksud beramal di sini adalah amal perbuatan hati dan anggota badan. ”
Begitu juga apa yang pernah disinggung oleh Al Isnawi ( 772 H ) bahwa sebagian masalah yang berhubungan dengan bahasa, sebenarnya kurang tepat jika diletakkan pada pembahasan ushul fiqh, bahkan permasalahan tersebut hanya akan menambah ruwet pembahasan di dalam ilmu ushul fiqh. Ibnu Rusyd ( 595 H ) di dalam ” Muhtasar Mustasfa ‘ juga mengungkapkan hal sama.
Prof . Dr. Ali Jum’ah -Mufti Mesir – yang konsen dalam ilmu Ushul Fiqh pernah mengritisi beberapa permasalahan yang muncul di dalam Ilmu Ushul Fiqh, beliau menulis dalam bukunya ( Aliyat Al Ijtihad ) hlm : 61 :
” Sesungguhnya sangat aneh sekali, kita dapatkan seorang yang menguasai ushul fiqh dan fiqh secara bersamaan, akan tetapi ternyata dia hanya menguasai ushul fiqh dalam pengajaran saja, tidak lebih dari itu, dan hanya mengetahui fiqh dalam ruang lingkup materi pelajaran saja, tidak leboh dari itu… Sesungguhnya kebanyakan buku-buku ushul fiqh telah membawa kita menjauhi dari fungsi ushul fiqh itu sendiri, dan mendorong kita untuk menjadikannya sebagai tujuan dari materi pelajaran itu sendiri, hanya akan menambah gelar bagi yang mengajar ushul fiqh sebagai ulama ushul . ”
Beliau juga menyatakan dalam ( Aliyat Al Ijtihad hlm ; 48 ) bahwa :
” Kita terus belajar sehingga menyelesaikan semua pembahasan di dalam ushul fiqh, bahkan diantara kita ada yang hafal matan…akan tetapi kita tidak mengetahui cara mengambil manfaat darinya, menggunakan dalil dan maksud dari dalil tersebut. ”
Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa lmu Ushul Fiqh ini , benar- benar memerlukan pembaharuan dan revisi. Diantara masalah yang perlu kaji ulang dan revisi adalah sebagai berikut :
1. Penyederhanaan bahasa, terutama di dalam membuat defenisi.
2. Tidak terlalu membesarkan masalah yang diperselisihkan para ulama.
3. Membuang masalah-masalah yang tidak ada kaitannya dengan ushul fiqh, seperti beberapa masalah tentang bahasa, ilmu kalam, filsafat , mustholah hadits, kode etik perdebatan dan lain-lainnya.
4. Mengaplikasikan setiap masalah yang dibahas dengan contoh-contoh konkrit yang dibutuhkan di masyarakat .
5. Berusaha menggunakannya untuk memahami Al Qur’an dan Al Hadist yang merupakan tujuan utama dari ilmu ushul fiqh itu sendiri.
BEBERAPA TAWARAN DI DALAM MEMAHAMI TURAST USHUL FIQH
Dari penjelasan di atas, kita mengetahaui bahwa buku-buku turats ushul fiqh sudah terlalu jauh dari jangkauan generasi sekarang, baik dari sisi pemahaman, pengenalan maupun dari sisi kepemilikan. Oleh karena itu timbul sebuah pertanyaan : bagaimana mana cara mendekatkan buku-buku turast tersebut kepada generasi sekarang ?
Sebenarnya banyak tehnik yang bisa digunakan untuk memahami buku-buku turast tersebut. Ini tergantung kepada daya tangkap dan kecenderungan orang yang menggunakannya. Namun, tidak salahnya kalau kita paparkan beberapa tehnik mendasar, yang secara pengalaman, bisa banyak membantu di dalam memahami buku-buku turast. Selebihnya bisa dikembangkan oleh masing-masing yang berkepentingan. Tehnik-tehnik itu adalah sebagai berikut :
1/ Belajar dari syekh atau guru.
Cara ini adalah cara yang paling efesien untuk memahami turast, karena dengan bimbingan seorang guru yang berpengalaman, seseorang tidak usah bersusah payah untuk memahami istilah atau kata-kata yang asing baginya. Selain itu, dia akan bisa membandingkan dengan isi buku-buku lainnya yang terkait. Seorang syekh atau guru yang baik, dengan ilmu dan pengalamannya, akan memberitahukan semua yang dibutuhkan muridnya. Akan tetapi sangat disayangkan, metode belajar seperti ini sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian besar para pelajar. Dengan berbagai alasan, diantaranya bahwa belajar dengan syekh akan membuang-buang waktu. Padahal justru sebaliknya, dengan belajar langsung dengan syekh hasilnya lebih bisa dipertanggungjawabkan dan lebih efesien waktu.
Metode belajar ketrampilan, ternyata sampai sekarang masih menggunakan metode “ talaqqi ‘ ( belajar dari ahlinya secara langsung ), seperti halnya dalam belajar menyetir mobil, mengemudikan pesawat terbang , cara menggunakan komputer dan memperbaikinya, serta ilmu-ilmu ketrampilan lainnya. Tentunya untuk menguasai ilmu syare’ah dibutuhkan metode serupa, dan bahkan lebih dari itu, karena ilmu syareah ini bagaikan bahtera yang tidak bertepi ( bahrun la sahila lahu ), sulit bagi seseorang untuk menguasainya tanpa menggunakan cara belajar yang benar. Di Mesir, sangat banyak ditemukan tempat-tempat untuk talaqqi ilmu ushul fiqh, diantaranya masjid Al Azhar, masjid Bilal, masjid Tauhid dan lain-lainnya.
2/Buku- buku pengantar.
Sebagai pendukung dari cara pertama, dianjurkan bagi setiap pelajar untuk melengkapi pemahamnnya dengan membaca buku-buku pengantar. Yaitu buku-buku yang menerangkan tentang seluk beluk salah satu bidang ilmu, seperti fiqh dan hadits, atau tentang istilah-istilah yang dipakai oleh suatu madzhab, atau tentang metodologi yang digunakan oleh seorang ulama di dalam mengarang, atau tentang isi sebuah buku. Ini sangat penting sekali, bagi seorang pelajar, karena dengan membaca buku ini, banyak hal yang bisa diketahui secara singkat dengan tidak harus mencarinya sendiri. Buku ini sebagaimana namanya merupakan “ pintu gerbang “ untuk memasuki sebuah buku atau karangan.
Beberapa contoh dari buku- buku pengantar ilmu ushul fiqh ini adalah :
- Al Madkhol ila madzhab al Imam Ahmad, karya Ibnu Badran
- Al Madkhol ila Ilmu Ushul al Fiqh, karya DR. Al Dawaalibi
3/Risalah Ilmiyah ( Thesis, Desertasi ).
Risalah ini akan sangat membantu di dalam memahami turast, karena ditulis dengan menyertakan referensi yang cukup dan akurat serta dipertanggung jawabkan di depan sidang ilmiyah. Diantara judul-judul Thesis dan Desertasi yang bisa menjadi pendukung untuk memahami turast ushul fiqh adalah :
- Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karya DR Muhammad Husen Al-Jizany.
- Dhowabith al Maslahah fi al Syare’ah al Islamiyah , karya DR. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthi
- Al Maqhosid al ‘ammah li al Syare’ah al Islamiyah, DR. Yusuf Hamid Al ‘Alim
- Al Ijtihad, karya DR. Nadiyah Mushtofa
- Ta’lil al-Ahkam “ , karya DR. Muhammad Musthofa Syalbi
- Atsaru al- Urfi fi al Tassyri’ al Islami, karya DR. Sayid Sholeh Iwad
- Al Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islamy wa Najmuddin Al Thufi, karya DR. Musthofa Zaid dan lain-lainnya
4/ Buku-buku turost yang sudah ditahqiq atau disyareh
Buku turast yang sudah ditahqiq dan bisa dipertanggung jawabkan, baik yang berupa Tesis, Desertasi ataupun yang lainnya, akan sangat membantu di dalam memahami turast, khususnya di dalam memahami istilah-istilah asing ataupun kalimat-kalimat yang sulit. Diantaranya adalah :
- Syarh Al Waraqat Ibnu Qasim Al Abbadi ( 992 H ) , di tahqiq dan disyareh oleh DR Muhammad bin Sholeh Ubaid An Nami ( Desertasi di Universitas Islam Madinah tahun 1410 H ) – 1304 halaman
- Al Mahsul , karya Fahrudin Ar Rozi , di tahqiq dan disyareh oleh DR. Toha Jabir Al Ulwani ( Desertasi di Universitas Imam bin Su’ud Riyadh tahun 1976 )
- Salisil Al Dzahab, karya Al- Zarkasyi , di tahqiq dan disyareh oleh DR. Muhammad Mukhtar Al -Syenkiti , Desertasi di Universitas Al Madinah tahun 1404 H ) – 542 halaman
- Bayan Al Mukhtasor, karya Al Asfahani, di tahqiq dan disyareh oleh, DR. Ubaid Mu’ad Syekj, Desertasi di Universitas Islam Madinah tahun 140 5 H ) – 639 halaman
- Al Hasil, karyaTajuddin Al Armawi, Desertasi di Universitas Al Azhar tahun 1976
- “ Al Muwafaqat “ , karya Abu Ishaq Al Syatibi, yang ditahqiq dan disyareh oleh Syekh Abdullah Darraz.
5/ Buku-buku kontemporer ilmiyah.
Buku-buku kontemporer ilmiyah adalah buku-buku kontemporer yang mengulas dasar- dasar suatu bidang ilmu tertentu atau mengulas suau masalah ilmiyah secara umum. Biasanya buku- buku semacam ini dilengkapi dengan referensi yang memadai. Dalam menerangkan masalah-masalah ilmiyah tersebut, sang penulis menggunakan bahasa kontemporer yang jelas dan bisa dipahami para pembacanya. Tidak sedikit dari para penulis tersebut, menukil pernyataan para ulama terdahulu, yang mungkin kalau membacanya sendiri dari buku turast secara langsung , kita akan mendapatkan banyak kesulitan untuk memahaminya. Selain itu, dengan referensi yang disebutkan oleh pengarang, seorang pelajar bisa mengetahui bahwa suatu masalah telah dibahas oleh ulama-ulama terdahulu di dalam beberapa karangan mereka. Diantara buku- buku ushul fiqh kontemporer ilmiyah tersebut antara lain :
- Ushul Fiqh Al Islamy, DR. Wahwab Zuhaili
- Ushul Fiqh Al Islamy, DR. Amir Abdul Aziz
- Al Ijtihad al Maqhosidi, karya DR. Nurudin bin Mukhtar al Khodimi .
6/Muqaddimah dari buku turast itu sendiri.
Memahami turast juga bisa terbantu dengan membaca kata pengantar atau muqaddimah atau sering disebut dengan “ khutbah al-kitab “ dari pengarangnya. Di dalam muqaddimah tersebut, biasanya para pengarang menjelaskan latar belakang penulisan buku, atau istilah-istilah khusus yang dipakai di dalam tulisan tersebut, dan hal-hal lain yang serupa..
7/Kamus Istilah, Ma’ajim, dan Mausu’at ( Ensiklopedia )
Di sana ada beberapa kamus atau Ma’ajim yang ditulis untuk menerangkan istilah-istilah khusus bagi bidang ilmu tertentu. Buku-buku seperti ini sangat penting dimiliki untuk memahami turast, karena dengannya, kita akan banyak mengetahui arti sebuah kata menurut istilahnya. Beberapa contoh dari buku-buku ini adalah :
- Mu’jam Mushtholahat ushul al Fiqh, karya Qutb Musthofa Sanu
- Fathul Mubin fi Istilah Fuqaha wa Ushuliyyin, karya DR Ibrahim Khafwani.
7/Dilakukan secara bertahap.
Salah satu faktor yang mendukung penguasaan turats adalah dengan mempelajarinya secara betahap dan berurutan. Artinya, seorang pelajar tidak diperbolehkan mempelajai buku- buku yang berat sebelum menguasai buku- buku yang ringan dan ringkas. Tehnis ini berlaku pada semua bidang ilmu. Termasuk ketika kita mempelajari ilmu kedokteran, biologi, fisika, komputer dan lain-lainnya. Ini sesuai dengan firman Allah swt di dalam surat Ali Imran , ayat 79 :
“ Akan tetapi (dia berkata) : “ Hendaknya kamu menjadi orang-orang Robbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya “
“ Robbani “ , menurut sebagian ahli tafsir adalah orang- orang yang mempelajari ilmu dari yang kecil atau dasar kemudian baru yang lebih besar.
Oleh karenanya, dianjurkan bagi para pelajar untuk menguasai matan-matan dan buku-buku kecil terlebih dahulu sebelum beranjak ke buku yang lebih besar dan panjang. Para ulamapun telah meletakkan urut-urutan buku terebut dalam berbagai disiplin ilmu .
Diantara urutan-urutan buku Ushul Fiqh yang patut dilalui oleh para pemula adalah :
1/ Buku “ Al Waraqat “ karya Imam Haramain. Buku ini, walaupun kecil dan ringkas, namun telah diakui oleh para ulama seluruh dunia sepanjang masa. Setelah ditelusuri ternyata lebih dari 52 buku yang telah ditulis untuk mensyareh ( menerangkan ) apa yang terdapat di dalam Al Waraqat tersebut, sebagaimana yang disebutkan di dalam buku “ Al Isyarat ila Syarhil Waraqat “ karya DR. Umar Gani Su’ud Al Ani yang berjumlah 36 halaman . Dan yang paling mutakhir adalah Syareh Syekh Utsaimin dan Syareh Syekh Abdullah Fauzan ( 193 halaman )
2/Selain itu dianjurkan juga mendengarkan kaset-kaset syareh Al Waraqat, diantaranya adalah rekaman dari Syareh Syekh Utsaimin yang berjumlah 5 kaset. Dan rekaman dari Syareh Syekh Kholid Al Musyaiqih yang berjumlah 15 kaset .
3/ Syarh Ushul min Ilmu Ushul ,karya Syekh Utsaimin .
4/ Ushul Fiqh, karya Abdul Wahab Kholaf, Syekh Abu Zahrah, Syekh Ahmad Khudhari, Syekh Abu Nur Zuhaer.
5/ Ushul Fiqh Al Islamy, karya DR. Wahwab Zuhaili dan DR. Amir Abdul Aziz .
6/ Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karya DR Muhammad Husen Al-Jizany
7/Kemudian buku-buku ushul fiqh pengembangan yang ditulis oleh ulama-ulama kontemporer, seperti : Dhowabith al Maslahah fi al Syare’ah al Islamiyah, karya DR. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthi, Al Ijtihad, karya DR. Nadiyah Mushtofa dan lain-lainnya .
8/ Setelah itu baru masuk pada buku-buku Turats Muthowalat .
Jumat, 17 Desember 2010
KONTRIBUSI AL-KHAWARIZMI DALAM BIDANG SAINS
Oleh : DR.Ir.H. Budi Hadrianto, M.Pd.I
Setelah dunia Barat keluar dari abad kegelapan (dark ages), kemudian terjadi Revolusi Sains (1500-1700) dan masa Renaissains, mereka mengambil alih kepepimpinan intelektual khususnya di bidang sains. Peradaban Barat maju dengan pesat di segala bidang terutama setelah berkembangnya ilmu pengetahuan dan sains terapan (teknologi) di sana. Memasuki abad ke-20 perkembangan sains dan teknologi makin pesat dikarenakan dunia diwarnai dengan peperangan-perangan. Setidaknya ada dua kali perang dunia dilanjutkan dengan perang dingin antara negara-negara komunis dengan Barat. Kondisi tersebut mendorong masing-masing negara mengembangkan sains dan teknologinya.
Memasuki abad ke-21, Barat makin mengukuhkan diri menjadi penguasa dunia dengan sains dan teknologi menjadi panglima. Kemajuan ilmu di segala bidang di Barat (termasuk di dalamnya Jepang dan Korea), baik ilmu-ilmu alam (fisika, kima, biologi/kedokteran, matematika, astronomi dan lainnya) maupun ilmu-ilmu sosial/humaniora menjadi standar dunia saat ini.
Di sisi lain, perkembangan sains di dunia Islam makin menurun seiring dengan kondisi sosial politik. Negara-negara Islam bercerai-berai apalagi setelah jatuhnya kekhalifahan Islam terakhir di Turki pada tahun 1924. Sebagian besar negara Islam yang sebelumnya berada di bawah naungan kekhalifahan Turki Utsmani takluk pada negara-negara Barat penjajah seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, dan Amerika. Alih-alih mengembangkan sains dan teknologi, mereka telah kehilangan kemampuan untuk mengurus diri sendiri.
Menurut Said Ramadhan, selain kurangnya ikhtiar kaum muslimin untuk bangkit, ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga kaum muslimin menjadi mundur. Faktor-faktor itu antara lain :
a. Lesunya kekhalifahan Utsmaniyah dan kebobrokan di dalamnya sehingga terjadilah keruntuhan dari dalam di samping program-program Zionis yang menggerogotinya dari luar.
b. Para penjajah yang memperebutkan kekayaan dan harta warisan negeri-negeri muslim. Kondisi ini makin memperlemah sekaligus menghantam kekuatan kekhalifahan Utsmaniyah yang disebut-sebut sudah seperti ”orang tua yang sedang sakit” (the sick old man).
c. Kebangkitan negara-negara Eropa yang kemudian memasuki era laut, angkasa luar dan penguasaan mereka yang canggih terhadap sains dan teknologi. Kaum muslimin lalu terpana dan tercengang melihat semuanya itu. Salah satu sebab pentingnya adalah karena kita telah kehilangan sarana-sarana kekuatan dan kesibukan kita sendiri mengurus ”orang tua yang sedang sakit” itu. Semua itu masih ditambah dengan pecahnya persatuan kita karena ulah kaum imperialis dan kolonialis.
d. Akibat silaunya mata kita terhadap kemajuan Barat yang mengakibatkan munculnya sikap taklid buta kepada mereka dengan harapan kita bisa bangkit seperti mereka sehingga kitapun melakukan modernisasi dengan cara seperti yang sama dilakukan Eropa. Oleh sebab itu lantas kita meletakkan Islam dalam timbangan yang sama seperti orang-orang Eropa menimbang agama mereka. Semua itu didorong oleh berlapis-lapisnya kelemahan yang melekat pada diri kita dan kesilauan kita terhadap Barat.
Selain rendahnya penguasan sains dan teknologi oleh kaum muslimin dewasa ini, data statistik menunjukkan pula rendahnya pengembangan sumber daya manusia di negara-negara muslim. Data Human Development Index (Indeks pengembangan/pembangunan manusia) tahun 2009 menunjukkan negara-negara muslim berada di urutan bawah. Negara muslim yang masuk 30 besar hanya Brunei Darussalam, disusul untuk urutan 40 besar yang masuk yaitu Kuwait (31), Qatar (33), Uni Emirat Arab (35), Republika Czechnya (36) dan Bahrain (39). Sementara ranking terakhir ditempati oleh Nigeria (189) dan Afghanistan (188). Indonesia sendiri berada di urutan ke-111 dengan indeks sebesar 0.734.
Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia :
• hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran.
• Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
• standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli.
Angka-angka tersebut makin menunjukkan rendahnya kualitas hidup dan pendidikan manusia di negeri-negari muslim, sekaligus juga menunjukkan rendahnya penguasaan sains dan tekonologi serta penelitian-penelitian pengembangan (research and development). Kaum muslimin lebih banyak menjadi pengikut dan pengguna teknologi yang berasal dari sains Barat moderen daripada mengembangkannya sendiri. Sedikit sekali, kalau boleh dibilang hampir tidak ada, proporsi kaum muslimin yang menjadi ilmuwan, penemu dan pengembangan teori-teori sains moderen.
Kondisi saat ini sangat jauh berbeda dengan jaman ketika Islam mengalami kejayaaan beberapa abad lalu yang disebut Barat dengan istilah jaman pertengahan (medieval ages). Kurun waktunya sekitar tahun 700-1400 Masehi. Ilmu pengetahuan dan sains berkembang pesat di pusat-pusat kajian intelektual seperti di Baghdad, Damaskus, Cordoba dan lain-lain. Kegemilangan sains Islam waktu itu dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria. Pelaksananya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga dipercaya sebagai pegawai pemerintahan.
Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat ‛Abbāsiyyah yang berpusat di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, mereka pun banyak merekrut kaum terpelajar lokal sebagai staf di pemerintahan. Mereka inilah yang kemudian banyak mewarnai perkembangan pemikiran selanjutnya. Sebut saja, misalnya, Ibn al-Muqaffa‛ (m. 759 M) dan Yahyā ibn Khālid ibn Barmak (m. 803 M), cendekiawan dan politisi berdarah Persia yang diangkat menjadi menteri pada masa itu. Lalu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mūn (m. 833 M) mulailah dilaksanakan proyek penerjemahan secara intensif dan besar-besaran. Ia mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Di antara mereka yang aktif sebagai penerjemah dan peneliti tersebutlah nama-nama semisal Hunayn ibn Ishāq dan anaknya Ishāq ibn Hunayn, Abu Bishr Mattā ibn Yūnus, Yahyā ibn ‛Adī dan lain-lain. Menjelang akhir abad ke-9 M, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi, dan alchemy.
Pakar sejarah sains dari Universitas Harvard, Abdel Hamid Sabra mengatakan bahwa gerakan penerjemahan tersebut di atas mewakili fase pertama dari tiga tahap Islamisasi ilmu pengetahuan. Ia menyebutnya sebagai fase peralihan atau akuisisi, di mana ilmu pengetahuan Yunani memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagai kekuatan penjajah (an invading force), melainkan sebagai tamu yang diundang (an invited guest). Namun, pada tahap ini sang tuan rumah yang mengundangnya masih menjaga jarak dan berhati-hati. Selanjutnya adalah fase penerimaan atau adopsi, di mana tuan rumah mulai mengambil dan menikmati oleh-oleh yang dibawa sang tamu. Lahirlah orang-orang seperti Jābir ibn Hayyān (m. 815 M), al-Kindī (m. 873) dan Abu Ma‛syar (m. 886 M). Proses ini terus berlanjut ke tahap berikutnya yang disebut dengan fase asimilasi dan naturalisasi. Pada tahap ini tuan rumah bukan sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan memasak hidangan sendiri, mencipta menu baru, membuat dan memasarkannya ke masyarakat luas. Menurut Sabra, inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawārizmī (m. 863) dan ‛Umar al-Khayyām (m. 1132 M) dalam matematika, Ibn Sīna (m. 1037 M) dan Ibn an-Nafīs (m. 1288 M) dalam kedokteran, dan, Ibn al-Haytsam (m. 1040 M) dan Ibn al-Syātir (m. 1375 M) dalam astronomi, al-Bīrūnī (m. 1048 M) dan al-Idrīsī (m. 1150 M) dalam geografi, dan masih banyak sederetan nama besar lainnya.
Fase kematangan ini berlangsung kurang lebih 500 tahun lamanya, ditandai dengan produktivitas yang tinggi dan orisinalitas yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battānī (m. 929 M) mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemy, mengamati mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant. Seperti buku-buku lainnya, karya al-Battani pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De Scientia Stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus. Kritik terhadap teori-teori Ptolemy juga telah dilontarkan oleh Ibn Rusyd (m. 1198 M) dan al-Bitrūjī (m. 1190). Dalam bidang fisika, Ibn Bājjah (m. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan kecepatan. Demikian pula dalam bidang-bidang sains lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800-an M di Andalusia, Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat oleh Roger Bacon (m. 1292 M) dan belakangan diperkenalkan oleh Leonardo da Vinci (m. 1519 M).
Sementara itu dari kondisi sosial ekomoni saja antara negeri-negeri Islam waktu itu sangat jauh berbeda dengan Barat pada kurun waktu yang sama. Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga sesudah abad ke-10 M merupakan negeri yang tandus, terisolir, kumuh, dan liar. Tempat kediaman dan keamanan manusia tidak lebih baik daripada hewan. Eropa masih penuh dengan hutan-hutan belantara. Mereka tidak mengenal kebersihan. Kotoran hewan dan sampah dapur dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau-bau busuk. Dan kota terbesar di Eropa penduduknya tidak lebih dari 25.000 orang.
Kondisi di atas jauh berbeda dengan keadaan kota-kota besar Islam pada waktu yang sama. Seperti di kota Cordoba, ibukota Andalus di Spanyol. Cordoba dikelilingi taman-taman hijau. Penduduknya lebih dari satu juta jiwa. Terdapat 900 tempat pemandian, 283.000 rumah penduduk, 80.000 gedung-gedung, 600 masjid, 50 rumah sakit, dan 80 sekolah. Semua penduduknya terpelajar. Karena orang-orang miskin pun menuntut ilmu secara cuma-cuma. Selain ketinggian peradaban Islam, para ilmuwan Muslim juga punya peran besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dunia.
Dari beberapa contoh konkrit di atas terlihat demikian tinggi semangat kaum muslimin waktu itu untuk meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan sains. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi dan kontribusi yang besar terhadap peradaban manusia. Hasil penelitian mereka sampai saat ini menjadi pijakan pengembangan sains Barat moderen, meskipun kebanyakan sarjana Barat tidak mengakuinya.
Ironisnya, ketinggian peradaban Islam masa lampau terutama di bidang sains kurang diketahui oleh kaum muslimin di jaman sekarang. Beberapa sarjana telah berupaya untuk menampilkan sains Islam dan jasa-jasa ilmuwan muslim pada masa lampau. Namun belum cukup untuk menyadarkan umat dan membuat percaya bahwa perabadan Islam pernah berjaya, terutama di bidang sains dalam kurun waktu kurang lebih 700 tahun.
Jurang pemisah yang demikian lebar antara kondisi umat Islam pada waktu itu dengan sekarang ini harus dipersempit. Umat, khususnya para ilmuwan muslim harus melihat kebelakang untuk menarik keterkaitan benang merah sejarah perabadan untuk bangkit dan melesat ke depan mengungguli perabadan Barat yang tengah memimpin dunia. Dimulai dari menggali kembali sejarah untuk membangkitkan rasa percaya diri dan bangga atas peradaban Islam melalui kajian pada kontribusi ilmuwan-ilmuwan pada waktu termasuk tradisi ilmu yang berkembang di sana.
Salah satu ilmuwan Islam yang terpandang baik di kalangan umat Islam maupun Barat adalah Al-Khawarizmi. Beliau adalah ilmuwan yang menguasai ilmu matematika, astronomi dan geografi. Selain itu beliau juga pakar di bidang bahasa dan musik. Kepakaran Al-Khawarizmi di bidang matematika perlu dikaji lebih mendalam oleh generasi muda saat ini karena Al-Khawarizmi telah meletakkan dasar ilmu matematika dalam hal ini Aljabar, Aritmetika dan Trigonometri. Ilmu-ilmu tersebut merupakan landasan bagi perkembangan sains di masa-masa berikutnya. Selain itu, kebanyakan pelajar –terutama pelajar muslim saat ini enggan untuk mempelajari ilmu matematika karena dirasakan sebagai bidang yang sulit dan menjemukan. Dengan mempelajari kontribusi Al-Khawarizmi dalam bidang matematika diharapkan pelajar muslim saat ini akan merasa bangga dan mengikuti jejak langkahnya. Dengan demikian suatu saat akan lahir Al-Khawarizmi-Al-Khawarizmi baru di abad modern ini.
Setelah dunia Barat keluar dari abad kegelapan (dark ages), kemudian terjadi Revolusi Sains (1500-1700) dan masa Renaissains, mereka mengambil alih kepepimpinan intelektual khususnya di bidang sains. Peradaban Barat maju dengan pesat di segala bidang terutama setelah berkembangnya ilmu pengetahuan dan sains terapan (teknologi) di sana. Memasuki abad ke-20 perkembangan sains dan teknologi makin pesat dikarenakan dunia diwarnai dengan peperangan-perangan. Setidaknya ada dua kali perang dunia dilanjutkan dengan perang dingin antara negara-negara komunis dengan Barat. Kondisi tersebut mendorong masing-masing negara mengembangkan sains dan teknologinya.
Memasuki abad ke-21, Barat makin mengukuhkan diri menjadi penguasa dunia dengan sains dan teknologi menjadi panglima. Kemajuan ilmu di segala bidang di Barat (termasuk di dalamnya Jepang dan Korea), baik ilmu-ilmu alam (fisika, kima, biologi/kedokteran, matematika, astronomi dan lainnya) maupun ilmu-ilmu sosial/humaniora menjadi standar dunia saat ini.
Di sisi lain, perkembangan sains di dunia Islam makin menurun seiring dengan kondisi sosial politik. Negara-negara Islam bercerai-berai apalagi setelah jatuhnya kekhalifahan Islam terakhir di Turki pada tahun 1924. Sebagian besar negara Islam yang sebelumnya berada di bawah naungan kekhalifahan Turki Utsmani takluk pada negara-negara Barat penjajah seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, dan Amerika. Alih-alih mengembangkan sains dan teknologi, mereka telah kehilangan kemampuan untuk mengurus diri sendiri.
Menurut Said Ramadhan, selain kurangnya ikhtiar kaum muslimin untuk bangkit, ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga kaum muslimin menjadi mundur. Faktor-faktor itu antara lain :
a. Lesunya kekhalifahan Utsmaniyah dan kebobrokan di dalamnya sehingga terjadilah keruntuhan dari dalam di samping program-program Zionis yang menggerogotinya dari luar.
b. Para penjajah yang memperebutkan kekayaan dan harta warisan negeri-negeri muslim. Kondisi ini makin memperlemah sekaligus menghantam kekuatan kekhalifahan Utsmaniyah yang disebut-sebut sudah seperti ”orang tua yang sedang sakit” (the sick old man).
c. Kebangkitan negara-negara Eropa yang kemudian memasuki era laut, angkasa luar dan penguasaan mereka yang canggih terhadap sains dan teknologi. Kaum muslimin lalu terpana dan tercengang melihat semuanya itu. Salah satu sebab pentingnya adalah karena kita telah kehilangan sarana-sarana kekuatan dan kesibukan kita sendiri mengurus ”orang tua yang sedang sakit” itu. Semua itu masih ditambah dengan pecahnya persatuan kita karena ulah kaum imperialis dan kolonialis.
d. Akibat silaunya mata kita terhadap kemajuan Barat yang mengakibatkan munculnya sikap taklid buta kepada mereka dengan harapan kita bisa bangkit seperti mereka sehingga kitapun melakukan modernisasi dengan cara seperti yang sama dilakukan Eropa. Oleh sebab itu lantas kita meletakkan Islam dalam timbangan yang sama seperti orang-orang Eropa menimbang agama mereka. Semua itu didorong oleh berlapis-lapisnya kelemahan yang melekat pada diri kita dan kesilauan kita terhadap Barat.
Selain rendahnya penguasan sains dan teknologi oleh kaum muslimin dewasa ini, data statistik menunjukkan pula rendahnya pengembangan sumber daya manusia di negara-negara muslim. Data Human Development Index (Indeks pengembangan/pembangunan manusia) tahun 2009 menunjukkan negara-negara muslim berada di urutan bawah. Negara muslim yang masuk 30 besar hanya Brunei Darussalam, disusul untuk urutan 40 besar yang masuk yaitu Kuwait (31), Qatar (33), Uni Emirat Arab (35), Republika Czechnya (36) dan Bahrain (39). Sementara ranking terakhir ditempati oleh Nigeria (189) dan Afghanistan (188). Indonesia sendiri berada di urutan ke-111 dengan indeks sebesar 0.734.
Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia :
• hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran.
• Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
• standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli.
Angka-angka tersebut makin menunjukkan rendahnya kualitas hidup dan pendidikan manusia di negeri-negari muslim, sekaligus juga menunjukkan rendahnya penguasaan sains dan tekonologi serta penelitian-penelitian pengembangan (research and development). Kaum muslimin lebih banyak menjadi pengikut dan pengguna teknologi yang berasal dari sains Barat moderen daripada mengembangkannya sendiri. Sedikit sekali, kalau boleh dibilang hampir tidak ada, proporsi kaum muslimin yang menjadi ilmuwan, penemu dan pengembangan teori-teori sains moderen.
Kondisi saat ini sangat jauh berbeda dengan jaman ketika Islam mengalami kejayaaan beberapa abad lalu yang disebut Barat dengan istilah jaman pertengahan (medieval ages). Kurun waktunya sekitar tahun 700-1400 Masehi. Ilmu pengetahuan dan sains berkembang pesat di pusat-pusat kajian intelektual seperti di Baghdad, Damaskus, Cordoba dan lain-lain. Kegemilangan sains Islam waktu itu dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria. Pelaksananya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga dipercaya sebagai pegawai pemerintahan.
Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat ‛Abbāsiyyah yang berpusat di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, mereka pun banyak merekrut kaum terpelajar lokal sebagai staf di pemerintahan. Mereka inilah yang kemudian banyak mewarnai perkembangan pemikiran selanjutnya. Sebut saja, misalnya, Ibn al-Muqaffa‛ (m. 759 M) dan Yahyā ibn Khālid ibn Barmak (m. 803 M), cendekiawan dan politisi berdarah Persia yang diangkat menjadi menteri pada masa itu. Lalu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mūn (m. 833 M) mulailah dilaksanakan proyek penerjemahan secara intensif dan besar-besaran. Ia mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Di antara mereka yang aktif sebagai penerjemah dan peneliti tersebutlah nama-nama semisal Hunayn ibn Ishāq dan anaknya Ishāq ibn Hunayn, Abu Bishr Mattā ibn Yūnus, Yahyā ibn ‛Adī dan lain-lain. Menjelang akhir abad ke-9 M, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi, dan alchemy.
Pakar sejarah sains dari Universitas Harvard, Abdel Hamid Sabra mengatakan bahwa gerakan penerjemahan tersebut di atas mewakili fase pertama dari tiga tahap Islamisasi ilmu pengetahuan. Ia menyebutnya sebagai fase peralihan atau akuisisi, di mana ilmu pengetahuan Yunani memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagai kekuatan penjajah (an invading force), melainkan sebagai tamu yang diundang (an invited guest). Namun, pada tahap ini sang tuan rumah yang mengundangnya masih menjaga jarak dan berhati-hati. Selanjutnya adalah fase penerimaan atau adopsi, di mana tuan rumah mulai mengambil dan menikmati oleh-oleh yang dibawa sang tamu. Lahirlah orang-orang seperti Jābir ibn Hayyān (m. 815 M), al-Kindī (m. 873) dan Abu Ma‛syar (m. 886 M). Proses ini terus berlanjut ke tahap berikutnya yang disebut dengan fase asimilasi dan naturalisasi. Pada tahap ini tuan rumah bukan sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan memasak hidangan sendiri, mencipta menu baru, membuat dan memasarkannya ke masyarakat luas. Menurut Sabra, inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawārizmī (m. 863) dan ‛Umar al-Khayyām (m. 1132 M) dalam matematika, Ibn Sīna (m. 1037 M) dan Ibn an-Nafīs (m. 1288 M) dalam kedokteran, dan, Ibn al-Haytsam (m. 1040 M) dan Ibn al-Syātir (m. 1375 M) dalam astronomi, al-Bīrūnī (m. 1048 M) dan al-Idrīsī (m. 1150 M) dalam geografi, dan masih banyak sederetan nama besar lainnya.
Fase kematangan ini berlangsung kurang lebih 500 tahun lamanya, ditandai dengan produktivitas yang tinggi dan orisinalitas yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battānī (m. 929 M) mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemy, mengamati mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant. Seperti buku-buku lainnya, karya al-Battani pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De Scientia Stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus. Kritik terhadap teori-teori Ptolemy juga telah dilontarkan oleh Ibn Rusyd (m. 1198 M) dan al-Bitrūjī (m. 1190). Dalam bidang fisika, Ibn Bājjah (m. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan kecepatan. Demikian pula dalam bidang-bidang sains lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800-an M di Andalusia, Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat oleh Roger Bacon (m. 1292 M) dan belakangan diperkenalkan oleh Leonardo da Vinci (m. 1519 M).
Sementara itu dari kondisi sosial ekomoni saja antara negeri-negeri Islam waktu itu sangat jauh berbeda dengan Barat pada kurun waktu yang sama. Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga sesudah abad ke-10 M merupakan negeri yang tandus, terisolir, kumuh, dan liar. Tempat kediaman dan keamanan manusia tidak lebih baik daripada hewan. Eropa masih penuh dengan hutan-hutan belantara. Mereka tidak mengenal kebersihan. Kotoran hewan dan sampah dapur dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau-bau busuk. Dan kota terbesar di Eropa penduduknya tidak lebih dari 25.000 orang.
Kondisi di atas jauh berbeda dengan keadaan kota-kota besar Islam pada waktu yang sama. Seperti di kota Cordoba, ibukota Andalus di Spanyol. Cordoba dikelilingi taman-taman hijau. Penduduknya lebih dari satu juta jiwa. Terdapat 900 tempat pemandian, 283.000 rumah penduduk, 80.000 gedung-gedung, 600 masjid, 50 rumah sakit, dan 80 sekolah. Semua penduduknya terpelajar. Karena orang-orang miskin pun menuntut ilmu secara cuma-cuma. Selain ketinggian peradaban Islam, para ilmuwan Muslim juga punya peran besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dunia.
Dari beberapa contoh konkrit di atas terlihat demikian tinggi semangat kaum muslimin waktu itu untuk meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan sains. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi dan kontribusi yang besar terhadap peradaban manusia. Hasil penelitian mereka sampai saat ini menjadi pijakan pengembangan sains Barat moderen, meskipun kebanyakan sarjana Barat tidak mengakuinya.
Ironisnya, ketinggian peradaban Islam masa lampau terutama di bidang sains kurang diketahui oleh kaum muslimin di jaman sekarang. Beberapa sarjana telah berupaya untuk menampilkan sains Islam dan jasa-jasa ilmuwan muslim pada masa lampau. Namun belum cukup untuk menyadarkan umat dan membuat percaya bahwa perabadan Islam pernah berjaya, terutama di bidang sains dalam kurun waktu kurang lebih 700 tahun.
Jurang pemisah yang demikian lebar antara kondisi umat Islam pada waktu itu dengan sekarang ini harus dipersempit. Umat, khususnya para ilmuwan muslim harus melihat kebelakang untuk menarik keterkaitan benang merah sejarah perabadan untuk bangkit dan melesat ke depan mengungguli perabadan Barat yang tengah memimpin dunia. Dimulai dari menggali kembali sejarah untuk membangkitkan rasa percaya diri dan bangga atas peradaban Islam melalui kajian pada kontribusi ilmuwan-ilmuwan pada waktu termasuk tradisi ilmu yang berkembang di sana.
Salah satu ilmuwan Islam yang terpandang baik di kalangan umat Islam maupun Barat adalah Al-Khawarizmi. Beliau adalah ilmuwan yang menguasai ilmu matematika, astronomi dan geografi. Selain itu beliau juga pakar di bidang bahasa dan musik. Kepakaran Al-Khawarizmi di bidang matematika perlu dikaji lebih mendalam oleh generasi muda saat ini karena Al-Khawarizmi telah meletakkan dasar ilmu matematika dalam hal ini Aljabar, Aritmetika dan Trigonometri. Ilmu-ilmu tersebut merupakan landasan bagi perkembangan sains di masa-masa berikutnya. Selain itu, kebanyakan pelajar –terutama pelajar muslim saat ini enggan untuk mempelajari ilmu matematika karena dirasakan sebagai bidang yang sulit dan menjemukan. Dengan mempelajari kontribusi Al-Khawarizmi dalam bidang matematika diharapkan pelajar muslim saat ini akan merasa bangga dan mengikuti jejak langkahnya. Dengan demikian suatu saat akan lahir Al-Khawarizmi-Al-Khawarizmi baru di abad modern ini.
PEMIKIRAN DAN GERAKAN IMADUDDIN ABDURRAHIM
oleh : DR.KH.Misbah Anam, M.Sos.I
Pada waktunya (dulu) tanah air memerlukan pahlawan-pahlawan senjata, tetapi lain waktu diperlukannya pula pahlawan-pahlawan lain yang tidak kurang pentingnya, yakni pahlawan-pahlawan pembangunan . Harus ada sekelompok orang yang memperdalam pengetahuan , sehingga pembangunan memberikan dampak yang baik bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat . Usaha memperdalam pengetahuan tersebut ditempuh melalui pendidikan, yang difahami sebagai human investment yang sangat strategis untuk mempersiapkan generasi yang akan datang .
Diantara generasi yang diharapkan akan ikut serta dalam pembangunan adalah para mahasiswa, kedudukan mereka sangat strategis sebagai calon cendekiawan, ilmuwan, pendidik dan pemimpin masa depan . Terlebih bagi mahasiswa Islam, yang mana persoalan yang dihadapi tidak saja berupa masalah studi (ilmiah), akan tetapi juga berhubungan langsung dengan eksistensi, keutuhan dan kelestarian karakter ke-Islaman. Abul A’la Maududi menyebutkan, kehidupan umat Islam tak akan utuh kecuali jika generasi muda sekarang tidak berada dalam situasi pengkaderan dan persiapan di lembaga-lembaga pendidikan dan mereka sungguh-sungguh memegang kebudayaan Islam dan membawanya sebagai bendera kehidupan untuk disebarluaskan. Untuk memindahkan kebudayaan Islam kepada generasi berikutnya, akan dicapai dengan cara, mahasiswa itu sendiri bangkit untuk merealisasikan artinya mahasiswa menggunakan kemampuan intelektualnya (mampu berfikir) untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemampuan tersebut didukung oleh ajaran dasar dalam Islam yaitu, akidah tauhid, kerasulan dan tentang hari berbangkit .
Mahasiswa adalah salah satu komunitas yang sering-kali mendapatkan predikat manusia-manusia yang memiliki ilmu pengetahuan. Maka dengan demikian, predikat tersebut akan memiliki konsekwensi adanya kesempatan untuk dapat berbuat lebih banyak dibanding komunitas manusia yang lain. Untuk mewujudkan kemanfatan ilmu pengetahuan lebih luas maka setiap mahasiswa muslim dituntut tidak saja menguasai bidang keilmuan yang digelutinya tapi juga berusaha menguatkan identitas ke-Islam-mannya sebagai pertanggung jawaban atas keberadaanya dia sebagai khalifah fil ard juga sebagai ‘abdullah .
Dengan kemampuan intelektual dan dukungan ajaran yang paling mendasar, maka perlu dirancang suatu model kaderisasi yang lebih spesifik terhadap mahasiswa tetapi tetap moderat terhadap perkembangan zaman. Ke-cendikiawan-nya memiliki arti ilmuwan yang dekat dengan masyarakat dan berada di tengah-tengah masyarakat sebagai pendidik.
Peranan cendekiawan dalam membangun masyarakat terletak dalam usahanya, dalam kehidupanya yang selalu dinamis, karena jika tidak demikian ia akan menyerah pada determinisme historis yang akan melenyapkan kepribadian dan komitmennya. Perbedaan antara determinisme historis dan determenisme Tuhan adalah, bahwa kita diciptakan oleh Tuhan, bukan oleh kekuatan-kekuatan sejarah, sehingga semestinya kita harus lebih baik dan lebih unggul daripada determinisme historis .
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, sudah sejak tahun 1962 dikeluarkan instruksi menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), agar di setiap perguruan tinggi wajib diajarkan pengetahuan agama sesuai dengan agama yang dianut mahasiswa masing-masing . Intruksi tersebut khususnya terkait dengan perguruan tinggi umum, tidak bagi Perguruan Tinggi Agama yang (memang) pendiriannya dipersiapkan untuk menyempunakan pendidikan yang diadakan oleh pesantren.
Instruksi tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh perguruan tinggi umum dengan memberikan kuliah agama sebagai mata kuliah wajib. Mata kuliah agama di PT umum di pandang perlu karena berbaagai hal diantaranya adalah; Pertama, “Pendidikan Agama Islam (PAI) di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau kelompok-kelompok agama, nampaknya tidak menghadapi banyak persoalan dibandingkan dengan pelaksanaan PAI di lembaga-lembaga pendidikan umum (yang dikelola Depdiknas) sejak tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT) . Kedua, “Pendidikan keimanan dan ketakwaan di berbagai lembaga pendidikan dewasa ini masih berada pada tataran normative, upaya pengembangan pendidikan keimanan dan ketakwaan belum menyentuh ranah yang seharusnya” . Maka pendidikan agama tidak boleh berhenti sebatas pada ranah kognitif, tapi juga harus menjawab permasalahan afaktif dan juga psikomotorik.
Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satu perguruan tinggi umum yang juga melaksanakan kuliah agama bagi para mahasiswanya. Bagi mahasiswa yang beragama Islam, maka kewajiban tersebut harus diambil selama kuliah, ia masuk dalam mata kuliah non-engineering.
Bagi mata kuliah agama Islam ternyata ada masalah yang timbul kemudian yaitu pada persoalan teknis, yaitu siapa yang akan mengajarkan mata kuliah ini sesuai dengan pola berfikir mahasiswa yang berbasis rasional (ilmu-ilmu esakta). Dosen agama Islam pada saat instruksi tahun 1962 hanya dapat disedikan tiga dosen, padahal mahasiswa Muslim terdiri lebih dari 1000 mahasiswa, kekurangan dosen berimbas pada ketersediaan waktu kuliah, yang mengakibatkan banyaknya mahasiswa Muslim yang mengambil mata kuliah agama lain khusunya Kristen agar cepat lulus .
Pada tahun-tahun awal berdirinya lembaga pendidikan dan demikian juga perguruan tinggi baik agama ataupun umum memiliki prioritas utama pada tugas-tugas militer dan politik. Ki Hadjar Dewantoro sebagai menteri pendidikan pertama pada 29 September 1945, mengeluarkan sebuah pedoman pendidikan darurat yang lebih dimaksudkan untuk mengukuhkan semangat nasionalisme dengan cara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap hari dan menaikkan Bendera Merah Putih, ketimbang mengarahkan program-program pendidikan .
Benih gairah ke-Islaman secara sederhana sudah dimilai sejak berdirinya STI di Yogyakarta dengan HMI-nya yang dipelopori oleh Lafran Pane. Pada masa berikutnya kemudian semakin marak gerakan-gerakan keagamaan intra dan ekstra kampus juga mulai tumbuh dari PTU. Azumardi Azra mempetakannya dalam tiga (3) kelompok. Pertama, kelompok “common” merupakan kelompok mayoritas, yaitu para mahasiswa muslim yang mengamalkan ajaran Islam seadanya serta cenderung tradisioanl dan konvensioanl, sebagaian mereka bahkan tak begitu concern terhadap agamanya. Kedua, mahasiswa yang berlatar belakang keislaman sangat kuat, baik dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap agamanya dan dalam konteks akademis adalah untuk meningkatkan kemampuan berorganisasi dan keterampilan ilmiah. Mereka memiliki hubungan dengan para senior di jabatan publik baik partai maupun ormas kegamaan. Dan Ketiga, kelompok mahasiswa yang lebih berorientasi kepada pengamalan Islam secara kaffah. Mereka banyak terilhami oleh gerakan ataupun tokoh Islam internasional (Ikhwanu al-Muslimin di Mesir ataupun Jama’at Islam di Pakistan) . Juga kreasi-kreasi lokal, dengan bentuk kajian Islam intensif dalam usrah. Kelompok inilah yang kemudian menyelenggarakan kegiatan tutorial atau mentoring keagamaan di Masjid-masjid kampus, dalam bentuk Kultum (kuliah tujuh menit) setelah shalat, pesantren kilat Ramadhan, mempelopori shalat Jum’at dan jama’ah di lingkungan kampus .
Masalah inilah yang juga kemudian melahirkan kegiatan keagamaan intra-kampus yang di rintis terutama oleh dosen ITB yang bernama Imaduddin Abdurahim. Sarjana teknik elektro yang merasa memiliki tanggung jawab terhadap agama yang diyakininya. Selain mendapatkan didikan agama oleh ayahnya yang sangat keras, ia juga bersekolah di Holands Inlandsce School (HIS), lalu meneruskan ke SMA dan melanjutkan ke ITB kemudian menyelesaikan magister dan dokoralnya ke USA. Keaktifan membangun jaringan dengan sesama Muslim pada akhirnya mengantarkannya untuk bertemu dengan berbagai cendekiawan Muslim local dan dunia. Berawal pertemuanya dengan tokoh-tokoh Masyumi terutama M. Natsir kemudian mengantarkan perjumpaannya dengan Bin Baz, Abu ‘Ala al-Maududi, Ahmad Tontoji dan lain-lain. Perpaduan pendidikan dan lingkungan tersebut yang kemudian banyak mempengaruhi pandangan hidupnya, yaitu gaya santri di satu sisi dan (logika) Barat pada sisi yang lain.
Tidak hanya berfikir ilmiah sebagai seorang akademisi, tapi menuangkan apa yang menjadi keyakinannya dalam sebuah gerakan kaderisasi khususnya bagi kalangan cendekiawan Muslim kampus. Kegiatan kederisasi didesain untuk membentuk gerakan Islam yang berorientasi amaliah dengan dasar pijakan nilai tauhid uluhiyah , tidak sekedar keyakinan (tauhid rububiyah).
Pada waktunya (dulu) tanah air memerlukan pahlawan-pahlawan senjata, tetapi lain waktu diperlukannya pula pahlawan-pahlawan lain yang tidak kurang pentingnya, yakni pahlawan-pahlawan pembangunan . Harus ada sekelompok orang yang memperdalam pengetahuan , sehingga pembangunan memberikan dampak yang baik bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat . Usaha memperdalam pengetahuan tersebut ditempuh melalui pendidikan, yang difahami sebagai human investment yang sangat strategis untuk mempersiapkan generasi yang akan datang .
Diantara generasi yang diharapkan akan ikut serta dalam pembangunan adalah para mahasiswa, kedudukan mereka sangat strategis sebagai calon cendekiawan, ilmuwan, pendidik dan pemimpin masa depan . Terlebih bagi mahasiswa Islam, yang mana persoalan yang dihadapi tidak saja berupa masalah studi (ilmiah), akan tetapi juga berhubungan langsung dengan eksistensi, keutuhan dan kelestarian karakter ke-Islaman. Abul A’la Maududi menyebutkan, kehidupan umat Islam tak akan utuh kecuali jika generasi muda sekarang tidak berada dalam situasi pengkaderan dan persiapan di lembaga-lembaga pendidikan dan mereka sungguh-sungguh memegang kebudayaan Islam dan membawanya sebagai bendera kehidupan untuk disebarluaskan. Untuk memindahkan kebudayaan Islam kepada generasi berikutnya, akan dicapai dengan cara, mahasiswa itu sendiri bangkit untuk merealisasikan artinya mahasiswa menggunakan kemampuan intelektualnya (mampu berfikir) untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemampuan tersebut didukung oleh ajaran dasar dalam Islam yaitu, akidah tauhid, kerasulan dan tentang hari berbangkit .
Mahasiswa adalah salah satu komunitas yang sering-kali mendapatkan predikat manusia-manusia yang memiliki ilmu pengetahuan. Maka dengan demikian, predikat tersebut akan memiliki konsekwensi adanya kesempatan untuk dapat berbuat lebih banyak dibanding komunitas manusia yang lain. Untuk mewujudkan kemanfatan ilmu pengetahuan lebih luas maka setiap mahasiswa muslim dituntut tidak saja menguasai bidang keilmuan yang digelutinya tapi juga berusaha menguatkan identitas ke-Islam-mannya sebagai pertanggung jawaban atas keberadaanya dia sebagai khalifah fil ard juga sebagai ‘abdullah .
Dengan kemampuan intelektual dan dukungan ajaran yang paling mendasar, maka perlu dirancang suatu model kaderisasi yang lebih spesifik terhadap mahasiswa tetapi tetap moderat terhadap perkembangan zaman. Ke-cendikiawan-nya memiliki arti ilmuwan yang dekat dengan masyarakat dan berada di tengah-tengah masyarakat sebagai pendidik.
Peranan cendekiawan dalam membangun masyarakat terletak dalam usahanya, dalam kehidupanya yang selalu dinamis, karena jika tidak demikian ia akan menyerah pada determinisme historis yang akan melenyapkan kepribadian dan komitmennya. Perbedaan antara determinisme historis dan determenisme Tuhan adalah, bahwa kita diciptakan oleh Tuhan, bukan oleh kekuatan-kekuatan sejarah, sehingga semestinya kita harus lebih baik dan lebih unggul daripada determinisme historis .
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, sudah sejak tahun 1962 dikeluarkan instruksi menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), agar di setiap perguruan tinggi wajib diajarkan pengetahuan agama sesuai dengan agama yang dianut mahasiswa masing-masing . Intruksi tersebut khususnya terkait dengan perguruan tinggi umum, tidak bagi Perguruan Tinggi Agama yang (memang) pendiriannya dipersiapkan untuk menyempunakan pendidikan yang diadakan oleh pesantren.
Instruksi tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh perguruan tinggi umum dengan memberikan kuliah agama sebagai mata kuliah wajib. Mata kuliah agama di PT umum di pandang perlu karena berbaagai hal diantaranya adalah; Pertama, “Pendidikan Agama Islam (PAI) di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau kelompok-kelompok agama, nampaknya tidak menghadapi banyak persoalan dibandingkan dengan pelaksanaan PAI di lembaga-lembaga pendidikan umum (yang dikelola Depdiknas) sejak tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT) . Kedua, “Pendidikan keimanan dan ketakwaan di berbagai lembaga pendidikan dewasa ini masih berada pada tataran normative, upaya pengembangan pendidikan keimanan dan ketakwaan belum menyentuh ranah yang seharusnya” . Maka pendidikan agama tidak boleh berhenti sebatas pada ranah kognitif, tapi juga harus menjawab permasalahan afaktif dan juga psikomotorik.
Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satu perguruan tinggi umum yang juga melaksanakan kuliah agama bagi para mahasiswanya. Bagi mahasiswa yang beragama Islam, maka kewajiban tersebut harus diambil selama kuliah, ia masuk dalam mata kuliah non-engineering.
Bagi mata kuliah agama Islam ternyata ada masalah yang timbul kemudian yaitu pada persoalan teknis, yaitu siapa yang akan mengajarkan mata kuliah ini sesuai dengan pola berfikir mahasiswa yang berbasis rasional (ilmu-ilmu esakta). Dosen agama Islam pada saat instruksi tahun 1962 hanya dapat disedikan tiga dosen, padahal mahasiswa Muslim terdiri lebih dari 1000 mahasiswa, kekurangan dosen berimbas pada ketersediaan waktu kuliah, yang mengakibatkan banyaknya mahasiswa Muslim yang mengambil mata kuliah agama lain khusunya Kristen agar cepat lulus .
Pada tahun-tahun awal berdirinya lembaga pendidikan dan demikian juga perguruan tinggi baik agama ataupun umum memiliki prioritas utama pada tugas-tugas militer dan politik. Ki Hadjar Dewantoro sebagai menteri pendidikan pertama pada 29 September 1945, mengeluarkan sebuah pedoman pendidikan darurat yang lebih dimaksudkan untuk mengukuhkan semangat nasionalisme dengan cara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap hari dan menaikkan Bendera Merah Putih, ketimbang mengarahkan program-program pendidikan .
Benih gairah ke-Islaman secara sederhana sudah dimilai sejak berdirinya STI di Yogyakarta dengan HMI-nya yang dipelopori oleh Lafran Pane. Pada masa berikutnya kemudian semakin marak gerakan-gerakan keagamaan intra dan ekstra kampus juga mulai tumbuh dari PTU. Azumardi Azra mempetakannya dalam tiga (3) kelompok. Pertama, kelompok “common” merupakan kelompok mayoritas, yaitu para mahasiswa muslim yang mengamalkan ajaran Islam seadanya serta cenderung tradisioanl dan konvensioanl, sebagaian mereka bahkan tak begitu concern terhadap agamanya. Kedua, mahasiswa yang berlatar belakang keislaman sangat kuat, baik dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap agamanya dan dalam konteks akademis adalah untuk meningkatkan kemampuan berorganisasi dan keterampilan ilmiah. Mereka memiliki hubungan dengan para senior di jabatan publik baik partai maupun ormas kegamaan. Dan Ketiga, kelompok mahasiswa yang lebih berorientasi kepada pengamalan Islam secara kaffah. Mereka banyak terilhami oleh gerakan ataupun tokoh Islam internasional (Ikhwanu al-Muslimin di Mesir ataupun Jama’at Islam di Pakistan) . Juga kreasi-kreasi lokal, dengan bentuk kajian Islam intensif dalam usrah. Kelompok inilah yang kemudian menyelenggarakan kegiatan tutorial atau mentoring keagamaan di Masjid-masjid kampus, dalam bentuk Kultum (kuliah tujuh menit) setelah shalat, pesantren kilat Ramadhan, mempelopori shalat Jum’at dan jama’ah di lingkungan kampus .
Masalah inilah yang juga kemudian melahirkan kegiatan keagamaan intra-kampus yang di rintis terutama oleh dosen ITB yang bernama Imaduddin Abdurahim. Sarjana teknik elektro yang merasa memiliki tanggung jawab terhadap agama yang diyakininya. Selain mendapatkan didikan agama oleh ayahnya yang sangat keras, ia juga bersekolah di Holands Inlandsce School (HIS), lalu meneruskan ke SMA dan melanjutkan ke ITB kemudian menyelesaikan magister dan dokoralnya ke USA. Keaktifan membangun jaringan dengan sesama Muslim pada akhirnya mengantarkannya untuk bertemu dengan berbagai cendekiawan Muslim local dan dunia. Berawal pertemuanya dengan tokoh-tokoh Masyumi terutama M. Natsir kemudian mengantarkan perjumpaannya dengan Bin Baz, Abu ‘Ala al-Maududi, Ahmad Tontoji dan lain-lain. Perpaduan pendidikan dan lingkungan tersebut yang kemudian banyak mempengaruhi pandangan hidupnya, yaitu gaya santri di satu sisi dan (logika) Barat pada sisi yang lain.
Tidak hanya berfikir ilmiah sebagai seorang akademisi, tapi menuangkan apa yang menjadi keyakinannya dalam sebuah gerakan kaderisasi khususnya bagi kalangan cendekiawan Muslim kampus. Kegiatan kederisasi didesain untuk membentuk gerakan Islam yang berorientasi amaliah dengan dasar pijakan nilai tauhid uluhiyah , tidak sekedar keyakinan (tauhid rububiyah).
Haji dan Qurban
oleh : DR. KH.Rahmad Morado, Lc, M.A
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحمد لله نستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله لا نبي بعده.
قال الله تعالى : يآيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
يآبها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام
إن الله كان عليكم رقيبا
يآيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم فى العالمين إنك حميد مجيد
Segala puji bagi Allah atas karunia-Nya yang selalu dilimpahkan kepada hamba-Nya tanpa henti dan terputus. Sehingga allah mengizinkan kita untuk mengikuti ibadah agung ini yaitu shalat Idul Adha di tempat yang diberkahi ini insya Allah.
Shalawat serta salam semoga selalu tersampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad S.A.W. beserta para keluarga, sahabat, tabi’in dan seluruh pengikutnya yang selalu setia terhadap ajaran dan tuntunannya.
Idul Adha atau lebaran haji yang kita rayakan ini, merupakan momen yang sangat penting bagi perjalanan dakwah Islam. Ibadah haji yang dilakukan Rasulullah S.A.W. hanyalah sekali dalam hidupnya, namun mempunyai kesan dan pesan yang berharga bagi seluruh ummatnya.
Rasulullah melakukan haji di penghujung hayatnya, pada tahun ke 10 Hijriah dengan rombongan sahabat, memenuhi panggilan Allah S.W.T. Betapa beratnya haji yang dilakukan Rasulullah S.A.W. pada waktu itu, dimana tidak ada transportasi seperti sekarang ini. Ditengah tanah yang tandus, tak ada air, Rasulullah S.A.W. melakukannya dengan penuh kesabaran dan perjuangan. Di padang Arafah, di Aqabah dan lainnya, sungguh ibadah haji mengajarkan kepada kita agar selalu berjuang bagaimanapun rintangan yang kita hadapi.
Kisah haji dimulai dengan seorang istri yang shalehah dan penyabar yang ikhlas ditinggal oleh suaminya Ibrahim A.S. yang diperintahkan untuk pergi ke negeri Mekkah oleh Allah S.W.T.. Seorang istri yang tidak bertemu lagi dengan suaminya sampai ia wafat. Ia adalah Siti Hajar A.S. yang telah memberikan pelajaran bagi setiap istri, bagi setiap ibu agar selalu sabar, tabah dan ikhlas dalam berumah tangga. Agar ikhlas menjalani tugas sebagai ibu. Agar selalu taat kepada Allah atas segala perintahnya untuk mendapatkan keridhaannya walaupun itu sering terkesan pahit. Agar selalu ta’at kepada suami sebagai kepala rumah tangga, meminta izin kepadanya kemanapun ia ingin pergi.
Adalah Ismail A.S. seorang nabi, ketika kecil dididik oleh ibunya Hajar A.S.. yang menjalani hidup dengan penuh kesabaran bersama ibunya. Tumbuh dalam keimanan yang tinggi kepada Allah. Rasa tawakkal yang memenuhi hatinya membuat Ismail menjadi yakin terhadap karunia Allah dan kasih sayangnya walaupun ayah tercinta jauh darinya di negeri lain. Isma’il A.S. dinikahkan oleh seorang perempuan dari kabilah Jurhum, mereka pendatang dari Yaman. Mereka menempati Mekkah dan darisitulah Ismail belajar bahasa Arab dan berkeluarga. Nabi Ismail menikah, namun ibunya telah meninggal sebelumnya. Pada suatu hari setelah Ismail A.S. telah menikah. Bapaknya Ibrahim A.S. datang mengunjungi anaknya, namun beliau tidak mendapatkan anaknya. Ibrahim A.S. mengetuk pintunya dan dibukakan oleh istrinya Ismail A.S.. Kemudian Ibrahim A.S. menanyakan tentang kehidupan mereka dan keadaan mereka. Ia berkata: kami tidak baik, kami hidup dalam kesempitan dan kesusahan. Maka istrinya menceritakan keadaannya kepada Ibrahim A.S.. Ibrahim A.S. pun berkata: “apabila datang suamimu maka sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya agar ia mengganti pintu rumahnya. Maka ketika datang Ismail A.S. ia pun bertanya: apakah datang seseorang? Istrinya menjawab: iya, telah datang kepada kami orang tua (sambil merendahkan kedudukannya). Ia menanyakan kami tentang mu dan ia menanyakan juga tentang kehidupan kita. Aku beritahukan ia bahwa kita dalam keadaaan susah dan payah. Ismai A.S. berkata: Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu? Istrinya menjawab: Iya. Aku disuruh untuk mengucapkan salam kepadamu dan ia berkata gantilah pintumu. Ismail pun berkata: itu adalah bapakku dan ia memerintahkan aku untuk berpisah darimu. Maka Ismail menceraikannya dan menikahi perempuan lain dari kabilah Jurhum. Ibrahim A.S. pergi dan hanya meninggalkan pesan kepada anaknya untuk dilaksanakan. Kemudian setelah beberapa waktu Ibrahim kembali mengunjungi anaknya, namun – sama seperti kedatangannya yang pertama ia tidak mendapatkan anaknya. Ia menemui istri Isma’il dan menanyakan tentang Ismail. Istrinya menjawab: ia sedang keluar mencari rizki untuk kami. Ibrahim bertanya: bagaimana kehidupan dan keadaan kalian? Istrinya menjawab:”Kami baik-baik dan lapang. Istrinya memuji Allah. Ibrahim bertanya: apa makanan kalian? Istrinya menjawab: “daging” Ibrahim bertanya”apa minuman kalian ? istri Ismail menjawab “air” maka berkatalah Ibrahim اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي اللَّحْمِ وَالْمَاءِ Ya Allah berkahilah bagi mereka dalam daging dan air. Rasulullah S.A.W. bersabda: Tidak ada seorang pun di kota mekkah kecuali memakan daging dan meminum air. Apabila datang suamimu (Ismail A.S.) maka bacakan kepadanya salam dan perintahkan ia untuk mengencangkan pintu rumahnya. Ketika datang Ismai’il A.S. ia berkata: “apakah datang kepada kalian seseorang? Istrinya menjawab: “telah datang kepada kami orang tua yang baik penampilannya dan ia memujinya maka ia menanyakan kepadaku tentang engkau. Aku beritahukan ia dan ia bertanya kepadaku tentang kehidupan kita maka aku beritahukan ia bahwa kita dalam keadaan baik. Isma’il bertanya: apakah ia berpesan sesuatu kepadamu? Istrinya menjawab: iya. Ia membacakan salam kepadamu dan memerintahkan engkau agar mengencangkan ambang pintu rumahmu. Ismail A.S. berkata: Itu adalah bapakku dan engkau adalah pintunya. Tak lama setelah itu datanglah bapaknya Ibrahim A.S.. Kali ini ia bertemu dengan anaknya yang sangat ia cintai setelah lama tidak berjumpa. Ketika Ibrahim melihatnya ia langsung memeluknya. Ibrahim A.S. meminta anaknya untuk membantu bapaknya dalam membangun rumah Allah di tempat itu. Tanpa ragu Ismail A.S. membantu bapaknya dalam pembangunan Ka’bah. Ismail membawa batu dan Ibrahim meletakkannya. Hingga apabila bangunan itu tinggi dan Ibrahim A.S. menaiki batu untuk melanjutkan membangun Ka’bah seraya berkata ia dan anaknya “رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ Allah Tuhan kami terimalah amal kami sesungguhnya engkau Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Kemudian mereka thawaf dan berdo’a dengan do’a yang sama.
Saudara-saudariku, Allah memerintahkan kita untuk taat kepada orang tua, memuliakan mereka. Selalu mendo’akan mereka apabila mereka telah tiada atau berpisah dari kita. Kisah ini juga mengingatkan kita untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh kesabaran. Kita harus meyakini jika kita sabar maka Allah akan memberikan kita kebaikan dan ganti yang baik dari sebuah musibah yang kita alami.
Saudara-Saudariku, kita hendaknya banyak bersyukur atas Iman dan Islam yang kita miliki. Kita yakin bahwa dengan keimanan yang benar akan mengantarkan kita ke surga. Hanyalah Islam agama yang benar dan diridhai Allah S.W.T. Marilah kita bangga dengan identitas kita sebagai muslim. Dimanapun kita berada kita tidak lupa untuk melakukan shalat. Dimanapun kita, ayat-ayat Allah kita lantunkan dan kita amalkan tanpa malu dan enggan untuk membawa Al-Quran.
Saudara-saudariku, kita semua milik Allah. Kita akan kembali kepada Allah cepat ataupun lambat. Musibah-musibah yang menimpa Indonesia ini seharusnya sudah cukup menjadi peringatan kepada kita bahwa hari kiamat sudah dekat. Dan ini adalah tanda-tanda hari kiamat besar. Sesuai dengan sabda Rasulullah S.A.W.
“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai diangkatnya ilmu, terjadi banyak gempa (baik di dalam bumi, gunung ataupun laut), berdekatannya waktu, timbulnya banyak fitnah, banyaknya pembunuhan, banyaknya harta sehingga melimpah. H.R.Bukhari dari Abu Hurairah
Marilah kita persiapkan amal shaleh kita tanpa menunda-nundanya dari sekarang. Agar Allah ridha kepada kita ketika Allah memanggil kita. Amiin.
Kisah lain yaitu kisah kurban, Allah telah mengabadikannya dalam surat as-Shaffat dari ayat 99 sampai ayat 111 telah mengajarkan kepada kita pelajaran-pelajaran yang sangat berharga yang patut kita renungi dan aplikasikan dalam keseharian kita.
Ia Adalah seorang Isma’il A.S. yang telah tumbuh besar. Pada suatu hari Allah meminta Ibrahim A.S. untuk menyembelih anaknya tersebut sebagai kurban (yaitu sebagai pendekatan kepada Allah S.W.T.). Perintah ini berupa mimpi yang dialami oleh Ibrahim A.S.. Beliau mendapatkan sedang menyembelih anaknya. Nabi Ibrahim menceritakan mimpinya kepada anaknya. Ibrahim berkata” Aku melihat dalam mimpiku aku sedang menyembelihmu, bagaimana menurutmu anakku”. Anaknya langsung memahaminya sebagai perintah dari Allah S.W.T. dan tanpa ragu ia menjawab “ wahai bapakku lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar”. Seorang bapak yang siap untuk melakukan apa saja yang Allah perintahkan walaupun hal itu keluar dari logika dan perasaan manusia. Seorang anak yang sabar dan siap menerima perintah dari Allah, sepahit apapun perintah itu, bahkan bisa menghilangkan nyawanya, namun karena ia tahu itu adalah perintah Allah. Tanpa ragu ia mengatakan kepada ayahnya agar segera melaksanakan perintah tersebut.
Saudara-saudariku se-Iman dan se-Islam. Kisah ini sangat menggetarkan hati kita. Kisah ini mengajarkan kepada kita agar beriman kepadanya dengan sebenar-benarnya iman, bertakwa kepadanya dengan sebenar-benarnya. Seseorang tidak dapat mencapai derajat ketakwaan tanpa pengorbanan. Seseorang harus berkorban dengan dirinya dan hartanya agar Allah mencintainya. Kejadian alam yang menimpa bumi indonesia baik itu meletusnya gunung merapi atau terjadinya tsunami seharusnya dapat memberikan semangat kepada kita agar dapat membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah disana. Bantuan materi dan non materi sangat dibutuhkan oleh mereka.
Saudara-saudariku, Islam adalah agama yang bersumber dari wahyu yaitu dari Quran dan Sunnah. Segala aturan dan ajaran agama yang mulia ini tidak bisa selamanya masuk dalam logika atau perasaan manusia. Oleh sebab itu Islam menyuruh kita sebagai pemeluknya agar selalu tunduk kepada ajarannya walaupun sering perasaan dan logika kita tidak sesuai. Kita harus membendung segala logika dan perasaan yang melawan ajaran agama Islam. Karena Allah mempunyai hikmah dari segala apa yang Ia syari’atkan kepada hambanya yang mungkin manusia itu belum bisa mencerna dengan akal dan perasaannya. Islam bukanlah agama “menurut saya” atau “kayaknya” tapi Islam adalah agama “Allah berfirman” “Rasulullah S.A.W. bersabda”.
Saudara-saudariku, tak lupa khatib ingin menyampaikan di hari yang berbahagia ini pesan Rasulullah S.A.W. dalam khutbah id nya. Berikut adalah pesan yang disampaikan Rasulullah S.A.W. ketika haji Wada’:
Pesan Haji Rasulullah S.A.W
Dalam hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Jabir R.A:
..إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا أَلَا كُلُّ شَيْءٍ
مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوعٌ وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ.
.
Sesungguhnya darah-darah kalian dan harta-harta kalian adalah haram atas kalian seperti haramnya hari kalian ini dalam bulan kalian ini di negeri kalian ini. Ingatlah setiap sesuatu dari perkara jahiliyyah telah ditinggalkan. Darah-darah jahiliyyah telah ditinggalkan.
..فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّساءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ
أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ..
Maka bertakwalah kepada Allah dalam perempuan (jagalah mereka). Karena sesunggunya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah dan kalian menjadi halal atas kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Bagi kalian janganlah sampai mereka memasukkan kedalam rumah kalian orang-orang yang memang kalian tidak menginginkan mereka masuk. Maka apabila mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka yang tidak melukai. Dan berikanlah kepada mereka rizkinya dan pakaiannya dengan baik. Dan aku telah meninggalkan sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelahnya apabila kalian berpegang teguh dengannya yaitu Kitabullah.
Saudara-saudariku, tidak boleh seseorang menganiaya saudaranya se-Islam apalagi sampai menumpahkan darahnya atau menghilangkan nyawanya. Allah juga telah mengharamkan riba dalam setiap transaksi moneter.
Saudara-saudariku, istri-istri kita, anak-anak perempuan kita, adalah harta yang berharga bagi kita untuk lebih dijaga lagi. Mereka butuh bimbingan khusus agar mereka tidak salah mengambil jalan dalam hidup yang sangat singkat ini. Kita harus menjaga mereka dari segala yang dapat menodai ahlak dan agama perempuan dari ummat ini, ummat nabi Muhammad S.A.W.
Pada penghujung khutbah ini marilah kita mengangkat tangan, memohon kepada Allah agar para korban merapi dan mentawai diberikan kekuatan oleh Allah S.W.T. dan kesabaran. Korban yang telah meninggal semoga Allah menerima segala amal baik mereka. Korban yang sakit semoga Allah memberikan kesembuhan. Korban yang kelaparan semoga Allah memberikan bantuan dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
اللهم ارحم المستضعفين من المسلمين في بلادنا إندونيسيا . اللهم إنهم عراة فاكسهم اللهم إنهم جيعان فأطعمهم. اللهم إنهم عبادك فارحمهم وصبرهم وثبتهم على الإسلام.
اللهم ادفع عنا البلاء ودرك الشقاء وسوء القضاء. اللهم اجعل هذا البلد إندونيسيا بلدا آمنا مطمئنا يأتيه رزقه رغدا من كل مكان برحمتك يا أرحم الراحمين. اللهم ارزقنا رزقا حلالا واسعا مباركا فيه
اللهم تقبل منا إنك أنت السميع العليم. ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفى الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحمد لله نستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله لا نبي بعده.
قال الله تعالى : يآيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
يآبها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام
إن الله كان عليكم رقيبا
يآيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم فى العالمين إنك حميد مجيد
Segala puji bagi Allah atas karunia-Nya yang selalu dilimpahkan kepada hamba-Nya tanpa henti dan terputus. Sehingga allah mengizinkan kita untuk mengikuti ibadah agung ini yaitu shalat Idul Adha di tempat yang diberkahi ini insya Allah.
Shalawat serta salam semoga selalu tersampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad S.A.W. beserta para keluarga, sahabat, tabi’in dan seluruh pengikutnya yang selalu setia terhadap ajaran dan tuntunannya.
Idul Adha atau lebaran haji yang kita rayakan ini, merupakan momen yang sangat penting bagi perjalanan dakwah Islam. Ibadah haji yang dilakukan Rasulullah S.A.W. hanyalah sekali dalam hidupnya, namun mempunyai kesan dan pesan yang berharga bagi seluruh ummatnya.
Rasulullah melakukan haji di penghujung hayatnya, pada tahun ke 10 Hijriah dengan rombongan sahabat, memenuhi panggilan Allah S.W.T. Betapa beratnya haji yang dilakukan Rasulullah S.A.W. pada waktu itu, dimana tidak ada transportasi seperti sekarang ini. Ditengah tanah yang tandus, tak ada air, Rasulullah S.A.W. melakukannya dengan penuh kesabaran dan perjuangan. Di padang Arafah, di Aqabah dan lainnya, sungguh ibadah haji mengajarkan kepada kita agar selalu berjuang bagaimanapun rintangan yang kita hadapi.
Kisah haji dimulai dengan seorang istri yang shalehah dan penyabar yang ikhlas ditinggal oleh suaminya Ibrahim A.S. yang diperintahkan untuk pergi ke negeri Mekkah oleh Allah S.W.T.. Seorang istri yang tidak bertemu lagi dengan suaminya sampai ia wafat. Ia adalah Siti Hajar A.S. yang telah memberikan pelajaran bagi setiap istri, bagi setiap ibu agar selalu sabar, tabah dan ikhlas dalam berumah tangga. Agar ikhlas menjalani tugas sebagai ibu. Agar selalu taat kepada Allah atas segala perintahnya untuk mendapatkan keridhaannya walaupun itu sering terkesan pahit. Agar selalu ta’at kepada suami sebagai kepala rumah tangga, meminta izin kepadanya kemanapun ia ingin pergi.
Adalah Ismail A.S. seorang nabi, ketika kecil dididik oleh ibunya Hajar A.S.. yang menjalani hidup dengan penuh kesabaran bersama ibunya. Tumbuh dalam keimanan yang tinggi kepada Allah. Rasa tawakkal yang memenuhi hatinya membuat Ismail menjadi yakin terhadap karunia Allah dan kasih sayangnya walaupun ayah tercinta jauh darinya di negeri lain. Isma’il A.S. dinikahkan oleh seorang perempuan dari kabilah Jurhum, mereka pendatang dari Yaman. Mereka menempati Mekkah dan darisitulah Ismail belajar bahasa Arab dan berkeluarga. Nabi Ismail menikah, namun ibunya telah meninggal sebelumnya. Pada suatu hari setelah Ismail A.S. telah menikah. Bapaknya Ibrahim A.S. datang mengunjungi anaknya, namun beliau tidak mendapatkan anaknya. Ibrahim A.S. mengetuk pintunya dan dibukakan oleh istrinya Ismail A.S.. Kemudian Ibrahim A.S. menanyakan tentang kehidupan mereka dan keadaan mereka. Ia berkata: kami tidak baik, kami hidup dalam kesempitan dan kesusahan. Maka istrinya menceritakan keadaannya kepada Ibrahim A.S.. Ibrahim A.S. pun berkata: “apabila datang suamimu maka sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya agar ia mengganti pintu rumahnya. Maka ketika datang Ismail A.S. ia pun bertanya: apakah datang seseorang? Istrinya menjawab: iya, telah datang kepada kami orang tua (sambil merendahkan kedudukannya). Ia menanyakan kami tentang mu dan ia menanyakan juga tentang kehidupan kita. Aku beritahukan ia bahwa kita dalam keadaaan susah dan payah. Ismai A.S. berkata: Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu? Istrinya menjawab: Iya. Aku disuruh untuk mengucapkan salam kepadamu dan ia berkata gantilah pintumu. Ismail pun berkata: itu adalah bapakku dan ia memerintahkan aku untuk berpisah darimu. Maka Ismail menceraikannya dan menikahi perempuan lain dari kabilah Jurhum. Ibrahim A.S. pergi dan hanya meninggalkan pesan kepada anaknya untuk dilaksanakan. Kemudian setelah beberapa waktu Ibrahim kembali mengunjungi anaknya, namun – sama seperti kedatangannya yang pertama ia tidak mendapatkan anaknya. Ia menemui istri Isma’il dan menanyakan tentang Ismail. Istrinya menjawab: ia sedang keluar mencari rizki untuk kami. Ibrahim bertanya: bagaimana kehidupan dan keadaan kalian? Istrinya menjawab:”Kami baik-baik dan lapang. Istrinya memuji Allah. Ibrahim bertanya: apa makanan kalian? Istrinya menjawab: “daging” Ibrahim bertanya”apa minuman kalian ? istri Ismail menjawab “air” maka berkatalah Ibrahim اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي اللَّحْمِ وَالْمَاءِ Ya Allah berkahilah bagi mereka dalam daging dan air. Rasulullah S.A.W. bersabda: Tidak ada seorang pun di kota mekkah kecuali memakan daging dan meminum air. Apabila datang suamimu (Ismail A.S.) maka bacakan kepadanya salam dan perintahkan ia untuk mengencangkan pintu rumahnya. Ketika datang Ismai’il A.S. ia berkata: “apakah datang kepada kalian seseorang? Istrinya menjawab: “telah datang kepada kami orang tua yang baik penampilannya dan ia memujinya maka ia menanyakan kepadaku tentang engkau. Aku beritahukan ia dan ia bertanya kepadaku tentang kehidupan kita maka aku beritahukan ia bahwa kita dalam keadaan baik. Isma’il bertanya: apakah ia berpesan sesuatu kepadamu? Istrinya menjawab: iya. Ia membacakan salam kepadamu dan memerintahkan engkau agar mengencangkan ambang pintu rumahmu. Ismail A.S. berkata: Itu adalah bapakku dan engkau adalah pintunya. Tak lama setelah itu datanglah bapaknya Ibrahim A.S.. Kali ini ia bertemu dengan anaknya yang sangat ia cintai setelah lama tidak berjumpa. Ketika Ibrahim melihatnya ia langsung memeluknya. Ibrahim A.S. meminta anaknya untuk membantu bapaknya dalam membangun rumah Allah di tempat itu. Tanpa ragu Ismail A.S. membantu bapaknya dalam pembangunan Ka’bah. Ismail membawa batu dan Ibrahim meletakkannya. Hingga apabila bangunan itu tinggi dan Ibrahim A.S. menaiki batu untuk melanjutkan membangun Ka’bah seraya berkata ia dan anaknya “رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ Allah Tuhan kami terimalah amal kami sesungguhnya engkau Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Kemudian mereka thawaf dan berdo’a dengan do’a yang sama.
Saudara-saudariku, Allah memerintahkan kita untuk taat kepada orang tua, memuliakan mereka. Selalu mendo’akan mereka apabila mereka telah tiada atau berpisah dari kita. Kisah ini juga mengingatkan kita untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh kesabaran. Kita harus meyakini jika kita sabar maka Allah akan memberikan kita kebaikan dan ganti yang baik dari sebuah musibah yang kita alami.
Saudara-Saudariku, kita hendaknya banyak bersyukur atas Iman dan Islam yang kita miliki. Kita yakin bahwa dengan keimanan yang benar akan mengantarkan kita ke surga. Hanyalah Islam agama yang benar dan diridhai Allah S.W.T. Marilah kita bangga dengan identitas kita sebagai muslim. Dimanapun kita berada kita tidak lupa untuk melakukan shalat. Dimanapun kita, ayat-ayat Allah kita lantunkan dan kita amalkan tanpa malu dan enggan untuk membawa Al-Quran.
Saudara-saudariku, kita semua milik Allah. Kita akan kembali kepada Allah cepat ataupun lambat. Musibah-musibah yang menimpa Indonesia ini seharusnya sudah cukup menjadi peringatan kepada kita bahwa hari kiamat sudah dekat. Dan ini adalah tanda-tanda hari kiamat besar. Sesuai dengan sabda Rasulullah S.A.W.
“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai diangkatnya ilmu, terjadi banyak gempa (baik di dalam bumi, gunung ataupun laut), berdekatannya waktu, timbulnya banyak fitnah, banyaknya pembunuhan, banyaknya harta sehingga melimpah. H.R.Bukhari dari Abu Hurairah
Marilah kita persiapkan amal shaleh kita tanpa menunda-nundanya dari sekarang. Agar Allah ridha kepada kita ketika Allah memanggil kita. Amiin.
Kisah lain yaitu kisah kurban, Allah telah mengabadikannya dalam surat as-Shaffat dari ayat 99 sampai ayat 111 telah mengajarkan kepada kita pelajaran-pelajaran yang sangat berharga yang patut kita renungi dan aplikasikan dalam keseharian kita.
Ia Adalah seorang Isma’il A.S. yang telah tumbuh besar. Pada suatu hari Allah meminta Ibrahim A.S. untuk menyembelih anaknya tersebut sebagai kurban (yaitu sebagai pendekatan kepada Allah S.W.T.). Perintah ini berupa mimpi yang dialami oleh Ibrahim A.S.. Beliau mendapatkan sedang menyembelih anaknya. Nabi Ibrahim menceritakan mimpinya kepada anaknya. Ibrahim berkata” Aku melihat dalam mimpiku aku sedang menyembelihmu, bagaimana menurutmu anakku”. Anaknya langsung memahaminya sebagai perintah dari Allah S.W.T. dan tanpa ragu ia menjawab “ wahai bapakku lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar”. Seorang bapak yang siap untuk melakukan apa saja yang Allah perintahkan walaupun hal itu keluar dari logika dan perasaan manusia. Seorang anak yang sabar dan siap menerima perintah dari Allah, sepahit apapun perintah itu, bahkan bisa menghilangkan nyawanya, namun karena ia tahu itu adalah perintah Allah. Tanpa ragu ia mengatakan kepada ayahnya agar segera melaksanakan perintah tersebut.
Saudara-saudariku se-Iman dan se-Islam. Kisah ini sangat menggetarkan hati kita. Kisah ini mengajarkan kepada kita agar beriman kepadanya dengan sebenar-benarnya iman, bertakwa kepadanya dengan sebenar-benarnya. Seseorang tidak dapat mencapai derajat ketakwaan tanpa pengorbanan. Seseorang harus berkorban dengan dirinya dan hartanya agar Allah mencintainya. Kejadian alam yang menimpa bumi indonesia baik itu meletusnya gunung merapi atau terjadinya tsunami seharusnya dapat memberikan semangat kepada kita agar dapat membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah disana. Bantuan materi dan non materi sangat dibutuhkan oleh mereka.
Saudara-saudariku, Islam adalah agama yang bersumber dari wahyu yaitu dari Quran dan Sunnah. Segala aturan dan ajaran agama yang mulia ini tidak bisa selamanya masuk dalam logika atau perasaan manusia. Oleh sebab itu Islam menyuruh kita sebagai pemeluknya agar selalu tunduk kepada ajarannya walaupun sering perasaan dan logika kita tidak sesuai. Kita harus membendung segala logika dan perasaan yang melawan ajaran agama Islam. Karena Allah mempunyai hikmah dari segala apa yang Ia syari’atkan kepada hambanya yang mungkin manusia itu belum bisa mencerna dengan akal dan perasaannya. Islam bukanlah agama “menurut saya” atau “kayaknya” tapi Islam adalah agama “Allah berfirman” “Rasulullah S.A.W. bersabda”.
Saudara-saudariku, tak lupa khatib ingin menyampaikan di hari yang berbahagia ini pesan Rasulullah S.A.W. dalam khutbah id nya. Berikut adalah pesan yang disampaikan Rasulullah S.A.W. ketika haji Wada’:
Pesan Haji Rasulullah S.A.W
Dalam hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Jabir R.A:
..إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا أَلَا كُلُّ شَيْءٍ
مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوعٌ وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ.
.
Sesungguhnya darah-darah kalian dan harta-harta kalian adalah haram atas kalian seperti haramnya hari kalian ini dalam bulan kalian ini di negeri kalian ini. Ingatlah setiap sesuatu dari perkara jahiliyyah telah ditinggalkan. Darah-darah jahiliyyah telah ditinggalkan.
..فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّساءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ
أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ..
Maka bertakwalah kepada Allah dalam perempuan (jagalah mereka). Karena sesunggunya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah dan kalian menjadi halal atas kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Bagi kalian janganlah sampai mereka memasukkan kedalam rumah kalian orang-orang yang memang kalian tidak menginginkan mereka masuk. Maka apabila mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka yang tidak melukai. Dan berikanlah kepada mereka rizkinya dan pakaiannya dengan baik. Dan aku telah meninggalkan sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelahnya apabila kalian berpegang teguh dengannya yaitu Kitabullah.
Saudara-saudariku, tidak boleh seseorang menganiaya saudaranya se-Islam apalagi sampai menumpahkan darahnya atau menghilangkan nyawanya. Allah juga telah mengharamkan riba dalam setiap transaksi moneter.
Saudara-saudariku, istri-istri kita, anak-anak perempuan kita, adalah harta yang berharga bagi kita untuk lebih dijaga lagi. Mereka butuh bimbingan khusus agar mereka tidak salah mengambil jalan dalam hidup yang sangat singkat ini. Kita harus menjaga mereka dari segala yang dapat menodai ahlak dan agama perempuan dari ummat ini, ummat nabi Muhammad S.A.W.
Pada penghujung khutbah ini marilah kita mengangkat tangan, memohon kepada Allah agar para korban merapi dan mentawai diberikan kekuatan oleh Allah S.W.T. dan kesabaran. Korban yang telah meninggal semoga Allah menerima segala amal baik mereka. Korban yang sakit semoga Allah memberikan kesembuhan. Korban yang kelaparan semoga Allah memberikan bantuan dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
اللهم ارحم المستضعفين من المسلمين في بلادنا إندونيسيا . اللهم إنهم عراة فاكسهم اللهم إنهم جيعان فأطعمهم. اللهم إنهم عبادك فارحمهم وصبرهم وثبتهم على الإسلام.
اللهم ادفع عنا البلاء ودرك الشقاء وسوء القضاء. اللهم اجعل هذا البلد إندونيسيا بلدا آمنا مطمئنا يأتيه رزقه رغدا من كل مكان برحمتك يا أرحم الراحمين. اللهم ارزقنا رزقا حلالا واسعا مباركا فيه
اللهم تقبل منا إنك أنت السميع العليم. ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفى الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Kamis, 09 Desember 2010
Hidayah Allah untuk Sang Model
Kehidupan glamour dan dunia entertainment merupakan gaya hidup yang mengantarkan penikmatnya pada kemerosotan moral.
Dulunya dia seorang model, aktris, sekaligus aktivis dan instruktur fitnes. Allah memberikan hidayah dan petunjuk padanya untuk menerima kedamaian agama Islam.
Kehidupannya sebagai seorang model, aktris, dan pelatih fitnes mulai dirasakannya sebagai sebuah rutinitas yang membosankan dan hanyalah gaya hidup semata.
Seperti umumnya gadis remaja Amerika yang tinggal di kota besar, Bokker menikmati kehidupan yang serbagemerlap. Ia pernah tinggal di Florida dan South Beach, Miami, yang dikenal sebagai tempat yang glamor di Amerika. Kehidupan Bokker ketika itu hanya terfokus pada bagaimana ia menjaga penampilannya agar menarik di mata orang banyak.
Setelah bertahun-tahun, Bokker mulai merasakan bahwa selama ini dirinya sudah menjadi budak mode. Dirinya menjadi tawanan penampilannya sendiri. Rasa ingin memuaskan ambisi dan kebahagian diri sendiri sudah mengungkungnya dalam kehidupan yang serbaglamor.
Dunia entertainment yang telah membesarkan namanya itu tak membuat hidupnya menjadi lebih tenang, damai, dan nyaman. Kerap kali, ia mengalami ketegangan dan kebingungan dalam menjalani hidup. Bokker pun mulai mengalihkan kegiatannya dari pesta ke pesta dan alkohol menuju ke meditasi, mengikuti aktivitas sosial, dan mempelajari berbagai agama.
Perkenalannya dengan agama Islam justru diawali ketika banyak orang menganggap agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW ini sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, terorisme, pedang, dan lain sebagainya.
Apalagi, saat terjadinya peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan jaringan Islam. Peristiwa yang menewaskan sekian ribu orang itu begitu membekas di benaknya.
Namun, di balik upaya sekelompok orang mendiskreditkan Islam, Sara Bokker menemukan hidayah Allah. Ia mulai menaruh perhatian besar pada agama Islam. Benarkah agama Islam sebagai tempat teroris?
”Pada titik itu, saya masih mengasosiasikan Islam dengan perempuan-perempuan yang hidup di tenda-tenda, pemukulan terhadap istri, dan dunia teroris. Sebagai seorang feminis dan aktivis, saya menginginkan dunia yang lebih baik bagi seluruh umat manusia,” papar Sara.
Pandangannya tentang Islam belum berubah. Namun, keinginannya untuk mengenal agama ini begitu kuat. Hingga akhirnya ia pun menemukan sebuah Alquran yang dikemas secara apik. Ia pun kemudian berusaha untuk membaca (terjemahannya–Red) dan mempelajari isinya. Ia mempelajari kehidupan, penciptaan, dan hubungan antara Pencipta (Khalik) dan yang diciptakan (makhluk).
”Isi Alquran sangat menyentuh hati dan jiwa saya yang paling dalam, tanpa perlu saya menginterpretasikan atau menanyakannya pada pastor,” tambahnya.
Inilah kebenaran firman Allah yang tertuang dalam surah al-An’am ayat 125. ”Barang siapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan, barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatan niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Ayat serupa juga dapat ditemukan pada surah Al Qashash ayat 56, Al Baqarah ayat 142 dan 272, serta Ali Imran ayat 73.
Sara Bokker pun mulai menemukan jati dirinya kembali. Jiwanya yang dahulu labil, goyah, dan gampang putus asa secara perlahan bangkit kembali. Ia benar-benar menemukan kedamaian ketika memahami kitab suci Alquran yang selama ini dipandang negatif oleh sekelompok orang Barat. Baginya, Alquran telah memberikan petunjuk dan pencerahan dalam mengarungi kehidupan yang lebih baik.
Maka, tanpa ragu dan bimbang, Sara Bokker, seorang sang model, pelatih fitness, dan aktris yang telah menjadi salah satu public figure, akhirnya mendeklarasikan diri menjadi seorang Muslimah. Asyhadu an Lailaha Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.
Kedamaian berjilbab
Ia pun memeluk Islam. Ia telah menemukan jalan kebenaran. Dan, Sara Bokker mendapatkan kedamaian dalam Islam. Karena itu, ia pun langsung menunjukkan kecintaannya pada Islam dan berusaha menjalankan segala perintah agama Islam dengan baik dan benar. Ia lalu mengganti dan mengubah penampilannya, dari yang sebelumnya seksi dan memakai baju superketat berganti menjadi pakaian yang bersahaja dengan pakaian yang longgar dan jilbab. Ia menutupi seluruh auratnya.
”Saya membeli gaun panjang yang bagus dan kerudung seperti layaknya busana Muslimah dan saya berjalan di jalan dan lingkungan yang sama, di mana beberapa hari sebelumnya saya berjalan hanya dengan celana pendek, bikini, atau pakaian kerja yang elegan,” tutur Bokker.
Setelah mengenakan busana Muslimah, terang Bokker, untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar menjadi seorang perempuan. Ia merasakan rantai yang selama ini membelenggunya sudah terlepas dan akhirnya menjadi orang yang bebas.
Tak lama berselang, setahun setelah mengikrarkan diri menjadi Muslimah, Allah menganugerahinya seorang suami yang baik dan bisa mengajak dirinya menjadi Muslimah yang taat beribadah.
Dengan dukungan suaminya, ia pun menggunakan jilbab lengkap dengan cadarnya (burqa). Kendati suaminya telah menyampaikan bahwa jilbab hukumnya wajib, sedangkan cadar tidak wajib, Sara Bokker yakin dengan bercadar, dirinya akan makin nyaman. Karena itu, ia pun mengambil keputusan menjadi Muslimah yang sesungguhnya.
”Alasannya, saya merasa Allah akan lebih senang dan saya merasa lebih damai daripada cuma mengenakan jilbab saja,” kata Bokker.
Perjuangkan Kebebasan Berbusana Muslimah
Tak lama setelah ia mengenakan pakaian Muslimah lengkap dengan cadarnya, media massa setempat banyak memberitakan pernyataan dari para politikus, pejabat Vatikan, serta kelompok aktivis kebebasan dan hak asasi manusia yang mengatakan bahwa cadar (niqab atau burqa) adalah penindasan terhadap perempuan, hambatan bagi integrasi sosial, dan belakangan seorang pejabat Mesir menyebut jilbab sebagai pertanda keterbelakangan.
Sara tak mau ambil peduli. Ia menganggap pernyataan sang pejabat tersebut sangat munafik. ”Pemerintah dan kelompok-kelompok yang katanya memperjuangkan hak asasi manusia berlomba-lomba membela hak perempuan ketika ada pemerintah yang menerapkan kebijakan cara berbusana, tapi para pejuang kebebasan itu bersikap sebaliknya ketika kaum perempuan kehilangan haknya di kantor atau sektor pendidikan hanya karena mereka ingin melakukan haknya mengenakan jilbab atau cadar,” kritiknya.
Sara Bokker yang kini berganti menjadi Muslimah berjanji akan terus aktif di dunia perempuan dan feminis. Ia sebagai seorang feminis Muslim yang berseru kepada para Muslimah untuk tetap menunaikan tanggung jawabnya dan memberikan dukungan penuh kepada suami-suami mereka agar menjadi seorang Muslim yang baik. Selain itu, mereka juga membesarkan dan mendidik anak-anak mereka agar menjadi Muslim yang berkualitas sehingga mereka bisa menjadi penerang dan berguna bagi seluruh umat manusia.
Di samping itu, Sara Bokker juga menyerukan kaum perempuan untuk berbuat kebaikan dan menjauhkan kemungkaran, menyebarkan kebaikan dan menentang kebatilan, memperjuangkan hak berjilbab ataupun bercadar, serta berbagi pengalaman tentang jilbab dan cadar bagi Muslimah lainnya yang belum pernah mengenakannya.
Ia mengungkapkan, banyak mengenal Muslimah yang mengenakan cadar dari kaum perempuan Barat yang lebih dulu menjadi mualaf. Beberapa di antaranya, kata Sara Bokker, bahkan belum menikah. Kendati sebagian keluarga dan lingkungan mereka menentang penggunaan cadar, ” Mereka tetap menganggap bahwa mengenakan cadar adalah pilihan pribadi dan tak seorang pun boleh menyerah atas pilihan pribadinya sendiri,” tegasnya.
Jika sebelumnya bikini dan kehidupan glamor ala Barat menjadi simbol kebebasan dirinya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, kini simbol-simbol kebebasan tersebut tidak lagi membuatnya merasa bahagia dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat.
Mulai saat ini, kedua simbol kebebasan tersebut telah digantikan dengan busana Muslimah lengkap beserta cadar, yang menurutnya, adalah sebuah simbol baru bagi kebebasan perempuan dalam mencari jati dirinya dan yang berhubungan dengan sang Pencipta.
”Kepada kaum perempuan, janganlah mudah menyerah kepada stereotipe negatif yang ditujukan kepada pakaian Muslimah ini. Karena, Anda (sekalian) tidak akan mengetahuinya ada yang hilang dari diri Anda.”
Dikutip dari: http://meysya.wordpress.com
Dulunya dia seorang model, aktris, sekaligus aktivis dan instruktur fitnes. Allah memberikan hidayah dan petunjuk padanya untuk menerima kedamaian agama Islam.
Kehidupannya sebagai seorang model, aktris, dan pelatih fitnes mulai dirasakannya sebagai sebuah rutinitas yang membosankan dan hanyalah gaya hidup semata.
Seperti umumnya gadis remaja Amerika yang tinggal di kota besar, Bokker menikmati kehidupan yang serbagemerlap. Ia pernah tinggal di Florida dan South Beach, Miami, yang dikenal sebagai tempat yang glamor di Amerika. Kehidupan Bokker ketika itu hanya terfokus pada bagaimana ia menjaga penampilannya agar menarik di mata orang banyak.
Setelah bertahun-tahun, Bokker mulai merasakan bahwa selama ini dirinya sudah menjadi budak mode. Dirinya menjadi tawanan penampilannya sendiri. Rasa ingin memuaskan ambisi dan kebahagian diri sendiri sudah mengungkungnya dalam kehidupan yang serbaglamor.
Dunia entertainment yang telah membesarkan namanya itu tak membuat hidupnya menjadi lebih tenang, damai, dan nyaman. Kerap kali, ia mengalami ketegangan dan kebingungan dalam menjalani hidup. Bokker pun mulai mengalihkan kegiatannya dari pesta ke pesta dan alkohol menuju ke meditasi, mengikuti aktivitas sosial, dan mempelajari berbagai agama.
Perkenalannya dengan agama Islam justru diawali ketika banyak orang menganggap agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW ini sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, terorisme, pedang, dan lain sebagainya.
Apalagi, saat terjadinya peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan jaringan Islam. Peristiwa yang menewaskan sekian ribu orang itu begitu membekas di benaknya.
Namun, di balik upaya sekelompok orang mendiskreditkan Islam, Sara Bokker menemukan hidayah Allah. Ia mulai menaruh perhatian besar pada agama Islam. Benarkah agama Islam sebagai tempat teroris?
”Pada titik itu, saya masih mengasosiasikan Islam dengan perempuan-perempuan yang hidup di tenda-tenda, pemukulan terhadap istri, dan dunia teroris. Sebagai seorang feminis dan aktivis, saya menginginkan dunia yang lebih baik bagi seluruh umat manusia,” papar Sara.
Pandangannya tentang Islam belum berubah. Namun, keinginannya untuk mengenal agama ini begitu kuat. Hingga akhirnya ia pun menemukan sebuah Alquran yang dikemas secara apik. Ia pun kemudian berusaha untuk membaca (terjemahannya–Red) dan mempelajari isinya. Ia mempelajari kehidupan, penciptaan, dan hubungan antara Pencipta (Khalik) dan yang diciptakan (makhluk).
”Isi Alquran sangat menyentuh hati dan jiwa saya yang paling dalam, tanpa perlu saya menginterpretasikan atau menanyakannya pada pastor,” tambahnya.
Inilah kebenaran firman Allah yang tertuang dalam surah al-An’am ayat 125. ”Barang siapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan, barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatan niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Ayat serupa juga dapat ditemukan pada surah Al Qashash ayat 56, Al Baqarah ayat 142 dan 272, serta Ali Imran ayat 73.
Sara Bokker pun mulai menemukan jati dirinya kembali. Jiwanya yang dahulu labil, goyah, dan gampang putus asa secara perlahan bangkit kembali. Ia benar-benar menemukan kedamaian ketika memahami kitab suci Alquran yang selama ini dipandang negatif oleh sekelompok orang Barat. Baginya, Alquran telah memberikan petunjuk dan pencerahan dalam mengarungi kehidupan yang lebih baik.
Maka, tanpa ragu dan bimbang, Sara Bokker, seorang sang model, pelatih fitness, dan aktris yang telah menjadi salah satu public figure, akhirnya mendeklarasikan diri menjadi seorang Muslimah. Asyhadu an Lailaha Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.
Kedamaian berjilbab
Ia pun memeluk Islam. Ia telah menemukan jalan kebenaran. Dan, Sara Bokker mendapatkan kedamaian dalam Islam. Karena itu, ia pun langsung menunjukkan kecintaannya pada Islam dan berusaha menjalankan segala perintah agama Islam dengan baik dan benar. Ia lalu mengganti dan mengubah penampilannya, dari yang sebelumnya seksi dan memakai baju superketat berganti menjadi pakaian yang bersahaja dengan pakaian yang longgar dan jilbab. Ia menutupi seluruh auratnya.
”Saya membeli gaun panjang yang bagus dan kerudung seperti layaknya busana Muslimah dan saya berjalan di jalan dan lingkungan yang sama, di mana beberapa hari sebelumnya saya berjalan hanya dengan celana pendek, bikini, atau pakaian kerja yang elegan,” tutur Bokker.
Setelah mengenakan busana Muslimah, terang Bokker, untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar menjadi seorang perempuan. Ia merasakan rantai yang selama ini membelenggunya sudah terlepas dan akhirnya menjadi orang yang bebas.
Tak lama berselang, setahun setelah mengikrarkan diri menjadi Muslimah, Allah menganugerahinya seorang suami yang baik dan bisa mengajak dirinya menjadi Muslimah yang taat beribadah.
Dengan dukungan suaminya, ia pun menggunakan jilbab lengkap dengan cadarnya (burqa). Kendati suaminya telah menyampaikan bahwa jilbab hukumnya wajib, sedangkan cadar tidak wajib, Sara Bokker yakin dengan bercadar, dirinya akan makin nyaman. Karena itu, ia pun mengambil keputusan menjadi Muslimah yang sesungguhnya.
”Alasannya, saya merasa Allah akan lebih senang dan saya merasa lebih damai daripada cuma mengenakan jilbab saja,” kata Bokker.
Perjuangkan Kebebasan Berbusana Muslimah
Tak lama setelah ia mengenakan pakaian Muslimah lengkap dengan cadarnya, media massa setempat banyak memberitakan pernyataan dari para politikus, pejabat Vatikan, serta kelompok aktivis kebebasan dan hak asasi manusia yang mengatakan bahwa cadar (niqab atau burqa) adalah penindasan terhadap perempuan, hambatan bagi integrasi sosial, dan belakangan seorang pejabat Mesir menyebut jilbab sebagai pertanda keterbelakangan.
Sara tak mau ambil peduli. Ia menganggap pernyataan sang pejabat tersebut sangat munafik. ”Pemerintah dan kelompok-kelompok yang katanya memperjuangkan hak asasi manusia berlomba-lomba membela hak perempuan ketika ada pemerintah yang menerapkan kebijakan cara berbusana, tapi para pejuang kebebasan itu bersikap sebaliknya ketika kaum perempuan kehilangan haknya di kantor atau sektor pendidikan hanya karena mereka ingin melakukan haknya mengenakan jilbab atau cadar,” kritiknya.
Sara Bokker yang kini berganti menjadi Muslimah berjanji akan terus aktif di dunia perempuan dan feminis. Ia sebagai seorang feminis Muslim yang berseru kepada para Muslimah untuk tetap menunaikan tanggung jawabnya dan memberikan dukungan penuh kepada suami-suami mereka agar menjadi seorang Muslim yang baik. Selain itu, mereka juga membesarkan dan mendidik anak-anak mereka agar menjadi Muslim yang berkualitas sehingga mereka bisa menjadi penerang dan berguna bagi seluruh umat manusia.
Di samping itu, Sara Bokker juga menyerukan kaum perempuan untuk berbuat kebaikan dan menjauhkan kemungkaran, menyebarkan kebaikan dan menentang kebatilan, memperjuangkan hak berjilbab ataupun bercadar, serta berbagi pengalaman tentang jilbab dan cadar bagi Muslimah lainnya yang belum pernah mengenakannya.
Ia mengungkapkan, banyak mengenal Muslimah yang mengenakan cadar dari kaum perempuan Barat yang lebih dulu menjadi mualaf. Beberapa di antaranya, kata Sara Bokker, bahkan belum menikah. Kendati sebagian keluarga dan lingkungan mereka menentang penggunaan cadar, ” Mereka tetap menganggap bahwa mengenakan cadar adalah pilihan pribadi dan tak seorang pun boleh menyerah atas pilihan pribadinya sendiri,” tegasnya.
Jika sebelumnya bikini dan kehidupan glamor ala Barat menjadi simbol kebebasan dirinya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, kini simbol-simbol kebebasan tersebut tidak lagi membuatnya merasa bahagia dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat.
Mulai saat ini, kedua simbol kebebasan tersebut telah digantikan dengan busana Muslimah lengkap beserta cadar, yang menurutnya, adalah sebuah simbol baru bagi kebebasan perempuan dalam mencari jati dirinya dan yang berhubungan dengan sang Pencipta.
”Kepada kaum perempuan, janganlah mudah menyerah kepada stereotipe negatif yang ditujukan kepada pakaian Muslimah ini. Karena, Anda (sekalian) tidak akan mengetahuinya ada yang hilang dari diri Anda.”
Dikutip dari: http://meysya.wordpress.com
Rabu, 10 November 2010
Tragedi Kiyai Liberal
Tragedi Kiyai Liberal, Akhir Hayatnya Memilukan
“Apa!? kamu hamil?!” Pak tua itu terbelalak mendengar pengakuan putri bungsu yang dicintainya. Dia langsung berdiri dan memburu ke arah sang putri, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap mendaratkan tamparannya, tapi...
“Jangan Paa... sabaar..!” istrinya menjerit sambil berusaha menghalangi dengan memeluk erat tubuh gadis kesayangannya. Sang bapak pun mengurungkan niatnya, tapi nampak jelas kemarahan dan kekecewaan luar biasa menguasai dirinya. Tubuhnya bergetar, matanya merah melotot, menatap tajam ke arah putrinya.
“Siapa!? Siapa yang berbuat kurang ajar begini, hah??” bentaknya tiba-tiba.
Sang putri hanya terdiam, terisak dan menyembunyikan wajahnya dalam pelukan sang ibu.
“Ya Allahhh… kenapa ini terjadi pada keluargakuu..?? Aku yang ditokohkan orang sebagai cendekiawan muslim terkemuka di negeri ini, hanya membesarkan seorang pelacur!!!” Orang tua itu mengeluh dan mengomel seolah ingin memuntahkan seluruh kekesalan dan kekecewaan dari ubun-ubunnya. Sementara, sambil terus memeluk anaknya, sang istri berusaha menenangkan suasana.
“Istigfar Paa, siapa sih yang pelacur? Anak kita kan hanya korban…” belum selesai si istri berbicara, “Korban apa? Wong dia sengaja melakukannya!!!” Pak tua yang masih kesal itu kini bertambah marah mendengar istrinya berusaha membela sang anak.
Suasana langsung hening, sang istri hanya menunduk, tidak mampu berkata apa-apa. Sejenak kemudian lelaki tua itu menarik kursi ke arah istri dan anaknya yang masih saling berpelukan, dan menghempaskan tubuhnya yang mulai renta itu.
“Ufhhh…, kenapa kau lakukan ini, Nak?” nada bicaranya nampak mulai menurun. Lalu dia menunduk sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan keriputnya, seakan tindakan itu bisa menutupi rasa malu yang akan dipikulnya ketika tersiar kabar di media massa infotaintment, “Putri Cendikiawan Muslim Terkemuka, Hamil di Luar Nikah dengan Pemuda Kristen.”
“Pokoknya, kamu harus dicambuk seratus kali!” tiba-tiba dia berucap tegas. Istrinya yang sedari tadi diam, serta-merta menoleh ke arahnya sambil mengernyitkan dahi.
“Apa, Pa? Dicambuk? Bukannya papa pernah bilang cambuk itu hukuman primitif yang tidak pantas untuk diberlakukan lagi? Papa juga sering menulis di buku dan berbagai media bahwa hudud itu sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman?!” sang istri memberanikan diri untuk angkat bicara.
Mendengar itu, sang cendekiawan pun semakin terhenyak ke kursinya, dia pun terdiam tak tahu harus bagaimana.
*****
Semenjak kejadian itu, kini lelaki tua tujuh puluh tahunan itu terkulai lemah di atas pembaringan sebuah ruangan gawat darurat sebuah rumah sakit ibu kota. Dia mengalami depresi yang cukup berat. Dalam dirinya terjadi pertentangan batin yang hebat. Dia sadar bahwa selama ini dia terdepan meneriakkan keabsahan nikah beda agama, meneriakkan slogan anti penerapan syariat Islam, menentang jilbab dan menyatakan jilbab bukan ajaran Islam tapi tradisi Arab. “Itu budaya orang Arab, bukan budaya Islam!” tegasnya setiap saat ketika memberikan mata kuliah di depan mahasiswanya.
Tapi, kini nuraninya berontak ketika menyaksikan kedua putri-putrinya menyingkap aurat, berpakaian minim dan sudah tidak seakidah lagi dengannya. Dia ingin menyuruh mereka istiqamah dalam syariat Islam, hidup dalam rumah tangga islami, dan menutup aurat seperti yang diperintahkan Al Quran, tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Kedua putrinya justru jadi orang yang gigih mengamalkan ideologi sekuler liberalnya.
Dengan busana gaul ala artis MTV, kini putrinya terjerumus kepada perbuatan zina dengan pemuda non muslim. Nuraninya menuntut untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan syariat Islam. Karena dia sangat mengerti bahwa hukuman di dunia akan membebaskan sang putri dari hukuman yang lebih dahsyat di akhirat nanti.
“Nak, walau bagaimana, kamu adalah seorang muslimah, jika terlanjur melakukan zina, kamu harus bertobat dan dihukum dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Islam.” Entah untuk ke berapa kalinya dia mengatakan itu pada sang putri. Karena tuntutan nuraninya, dia selalu mencoba meyakinkan putrinya agar mau menjalani hukuman cambuk dan pengasingan.
Hingga suatu ketika, saat saat sang putri membesuknya, dia mencoba membujuk putrinya. Tak disangka-sangka sang putri langsung berkata, “Ya sudah, kalau memang dalam Islam seperti itu, aku mau masuk Kristen aja!”
“Apaaa?!” bak disambar petir, pak tua itu langsung terlonjak berdiri. Matanya melotot seolah mau copot. “Kamu sudah gila, ya? Kalo kamu masuk Kristen, kamu berarti Murtad!! Kamu kafir dan...” Ia tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya, karena amarahnya sudah membumbung tinggi. Dengan suara menggelegar dia hardik sang putri yang langsung terdiam, menggigil ketakutan.
“Apa nggak salah denger nih, Pa?” tiba-tiba putri sulungnya yang kebetulan sedang berkunjung, angkat bicara membela adiknya. “Papa ngomong apa sih, murtad.. kafir… Hak Diana dong Pa, untuk masuk Kristen, karena dia sudah merasa tidak cocok dengan Islam. Agama kan, wilayah privat yang tidak bisa dicampuri orang lain. Pindah agama ke Kristen adalah wilayah privat Diana. Papa tidak bisa, dong... ikut campur!”
“Jangan asal ngomong kamu, Len!!” pak tua itu langsung membentaknya.
“Dengar Lena, sebenarnya papa tidak pernah merestui kamu menikah dengan orang Kafir itu. Haram hukumnya muslimah menikah dengan orang kafir!!”
“Sekarang papa berani bilang begitu, lalu kenapa papa selama ini sibuk menulis di buku dan berbagai media bahwa semua agama itu sama kebenarannya? Untuk apa papa berkoar-koar semua pemeluk agama akan masuk surga? Itu semua bohong? Iya, Pa? Papa selama ini hanya menipu orang banyak dengan semua tulisan dan ucapan Papa itu?” Lena memberondong sang ayah yang sudah tua dan sedang sakit itu dengan berbagai pertanyaan yang sangat menyudutkan.
“Diaamm..!!!” dia semakin kalap mendengar ocehan sang putri sulung.
“Kenapa Lena harus diam? Lena kan hanya mengulang ucapan-ucapan yang Papa ajarkan!” Si sulung tidak mau kalah, balas membentak. “Asal Papa tahu, sekarang aku sudah ikut agama Mas Yudha, aku sudah masuk agama Budha!”
“Apaa?! ... beraninya kamu murtad Lena.. kamu sudah kafir, akan masuk neraka… darahmu sekarang halal ditumpahkan… akan aku bun... aaaakhhh!”
“Pa..pa..istigfar pa…, istigfaaar!!!” Sang istri berusaha menenangkan suaminya yang berteriak-teriak mengigau. Lelaki itu terus meronta-ronta sambil berteriak tak karuan. “Susteer… tolong susteer..” Sang istri pun menjerit histeris. Tak lama kemudian berdatanganlah beberapa perawat laki-laki, memegangi tangan dan kakinya sampai dia tenang kembali.
“Ahh.. hhh..hhh” lelaki itu nampak terengah, nafasnya memburu..
“Tenang Pak, istigfar..” salah seorang perawat terus berusaha menenangkannya.
Lelaki tua itu pun berangsur tenang, perlahan dia membuka kedua bola matanya, memandang sekelilingnya. Nampak olehnya sang istri yang masih menyisakan cemas di wajahnya. Kedua biji matanya menyapu sekeliling ruangan itu, namun tak didapatinya kedua orang putrinya.
“Ma.. apa.. d..Di..ana jj..jadi masuk kk..Kristen?” mulutnya bergetar, dengan suara yang amat lemah dia berusaha bertanya ke istrinya. Setelah terdiam beberapa saat, bingung harus menjawab apa, sang istri pun memberanikan diri untuk mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
..Kepalanya terkulai lemas, tatapannya kosong, perlahan dia pun kembali memejamkan mata… tiba-tiba.. dia teringat sebuah hadits Nabi yang dulu sangat dihafalnya sejak kecil...
“Fhhhhh…” lelaki itu menghembuskan nafas kuat-kuat, seolah ingin melepaskan semua beban di dadanya. Kepalanya terkulai lemas, tatapannya kosong, perlahan dia pun kembali memejamkan mata… tiba-tiba.. dia teringat sebuah hadits Nabi yang dulu sangat dihafalnya sejak kecil... “Apabila anak Adam meninggal dunia, terputus seluruh amalannya kecuali tiga perkara… Ilmu yang bermanfaat, shadaqah jariah, dan anak shaleh yang akan mendoakan..” Dia langsung membelalakkan matanya, “Anak yang shalehhh…” mulutnya berdesis. “Aku tidak punya anak yang shaleeeh… kedua putri ku telah murtaaad!!.. aahhh, siapa nanti yang akan mendoakanku?? Hik..hik..hik..” dia pun terisak, tubuhnya berguncang hebat menahan isakan tangis penyesalannya.
***
Sang cendekiawan tertunduk menatap tajam ke arah gundukan tanah yang masih merah tempat istrinya dibaringkan untuk selama-lamanya. Tanpa disangka, istrinya yang segar-bugar, mendahuluinya menemui sang Khaliq. Sementara sang cendekiawan tua yang belum bisa mengatasi depresi berat itu masih bertahan hidup, meski sakit-sakitan. Kini, tinggallah Kyai Liberal ini dengan dua orang putrinya.
Tiba-tiba dia tersentak, teringat kedua putrinya kini beda agama dengannya, berarti hanya dia sendiri yang muslim.
Ketika hendak beranjak berdiri. Tanpa sengaja bola matanya terpaku pada sebuah nisan berlambang salib, tak jauh dari makam istrinya. “Ya Allah, bila aku mati nanti, akankah namaku terpampang di batu nisan seperti di makam salib itu?” [azz@hra/voa-islam.com/cerpen semi-fiksi]
“Apa!? kamu hamil?!” Pak tua itu terbelalak mendengar pengakuan putri bungsu yang dicintainya. Dia langsung berdiri dan memburu ke arah sang putri, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap mendaratkan tamparannya, tapi...
“Jangan Paa... sabaar..!” istrinya menjerit sambil berusaha menghalangi dengan memeluk erat tubuh gadis kesayangannya. Sang bapak pun mengurungkan niatnya, tapi nampak jelas kemarahan dan kekecewaan luar biasa menguasai dirinya. Tubuhnya bergetar, matanya merah melotot, menatap tajam ke arah putrinya.
“Siapa!? Siapa yang berbuat kurang ajar begini, hah??” bentaknya tiba-tiba.
Sang putri hanya terdiam, terisak dan menyembunyikan wajahnya dalam pelukan sang ibu.
“Ya Allahhh… kenapa ini terjadi pada keluargakuu..?? Aku yang ditokohkan orang sebagai cendekiawan muslim terkemuka di negeri ini, hanya membesarkan seorang pelacur!!!” Orang tua itu mengeluh dan mengomel seolah ingin memuntahkan seluruh kekesalan dan kekecewaan dari ubun-ubunnya. Sementara, sambil terus memeluk anaknya, sang istri berusaha menenangkan suasana.
“Istigfar Paa, siapa sih yang pelacur? Anak kita kan hanya korban…” belum selesai si istri berbicara, “Korban apa? Wong dia sengaja melakukannya!!!” Pak tua yang masih kesal itu kini bertambah marah mendengar istrinya berusaha membela sang anak.
Suasana langsung hening, sang istri hanya menunduk, tidak mampu berkata apa-apa. Sejenak kemudian lelaki tua itu menarik kursi ke arah istri dan anaknya yang masih saling berpelukan, dan menghempaskan tubuhnya yang mulai renta itu.
“Ufhhh…, kenapa kau lakukan ini, Nak?” nada bicaranya nampak mulai menurun. Lalu dia menunduk sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan keriputnya, seakan tindakan itu bisa menutupi rasa malu yang akan dipikulnya ketika tersiar kabar di media massa infotaintment, “Putri Cendikiawan Muslim Terkemuka, Hamil di Luar Nikah dengan Pemuda Kristen.”
“Pokoknya, kamu harus dicambuk seratus kali!” tiba-tiba dia berucap tegas. Istrinya yang sedari tadi diam, serta-merta menoleh ke arahnya sambil mengernyitkan dahi.
“Apa, Pa? Dicambuk? Bukannya papa pernah bilang cambuk itu hukuman primitif yang tidak pantas untuk diberlakukan lagi? Papa juga sering menulis di buku dan berbagai media bahwa hudud itu sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman?!” sang istri memberanikan diri untuk angkat bicara.
Mendengar itu, sang cendekiawan pun semakin terhenyak ke kursinya, dia pun terdiam tak tahu harus bagaimana.
*****
Semenjak kejadian itu, kini lelaki tua tujuh puluh tahunan itu terkulai lemah di atas pembaringan sebuah ruangan gawat darurat sebuah rumah sakit ibu kota. Dia mengalami depresi yang cukup berat. Dalam dirinya terjadi pertentangan batin yang hebat. Dia sadar bahwa selama ini dia terdepan meneriakkan keabsahan nikah beda agama, meneriakkan slogan anti penerapan syariat Islam, menentang jilbab dan menyatakan jilbab bukan ajaran Islam tapi tradisi Arab. “Itu budaya orang Arab, bukan budaya Islam!” tegasnya setiap saat ketika memberikan mata kuliah di depan mahasiswanya.
Tapi, kini nuraninya berontak ketika menyaksikan kedua putri-putrinya menyingkap aurat, berpakaian minim dan sudah tidak seakidah lagi dengannya. Dia ingin menyuruh mereka istiqamah dalam syariat Islam, hidup dalam rumah tangga islami, dan menutup aurat seperti yang diperintahkan Al Quran, tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Kedua putrinya justru jadi orang yang gigih mengamalkan ideologi sekuler liberalnya.
Dengan busana gaul ala artis MTV, kini putrinya terjerumus kepada perbuatan zina dengan pemuda non muslim. Nuraninya menuntut untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan syariat Islam. Karena dia sangat mengerti bahwa hukuman di dunia akan membebaskan sang putri dari hukuman yang lebih dahsyat di akhirat nanti.
“Nak, walau bagaimana, kamu adalah seorang muslimah, jika terlanjur melakukan zina, kamu harus bertobat dan dihukum dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Islam.” Entah untuk ke berapa kalinya dia mengatakan itu pada sang putri. Karena tuntutan nuraninya, dia selalu mencoba meyakinkan putrinya agar mau menjalani hukuman cambuk dan pengasingan.
Hingga suatu ketika, saat saat sang putri membesuknya, dia mencoba membujuk putrinya. Tak disangka-sangka sang putri langsung berkata, “Ya sudah, kalau memang dalam Islam seperti itu, aku mau masuk Kristen aja!”
“Apaaa?!” bak disambar petir, pak tua itu langsung terlonjak berdiri. Matanya melotot seolah mau copot. “Kamu sudah gila, ya? Kalo kamu masuk Kristen, kamu berarti Murtad!! Kamu kafir dan...” Ia tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya, karena amarahnya sudah membumbung tinggi. Dengan suara menggelegar dia hardik sang putri yang langsung terdiam, menggigil ketakutan.
“Apa nggak salah denger nih, Pa?” tiba-tiba putri sulungnya yang kebetulan sedang berkunjung, angkat bicara membela adiknya. “Papa ngomong apa sih, murtad.. kafir… Hak Diana dong Pa, untuk masuk Kristen, karena dia sudah merasa tidak cocok dengan Islam. Agama kan, wilayah privat yang tidak bisa dicampuri orang lain. Pindah agama ke Kristen adalah wilayah privat Diana. Papa tidak bisa, dong... ikut campur!”
“Jangan asal ngomong kamu, Len!!” pak tua itu langsung membentaknya.
“Dengar Lena, sebenarnya papa tidak pernah merestui kamu menikah dengan orang Kafir itu. Haram hukumnya muslimah menikah dengan orang kafir!!”
“Sekarang papa berani bilang begitu, lalu kenapa papa selama ini sibuk menulis di buku dan berbagai media bahwa semua agama itu sama kebenarannya? Untuk apa papa berkoar-koar semua pemeluk agama akan masuk surga? Itu semua bohong? Iya, Pa? Papa selama ini hanya menipu orang banyak dengan semua tulisan dan ucapan Papa itu?” Lena memberondong sang ayah yang sudah tua dan sedang sakit itu dengan berbagai pertanyaan yang sangat menyudutkan.
“Diaamm..!!!” dia semakin kalap mendengar ocehan sang putri sulung.
“Kenapa Lena harus diam? Lena kan hanya mengulang ucapan-ucapan yang Papa ajarkan!” Si sulung tidak mau kalah, balas membentak. “Asal Papa tahu, sekarang aku sudah ikut agama Mas Yudha, aku sudah masuk agama Budha!”
“Apaa?! ... beraninya kamu murtad Lena.. kamu sudah kafir, akan masuk neraka… darahmu sekarang halal ditumpahkan… akan aku bun... aaaakhhh!”
“Pa..pa..istigfar pa…, istigfaaar!!!” Sang istri berusaha menenangkan suaminya yang berteriak-teriak mengigau. Lelaki itu terus meronta-ronta sambil berteriak tak karuan. “Susteer… tolong susteer..” Sang istri pun menjerit histeris. Tak lama kemudian berdatanganlah beberapa perawat laki-laki, memegangi tangan dan kakinya sampai dia tenang kembali.
“Ahh.. hhh..hhh” lelaki itu nampak terengah, nafasnya memburu..
“Tenang Pak, istigfar..” salah seorang perawat terus berusaha menenangkannya.
Lelaki tua itu pun berangsur tenang, perlahan dia membuka kedua bola matanya, memandang sekelilingnya. Nampak olehnya sang istri yang masih menyisakan cemas di wajahnya. Kedua biji matanya menyapu sekeliling ruangan itu, namun tak didapatinya kedua orang putrinya.
“Ma.. apa.. d..Di..ana jj..jadi masuk kk..Kristen?” mulutnya bergetar, dengan suara yang amat lemah dia berusaha bertanya ke istrinya. Setelah terdiam beberapa saat, bingung harus menjawab apa, sang istri pun memberanikan diri untuk mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
..Kepalanya terkulai lemas, tatapannya kosong, perlahan dia pun kembali memejamkan mata… tiba-tiba.. dia teringat sebuah hadits Nabi yang dulu sangat dihafalnya sejak kecil...
“Fhhhhh…” lelaki itu menghembuskan nafas kuat-kuat, seolah ingin melepaskan semua beban di dadanya. Kepalanya terkulai lemas, tatapannya kosong, perlahan dia pun kembali memejamkan mata… tiba-tiba.. dia teringat sebuah hadits Nabi yang dulu sangat dihafalnya sejak kecil... “Apabila anak Adam meninggal dunia, terputus seluruh amalannya kecuali tiga perkara… Ilmu yang bermanfaat, shadaqah jariah, dan anak shaleh yang akan mendoakan..” Dia langsung membelalakkan matanya, “Anak yang shalehhh…” mulutnya berdesis. “Aku tidak punya anak yang shaleeeh… kedua putri ku telah murtaaad!!.. aahhh, siapa nanti yang akan mendoakanku?? Hik..hik..hik..” dia pun terisak, tubuhnya berguncang hebat menahan isakan tangis penyesalannya.
***
Sang cendekiawan tertunduk menatap tajam ke arah gundukan tanah yang masih merah tempat istrinya dibaringkan untuk selama-lamanya. Tanpa disangka, istrinya yang segar-bugar, mendahuluinya menemui sang Khaliq. Sementara sang cendekiawan tua yang belum bisa mengatasi depresi berat itu masih bertahan hidup, meski sakit-sakitan. Kini, tinggallah Kyai Liberal ini dengan dua orang putrinya.
Tiba-tiba dia tersentak, teringat kedua putrinya kini beda agama dengannya, berarti hanya dia sendiri yang muslim.
Ketika hendak beranjak berdiri. Tanpa sengaja bola matanya terpaku pada sebuah nisan berlambang salib, tak jauh dari makam istrinya. “Ya Allah, bila aku mati nanti, akankah namaku terpampang di batu nisan seperti di makam salib itu?” [azz@hra/voa-islam.com/cerpen semi-fiksi]
Langganan:
Postingan (Atom)