Jumat, 17 Desember 2010

PEMIKIRAN DAN GERAKAN IMADUDDIN ABDURRAHIM

oleh : DR.KH.Misbah Anam, M.Sos.I
Pada waktunya (dulu) tanah air memerlukan pahlawan-pahlawan senjata, tetapi lain waktu diperlukannya pula pahlawan-pahlawan lain yang tidak kurang pentingnya, yakni pahlawan-pahlawan pembangunan . Harus ada sekelompok orang yang memperdalam pengetahuan , sehingga pembangunan memberikan dampak yang baik bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat . Usaha memperdalam pengetahuan tersebut ditempuh melalui pendidikan, yang difahami sebagai human investment yang sangat strategis untuk mempersiapkan generasi yang akan datang .
Diantara generasi yang diharapkan akan ikut serta dalam pembangunan adalah para mahasiswa, kedudukan mereka sangat strategis sebagai calon cendekiawan, ilmuwan, pendidik dan pemimpin masa depan . Terlebih bagi mahasiswa Islam, yang mana persoalan yang dihadapi tidak saja berupa masalah studi (ilmiah), akan tetapi juga berhubungan langsung dengan eksistensi, keutuhan dan kelestarian karakter ke-Islaman. Abul A’la Maududi menyebutkan, kehidupan umat Islam tak akan utuh kecuali jika generasi muda sekarang tidak berada dalam situasi pengkaderan dan persiapan di lembaga-lembaga pendidikan dan mereka sungguh-sungguh memegang kebudayaan Islam dan membawanya sebagai bendera kehidupan untuk disebarluaskan. Untuk memindahkan kebudayaan Islam kepada generasi berikutnya, akan dicapai dengan cara, mahasiswa itu sendiri bangkit untuk merealisasikan artinya mahasiswa menggunakan kemampuan intelektualnya (mampu berfikir) untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemampuan tersebut didukung oleh ajaran dasar dalam Islam yaitu, akidah tauhid, kerasulan dan tentang hari berbangkit .
Mahasiswa adalah salah satu komunitas yang sering-kali mendapatkan predikat manusia-manusia yang memiliki ilmu pengetahuan. Maka dengan demikian, predikat tersebut akan memiliki konsekwensi adanya kesempatan untuk dapat berbuat lebih banyak dibanding komunitas manusia yang lain. Untuk mewujudkan kemanfatan ilmu pengetahuan lebih luas maka setiap mahasiswa muslim dituntut tidak saja menguasai bidang keilmuan yang digelutinya tapi juga berusaha menguatkan identitas ke-Islam-mannya sebagai pertanggung jawaban atas keberadaanya dia sebagai khalifah fil ard juga sebagai ‘abdullah .
Dengan kemampuan intelektual dan dukungan ajaran yang paling mendasar, maka perlu dirancang suatu model kaderisasi yang lebih spesifik terhadap mahasiswa tetapi tetap moderat terhadap perkembangan zaman. Ke-cendikiawan-nya memiliki arti ilmuwan yang dekat dengan masyarakat dan berada di tengah-tengah masyarakat sebagai pendidik.
Peranan cendekiawan dalam membangun masyarakat terletak dalam usahanya, dalam kehidupanya yang selalu dinamis, karena jika tidak demikian ia akan menyerah pada determinisme historis yang akan melenyapkan kepribadian dan komitmennya. Perbedaan antara determinisme historis dan determenisme Tuhan adalah, bahwa kita diciptakan oleh Tuhan, bukan oleh kekuatan-kekuatan sejarah, sehingga semestinya kita harus lebih baik dan lebih unggul daripada determinisme historis .
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, sudah sejak tahun 1962 dikeluarkan instruksi menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), agar di setiap perguruan tinggi wajib diajarkan pengetahuan agama sesuai dengan agama yang dianut mahasiswa masing-masing . Intruksi tersebut khususnya terkait dengan perguruan tinggi umum, tidak bagi Perguruan Tinggi Agama yang (memang) pendiriannya dipersiapkan untuk menyempunakan pendidikan yang diadakan oleh pesantren.
Instruksi tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh perguruan tinggi umum dengan memberikan kuliah agama sebagai mata kuliah wajib. Mata kuliah agama di PT umum di pandang perlu karena berbaagai hal diantaranya adalah; Pertama, “Pendidikan Agama Islam (PAI) di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau kelompok-kelompok agama, nampaknya tidak menghadapi banyak persoalan dibandingkan dengan pelaksanaan PAI di lembaga-lembaga pendidikan umum (yang dikelola Depdiknas) sejak tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT) . Kedua, “Pendidikan keimanan dan ketakwaan di berbagai lembaga pendidikan dewasa ini masih berada pada tataran normative, upaya pengembangan pendidikan keimanan dan ketakwaan belum menyentuh ranah yang seharusnya” . Maka pendidikan agama tidak boleh berhenti sebatas pada ranah kognitif, tapi juga harus menjawab permasalahan afaktif dan juga psikomotorik.
Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satu perguruan tinggi umum yang juga melaksanakan kuliah agama bagi para mahasiswanya. Bagi mahasiswa yang beragama Islam, maka kewajiban tersebut harus diambil selama kuliah, ia masuk dalam mata kuliah non-engineering.
Bagi mata kuliah agama Islam ternyata ada masalah yang timbul kemudian yaitu pada persoalan teknis, yaitu siapa yang akan mengajarkan mata kuliah ini sesuai dengan pola berfikir mahasiswa yang berbasis rasional (ilmu-ilmu esakta). Dosen agama Islam pada saat instruksi tahun 1962 hanya dapat disedikan tiga dosen, padahal mahasiswa Muslim terdiri lebih dari 1000 mahasiswa, kekurangan dosen berimbas pada ketersediaan waktu kuliah, yang mengakibatkan banyaknya mahasiswa Muslim yang mengambil mata kuliah agama lain khusunya Kristen agar cepat lulus .
Pada tahun-tahun awal berdirinya lembaga pendidikan dan demikian juga perguruan tinggi baik agama ataupun umum memiliki prioritas utama pada tugas-tugas militer dan politik. Ki Hadjar Dewantoro sebagai menteri pendidikan pertama pada 29 September 1945, mengeluarkan sebuah pedoman pendidikan darurat yang lebih dimaksudkan untuk mengukuhkan semangat nasionalisme dengan cara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap hari dan menaikkan Bendera Merah Putih, ketimbang mengarahkan program-program pendidikan .
Benih gairah ke-Islaman secara sederhana sudah dimilai sejak berdirinya STI di Yogyakarta dengan HMI-nya yang dipelopori oleh Lafran Pane. Pada masa berikutnya kemudian semakin marak gerakan-gerakan keagamaan intra dan ekstra kampus juga mulai tumbuh dari PTU. Azumardi Azra mempetakannya dalam tiga (3) kelompok. Pertama, kelompok “common” merupakan kelompok mayoritas, yaitu para mahasiswa muslim yang mengamalkan ajaran Islam seadanya serta cenderung tradisioanl dan konvensioanl, sebagaian mereka bahkan tak begitu concern terhadap agamanya. Kedua, mahasiswa yang berlatar belakang keislaman sangat kuat, baik dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap agamanya dan dalam konteks akademis adalah untuk meningkatkan kemampuan berorganisasi dan keterampilan ilmiah. Mereka memiliki hubungan dengan para senior di jabatan publik baik partai maupun ormas kegamaan. Dan Ketiga, kelompok mahasiswa yang lebih berorientasi kepada pengamalan Islam secara kaffah. Mereka banyak terilhami oleh gerakan ataupun tokoh Islam internasional (Ikhwanu al-Muslimin di Mesir ataupun Jama’at Islam di Pakistan) . Juga kreasi-kreasi lokal, dengan bentuk kajian Islam intensif dalam usrah. Kelompok inilah yang kemudian menyelenggarakan kegiatan tutorial atau mentoring keagamaan di Masjid-masjid kampus, dalam bentuk Kultum (kuliah tujuh menit) setelah shalat, pesantren kilat Ramadhan, mempelopori shalat Jum’at dan jama’ah di lingkungan kampus .
Masalah inilah yang juga kemudian melahirkan kegiatan keagamaan intra-kampus yang di rintis terutama oleh dosen ITB yang bernama Imaduddin Abdurahim. Sarjana teknik elektro yang merasa memiliki tanggung jawab terhadap agama yang diyakininya. Selain mendapatkan didikan agama oleh ayahnya yang sangat keras, ia juga bersekolah di Holands Inlandsce School (HIS), lalu meneruskan ke SMA dan melanjutkan ke ITB kemudian menyelesaikan magister dan dokoralnya ke USA. Keaktifan membangun jaringan dengan sesama Muslim pada akhirnya mengantarkannya untuk bertemu dengan berbagai cendekiawan Muslim local dan dunia. Berawal pertemuanya dengan tokoh-tokoh Masyumi terutama M. Natsir kemudian mengantarkan perjumpaannya dengan Bin Baz, Abu ‘Ala al-Maududi, Ahmad Tontoji dan lain-lain. Perpaduan pendidikan dan lingkungan tersebut yang kemudian banyak mempengaruhi pandangan hidupnya, yaitu gaya santri di satu sisi dan (logika) Barat pada sisi yang lain.
Tidak hanya berfikir ilmiah sebagai seorang akademisi, tapi menuangkan apa yang menjadi keyakinannya dalam sebuah gerakan kaderisasi khususnya bagi kalangan cendekiawan Muslim kampus. Kegiatan kederisasi didesain untuk membentuk gerakan Islam yang berorientasi amaliah dengan dasar pijakan nilai tauhid uluhiyah , tidak sekedar keyakinan (tauhid rububiyah).