Selasa, 28 September 2010

Imaduddin Abdulrahim

Imaduddin Abdulrahim
Pelopor Kebangkitan Dakwah di Kampus Sekular
Oleh : Wendi Zarman, Msc

Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah
Pendidikan Islam di Masa Kecil Hingga Remaja
Nama lengkapnya adalah Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Ia dilahirkan di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, pada tanggal 21 April 1931 / 3 Zulhijjah 1349. Ayahnya, Haji Abdulrahim, adalah seorang ulama yang juga menjadi tokoh Masyumi di Sumatera Utara. Sedangkan ibunya, Syaifiatul Akmal, seorang wanita yang merupakan cucu dari sekretaris Sultan Langkat.
Bang Imad, demikian panggilan akrab Imaduddin, dibesarkan dalam tradisi pendidikan Islam yang kuat. Hal ini tidak mengherankan karena ayahnya sendiri adalah seorang ulama lulusan al-Azhar yang juga merupakan guru dari madrasah Kesultanan Langkat. Sejak kecil ayahnya sendiri langsung mengajarnya al-Qur’an berupa tajwid dan tafsir setiap selepas shalat subuh. Di dalam mengkaji al-Qur’an ini ayahnya sering menyelipkan berbagai cerita tentang tokoh-tokoh besar Islam. Kisah-kisah ini membekas dalam diri Bang Imad sehingga membentuk semangat perjuangan Islam yang kental dalam diri Bang Imad. Ayah Bang Imad juga menyediakan banyak buku dan majalah keislaman di rumah sebagai sumber bacaan bermanfaat baginya. Sementara ibunya berulang-ulang mengingatkan bahwa Imaduddin itu berarti ‘penegak tiang agama’ agar anaknya selalu menegakkan shalat.
Karena begitu kuatnya pendidikan agama dari kedua orang tuanya, maka tidaklah mengherankan sedari muda Bang Imad telah memiliki ghirah keislaman yang menyala-nyala. Semangat ini kemudian membawanya berkecimpung dalam berbagai kegiatan dakwah dan perjuangan Islam. Ketika masih duduk di bangku SMA Bang Imad sudah aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan pernah menjadi pengurus PII Sumatera Utara. Saat berusia lima belas tahun ia bergabung dengan laskar Hizbullah. Demi dapat diterima sebagai anggota Hizbullah, Bang Imad rela berbohong mengenai umurnya yang masih kurang dari dua tahun dari yang disyaratkan organisasi bentukan Masyumi itu. Kebohongan Bang Imad ini diketahui oleh ayahnya, namun ayahnya tidak memamarahinya karena ayahnya percaya bahwa kebohongan dilakukan karena Bang Imad ingin mati syahid.
Meskipun seorang aktivis Islam tulen, Bang Imad tidak meneruskan pendidikannya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Ia malah memilih mengambil kuliah teknik Elektro di ITB. Pilihan ini didukung oleh ketekunan dan kecerdasannya semasa di bangku sekolah. Sejak HIS hingga SMA ia selalu berusaha menjadi yang terbaik di kelasnya. Demikianlah yang diajarkan ayahnya untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Ia juga tidak pernah rela kalah dengan orang non muslim. Pernah suatu ketika ia kalah bersaing dengan seorang murid Kristen Batak di kelasnya. Murid itu mendapat nilai sembilan sedangkan ia hanya mendapat nilai delapan. Ia sangat terpukul dengan kekalahannya karena merasa tidak sepatutnya seorang muslim kalah dengan non muslim. Akibatnya, selama seminggu ia tidak bisa tidur memikirkan hal ini.
Keinginan Bang Imad kuliah di ITB dilatarbelakangi oleh perkataan Wakil Presiden Muhammad Hatta ketika meresmikan Bendungan Asahan. Hatta mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan banyak insinyur listrik agar dapat menjadi negara yang maju. Sejak saat itu Bang Imad yang sebelumnya pernah bercita-cita menjadi dokter memantapkan niatnya untuk belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebuah media milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Warta PDK mengabarkan bahwa Universitas Indonesia (UI) membuka penerimaan mahasiswa baru. Di dalam pengumuman itu disebutkan bahwa pihak universitas tidak mencari mahasiswa “pas-pasan” di sini. Hanya mereka yang memiliki nilai matematika delapan atau sembilan yang dibutuhkan di sini. Bang Imad merasa tertantang ketika membaca pengumuman itu lalu mendaftar ke ITB. Karena hampir semua nilainya SMA-nya bernilai delapan atau sembilan, kecuali pelajaran memegang buku, Bang Imad diterima di Departemen Teknik Elektro.
Menghidupkan Dakwah Kampus
Meskipun belajar di perguruan tinggi sekular semangat perjuangan Islam Bang Imad bukannya luntur malah semakin membara. Begitu diterima sebagai mahasiswa ia langsung bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bandung. Ketika di HMI, Bang Imad menggalakkan kegiatan mengkaji al-Qur’an dan tafsirnya dikalangan para aktivis. Ia juga membujuk Radio Republik Indonesia (RRI) untuk menyiarkan program pengkajian al-Qur’an. RRI bersedia dan memberikan HMI kesempatan untuk mengisi program tersebut sekali sebulan. Upaya Bang Imad ini menyebabkan maraknya pengkajian tafsir al-Qur’an di kalangan kader HMI.
Mengkaji dan mengajarkan agama merupakan pilihan yang paling disukai Bang Imad sehingga ia seringkali menolak dicalonkan sebagai ketua HMI. Ia lebih memilih ditempatkan sebagai ketua penerangan dan dakwah HMI yang bertugas mengatur dan melaksanakan pembinaan kader HMI melalui pengajian rutin.
Bang Imad merupakan pelopor dilaksanakannya shalat Jumat di aula kampus ITB. Pada mulanya shalat ini hanya diikuti oleh delapan belas orang, namun sedikit demi sedikit semakin banyak bahkan tidak mampu lagi ditampung di dalam aula. Pada masa itu masjid Salman belumlah berdiri dan baru berupa wacana. Maraknya kegiatan keislaman di kampus ini kemudian menimbulkan keinginan mendirikan masjid dikalangan dosen dan mahasiswa Muslim. Tahun 1958, Prof. Tubagus Sulaiman, seorang dosen Elektro yang sangat perhatian dengan pendidikan keislaman mahasiswa di kampus, mengumpulan sejumlah mahasiswa dan menggagas didirikannya masjid di kampus ITB. Gagasan ini ditindaklanjuti dengan membentuk panitia pembangunan masjid yang belakangan diresmikan dalam bentuk Yayasan Pembina Masjid Kampus ITB. Gagasan ini disambut dengan sangat antusias oleh Bang Imad sehingga ketika berceramah di berbagai tempat Bang Imad tidak lupa mengajak pendengarnya untuk menyumbangkan harta demi terwujudnya masjid kampus ITB.
Ir. Ahmad Noe’man meneruskan rencana ini dalam bentuk desain masjid yang akan dibangun tersebut. Desain ini kemudian ditampilkan dalam sebuah pameran arsitektur pada tahun 1964. Presiden Soekarno yang kebetulan melihat pameran tersebut merasa terkesan dengan desain tersebut karena menampilkan desain kubah masjid yang terbalik. Ketertarikan ini segera dimanfaatkan Prof Sulaiman dengan membinta Bung Karno untuk mendukung diwujudkannya masjid kampus ini. Bung Karno mendukung upaya ini dan menamakannya dengan Masjid Salman. Nama ini diambil dari nama salah seorang sahabat Nabi yang dikagumi Bung Karno karena kepintaran strategi parit yang diusulkan Salman dalam perang Khandaq sehingga kaum Muslim di Madinah berhasil memukul mundur pasukan musuh.
Dukungan Bung Karno ini sangat berpengaruh terhadap kelancaran pembangunan masjid. Segera setelah menyetujui rencana ini, Bung Karno memanggil Chaerul Shaleh, Menteri Perindustrian saat itu, dan memintanya menyumbangkan 1000 sak semen kepada untuk pembangunan masjid ini. Para mahasiswa juga dikerahkan untuk bergotong royong dalam pembangunan ini. Setelah Bung Karno turun dari kursi Presiden, tahun 1969 Bang Imad berusaha memperoleh bantuan dari Presiden baru Soeharto. Pada waktu itu dana masih kurang sekitar 40 juta rupiah. Jenderal Sudirman (ayah Basofi Sudirman) yang dekat dengan para aktivis HMI menyarankan agar Bang Imad pergi menemui Alamsyah Ratu Prawiranegara. Bang Imad lalu pergi menemui Alamsyah Ratu Prawiranegara di kantor Sekretaris Negara dan memintanya untuk berkhotbah Jumat di aula ITB. Seusai menyampaikan khutbah, Alamsyah digiring melihat maket Masjid Salman kemudian ia diminta untuk melobi Soeharto agar bersedia memberi bantuan bagi pembangunan masjid ini. Permintaan ini disampaikan Alamsyah kepada Soeharto. Seminggu kemudian Soeharto memberikan dana sebesar 20 juta rupiah kemudian disusul dari Menteri Agama, Kiai Dahlan, sebesar 20 juta rupiah juga. Dengan demikian dana yang dibutuhkan telah memadai.
Dengan izin Allah masjid Salman selesai dibangun pada tahun 1972. Namun Bang Imad tidak sempat menyaksikan peresmiannya karena sedang berada di Malaysia untuk membantu pengembangan Institut Teknologi Kebangsaan (ITK), Malaysia. Namun, begitu ia pulang tahun 1973, ia langsung menjadikan masjid Salman sebagai laboratorium pengkaderan intelektual muslim melalui LMD (Latihan Mujahid Dakwah). Melalui kegiatan seperti inilah Bang Imad menghidupan dakwah kampus yang sebelumnya kering dari nilai-nilai keislaman. Model pengkaderan seperti inilah yang kemudian yang menjadi inspirasi dan ditiru oleh banyak kampus di seluruh Indonesia bahkan Malaysia.
Alumni Elektro Jadi Dosen Agama
Pada tahun 1962 Bang Imad lulus dari ITB. Ayahnya kemudian memintanya kembali ke Langkat karena ada permintaan insinyur dari suatu perusahaan minyak yang beroperasi di sana. Namun Bang Imad merasa berat untuk memenuhi permintaan ayahnya itu karena ia ingin terlibat dalam merealisasikan masjid Salman sebagai sebuah pusat dakwah. Ia kemudian menghadap Prof. Sulaiman untuk menjelaskan dan meyakinkan ayahandanya perihal keinginannya untuk bertahan di Bandung. Kepada H. Abdulrahim, ayah Bang Imad, Prof Sulaiman menjelaskan bahwa keberadaan Bang Imad sangat dibutuhkan di kampus karena ia akan dijadikan motor dakwah kampus. Prof Sulaiman juga menjanjikan akan menjadikan Bang Imad sebagai asisten dosen di ITB. Mendengar penjelasan tersebut, H. Abdulrahim yang juga tokoh dakwah, merelakan anaknya untuk berdakwah di Bandung.
Tahun 1963 Bang Imad berangkat ke ke luar negeri melanjutkan S2-nya di Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat. Tahun 1965 ia menyelesaikan S2-nya dan langsung melanjutkan S3-nya di Chicago. Baru dua bulan di Chicago Bang Imad mendapat kabar tentang terjadinya pemberontakan PKI. Beberapa dosen ITB diindikasikan terlibat sehingga terjadi penangkapan terhadap sejumlah dosen ITB. Akibat penangkapan ini terjadi kekosongan pengajar di berbagai jurusan.
Bang Imad kemudian diminta pulang untuk membantu mengatasi kelangkaan pengajar tersebut. Setelah dua semester S3 di Chicago, pada tahun 1966, Bang Imad kembali pulang ke Indonesia dan diberi tugas mengajar di jurusan Elektro. Sebelum mengajar ia meminta izin kepada Prof Sulaiman (waktu itu Dekan Fakultas Teknologi Industri) untuk terlebih dulu pulang ke Langkat untuk menjenguk kedua orang tuanya yang sudah tua.
Meskipun dikenal sebagai seorang aktivis Islam, Bang Imad tidak menganggap dirinya memiliki kepantasan untuk mengajar Islam secara formal di dalam perkuliahan. Namun keadaan di ITB memaksanya untuk terjun mengajar kuliah agama Islam disamping perkuliahan khas di Departemen Elektro. Pada masa itu ITB hanya memiliki tiga orang dosen agama Islam yang dibebani mengajar hingga seribuan mahasiswa. Hal ini menyebabkan perkuliahan menjadi tidak efektif karena kurangnya jumlah dosen agama. Apalagi, Prof. Sulaiman, yang mendapat tugas mengatur teknis pelaksanaan perkuliahan agama Islam, mendapat informasi tentang banyaknya mahasiswa Muslim ITB yang mengambil kuliah agama selain Islam karena anggapan mereka bahwa lebih mudah mendapat nilai bagus pada perkuliahan agama selain agama Islam.
Hal ini merisaukan Prof. Sulaiman sehingga ia memanggil Bang Imad lalu memintanya mengajar agama Islam. Bang Imad keberatan dengan permintaan ini karena ia tidak punya ijazah dalam bidang agama Islam. Ia merasa belum pantas memegang kuliah agama Islam. Namun Prof. Sulaiman bersikeras dan tetap meminta Bang Imad mengajar. Selang beberapa hari dari pertemuan itu, Bang Imad pergi menemui Moh. Natsir dan menceritakan permintaan Prof. Sulaiman itu kepadanya dengan harapan Natsir dapat mempengaruhi Prof. Sulaiman untuk mengubah rencana itu. Di luar dugaan Natsir malah menguatkan dan membenarkan permintaan Prof. Sulaiman. Natsir menasehati Bang Imad untuk mau menerima amanah tersebut. Tak lupa sebelum pulang, Natsir membekali sejumlah buku karya ulama besar seperti Abula’la al Maududi, Sayid Quthb, Abdul Qadir Audah, dan lain-lain. Akhirnya, Bang Imad tidak kuasa lagi menolak permintaan Prof Sulaiman. Terhitung sejak September 1968, Bang Imad menjadi dosen Agama Islam, disamping juga mengajar pada mata kuliah lain di Departemen Teknik Elektro.
Masuk Penjara
Di kalangan anggota HMI dan aktivis Muslim lainnya Bang Imad dikenal karena kepandaiannya berpidato atau berceramah. Hal ini tidak terlepas dari kepandaiannya dalam berargumentasi. Setiap kali menyampaikan suatu pandangan, ia selalu menyertakannya dengan alasan yang kuat dan dapat dibenarkan secara akal sehat sehingga orang mau tidak mau membenarkan pendapatnya. Itu sebabnya banyak sekali jamaah yang hadir dalam setiap kali ceramahnya. Ia juga dikenal sebagai orang yang teguh memegang prinsip. Konsistensinya dengan ajaran tauhid membuatnya tidak segan-segan mengritik hal-hal yang dirasanya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, meskipun yang dikritiknya itu adalah pihak-pihak yang berkuasa. Tidak mengherankan banyak orang menganggap orang menganggap dirinya seorang tokoh Islam garis keras. Meskipun demikian Bang Imad tidak pernah mengkritik seseorang secara langsung dengan menyebutkan nama.
Akibat sifatnya yang keras dan tidak mau berkompromi dengan kebatilan ini ia mejadi incaran para intel. Setiap tempat yang ceramahinya seringkali disusupi oleh para intel. Masjid al-Ahzar bahkan enggan mengundangnya ceramah kembali karena dinilai terlalu keras. Sikapnya yang keras ini akhirnya membawanya ke penjara di masa Soeharto. Penyebabnya adalah ucapannya dalam salah satu ceramahnya di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Di dalam ceramah ini ia menyebut bahwa orang yang mendirikan kuburan sebelum mati adalah Fir’aun. Ketika itu Soeharto telah membangun kuburannya di Giri Bangun. Ucapan Bang Imad ini dianggap sebagai penghinaan terhadap Soeharto. Tanggal 23 Mei 1978, seusai memberikan ceramah di Salman, sekelompok orang berpakaian preman datang ke rumahnya kemudian membawanya ke sebuah penjara di samping Taman Mini Indonesia Indah.
Selama empat belas bulan ia mendekam dalam penjara itu hingga Prof. Dr. Dodi Tisna Amidjaya datang meminta kepada Sudomo agar membebaskan Bang Imad. Tisna membujuk Sudomo agar mau membebaskan Bang Imad karena menurut Prof. Dodi Bang Imad bukanlah orang yang berbahaya. Bang Imad bukanlah politikus sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan pada dirinya. Tapi Sudomo tetap mempermasalahkan ceramah-ceramah Bang Imad. Akhirnya Bang Imad diusulkan agar dikirim saja ke luar negeri menyelesaikan S3-nya. Sudomo akhirnya setuju membebaskan Bang Imad, tapi Daud Yusuf, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu menolak memberi beasiswa. Atas upaya dari Mohammad Natsir akhirnya Bang Imad mendapat beasiswa dari King Faisal Foundation. Bang Imad pun kemudian dibebaskan lalu dikirim ke Amerika dan kembali lagi ke Indonesia tahun 1986.
Kiprah Dakwah di Manca Negara
Kiprah Bang Imad dalam dakwah bukan hanya terbatas di dalam negeri tetapi juga sampai ke dunia internasional. Ketika ia dikirim belajar (S2) di Amerika tahun 1963 ia telah menunjukkan wataknya sebagai agen dakwah di manapun ia berada. Sebagaimana yang ia lakukan di ITB, Bang Imad mempelopori diadakannya shalat Jumat untuk para mahasiswa Muslim di kampus Iowa. Ia bukan hanya mengajak mahasiswa asal Indonesia tetapi juga mahasiswa dari negara muslim lainnya seperti Mesir dan Pakistan. Meskipun hanya diikuti oleh sedikit jamaah tetapi hal itu tidaklah menyurutkan langkahnya untuk menggalakkan shalat di kalangan mahasiswa Muslim. Nampaknya ini menjadi keprihatinan terbesarnya karena dari empat puluh mahasiswa Indonesia yang berangkat bersamanya ke Amerika hanya sepuluh orang saja yang mengerjakan shalat.
Suatu ketika Bang Imad mendengar bahwa di Pensylvania telah didirikan organisasi Muslim Students Association for US and Canada (MSA) oleh Ahmad Tontoji. Bang Imad lalu menghubungi Tontoji (Irak) dan memintanya membuka cabang MSA di Iowa. Kedekatan dengan Tontoji kemudian membawa Bang Imad turut bergabung dengan International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) hingga menduduki posisi sebagai wakil Sekjen. Selain IIFSO, Bang Imad juga terlibat dalam World Assembly Moslem Youth (WAMY) yang juga digagas oleh Tontoji. Melalui keterlibatannya dengan berbagai organisasi muslim internasional inilah Bang Imad mendapat kesempatan berinteraksi dengan tokoh-tokoh muslim dunia Abu A’la al-Maududi, Isma’il Raji al-Faruqi, dan Fazlur Rahman, dan Anwar Ibrahim.
Tahun 1970 hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali normal setelah sempat bermusuhan di akhir masa pemerintahan Sukarno. Kedua negara secara berangsur mulai membina kerjasama. Pada tahun tersebut Malaysia masih kekurangan tenaga pengajar sehingga banyak dosen-dosen Indonesia yang diminta mengajar ke sana termasuk diantaranya Bang Imad. Saat itu Bang Imad diminta untuk mengembangkan Technical College, satu-satunya perguruan tinggi di Malaysia yang hanya dapat menyelenggarakan pendidikan setingkat D3. Rencananya perguruan tinggi ini akan ditingkatkan menjadi institut yang diberi nama Institut Teknologi Kebangsaan.
Selama di Malaysia Bang Imad tidak bisa meninggalkan kebiasaannya berdakwah. Ketika merancang kurikulum institut, ia sengaja memasukkan pelajaran agama sebagai mata kuliah wajib agar mahasiswa yang dibentuk di sana bukan hanya menguasai sains modern tetapi juga memahami agama dengan baik. Mulanya hal ini ditentang oleh direktur institut Encik Zainuddin karena tidak masuk dalam program pemerintah. Namun Bang Imad bersikeras dan mengancam pulang ke Indonesia jika usulannya ini ditolak. Akhirnya Zainuddin mengalah dan tahun 1972 Bang Imad mulai mengajar kuliah agama di institut tersebut. Dalam kuliah pertama yang juga dihadiri rektor, doesen, dan mahasiswa ini Bang Imad meyakinkan bahwa agama Islam tidak bertentangan dengan sains dan teknologi yang selama ini dipersepsikan oleh kebanyakan orang Melayu. Ceramah ini ditanggapi positif dan menginspirasi banyak orang Malaysia.
Kuliah-kuliah yang disampaikan Bang Imad ternyata memberi kesan yang dalam bagi mahasiswa dan dosen sehingga beberapa diantaranya meminta Bang Imad untuk membuat pelatihan sejenis LMD sebagaimana yang pernah dilakukannya di ITB. Jika di Indonesia pelatihan ini diberi nama LMD, di Malaysia pelatihan ini digelari Latihan Tauhid. Peserta pelatihan ini diwajibkan membawa al-Qur’an ke kampus. Pelatihan ini membawa perubahan besar di kalangan mahasiswa Malaysia. Sebagai contoh, mahasiswa yang sebelumnya merasa malu membawa al-Qur’an dan membungkusnya ke dalam majalah setelah pelatihan ini menjadi bangga membawa al-Qur’an ke kampus.
Mengikat Cendekiawan Muslim Indonesia dalam ICMI
Satu hal yang merisaukan Bang Imad adalah kurangnya persatuan yang dimiliki cendekiawan Muslim di Indonesia. Beberapa tokoh cendekiawan didapatinya saling tidak akur dengan lainnya, seperti Amien Rais dengan Cak Nur atau Fuad Amsyari dengan Cak Nur. Sekembalinya dari Amerika tahun 1986, Bang Imad merasakan perlu dibentuknya wadah organisasi yang dapat menyatukan mereka tanpa memandang mazhab dan kecenderungan pemikiran mereka.
Pada tahun 1989, Bang Imad mengundang beberapa tokoh cendekiawan Islam termasuk Amien Rais dan Cak Nur di Yogya untuk membincangkan gagasan ini. Cak Nur bersedia, tapi Amien Rais menolak datang. Hadir pada pertemuan itu sekitar tujuh puluh orang termasuk diantaranya Syafi’i Ma’arif, Cak Nur, dan Endang Saifudin Anshari. Pada waktu itu peserta sudah setuju untuk membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), namun pertemuan ini terlanjur diketahui polisi dan dibubarkan sebelum ICMI dideklarasikan.
Pada tahun 1990, sekelompok dosen Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang datang menemui Bang Imad untuk memintanya mengajar di sana dan mengembangkan masjid Unibraw seperti Salman. Tapi bukannya memenuhi permintaan mereka, Bang Imad justru malah meminta mereka mengajukan proposal simposium yang akan diadakan di Unibraw mengenai kontribusi cendekiawan muslim di abad ke-21. Simposium ini dimaksudkan sebagai saran mengumpulkan cendekiawan muslim Indonesia untuk disatukan dalam wadah ICMI dan meminta agar Prof. Habibie dijadikan sebagai pembicara utama. Proposal ini kemudian diajukan kepada Habibie melalui Alamsyah. Bang Imad juga secara khusus datang menemui dan menyakinkan Habibie tentang pentingnya simposium ini. Ia juga meminta Habibie untuk menjadi ketua jika organisasi ini jika berhasil dibentuk.
Meskipun upaya ini sempat mendapat rintangan dari Jenderal Benny Moerdani, namun simposium berhasil dilaksanakan dan ICMI berhasil dideklarasikan. Hal ini tidak terlepas dari peran Habibie meyakinkan Soeharto yang di tahun 1990-an sudah mulai memiliki kecenderungan lebih dekat kepada Islam. Bahkan Soeharto berkenan membuka dan membantu pembiayaan acara tersebut.
Akhir Hayat Bang Imad
Setelah ICMI terbentuk kesibukan Bang Imad banyak dicurahkan untuk mengembangkan ICMI ke daerah-daerah. Panggilan dakwah juga semakin banyak, bukan hanya di Indonesia bahkan sampai keluar negeri seperti Eropa dan Australia. Ia juga sempat tampil berceramah di RCTI sejak Juni 1997. Kesibukan ini berpengaruh terhadap kesehatan tubuhnya yang sudah semakin tua. Bahkan pada rentang Juli 1997 sampai Januari 1998 ia sempak masuk rumah sakit sebanyak delapan kali. Pada Januari 1998 keadaan fisik Bang Imad memburuk karena komplikasi penyakit di otak, pinggang dan prostat. Ia disarankan berobat ke Jerman, namun karena keadaan keuangan tidak memungkinkan ia memilih berobat di rumah. Akhir 1998 dalam kondisi sakit Bang Imad memaksakan shalat berjamah di masjid yang sangat dirindukannya. Ia sudah rela jika itu menjadi shalat jamaahnya yang terakhir. Sepulang shalat seorang tetangganya menganjurkannya berobat pada seorang tabib, dan alhamdulillah, sakitnya berangsur sembuh dan ia pun bisa melanjutkan dakwahnya.
Meskipun telah sembuh, penyakit ini terus mengintai Bang Imad yang usianya semakin senja. Bang Imad akhirnya dipanggil Allah pada 2 Agustus 2008 di kediamannya di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP), Kalibata, Jakarta.
Keistimewaan Bang Imad
Bang Imad boleh jadi kurang tepat jika kita golongkan ke dalam golongan ulama jika pengertian ulama dalam hal ini adalah orang yang banyak menghasilkan karya-karya di dalam ilmu-ilmu keislaman. Kenyatannya memang Bang Imad tidak banyak meninggalkan karya buku. Hanya ada dua buku karyanya mengenai Islam yang diterbitkan secara umum yaitu Kuliah Tauhid dan Islam Sistem Nilai Terpadu. Bahkan buku Kuliah Tauhid sebenarnya adalah kumpulan ceramah yang dibukukan oleh para sahabatnya ketika Bang Imad berada di dalam penjara. Namun buku ini dapat dikatakan melegenda dan melekat dengan nama Bang Imad. Jika orang mendengar nama Bang Imad maka pikiran mereka langsung mengaitkannya dengan Kuliah Tauhid. Sedangkan buku Islam Sistem Nilai Terpadu merupakan penjabaran yang lebih lengkap dari buku Kuliah Tauhid.
Oleh karena itu Bang Imad lebih tepat disebut sebagai seorang mujahid dakwah (pejuang), mirip dengan jenis pelatihan yang dilakukannya di ITB karena ia adalah pelopor kebangkitan intelektual Muslim Indonesia yang dibesarkan dalam tradisi sekular (sekolah umum). Ia berkeliling dan berkampanye ke banyak tempat, baik di dalam maupun luar negeri, untuk membangkitkan kesadaran umat Islam bahwa mereka punya kehormatan jika berpegang pada ajaran Tauhid, ajaran yang paling pokok dan menjiwai semua ajaran Islam. Bang Imad menggelorakan semangat untuk maju di tengah tengah masyarakat yang rendah diri bahwa mereka bisa maju bila berpegang pada ajaran Islam.
Ada empat hal yang membuat Bang Imad menjadi sosok cendekiawan Muslim yang istimewa. Pertama, kekerasan hatinya ketika mengumandangkan dan membela apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Ini adalah buah dari pendidikan ayahnya sejak kecil yang menekankan kepadanya untuk senantiasa berpegang pada agama. Meskipun masyarakat Langkat merupakan masyarakat yang terkenal lemah lembut, tetapi sang ayah mendidik Bang Imad secara keras agar ia tumbuh menjadi orang yang memegang prinsip. Bang Imad adalah sosok orang yang sesuai antara perkataan dengan perbuatan. Ketika ia berkeliling dan berdakwah ke mana-mana dengan membawa pesan tauhid ia membuktikan langsung pengamalannya terhadap ajaran tauhid yang menganggap hanya Allah semata yang pantas ditakuti dan diibadahi. Sehingga ia sedikitpun tidak menunjukkan rasa takut pada pihak manapun termasuk dihadapan penguasa. Ia juga senantiasa bekerja atas dasar mencari keridhaan Allah, bukan untuk kepentingan lain apalagi keduniawian. Ini tampak jelas dari perjalanan hidupnya yang tidak pernah menjadi bagian dari kekuasaan meskipun ia memiliki kemampuan untuk itu.
Kedua, Bang Imad adalah seorang inovator dakwah yang jeli melihat hal-hal yang perlu diperbaiki yang ada di masyarakat. Dia menciptakan sesuatu yang ganjil di masanya menjadi sesuatu yang sangat menginspirasi. Beberapa gebrakan yang ia lakukan merupakan hal-hal yang belum banyak terpikirkan oleh intelektual muslim lainnya. Dan gebrakan itu memberi bekas yang kuat sehingga ditiru di tempat-tempat lain. Ketika ITB masih ‘berbau Belanda’ dan sekular , Bang Imad menggebrak kesadaran Muslim ITB dengan kegiatan shalat Jumat di aula kampus dan pelatihan kader dakwah. Pada masa kini hal itu adalah sesuatu yang biasa, tapi pada masa itu merupakan sesuatu yang aneh. Apalagi ideologi Nasakom masih tergolong kuat masa sehingga stigma “kolot dan terbelakang” terhadap orang-orang yang teguh dalam agama masih banyak mewarnai pikiran orang-orang masa itu. Maka tidaklah berlebihan jika kita katakan bahwa fenomena berdirinya masjid kampus di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan maraknya kegiatan keislaman di kampus umum seperti ITB, UI, UGM, Unibraw pada masa sekarang merupakan buah dari gerakan dakwah yang dilakukan Bang Imad. Bang Imad juga mengangkat kehormatan para mahasiswa Muslim yang sebelumnya sering merasa rendah diri dan dianggap sebagai kelompok yang tidak bisa maju.
Ketiga, Ia adalah sosok pemersatu kaum intelektual Muslim Indonesia. Meskipun pribadinya keras, namun itu nampaknya hanya pada hal yang sangat prinsip. Dalam hal persaudaraan sesama Muslim ia merupakan seorang tokoh penyambung simpul-simpul ukhuwah yang putus atau nyaris putus. Ia dapat dikatakan sebagai tokoh Muslim yang relatif dapat diterima di kelompok manapun. Kenyaataan ini dapat kita lihat dari kegigihannya untuk bisa mewujudkan sebuah organisasi cendekiawan Muslim yang mewadahi seluruh cendekiawan Islam di Indonesia di dalam ICMI. Sejauh ini usahanya dapat dikatakan berhasil karena hingga saat ini belum ada organisasi cendekiawan Muslim sejenis yang dapat menyaingi ICMI. Walaupun besar kecilnya peran ICMI di Indonesia masih banyak yang memperdebatkan , kewujudan organisasi ini merupakan sebuah keberhasilan yang sangat berarti.
Keempat, ia adalah representasi cendekiawan ‘ideal’ dalam pengertian menguasai ilmu-ilmu sains dan pada saat yang sama punya pengetahuan mendalam mengenai agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa dikotomi sistem pendidikan warisan penjajah Belanda telah memecah sarjana-sarjana Muslim Indonesia ke dalam dua kelompok : Sarjana-sarjana ilmu umum (sekular) yang tidak tahu agama dan sarjana-sarjana ilmu keislaman yang kurang memahami ilmu umum. Kondisi ini jika dibiarkan perlahan-lahan akan menghancurkan umat Islam dari dalam. Namun Bang Imad telah memberi teladan, sarjana ilmu-ilmu umum itu tidak cukup hanya menjadi orang shalih dalam hal ritual keagamaan (shalat, zakat, puasa, haji) tetapi ia juga harus mendalam ilmu agamanya yang mampu menagkap pesan-pesan al-Qur’an dan Hadits untuk menjadi jawaban terhadap persoalan-persoalan umat. Oleh karena itu maka tidaklah berlebihan jika Bang Imad adalah sumber inspirasi munculnya pengajian-pengajian atau halaqah-halaqah di kampus-kampus umum.
Daftar Pustaka
1. Asshiddiqie, Jimly (penyunting), Bang Imad : Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya, Jakarta : Gema Insani Press, 2002
2. Abdulrahim, Muhammad Imaduddin, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta : Gema Insani Press, 2002
3. Abdulrahim, Muhammad Imaduddin, Kuliah Tauhid, Jakarta : Gema Insani Press, 2002