Minggu, 09 Mei 2010

PEMIKIRAN पेंदिदिकन AL-FARUQI

PEMIKIRAN PENDIDIKAN
DR. ISMAIL RAJI AL-FARUQI


Ir.H.Aji Jumiono, Msc

I. PENDAHULUAN
Dunia modern saat ini mengukir kisah kejayaan manusia secara materi dan kaya
akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun modernitas ini agaknya tidak didukung
dengan keteguhan hati nurani sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan
dan kemodernannya. Manusia modern memang mampu membangun impian kehidupan
menjadi kenyataan, namun kemudian mereka menghancurkannya dengan tangannya
sendiri. Sebagaimana al Qur’an mengibaratkan seorang perempuan yang menenun kain
dengan tangannya, lalu kemudian mencabik-cabiknya kembali dengan tangannya1.
Para sosiolog berpendapat telah terjadi kerusakan dalam jalinan struktur perilaku
manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama terjadi pada level pribadi (individu) yang
berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik
status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya
kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku (normlessnes). Level ketiga,
pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan
masyarakat. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat
melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan
keseimbangan2. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki
dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih
menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.
Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari pelbagai ironi dalam
kehidupan sehari-hari. Munculnya pelbagai alienasi (keterasingan) dalam kehidupan
manusia. Sebagai contoh pada sebagian masyarakat yang mulai mengingkari hakikat
dirinya hanya karena memperebutkan materi. Ada pula alienasi masyarakat, yaitu
keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok, sehingga
mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran, yang ditandai dengan
1 QS. An-Nahl (16) : 92
2 Haedar Nashir, Agama dan krisis Kemanusiaan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) hal. 4.
2
hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai
satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.
Berbagai ironi manusia modern misalnya semua berkeyakinan bahwa hidup
berdampingan dengan rukun lebih baik daripada hidup bermusuhan, namun kenyataan
bahwa banyak manusia memilih dengan hidup bermusuhan. Berbagai rencana penciptaan
perdamaian dunia pun dibuat, yang ironisnya hal ini dilakukan dengan menciptakan
peralatan perang tercanggih dan paling mematikan sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Krisis kemanusiaan manusia modern ini berakar pada dimensi sistem
kemasyarakatan dan ideologi dari kebudayaan modern yang kini dominan di hampir
setiap penjuru dunia. Suatu sistem kehidupan yang serba saling bertentangan di dalam
dirinya dan mengabaikan jati diri manusia. Pusat petaka itu adalah kebudayaan materi
dalam alam pikiran Humanisme-antroposentris, yang menafikan kehadiran agama, yang
lahir di saat awal kemunduran kebudayaan Islam dan masa Renaissance di Eropa Barat3.
Perkembangan aliran Humanisme-antroposentri ini sangat kuat, terutama dalam
perlawanannya terhadap pikiran teosentris. Sehingga terdapat kemungkinan adanya suatu
pengaruh antitesis secara ekstrim yang mengakibatkan perkembangan humanismeantroposentris
ini sangat menolak paham teosentris. Nilai-nilai seperti individualisme,
kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan adalah mainstream paham ini.
Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak kandung dari
Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya
postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.
Masalah yang dihadapi umat Islam adalah terjadinya dikotomi pendidikan Islam
dengan pengetahuan modern yang berasal dari Barat. Barat telah mengklaim bahwa
pendidikan Barat adalah pendidikan yang paling maju serta memiliki solusi terhadap
berbagai masalah manusia dan alam. Banyak sarjana-sarjana muslim yang belajar di
Barat tidak memiliki otonomi keilmuan tersendiri karena tidak diberi oleh Barat dalam
konteks mandiri. Sarjana-sarjana itu hanya dapat berbuat hasil-hasil jiplakan dari para
ahli Barat. Hal ini disebabkan kekhawatiran mereka akan terjadinya transformasi ilmu
pengetahuan ke dunia Islam.
3 Ibid. hlm. 7
3
Setelah tasawuf dan thariqat memasuki dunia Islam seolah-olah pintu ijtihad
sudah tertutup, pendidikan Islam kurang menerima inovasi, arahan dari kurikulum
pendidikan yang bersifat tradisional mengacu hanya pada hal-hal yang bersifat syari'ah,
seolah-olah pengetahuan eksakta seperti astronomi, fisika, kimia kedokteran dan lain-lain
sebagainya yang telah dipunyai dunia Islam zaman klasik terabaikan. Hal ini disebabkan
tradisi kebudayaan Islam di dalam kurikulum pendidikan tidak lagi dijadikan mata kuliah
wajib di perguruan tinggi di madrasah-madrasah sedangkan tradisi Barat di ajarkan
dengan konsisten dan penuh keseriusan merupakan bagian dari program inti yang
diwajibkan, hal inilah yang mendorong AI-Faruqi mengetengahkan ide Islamisasi ilmu
pengetahuan.
Bagaimana konsep Pemikiran Pendidikan Ismail Raji Al-Faruqi dalam
mengislamisasi ilmu akan menjadi pembahasan dalam makalah ini.
II. RIWAYAT HIDUP DR. AI-FARUQI
Akses untuk mengenal lebih dekat sosok Al-Faruqi dan pemikirannya tidaklah
terlalu sulit, saat ini telah tersedia Ismail Faruqi Online dengan alamat situs
www.ismailfaruqi.com. Berikut ini adalah riwayat beliau yang disadur dari situs resmi
Ismail Faruqi Online.
Prof. Ismail Raji al-Faruqi dilahirkan di Jaffa (Palestina) pada 1 Januari 1921.
Ayahnya bernama 'Abd al-Huda al-Faruqi adalah seorang hakim (Qadli) yang merupakan
seorang yang memiliki agama yang kokoh serta berpendidikan Islam. Al-Faruqi
memperoleh pendidikan agama di rumahnya melalui ayahnya dan melalui mesjid di dekat
tempat tinggalnya. Dia mulai kuliah di Domikia Perancis yaitu kampus Des Freres (St.
Joseph) pada tahun 1936.
Tugas pertama yang diemban Al-Faruqi adalah sebagai bagian Pencatat pada
Masyarakat Kerjasama (Registrar of Cooperative Societies) pada tahun 1942 dibawah
penugasan dari pemerintahan Inggris di Jerusalem yang mengantarkannya sebagai
Gubernur Distrik Galilee pada tahun 1948. Ketika Israel menjadi Negara Yahudi pada
1948, Al-Faruqi untuk pertama kalinya bermigrasi ke Beirut, Lebanon, dimana dia
belajar pada American University of Beirut, kemudian tahun berikutnya di Pasca Sarjana
Indiana University School of Arts and Sciences, dan menyelesaikan gelar M.A. pada
4
bidang Filsafat pada tahun 1949. Selanjutnya Ia diterima masuk di universitas Harvard
pada Fakultas Filsafat dan memperoleh gelas M.A yang kedua pada bidang Filsafat pada
tahun 1951, dengan judul thesis Justifying the Good: Metaphysics and Epistemology of
Value. Kemudian ia memutuskan untuk kembali ke Indiana University; Dia
menyelesaikan Thesis pada Fakultas Filsafat dan menerima gelar Doktor pada bulan
September 1952. Bisa dipahami bahwa ia memiliki pemahaman yang mendalam dengan
latar belakang filsafat klasik dan perkembangan pemikiran tradisional di Barat. Pada
awal tahun 1953, Ia dan istrinya berada di Syria. Kemudian Ia pindah ke Mesir dimana ia
belajar di Universitas Al-Azhar (1954-1958) dan memperoleh gelar doktor yang kedua
kalinya.
Dia merupakan seorang filosof yang berdarah campuran Palestina – Amerika
yang dikenal sebagai orang yang piawai dalam Islam dan perbandingan agama. Dia
menghabiskan waktunya beberapa tahun lamanya di Universitas Al-Azhar Kairo,
kemudian menjadi pengajar di Amerika Utara termasuk di Universtitas Mc Gill di
Montreal. Dia menjadi professor di bidang Agama pada Universitas Temple, dimana ia
mendirikan dan menjadi pimpinan pada Program Studi Islam. Ia bersama istrinya Lois
Lamya Al-Faruqi ditikam hingga akhirnya meninggal di rumahnya di Kota Wyncote,
Pennysylvania pada 27 Mei 1986.
2.1. Prestasi Ilmiah
Dr. al-Faruqi merupakan seorang akademisi yang sangat aktif. Selama masa
kerjanya sebagai dosen tamu bidang Studi Islam di Universitas McGill , sebagai seorang
professor Sudi Islam di Pusat Studi Penelitian Islam di Karachi dan menjadi dosen tamu
pada berbagai Universitas di Amerika Utara. Dia menulis lebih dari 100 artikel untuk
berbagai Jurnal kampus dan majalah, 25 buah buku, diantaranya yang paling popular
adalah tentang Christian Ethics: A Historical and Systematic Analysis of Its Dominant
Ideas. Disampig kesibukannya pada semua aktivitas akademik ini, ia mendirikan
Kelompok Studi Islam pada Akademi Agama Amerika (American Academy of Religion)
dan menjabat sebagai ketua selama 10 tahun. Dia menjabat pula sebagai wakil Presiden
Kolokium Perdamaian Antar Agama (Inter-Religious Peace Colloqium), Konferensi
5
Islam-Yahudi-Kristen dan sebagai Presiden Kampus Islam Amerika (American Islamic
College) di Chicago.
Dia menekankan pada Arabisme sebagai alat untuk menunjukkan identitas Islam
dan Muslim. Ia mendedikasikan sepanjang hidupnya untuk hal itu melalui kekuatan
intelektual, religius dan estetika. Ia pun menjadi salah seorang pencetus gagasan
Islamisasi Ilmu dan mendirikan Institut Internasional Pemikiran Islam (International
Institute of Islamic Thought - IIIT) bersama dengan Syekh Taha Jabir al-Alwani, Dr.
Abdul Hamid Sulayman mantan Rektor IIUM (International Islamic University)
Malaysia serta Anwar Ibrahim pada tahun 1980.
2.2. Wafatnya Ismail Al-Faruqi
Al-Faruqi meninggal pada tanggal 27 Mei 1986 yang diakibatkan oleh tikaman
pisau dari seorang lelaki yang menyelinap masuk ke dalam rumahnya di Wyncote –
Pennsylvania. Ia bersama istrinya, Louis Lamya, tewas akibat tikaman pisau lelaki
tersebut. Sedangkan putrinya, Anmar al-Zein, berhasil ditolong namun membutuhkan
200 jahitan untuk menutup lukanya. Para pemuka agama dan politisi memberikan
penghormatan terakhirnya pada pemakaman Al-Faruqi di Washington pada akhir bulan
September. Acara tersebut diselenggarakan oleh panitia untuk mengenang Al-Faruqi
yang dibentuk dari gabungan Dewan Organisasi Arab-Amerika, Organisasi Masyarakat
Islam Amerika Utara, Dewan Nasional Gereja Kristen Amerika, serta Komite Arab
Amerika anti Diskriminasi (ADC).
Pada saat yang sama, ADC mempublikasikan laporan khusus sebanyak 8 halaman
tentang peristiwa pembunuhan terhadap Al-faruqi, termasuk detail kronologi peristiwa
pembunuhan tersebut serta hasil terakhir investigasi peristiwa tersebut. Laporan
investigasi mengindikasikan peristiwa tersebut merupakan peristiwa percobaan
perampokan, walaupun tidak ada barang yang hilang di rumah Al-Faruqi. Di tengah
maraknya peningkatan insiden dan kekerasan anti-arab dan anti-muslim di masa tersebut,
laporan tersebut juga menyatakan tidak menutup kemungkinan ada motif politis pada
peristiwa pembunuhan tersebut.
6
2.3. Karya-karya DR. AI-Faruqi
DR. Al-Faruqi adalah ilmuan yang produktif. Ia berhasil menulis lebih dua puluh
buku dan seratus artikel. Diantara bukunya yang terpenting adalah: Tauhid :Its
Implications for Thought and Life (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara
lengkap. Tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan lisan bahkan lebih dari itu,
tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik, sosial,
dan budaya. Dari inilah kita dapat melihat titik tolak pemikiran Al-Faruqi yang
berimplikasi pada pemikirannya dalam bidang-bidang lain.
Dalam buku Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982),
berisi gagasannya yang cemerlang serta patut dijadikan salah satu rujukan penting dalam
masalah Islamisasi ilmu pengetahuan. Didalamnya terangkum langkah-langkah apa yang
harus ditempuh dalam proses Islamisasi tersebut.
Karyanya yang berhubungan dengan ilmu perbandingan agama cukup banyak, hal
ini dapat dimaklumi karena ia sendiri adalah orang yang ahli dalam perbandingan agama.
Bukunya yang secara khusus membahas perbandingan agama adalah “Christian Ethics”,
“Trilogue of Abraham Faiths” pada buku ini terdapat tiga topik utama: Tiga agama saling
memandang. Konsep tiga agama tentang negara dan bangsa, konsep tiga agama tentang
keadilan dan perdamaian, masing-masing penyumbang dari Yahudi, Kristen dan Islam
menawarkan prespektif yang jelas mengenai pokok persoalan berdasarkan tiga topik
utama tersebut. Serta buku Historical Atlas of the Region of the World. Dan karyanya
yang dianggap monumental adalah Cultural Atlas Islam, karya ini ditulis bersama
istrinya, Louis Lamya AI-Faruqi, dan diterbitkan tak lama setelah keduanya meninggal.
Tulisan-tulisannya yang lain seperti The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple
University Press, 1973); Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan,1961);
Particularisme in the Old Testament nd Contemporary Sect in Judaism (Cairo: League of
arabe States, 1963); The Great Asian Religion (New York: Macmillen, 1969) (AI-Faruqi,
1975:XI), serta banyak lagi artikel dan makalah yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia.
7
III. POKOK-POKOK PEMIKIRAN PENDIDIKAN DR. AI-FARUQI
DR. Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang
berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua
pemikirannya itu saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu
Tauhid.
Diantaranya pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
3.1. Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral pemikiran Islam adalah
pemurnian tauhid, karena nilai dari keislaman seseorang itu adalah peng-Esa-an terhadap
Allah SWT yang terangkum dalam syahadat. Upaya pemurnian Tauhid ini pun telah
banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu, diantaranya dikenal adanya gerakan
wahabiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin abdul Wahab.
Menurutnya kalimat "tauhid" tersebut mengandung dua arti yang pertama "nafi"
(negatif) dan kedua itsbat (positif) laa ilaaha (tiada Tuhan yang berhak diibadahi) berarti
tidak ada apapun; illallahi (melainkan Allah) berarti yang benar dan berhak diibadahi
hanyalah Allah Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan secara tegas di
dalam bukunya Kitab At-Tauhid beliau menyebutkan setiap tahyul, setiap bentuk sihir,
melibatkan pelaku atau pemanfaatannya dalam syirik adalah pelanggaran tauhid.
Tetapi tauhid bukan sekedar diakui dengan lidah dan ikrar akan keesaan Allah
serta kenabian Muhammad SAW. Walaupun ikrar dan syahadat oleh seorang muslim
mengkonsekuensikan sejumlah aturan hukum di dunia ini, namun tauhid yang merupakan
sumber kebahagiaan abadi manusia dan kesempurnaanya, tidak berhenti pada kata-kata
dan lisan. Lebih dari itu tauhid juga harus merupakan suatu realitas batin dan keimanan
yang berkembang di dalam hati4. Tauhid juga merupakan prinsip mendasar dari seluruh
aspek hidup manusia sebagaimana yang dikemukakan bahwa pernyataan tentang
kebenaran universal tentang pencipta dan pelindung alam semesta. Tauhid sebagai
pelengkap bagi manusia dengan pandangan baru tentang kosmos, kemanusiaan,
pengetahuan dan moral serta memberikan dimensi dan arti baru dalam kehidupan
4 Muhammad Taqi, Misbah,. Monoteisme Tauhid sebagai sistem Nilai dan Akidah Islam. Terjemahan oleh
M.Hashem dari At Tauhid or Monotheisme: asin the ideological and the value Systems of Islam. Jakarta:
Lenterabastitama, 1996, hlm.34
8
manusia tujuannya obyektif dan mengatur manusia sampai kepada hak spesifik untuk
mencapai perdamaian global, keadilan, persamaan dan kebebasan.
Bagi AI-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi
Islam adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah
sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada5. Tauhid
adalah memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya
bersama-bersama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan yang integral dan
organis yang disebut peradaban. Yang dimaksud dengan Tauhid ini mengandung
pengertian dari 4 prinsip dasar, yaitu :
Prinsip pertama tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti
bahwa realitas bersifat handa yaitu terdiri dari tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat
trasenden atau pencipta.
Prinsip kedua, adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa Allah
adalah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab
sesuatu yang bukan Tuhan. Ia pencipta atau sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala
sesuatu yang bukan Tuhan.
Prinsip ketiga tauhid adalah, bahwa Allah adalah tujuan terakhir alam semeta, berarti
bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat, bahwa alam semesta dapat
ditundukkan atau dapat menerima manusia dan bahwa perbuatan manusia terhadap alam
yang dapat ditundukkan perbuatan yang membungkam alam, yang berbeda adalah tujuan
susila dari agama.
Prinsip keempat tauhid adalah, bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat
dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat. Kemerdekaan ini memberi manusia
sebuah tanggungjawab terhadap segala tindakannya.
Keempat prinsip tersebut di atas di rangkum oleh al-Faruqi dalam beberapa
istilah yaitu :
a. Dualitas, yaitu realitas terdiri dari dua jenis: Tuhan dan bukan Tuhan; Khalik dan
makhluk. Jenis yang pertama hanya mempunyai satu anggota yakni Allah SWT.
5 Al-Faruqi, Tauhid: Its Implementations for thought and life. Wynccote USA: The International Institute of
Islamic Thought, 1982, hlm.17
9
Hanya Dialah Tuhan yang kekal, maha pencipta yang transenden. Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia. Jenis kedua adalah tatanan ruang waktu,
pengalaman, dan penciptaan. Di sini tercakup semua makhluk, dunia benda-benda,
tanaman dan hewan, manusia, jin, dan malaikat dan sebagainya. Kedua jenis realitas
tersebut yaitu khaliq dan makhluk sama sekali dan mutlak berbeda sepanjang dalam
wujud dan ontologinya, maupun dalam eksistensi dan karir mereka.
b. ldeasionalitas, merupakan hubungan antara kedua tatanan realita ini. Titik acuannya
dalam diri manusia adalah pada pemahaman. Pemahaman digunakan untuk
memahami kehendak Tuhan melalui pengamatan dan atas dasar penciptaan Kehendak
sang penguasa yang harus diaktualisasikan dalam ruang dan waktu, berpartisipasi
daam aktivitas dunia serta menciptakan perubahan yang dikehendaki. Sebagai prinsip
pengetahuan, tauhid adalah pengakuan bahwa Allah itu ada dan Esa. Pengakuan
bahwa kebenaran itu bisa diketahui bahwa manusia mampu mencapainya. Skeptesisme
menyangkal kebenaran ini adalah kebalikan dari tauhid.
Sedangkan sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama,
penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas; kedua, penolakan
kontradiksi-kontradiksi hakiki; ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan atau
bertentangan6.
Implikasi Tauhid bagi teori sosial, dalam efeknya, melahirkan konsep ummah,
yaitu suatu kumpulan warga yang organis dan padu yang tidak dibatasi oleh tanah
kelahiran, kebangsaan, ras, kebudayaan yang bersifat universal, totalitas dan
bertanggung-jawab dalam kehidupan bersama-sama dan juga dalam kehidupan pribadi
masing-masing anggotanya yang mutlak perlu bagi setiap orang untuk
mengaktualisasikan setiap kehendak Ilahi dalam ruang dan waktu7.
Dengan demikian pentingnya tauhid bagi Al-Faruqi sama dengan pentingnya
Islam itu sendiri. Tanpa Tauhid bukan hanya Sunnah Nabi/Rasul patut diragukan dan
perintah-perintahNya bergoncang kedudukannya, pranata-pranata kenabian itu sendiri
akan hancur. Keraguan yang sama juga akan muncul pada pesan-pesan mereka, karena
berpegang teguh kepada prinsip Tauhid merupakan pedoman dari keseluruhan kesalehan,
6 Ibid., hlm.42 -43
7 Ibid., hlm 102
10
religiusitas, dan seluruh kebaikan. Wajarlah jika Allah SWT dan Rasulnya menempatkan
Tauhid pada status tertinggi dan menjadikannya penyebab kebaikan dan pahala yang
terbesar. Oleh karena begitu pentingnya Tauhid bagi Islam, maka ajaran Tauhid harus
dimanifestasikan dalam seluruh aspek kehidupan dan dijadikan dasar kebenaran Islam.
Pandangan dunia tauhid Al-Faruqi sebenarnya berdasarkan pada keinginan untuk
memperbaharui dan menyegarkan kembali wawasan Ideasional awal dari pembaharu
gerakan Salafiyah, seperti: Muhammad ibnu Abdul Wahab, Muhammad Idris As-Sanusi,
Hasan Albanna dan dan sebagainya. Landasan dasar yang digunakan olehnya ada tiga
yaitu: Pertama, ummat Islam di dunia keadaannya tidak menggembirakan, kedua, diktum
yang mengatakan bahwa "Alah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum kecuali mereka
mengubah diri mereka sendiri (QS. 13-12) adalah juga sebuah ketentuan sejarah, ketiga,
Ummat Islam di dunia tak akan bisa bangkit kembali menjadi ummatan wasathan jika ia
kembali berpijak pada Islam yang telah memberikan kepadanya rasio d’etre empat belas
abad yang lalu, dan watak serta kejayaannya selama berabad-abad.
Demikianlah pemikiran Tauhid Al-Faruqi yang menjadi dasar dalam ontologi dan
epistemologi pemikiran pendidikan islamnya. Untuk selanjutnya, dengan berlandaskan
pada pemikiran Tauhid ini, akan dibahas pemikiran pendidikan Islam tentang gagasan
DR. Al-Faruqi yang terkait dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang merujuk kepada
karyanya Islamization of Knowledge: the general principles and the Workplan (1986).
3.2. Islamisasi llmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari
pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun
1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an. Ungkapan
Islamisasi ilmu pengetahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naquib Al-
Atas pada tahun 1397 H/1977 M yang menurutnya diistilahkan dengan "desekularisasi
ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi meperkenalkan suatu tulisan mengenai Islamisasi ilmuilmu
sosial.
Menurut Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya mengeliminasi unsurunsur,
konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat
11
khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi ideologi, makna
serta Islamisasi ungkapan sekuler8.
Ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya
tentang tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip tauhid dan teologi. Sebagaimana telah
dikemukakan diatas, bahwa tauhid mencakup seluruh fungsi-fungsi ingatan, khayalan,
penalaran, pengamatan, intiusi, kesabaran dan sebagainya. Manakala kehendak-kehendak
tersebut diungkap dengan kata-kata secara langsung oleh Tuhan kepada manusia dan
sebagai pola dari Tuhan dalam penciptaannya atau juga "hukum alam". Dan bila kita
kaitkan dengan prinsip teologi, artinya dunia memang benar-benar sebuah kosmos suatu
ciptaan yang teratur, bukan chaos. Di dalam penciptaanya kehendak sang Maha Pencipta
selalu terwujud. Pemenuhan karena kepastian hanya berlaku pada nilai Elemental atau
utiliter, pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan
dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.
Untuk menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip
metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari
tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan
realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini
menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik.
Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah
cukup untuk membatalkan sesuatu bagian dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika
pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang duniai ini dapat melindungi kaum muslimin
dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan
mengenai pengetahuan.
Prinsip kedua, yaitu tidak ada kontraksi yang hakiki yang melindunginya dari kontradiksi
di satu pihak, dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme.
Tanpa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skeptisme; sebab suatu kontradiksi yang
hakiki mengandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak
akan pernah dapat diketahui.
Prinsip ketiga tauhid dalam metodologi adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu
keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum muslimim
8 Lihat Ulumul Qur’an, 1994 hlm.4
12
dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip
ini mendorong kaum muslimin kepada sikap rendah hati intelektual. Ia memaksa untuk
mencantumkan dalam penegasan atau penyangkalannya dengan ungkapan wallahu' alam
karena ia yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang dapat dikuasainya sepenuhnya di
saat manapun. Sebagai penegasan dari keterpaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan
pencipta alam sebagai sumber dari pengetahuan manusia. Objek pengetahuan adalah
pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan9. Hal inilah yang banyak dilupakan
Barat sehingga timbul gagasan untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Dan juga
melihat kondisi umat Islam yang mengadopsi semua ide Barat bahkan kadang-kadang
tanpa filter yang akhirnya menempatkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran
ilahiyah yang kental mengalami proses sekulerisasi yang hendak memisahkan kegiatan
kehidupan dengan agama yang pada akhirnya mengantarkan ilmuwan pada terlepasnya
semangat dari nilai-nilai keagamaan.
Semangat ilmuwan moderen (Barat) dibangun dengan fakta-fakta yang tidak ada
hubungannya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuwan itu kaum beragama, maka
kegiatan ilmiah yang mereka lakukan terlepas dari sentuhan semangat beragama.
Akhirnya ilmu yang lahir adalah ilmu yang terlepas dari nilai-nilai keTuhanan. Dampak
yang kemudian muncul adalah ilmu dianggap netral dan penggunaan ilmu tadi tak ada
hubungannya dengan etika.
Menurut Al-Faruqi pengetahuan moderen menyebabkan adanya pertentangan
wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya
dualisme antara kultural dan religius. Karenanya diperlukan upaya islamisasi ilmu
pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari prinsip Tauhid yang telah dijelaskan
sebelumnya. Islamisasi pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktivitas keilmuan
seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya menurut sudut pandang
ilmu terhadap kehidupan manusia10.
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan
ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sosial,
9 Al-Faruqi. Islamization of knowledge: the general principles and the workplan dalam Knowledge for what?
Islamabad-Fakistan: National Hijra Council, 1986, hlm.45
10 Imanuddin Khalil. Pengantar Islamisasi ilmu Pengetahuan dan Sejarah. Jakarta: Media Dakwah 1994,
hlm.40
13
dan sains-sains ilmu alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten
dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsipprinsip
Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai
data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali
sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan
pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah.
Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat
manusia, keterkaitan umat manusia dan penciptaan alam semesta dan ketundukan
manusia kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan menentukan
persepsi dan susunan realita11.
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan,
Al-Faruqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
1. Menguasai disiplin-disiplin moderen
2. Menguasai khazanah Islam
3. Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan
moderen
4. Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatip antara khazanah Islam dengan
khazanah Ilmu pengetahuan moderen.
5. Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan
pola rancangan Tuhan.
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa
tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan, yaitu memadukan sistem pendidikan
Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistim baru
yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistim-sistim
terdahulu. Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk
menghilangkan keburukan masing-masing sistim, seperti tidak memadainya buku-buku
dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistim tradisional dan peniruan metode-metode
dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistim yang sekuler.
11 Al-Faruqi. Islamization of knowledge: the general principles and the workplan dalam Knowledge for what?
Islamabad-Fakistan: National Hijra Council, 1986, hlm.34
14
Dengan perpaduan kedua sistim pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak
yang bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistim Islam menjadi
pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita seharihari,
sementara pengetahuan moderen akan bisa dibawa dan dimasukkan ke dalam
kerangkan sistim Islam12.
DR. Al-Faruqi dalam mengemukakan ide Islamisasi ilmu pengetahuan
menganjurkan untuk mengadakan pelajaran-pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam
sebagai bagian dari program pembelajaran pada siswa. Hal ini akan membuat para siswa
merasa yakin kepada agama dan warisan mereka, dan membuat mereka menaruh
kepercayaan kepada diri sendiri sehingga dapat menghadapi dan mengatasi kesulitankesulitan
mereka di masa kini atau melaju ke tujuan yang telah ditetapkan Allah. Bagi
AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi oleh para ilmuwan muslim. Karena menurutnya apa yang telah
berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam saat ini sangatlah tidak cocok untuk
umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna dan jelas bercorak Barat
dan karena itu tidak berguna sebagai model untuk pengkaji dari kalangan muslim, yang
ketiga menunjukan ilmu sosial Barat melanggar salah satu syarat krusial dari metodologi
Islam yaitu kesatuan kebenaran. Prinsip metodologi Islam itu tidak identik dengan
prinsip relevansi dengan spritual. Ia menambahkan adanya sesuatu yang khas Islam yaitu
prinsip umatiyah atau kesatuan ummat.
Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkahlangkah
yang harus dilakukan diantaranya adalah:
a. Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat
kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori,
prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-tema.
Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah pelajaran. Hasil uraian
harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan
12 Ibid., hlm. 27
15
kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat dalam
puncaknya.
b. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis
dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan
metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun
pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan
menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia
Barat.
c. Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara
yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah ontologi warisan pemikir muslim
yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
d. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika ontologi-ontologi telah
disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah
masa kini.
e. Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan
dengan mengajukan tiga persoalan. Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam,
mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan
masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar
sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin
moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit
diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana
kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga
memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia
harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
g. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap
bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus
dirumuskan.
h. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus
dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral
dan spritual dari kaum muslim.
16
i. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini
difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
j. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan
sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk
menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam
harus disambungkan dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal
batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas daripada yang sudah dicapai
disiplin-disiplin moderen.
k. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam.
Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin moderen telah dicapai
buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin
moderen dalam terbitan Islam.
l. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut
diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan
mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli di
bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang
menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang membuat harus diberi
kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan
tersebut harus menjajaki persoalan metoda yang diperlukan13.
Dari langkah-langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas,
nampaknya bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya merupakan usaha menuang
kembali seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam kerangka Islam. Maka rencana
kerja islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi ini mendapat tantangan dari berbagai pihak,
walaupun dilain pihak banyak juga yang mendukungnya. Ada yang menanggapinya
secara positif bahkan menjadikannya sebuah lembaga, seperti IIIT. Dan tidak sedikit
pula meresponinya dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan oleh cendikiawan
lainnya seperti Fazlur Rahman, yang melihat merupakan proyek yang sia-sia sama sekali
tidak kreatif. Untuk itu konsep islamisasi ilmu pengetahuan perlu dilihat dalam kerangka
pemikiran secara keseluruhan agar tidak menimbulkan kerancuan. Sebagian fakta
berpendapat bahwa pemikir liberalisme Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh
13 Ibid., hlm. 61
17
Hasan Hanafi atau Arkoun dapat dianggap sebagai bentuk pemikiran Islamisasi ilmu
pengetahuan. Sementara kelompok lain menolaknya seperti, IIIT bahkan mereka
mengkritik pemikiran yang dikemukakan oleh orang tesebut14.
Salah seorang yang memberikan tanggapan atas gagasan DR. Al-Faruqi adalah
Fazlur Rahman, ia tidak sependapat dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan,
menurutnya yang perlu dilakukan adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir
yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Adapun menurut Djamaluddin
Ancok dan Fuad Nashiru sependapat dengan Al-Faruqi, karena menurutnya seorang
pemikir akan sangat dipengaruhi oleh ilmu yang dipelajarinya (atau ilmuan yang
mendidiknya). Kalau seorang mempelajari ilmu yang berbasis sekularisme, maka sangat
mungkin pendangan-pandangan juga sekuler15.
Adapun penanggap lain adalah Ziauddin Sardar. Ia menyepakati gagasan yang
dikemukakan AI-Faruqi. Namun, menurutnya gagasan Al-Faruqi mengandung cacat
fundamental. Sardar mengisyaratkan bahwa langkah Islamisasi yang khas terhadap
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan moderen bisa membuat kita terjebak ke dalam
westernisasi Islam. Sebabnya menurut Sardar adalah AI-Faruqi terlalu terobsesi untuk
merelevankan Islam dengan ilmu pengetahuan moderen. Upaya ini dapat mengantarkan
pada pengakuan ilmu Barat sebagai standar, dan dengan begitu upaya islamisasi masih
mengikuti kerangka berfikir (made of thought) atau pandangan dunia (world view) Barat.
Karena itu, menurut Sardar, percuma saja kita melakukan islamisasi ilmu kalau semuanya
akhirnya dikembalikan standanya pada ilmu pengetahuan Barat.
Terlepas dari semua polemik yang terjadi diseputar islamisasi ilmu pengetahuan,
sebetulnya islamisasi ilmu pengetahuan yang dimunculkan Al-Furuqi, sebenarnya
sederhana saja. Para pendukung ide ini ingin menekankan muatan dimensi moral dan
etika dalam batang tubuh ilmu pengetahuan seperti yang dipesankan Al-Qur'an16.
DR. AI-Faruqi memandang bahwa untuk membangun umat tidak dapat dimulai
dari titik nol dengan menolak segala bentuk hasil peradaban yang sudah ada.
14 Unisma. International Seminar Workshop on Islamization of Knowledge, 1995, hlm.1
15 Djamaluddin Ancok, dan Suroso, Nashuri, Fuad. Psikologi Islam, solusi Islam atas Problem-problem
Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm.14
16 Amin Abdullah. Filsafat Kalam di Era Post Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
18
Pembentukan umat malahan harus dilakukan sebagai langkah lanjutan dari hasil
peradaban yang sudah ada dan sedang berjalan. Namun, segala bentuk nilai yang
mendasari peradaban itu harus ditambah dengan tata nilai baru yang serasi dengan hidup
ummat Islam sendiri yaitu pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah.
AI-Faruqi melihat hanya dengan cara seperti ini visi tauhid yang telah hilang akan dapat
kembali ke dalam misi pembentukan ummat. lnilah barangkali yang merupakan pokok
pemikiran Al-Faruqi dalam bidang pendidikan sebagaimana yang di kemukakannya
dalam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini
lahir karena AI-Faruqi sendiri konsisten dengan konsep tauhidnya dan karena ingin
memurnikan ajaran tauhid Al-Faruqi menginginkan apa yang dibawa barat tidak harus
diterima secara mentah oleh umat Islam. Di samping itu konsep ini muncul karena
melihat kondisi obyektif umat Islam yang mengalami kemandegan dalam pemikiran yang
disebabkan oleh kolonialisme Barat.
IV. PENUTUP
DR. Al-Faruqi adalah salah seorang tokoh yang bersahaja dalam pengembangan
pemikiran Islam komtemporer. Gagasan-gagasannya perihal islamisasi sains sangat
bermanfaat untuk menjadi solusi dalam rangka memecahkan persoalan yang dihadapi
umat Islam. Pengalaman hidupnya yang langsung berhadapan dengan Barat membuat
DR. Al-Faruqi mengamati sendiri tekanan-tekanan barat terhadap dunia Islam dan hal ini
memunculkan ide-ide untuk menghadapi serangan-serangan tersebut. Idenya tidak
terlepas dari konsep tauhid, karena tauhid adalah esensi Islam yang mencakup seluruh
aktifitas manusia.
Dalam konteks pendidikan, DR. Al-Faruqi mengusulkan ide islamisasi ilmu dan
menelaah kembali paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi sistem
filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya, dikotomi
pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma pendidikan yang utuh.
Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu pada konsep awal tauhid.
Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk mencapai penyadaran
19
atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang dilakukan untuk itu idealnya
berakar pada konsep tauhid.
Berbagai langkah-langkah strategis kemudian ia susun dengan konsep dan
metodologi Islamisasi pengetahuan. DR. Al-Faruqi memberikan sumbangan berupa
gagasan-gagasannya untuk keluar dari krisis kemanusiaan yang terjadi pada manusia
modern saat ini. Hingga kini gagasannya tetap menjadi bahan kajian dan perjuangan
umat Islam pada abad ini.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin.1995. Filsafat Kalam di Era Post Modernisasi .Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Al Faruqi online pada http://www.ismailfaruqi.com
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1986. Islamization of Knowledge: the general principles and the
Workplan dalam Knowledge for what? National Hijra Council.
__________1982, Tauhid. Its Implications for Thought and Life. Wynccote USA: The
lntenationallnstitute of Islamic Thought.
Ancok, Djamaluddin dan Suroso, Nashori, Fuad. 1994. Psikologi Islami, Solusi Islam
atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta Pustaka Pelajar.
Anis, Ahmad, 1988. Reorientation of Islamic History: Some Methodlogical essues. In
Islam.. Source and Purpose of Knowledge IIIT. Herndon: The International
Institute of Islamic Thought.
Azis, Amin. 1992. Islamisasi Ilmu sebagai Issu dalam Ulumul Qur'an Volume III, no.4
tahun 1992.
Daud, Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-
Attas. Bandung : Penerbit Mizan.
Giibb, H.A.R. 1978. Aliran-aliran Moderen dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Imanuddin, Khalil. 1994. Pengantar Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Sejarah. Jakarta
Media Dakwah.
Jalaluddin dan Said. Usman 1996. Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya. Jakarta Raja Grafindo Persada.
Nashir, Haedar. 1997. Agama dan krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Soedibyo, Haryati. 1996. Pengantar Praktis Metodologi Penelitian Sosial Budaya, Bahan
Kuliah Pascasarjana IAIN Jakarta.