Jumat, 17 Desember 2010

KONTRIBUSI AL-KHAWARIZMI DALAM BIDANG SAINS

Oleh : DR.Ir.H. Budi Hadrianto, M.Pd.I

Setelah dunia Barat keluar dari abad kegelapan (dark ages), kemudian terjadi Revolusi Sains (1500-1700) dan masa Renaissains, mereka mengambil alih kepepimpinan intelektual khususnya di bidang sains. Peradaban Barat maju dengan pesat di segala bidang terutama setelah berkembangnya ilmu pengetahuan dan sains terapan (teknologi) di sana. Memasuki abad ke-20 perkembangan sains dan teknologi makin pesat dikarenakan dunia diwarnai dengan peperangan-perangan. Setidaknya ada dua kali perang dunia dilanjutkan dengan perang dingin antara negara-negara komunis dengan Barat. Kondisi tersebut mendorong masing-masing negara mengembangkan sains dan teknologinya.
Memasuki abad ke-21, Barat makin mengukuhkan diri menjadi penguasa dunia dengan sains dan teknologi menjadi panglima. Kemajuan ilmu di segala bidang di Barat (termasuk di dalamnya Jepang dan Korea), baik ilmu-ilmu alam (fisika, kima, biologi/kedokteran, matematika, astronomi dan lainnya) maupun ilmu-ilmu sosial/humaniora menjadi standar dunia saat ini.
Di sisi lain, perkembangan sains di dunia Islam makin menurun seiring dengan kondisi sosial politik. Negara-negara Islam bercerai-berai apalagi setelah jatuhnya kekhalifahan Islam terakhir di Turki pada tahun 1924. Sebagian besar negara Islam yang sebelumnya berada di bawah naungan kekhalifahan Turki Utsmani takluk pada negara-negara Barat penjajah seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, dan Amerika. Alih-alih mengembangkan sains dan teknologi, mereka telah kehilangan kemampuan untuk mengurus diri sendiri.
Menurut Said Ramadhan, selain kurangnya ikhtiar kaum muslimin untuk bangkit, ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga kaum muslimin menjadi mundur. Faktor-faktor itu antara lain :
a. Lesunya kekhalifahan Utsmaniyah dan kebobrokan di dalamnya sehingga terjadilah keruntuhan dari dalam di samping program-program Zionis yang menggerogotinya dari luar.
b. Para penjajah yang memperebutkan kekayaan dan harta warisan negeri-negeri muslim. Kondisi ini makin memperlemah sekaligus menghantam kekuatan kekhalifahan Utsmaniyah yang disebut-sebut sudah seperti ”orang tua yang sedang sakit” (the sick old man).
c. Kebangkitan negara-negara Eropa yang kemudian memasuki era laut, angkasa luar dan penguasaan mereka yang canggih terhadap sains dan teknologi. Kaum muslimin lalu terpana dan tercengang melihat semuanya itu. Salah satu sebab pentingnya adalah karena kita telah kehilangan sarana-sarana kekuatan dan kesibukan kita sendiri mengurus ”orang tua yang sedang sakit” itu. Semua itu masih ditambah dengan pecahnya persatuan kita karena ulah kaum imperialis dan kolonialis.
d. Akibat silaunya mata kita terhadap kemajuan Barat yang mengakibatkan munculnya sikap taklid buta kepada mereka dengan harapan kita bisa bangkit seperti mereka sehingga kitapun melakukan modernisasi dengan cara seperti yang sama dilakukan Eropa. Oleh sebab itu lantas kita meletakkan Islam dalam timbangan yang sama seperti orang-orang Eropa menimbang agama mereka. Semua itu didorong oleh berlapis-lapisnya kelemahan yang melekat pada diri kita dan kesilauan kita terhadap Barat.
Selain rendahnya penguasan sains dan teknologi oleh kaum muslimin dewasa ini, data statistik menunjukkan pula rendahnya pengembangan sumber daya manusia di negara-negara muslim. Data Human Development Index (Indeks pengembangan/pembangunan manusia) tahun 2009 menunjukkan negara-negara muslim berada di urutan bawah. Negara muslim yang masuk 30 besar hanya Brunei Darussalam, disusul untuk urutan 40 besar yang masuk yaitu Kuwait (31), Qatar (33), Uni Emirat Arab (35), Republika Czechnya (36) dan Bahrain (39). Sementara ranking terakhir ditempati oleh Nigeria (189) dan Afghanistan (188). Indonesia sendiri berada di urutan ke-111 dengan indeks sebesar 0.734.
Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia :
• hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran.
• Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
• standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli.
Angka-angka tersebut makin menunjukkan rendahnya kualitas hidup dan pendidikan manusia di negeri-negari muslim, sekaligus juga menunjukkan rendahnya penguasaan sains dan tekonologi serta penelitian-penelitian pengembangan (research and development). Kaum muslimin lebih banyak menjadi pengikut dan pengguna teknologi yang berasal dari sains Barat moderen daripada mengembangkannya sendiri. Sedikit sekali, kalau boleh dibilang hampir tidak ada, proporsi kaum muslimin yang menjadi ilmuwan, penemu dan pengembangan teori-teori sains moderen.
Kondisi saat ini sangat jauh berbeda dengan jaman ketika Islam mengalami kejayaaan beberapa abad lalu yang disebut Barat dengan istilah jaman pertengahan (medieval ages). Kurun waktunya sekitar tahun 700-1400 Masehi. Ilmu pengetahuan dan sains berkembang pesat di pusat-pusat kajian intelektual seperti di Baghdad, Damaskus, Cordoba dan lain-lain. Kegemilangan sains Islam waktu itu dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria. Pelaksananya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga dipercaya sebagai pegawai pemerintahan.
Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat ‛Abbāsiyyah yang berpusat di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, mereka pun banyak merekrut kaum terpelajar lokal sebagai staf di pemerintahan. Mereka inilah yang kemudian banyak mewarnai perkembangan pemikiran selanjutnya. Sebut saja, misalnya, Ibn al-Muqaffa‛ (m. 759 M) dan Yahyā ibn Khālid ibn Barmak (m. 803 M), cendekiawan dan politisi berdarah Persia yang diangkat menjadi menteri pada masa itu. Lalu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mūn (m. 833 M) mulailah dilaksanakan proyek penerjemahan secara intensif dan besar-besaran. Ia mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Di antara mereka yang aktif sebagai penerjemah dan peneliti tersebutlah nama-nama semisal Hunayn ibn Ishāq dan anaknya Ishāq ibn Hunayn, Abu Bishr Mattā ibn Yūnus, Yahyā ibn ‛Adī dan lain-lain. Menjelang akhir abad ke-9 M, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi, dan alchemy.
Pakar sejarah sains dari Universitas Harvard, Abdel Hamid Sabra mengatakan bahwa gerakan penerjemahan tersebut di atas mewakili fase pertama dari tiga tahap Islamisasi ilmu pengetahuan. Ia menyebutnya sebagai fase peralihan atau akuisisi, di mana ilmu pengetahuan Yunani memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagai kekuatan penjajah (an invading force), melainkan sebagai tamu yang diundang (an invited guest). Namun, pada tahap ini sang tuan rumah yang mengundangnya masih menjaga jarak dan berhati-hati. Selanjutnya adalah fase penerimaan atau adopsi, di mana tuan rumah mulai mengambil dan menikmati oleh-oleh yang dibawa sang tamu. Lahirlah orang-orang seperti Jābir ibn Hayyān (m. 815 M), al-Kindī (m. 873) dan Abu Ma‛syar (m. 886 M). Proses ini terus berlanjut ke tahap berikutnya yang disebut dengan fase asimilasi dan naturalisasi. Pada tahap ini tuan rumah bukan sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan memasak hidangan sendiri, mencipta menu baru, membuat dan memasarkannya ke masyarakat luas. Menurut Sabra, inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawārizmī (m. 863) dan ‛Umar al-Khayyām (m. 1132 M) dalam matematika, Ibn Sīna (m. 1037 M) dan Ibn an-Nafīs (m. 1288 M) dalam kedokteran, dan, Ibn al-Haytsam (m. 1040 M) dan Ibn al-Syātir (m. 1375 M) dalam astronomi, al-Bīrūnī (m. 1048 M) dan al-Idrīsī (m. 1150 M) dalam geografi, dan masih banyak sederetan nama besar lainnya.
Fase kematangan ini berlangsung kurang lebih 500 tahun lamanya, ditandai dengan produktivitas yang tinggi dan orisinalitas yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battānī (m. 929 M) mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemy, mengamati mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant. Seperti buku-buku lainnya, karya al-Battani pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De Scientia Stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus. Kritik terhadap teori-teori Ptolemy juga telah dilontarkan oleh Ibn Rusyd (m. 1198 M) dan al-Bitrūjī (m. 1190). Dalam bidang fisika, Ibn Bājjah (m. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan kecepatan. Demikian pula dalam bidang-bidang sains lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800-an M di Andalusia, Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat oleh Roger Bacon (m. 1292 M) dan belakangan diperkenalkan oleh Leonardo da Vinci (m. 1519 M).
Sementara itu dari kondisi sosial ekomoni saja antara negeri-negeri Islam waktu itu sangat jauh berbeda dengan Barat pada kurun waktu yang sama. Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga sesudah abad ke-10 M merupakan negeri yang tandus, terisolir, kumuh, dan liar. Tempat kediaman dan keamanan manusia tidak lebih baik daripada hewan. Eropa masih penuh dengan hutan-hutan belantara. Mereka tidak mengenal kebersihan. Kotoran hewan dan sampah dapur dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau-bau busuk. Dan kota terbesar di Eropa penduduknya tidak lebih dari 25.000 orang.
Kondisi di atas jauh berbeda dengan keadaan kota-kota besar Islam pada waktu yang sama. Seperti di kota Cordoba, ibukota Andalus di Spanyol. Cordoba dikelilingi taman-taman hijau. Penduduknya lebih dari satu juta jiwa. Terdapat 900 tempat pemandian, 283.000 rumah penduduk, 80.000 gedung-gedung, 600 masjid, 50 rumah sakit, dan 80 sekolah. Semua penduduknya terpelajar. Karena orang-orang miskin pun menuntut ilmu secara cuma-cuma. Selain ketinggian peradaban Islam, para ilmuwan Muslim juga punya peran besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dunia.
Dari beberapa contoh konkrit di atas terlihat demikian tinggi semangat kaum muslimin waktu itu untuk meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan sains. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi dan kontribusi yang besar terhadap peradaban manusia. Hasil penelitian mereka sampai saat ini menjadi pijakan pengembangan sains Barat moderen, meskipun kebanyakan sarjana Barat tidak mengakuinya.
Ironisnya, ketinggian peradaban Islam masa lampau terutama di bidang sains kurang diketahui oleh kaum muslimin di jaman sekarang. Beberapa sarjana telah berupaya untuk menampilkan sains Islam dan jasa-jasa ilmuwan muslim pada masa lampau. Namun belum cukup untuk menyadarkan umat dan membuat percaya bahwa perabadan Islam pernah berjaya, terutama di bidang sains dalam kurun waktu kurang lebih 700 tahun.
Jurang pemisah yang demikian lebar antara kondisi umat Islam pada waktu itu dengan sekarang ini harus dipersempit. Umat, khususnya para ilmuwan muslim harus melihat kebelakang untuk menarik keterkaitan benang merah sejarah perabadan untuk bangkit dan melesat ke depan mengungguli perabadan Barat yang tengah memimpin dunia. Dimulai dari menggali kembali sejarah untuk membangkitkan rasa percaya diri dan bangga atas peradaban Islam melalui kajian pada kontribusi ilmuwan-ilmuwan pada waktu termasuk tradisi ilmu yang berkembang di sana.
Salah satu ilmuwan Islam yang terpandang baik di kalangan umat Islam maupun Barat adalah Al-Khawarizmi. Beliau adalah ilmuwan yang menguasai ilmu matematika, astronomi dan geografi. Selain itu beliau juga pakar di bidang bahasa dan musik. Kepakaran Al-Khawarizmi di bidang matematika perlu dikaji lebih mendalam oleh generasi muda saat ini karena Al-Khawarizmi telah meletakkan dasar ilmu matematika dalam hal ini Aljabar, Aritmetika dan Trigonometri. Ilmu-ilmu tersebut merupakan landasan bagi perkembangan sains di masa-masa berikutnya. Selain itu, kebanyakan pelajar –terutama pelajar muslim saat ini enggan untuk mempelajari ilmu matematika karena dirasakan sebagai bidang yang sulit dan menjemukan. Dengan mempelajari kontribusi Al-Khawarizmi dalam bidang matematika diharapkan pelajar muslim saat ini akan merasa bangga dan mengikuti jejak langkahnya. Dengan demikian suatu saat akan lahir Al-Khawarizmi-Al-Khawarizmi baru di abad modern ini.