Sabtu, 18 Desember 2010

Al- Muwafaqoot dan Imam Syatibi

Ditulis Oleh DR. KH.Ahmad Zain An-Najah, Lc,M.A

Muwafaqoot, karya terbesar Imam Syatibi, merupakan karya ilmiyah dalam bidang ushul fiqh sekaligus salah satu bentuk reformasi ilmiyah syariah secara menyeluruh. Buku ini, bukan hanya menjelaskan dasar- dasar ilmu ushul fiqh dengan metodologi baru yang berlandaskan penelitian penuh ( istiqra’) dari sumber utama Syareah Islamiyah ( Kitab dan Sunnah ) , tapi juga menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami Syareah Islamiyah secara menyeluruh.
Alquran karim yang merupakan pedoman utama umat Islam berisikan pokok-pokok ajaran Islam secara global, kemudian dijelaskan oleh As Sunah. Yang keduanya menggunakan bahasa Arab. Oleh karenanya, bagi siapa saja yang ingin memahami kedua kitab tersebut, harus memahami bahasa Arab.
Syareah Islamiyah yang diturunkan kepada umat manusia bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia supaya lebih baik. Syareah diturunkan ke dunia ini agar terjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia, yang kesemuanya itu merupakan unsur utama kehidupan manusia,. Tanpanya barangkali manusia akan punah. Kelima unsur penting tersebut disebut “ Dhoruriyat Khomsah “ . Syareah juga diturunkan untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia yang kalau tidak disediakan, maka manusia akan hidup dalam keadaan susah dan payah, yang terkenal kemudian dengan “ Hajiyat “ begitu juga diturunkan untuk memperhatikan “ Tahsinaat “ yang menganjurkan makarimul akhlak dan perbuatan baik.
Seluruh pembahasan fiqih, bahkan pembahasan syareah secara keseluruhan tidak akan bisa dilepaskan dari tiga permasalahan diatas. Oleh karenanya, setiap orang Islam diharapkan mampu meletakkan tiga tujuan utama kehidupan itu pada proporsinya masing-masing. Memprioritaskan masalah yang paling penting kemudian yang penting dan kurang penting dan seterusnya. Salah di dalam meletakkan unsur-unsur tadi, merupakan sebuah kegagalan di dalam memahami syareah, sekaligus kegagalan di didalam bertindak.
Oleh karenanya, kalau seseorang hendak mengetahui semua hal itu secara sempurna, tidaklah cukup hanya mengetahui dalil-dalil syareah secara sepihak dan sepenggal, akan tetapi dia harus memahami dalil-dalil syareah tersebut secara menyeluruh dan menjadikan dalil-dalil tersebut satu kesatuan yag tidak dapat dipisah-pisahkan. Allah sendiri telah memberikan isyarat dan pesan seperti ini di dalam salah satu firman-Nya :
“ Wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam Islam secara keseluruhan “ ( QS.Al Baqarah : 208 )
Ini juga di kuatkan dalam ayat lain :
“Apakah engkau beriman kepada sebagian isi kitab dan mengkafiri sebagian yang lain ? “ (QS.Al Baqarah : 85 )
Dari keterangan diatas, bisa dikonklusikan bahwa untuk memahami Syareah Islam ini dibutuhkan dua perangkat yang sangat urgen : pengetahuan tentang bahasa Arab dan pengetahuan tentang tujuan diturunkannya syareah dan penempatan segalanya menurut prioritas yang dimaukan syareah.
Adapun masalah yang pertama , banyak ulama yang telah memperhatikan dan membahasnya , baik itu dalam bentuk kaidah-kaidah bahasa Arab, dalam ilmu Nahwu dan Shorof, maupun dalam bentuk yang lebih mendetail lagi di dalam ilmu ushul fiqh
Akan tetapi sangat di sayangkan, sebagian besar ulama tidak banyak membahas secara lengkap dan sistematis masalah maqhosid ini , selama 3 abad lebih mereka tenggelam di dalam methodologi ushul fiqih yang telah diletakkan oleh para pendahulunya, sehingga datanglah Imam Syatibi pada abad ke 8 , meletakkan batu pertama dalam masalah ini.
Memang - harus di akui- bahwa pembahasan maqhosid sendiri sebetulnya telah disentuh, walau sekilas, oleh sebagian ulama, seperti Imam Tirmidzi di dalam bukunya “ As -Sholat wa Maqhoshiduha”, Abu Manshur Al Maturudy di dalam “ Ma’khod Syarai’ “, Abu Bakar Qoffal As- Syasyi di dalam “ Mahasin Syareah “ , Al Baqilani di dalam “ Ahkam wa ‘ilal “, Al Qhodhi Husain di dalam “ Asror Fiqih” nya, Imam Haromain di dalam “ Burhan “ , dan generasi sesudahnya seperti Imam Ghozali, Fakhruddin Ar Rozi, Saifuddin Al Amidi, Ibnu Hajib, Isnawi, dan Ibnu Subki.
Selain ulama ushul di atas, terdapat ulama-ulama muhaqiqun yang sebenarnya lebih banyak perhatiannya kepada masalah maqhosid dari pada mereka, yang karya- karya mereka justru pada akhir- akhir ini dijadikan rujukan dan reverensi utama oleh banyak ulama kontemporer di dalam banyak karyanya, mereka itu adalah : Izuddin Abdus Salam dengan bukunya “ Qowaid Ahkam fi Masholih Al anam”, dan muridnya “ Syihabuddin Al Qorrofi “ di dalam “ Al furuq “, begitu juga Ibnu Taimiyah di dalam “ Majmu’ Fatawa “ dan muridnya Ibnu Qoyyim di dalam “ I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil Alamin “.
Dari situ, kita mengetahui betapa pentingnya buku ini bagi siapa saja yang ingin memahami Syreat Islamiyah secara benar.
Muwafaqot adalah nama asli dari karya Imam Syatibi ini, tetapi beberapa ulama dan muhakikin menambahkannya dengan “ Muwafaqot fi Ushul Syareah’ seperti yang ditulis Syekh Daraz, juga “ Muwaqot fi Ushul Ahkam” sebagaimana ditulis oleh Muhyidin Abdul Hamid
Tentang Isi Buku Muwafaqat
Adapun buku muwafaqot sendiri terdiri dari 5 bagian yang dibagi menjadi 4 buku dan dijadikan 2 jilid
I / Pembukaan
Pembukaan ini terdiri dari 13 kaidah dan 5 pasal berisikan tentang pembahasan dasar-dasar ilmu ushul fiqh, sebagai pengantar menuju substansi yang sebenarnya. Diantaranya :
1. Bahwa masalah-masalah di dalam ushul fiqih semuanya berdasarkan dalil-dalil qoth’i, tidak dhonni, karena berdasarkan masalah- masalah kuliyat, yang tak terbantahkan ( yaitu : Dhoruriyat, Hajiyat dan Tahsinat ). Sebagaimana Ijma’ merupakan dalil qhot’I, walaupun ijma’ itu sendiri pada hakekatnya kumpulan dari perorangan yang mungkin kalau berdiri sendiri akan lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran syar’i.
2. Dalil-dalil aqli di dalam masalah ushul tidak digunakan kecuali digabungkan dengan dalil naqli.
3. Setiap dasar syareah yang belum ada nash akan tetapi sesuai dengan ruh syareah, maka dasar tersebut itu boleh dipakai.
4. Semua permasalahan yang diletakkan didalam ushul fikih, tetapi tidak bisa dijadikan dasar untuk menjabarkan fikih, maka peletakkannya adalah hanya membuang energi dan tidak banyak manfaatnya. ( seperti masalah mubah apakah taklif atau tidak dan masalah siapa yang meletakkan bahasa pertama kali ).
5. Sebagaimana diterangkan juga bahwa menyibukkan diri di dalam banyak teori ilmu secara umum tanpa ada kaitannya dengan amal perbuatan, itupun tidak banyak manfaatnya dan bertentangan dengan maksud diturunkannya syareat itu sendiri.
6. Dan lain-lainnya .
II / Kitab Ahkam ,
Kitab ini terdiri dari : Ahkam Taklifiyah dan Wadh’iyah.
III / Kitab Maqhosid
Di dalam kitab ini dijelaskan secara terperinci bahwa Syare’ah Islamiyah ini diturunkan kepada manusia semata-mata untuk kesejahteraan mereka. Karena berisikan kaidah-kaidah umum tentang kehidupan manusia, peraturan dan batas-batas yang semua manusia wajib mentaatinya dan melaksanakannya agar kehidupan mereka teratur, tertib dan aman. Sekilas nampaknya ajaran- ajaran di dalam agama Islam memberatkan dan mengikat kebebasan manusia. Tapi sebenarnya yang konsisten dengan ajarannya justru orang yang paling bebas dan paling tenang, karena seluruh ajarannya baik yang kecil maupun yang besar mengandung maslahah bagi manusia itu sendiri, walau dia tidak menyadarinya. Sebaliknya, yang keluar dan tidak mentaati aturan –aturan didalamnya, akan terikat dan terbeleggu dengan nafsunya, yang walau kelihatannya enak dan menyenangkan tetapi pada hakekatnya adalah kerugian dan madhorot.
Orang yang paling mengetahui maslahat dan mafasid pada suatu kasus adalah para ulama yang telah menguasai ilmu syareah dan mengetahui betul hikmah dibalik hukum-hukum yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Islam. Diantaranya :
1. Bahwa untuk menjaga syareat ini secara keseluruhan, maka unsur-unsur di dalamnya harus dijaga walau sekecil apapun. Karena kuliyat dan juziat di dalam ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
2. Begitu juga bahwa Syareat Islamiyah ini diturunkan dalam bahasa Arab .
3. Sengaja di pilih bahasa Arab , karena hanya bahasa Arab saja yang mempunyai “ma’na tab’I “ ( makna tersirat ) yang paling mendetail di dalam susunan kata- katanya. Dan itu tidak dimiliki bahasa- bahasa lainnya. Oleh karenanya, tidak dibolehkan, bahkan tidak akan bisa menerjemahkan Alquran secara letterligh ke dalam bahasa lain. Yang bisa (dan dibolehkan hanyalah menafsirkan kandungan Al quran secara global.
4. Alquran – walaupun berbahasa Arab- akan tetapi diturunkan kepada umat umiyyin ( yang tidak pandai membaca dan menulis ), oleh karenanya hendaknya cara memahami Al Quran harus di sesuaikan dengan pemahaman mereka. Maksudnya tidak bertele-tele di dalam membahas sebuah lafadh, tapi cukup mengetahui maksud dari kalimat tersebut. Dan inilah rahasia kenapa Al Quran diturunkan dengan tujuh huruf. Oleh karena itu, Umar bin Khottob ketika ditanya tentang arti “ abba “ dalam ayat ( wafaakihata wa abba) beliau menjawab : kita tidak diperintahkan untuk bertele-tele seperti itu. Bahkan beliau menghukum seorang yang bernama Dhobii’ , karena selalu menanyakan makna ( walmursalaati ) dan ( wal ashifat ) .
5. Begitu juga di dalam memahami masalah aqidah, termasuk di dalamnya ayat-ayat sifat dan mutasyabihat, cukup dipahaminya secara umum tanpa tenggelam di dalam masalah-masalah yang pelik.
6. Dalam furu’ yang berhubungan dengan ibadah amaliyah, Alquran meletakkan kaidah-kaidah yang bisa dipahami orang awam, seperti tanda untuk mengetahui datangnya waktu-waktu sholat, puasa dengan tenggelamnya matahari atau terbitnya bulan.