POLA PIKIR/ STRATEGI PEMBINAAN PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dinar Kania,Msc
A. TUJUAN PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Psikologi mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, terutama dalam memecahkan prolematika-problematika kehidupan, termasuk di dalamnya masalah pendidikan. Para ahli terdahulu mendefinisikan psikologi sebagai “studi kegiatan mental” tetapi dengan berkembangnya aliran behavioristik, saat ini definisi psikologi modern telah diperluas menjadi “studi ilmiah mengenai proses prilaku dan proses mental. Namun menurut Malik Badri, Presiden International Association of Muslim Psychologists, psikologi modern dibangun diatas asumsi-asumsi yang keliru tentang manusia. Psikologi Amerika pada dasarnya adalah eksperimen terhadap binatang seperti tikus, monyet, kelinci, burung merpati dan mahasiswa yang kesimpulannya belum tentu berlaku untuk manusia atau konteks budaya di tempat lain. Perlu kehati-hatian dalam memilah mana yang sesuai dengan ajaran Islam tetapi tidak semua teori psikologi modern harus dibuang. Sebagai contoh, asumsi psikologi behavioristik bahwa manusia itu hewan belaka harus ditolak. Tetapi terapi behavioristik yang menekankan imbalan dan ganjaran boleh diterapkan.
Pendekatan psikologi dalam pendidikan berusaha menjadikan kajian tentang faktor-faktor psikologis yang berperan dalam proses pendidikan. Dalam proses pendidikan, inti persoalan psikologis terletak pada anak didik. Selain itu terdapat masalah khusus yang disorot secara psikologis, seperti pendidikan orang dewasa, kesehatan mental serta bimbingan dan konseling, materi yang dipakai, evaluasi pendidikan, dan sebagainya. Tujuan pendidikan berbasis psikologi secara umum adalah memanusiakan manusia yaitu menolong manusia menjadi manusia mandiri, berbudi dan berkarakter bangsa. Tujuan akhirnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, suatu kondisi dimana masyarakat merupakan kumpulan insan-insan cerdas yang kompetitif, mampu bersaing ditingkat regional maupun internasional melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) iman dan takwa (IMTAQ) serta profesionalisme.
B. FUNGSI DAN LANDASAN IDEOLOGIS
Dalam pendidikan berbasis psikologi, pendidikan memiliki empat fungsi. Fungsi pertama adalah fungsi transfromasi budaya. Pada hakekatnya pendidikan adalah upaya mengawetkan, mengembangkan, serta menanamkan kebudayaan. Kebudayaan menurut Vijay Santhe adalah “the set of important assumption (often unstated) that member of a community share in common.” Assumption dalam pengertian ini dijelaskan adalah beliefs dan values. Dalam teori budaya, nilai/ value pribadi akan membentuk nilai kelompok sehingga akhirnya terbentuk suatu nilai bersama dalam masyarakat. Jadi inti dari kebudayaan adalah nilai.
Tranformasi berarti pendidikan tidak semata-mata memindahkan apa yang diketahui guru kepada murid, atau transfer pengetahuan semata, Pendidikan harus mampu mentranformasikan nilai-nilai kepada peserta didik. Kebudayaan bangsa Indonesia berbeda dengan kebudayaan Barat yang kebudayaannya dibuat berdasarkan akal. Budaya Indonesia dibangun atas dasar agama, karena keimanaan kepada Tuhan YME pada hakikatnya adalah agama, sehingga nilai-nilai keagamaan yang dianut harus mewarnai pendidikan di Indonesia dan tidak justru memisahkan agama dengan pendidikan (sekuler) sebagaimana pendidikan di Barat.
Fungsi pendidikan lainnya adalah sebagai pembentuk kepribadian dan menyiapkan warga negara yang baik. Ibn Khaldun seorang ulama dan ilmuwan Islam di abad pertengahan, melihat pendidikan sebagai usaha transformatif potensialitas (attaqah al-quswa) manusia yang bertujuan mengoptimalkan pertumbuhkan dan perkembangannya. Pendidikan harus diletakan sebagai bagian integral dari peradaban (al-umran) karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan. Pendidikan juga merupakan sarana bagi manusia mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang telah disyariatkan atasnya dan menggapai ma’rifat dengan menjalankan praktek-praktek ibadah. Begitu juga menurut Plato, seorang filsuf Yunani yang hidup ribuan tahun lalu, melihat bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk membangun masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan, dengan pendidikan maka akan terbentuk masyarakat yang siap berkontribusi secara positif dalam pembangunan bangsa.
Fungsi pendidikan lainnya adalah menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas. Tenaga kerja berkualitas yang dimaksud adalah insan cerdas. Insan cerdas adalah sosok manusia berkarakter yang mampu menggunakan segenap daya pikir dan pengetahuan yang dimilikinya untuk mengatasi problematika di masyarakat. Masyarakat membutuhkan orang-orang cerdas, terpercaya, berdaya juang tinggi, serta memiliki kreativitas dalam menciptakan inovasi-inovasi bagi peningkatan kualitas kehidupan mereka secara fisik maupun ruhani.
Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2009 menempati urutan 111, dan termasuk dalam kategori medium human development , sedangkan tetangga kita, Malaysia termasuk dalam kategori high human development.. Menempati urutan nomor satu adalah Norway. HDI diukur melalui tiga dimensi pembangunan Sumber Daya Manusia, yaitu, tingkat ekspektasi hidup, pendidikan dan standar hidup yang layak. Namun tidak dipungkiri bahwa HDI hanya mengukur faktor- faktor kualitas pembangunan manusia secara fisik saja. Pembangunan manusia secara ruhani tidak termasuk dalam kriteria penilaian index HDI ini. Hal ini disebabkan karena Barat tidak menjadikan jiwa sebagai bagian dari faktor esensial/ substansial dalam diri manusia, sebagaimana jasmani dan akal. Sedangkan Islam menganggap manusia terdiri dari tiga faktor substansial, yaitu jasmani, akal dan ruhani. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negera dengan Islam sebagai agama mayoritas, HDI tidak boleh dijadikan satu-satunya indikator tingkat pembangunan manusia karena pembangunan jiwa manusia merupaka salah satu tujuan pendidikan yang harus diprioritaskan untuk menciptakan insan kamil.
Landasan ideologis dari pendidikan mencakup landasan filosofis, termasuk didalamnya adalah agama. Pendidikan Islam tentunya berdasarkan pada al-Qur’an, Hadits, dan sumber hukum lainnya. Sedangkan landasan pendidikan lainnya yaitu EFA (education for all) yaitu learning to learn, learning to do, learning to be, learning to life together. UNESCO mengeluarkan slogan tersebut dengan tujuan agar murid tahu (learning to know), kemudian murid tahu cara melaksanakannya (learning to do), setelah itu murid menerapkan apa yang diketahuinya dalam kehidupan (learning to be). Adapun learning to life together merupakan kategori yang datang kemudian.
Secara umum prinsip EFA dapat diterima sebagai landasan ideologis pendidikan di Indonesia karena ajaran Islam telah mempraktekan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut semenjak 1400 tahun yang lalu. Namun sampai saat inipun, Barat belum bisa membuktikan bahwa mereka telah menerapkan pilar-pilar pembelajaran internasional tersebut. Lihat saja kasus pengeluaran perempuan berjilbab dan bercadar dari sekolah-sekolah di negara Barat, padahal jelas-jelas hal itu bertentangan dengan prinsip education for all yang mereka kampanyekan di dunia Itu hanya segelintir contoh ketidakkonsistenan Barat dalam menerapkan ideologinya.
Pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang termaktub dalam Undang-undang Pendidikan no. 20 tahun 2003. Dasar, fungsi dan tujuan pendidikan disebutkan dalam Bab II, pasal 3, sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam tujuan tersebut terlihat jelas bahwa agama merupakan landasan indeologis pendidikan di Indonesia, dan bukan sekularisme sebagaimana yang terjadi di Barat, yaitu paham yang memisahkan antara agama dari kehidupan publik.
C. PROSES DAN DIMENSI PENDIDIKAN BERBASIS PSIKOLOGI
Untuk mencapai tujuan pendidikan, proses pembinaan pendidikan memerlukan jalur dan prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif. Prinsip pendidikan diantaranya harus memperhatikan unsur kemanusiaan, partisipasi, kolaborasi, kerjasama dan inovatif. Pendidikan harus memperhatikan aspek kemanusiaan yaitu memperlakukan manusia setara, sederajat dalam memperoleh pendidikan. Pendidikan tidak boleh bersifat eklusif tetapi harus bersifat inklusif yang berarti semua orang, dari latar belakang sosial, agama apapun, bisa mengakses pendidikan tanpa terkecuali.
Jika kita melihat sejarah Islam terutama di wilayah Spayol atau Andalusia, prinsip kemanusiaan dalam ajaran Islam yang dipraktikan oleh para penguasa/ khalifah, telah mendorong masyarakat Eropa untuk melakukan gerakan renaissance. Kordoba pada abad pertengahan telah menjadi pusat belajar terbesar di Eropa ketika sebagian besar masyarakat di benua itu terjerembab pada masa kegelapan Berbondong-bondong pelajar datang dan menetap di sana. Masjid-masjid dibangun dan menjadi sekolah-sekolah untuk mempelajari agama Islam, Bahasa Arab dan ilmu pengetahuan lainnya. Tak terkecuali orang-orang Nasrani yang berada di negeri-negeri Kristen, mereka turut merasakan kemakmuran dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Hal tersebut merupakan salah satu bukti prinsip kemanusiaan dalam ajaran Islam yang telah dibuktikan oleh sejarah. Tetapi kontribusi besar pendidikan Islam telah mereka lupakan dan justru dibalas dengan penjajahan di dunia Islam dan memperbodoh umat Islam selama ratusan tahun lamanya.
Selain prinsip kemanusiaan, pembinaan pendidikan juga membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai komponen bangsa. Kerjasama diantara stakeholder pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan di suatu negara. Pendidikan bukan hanya menjadi perhatian para praktisi pendidikan saja, tetapi hampir setiap warga negara merasa berkepentingan dengan masalah pendidikan. Hal ini yang menyebabkan pembinaan pendidikan merupakan upaya lintas-sektoral sehingga kolaborasi antar departemen dan instansi terkait, sangat dibutuhkan. Selain itu, pembinaan pendidikan selalu menuntut adanya kreativitas dan inovasi baru dalam sistem, program, sarana dan prasarana pendidikan sebagai usaha proaktif dalam mengantisipasi perubahan teknologi yang demikian cepatnya.
Pendidikan rumah tangga memiliki peran yang sangat besar terhadap pembentukan karakter anak. Dalam teori pendidikan, keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak, begitu juga dalam ajaran Islam. Tetapi, saat ini teori tersebut menjadi kurang relevan karena struktur rumah tangga dalam masyarakat terutama di wilayah perkotaan telah sangat berubah. Dahulu, sebagian besar ibu tidak keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah tetapi mengurus rumah tangga dan terlibat secara intensif dalam pendidikan anak. Dengan kedua orang tua bekerja , maka intensitas peneladanan dan pembiasaan, metode paling efektif dalam pendidikan karakter, menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi agar keluarga tetap dapat memainkan perannya sebagai madrasah pertama bagi anak-anak.
Jalur pendidikan kedua adalah sekolah. Sekolah didirikan masyarakat atau negara untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga yang sudah tidak sanggup lagi memberi bekal persiapan hidup bagi anak-anaknya. Kehidupan disekolah sifatnya lebih zakelijk atau lebih lugas. Di sekolah ada peraturan-peraturan yang harus dijalankan. Menurut Ibn Sahnun seorang ulama muslim yang pertama menggulirkan teori pendidikan, peran guru dalam pendidikan sangatlah besar. Beliau tidak menafikan peran elemen pendidikan lainnya, tetapi baginya, guru merupakan elemen terpenting yang harus diprioritaskan karena guru merupakan wakil orang tua.
Negara memiliki peran sentral dalam pembinaan pendidikan. Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya, sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum sehingga menjadi bantuan bagi pendidikan keluarga. Namun komitmen pemerintah Indonesia terhadap dunia pendidikan dinilai masih rendah, ini terlihat dari minimnya anggaran pemerintah bagi pembangunan di sektor pendidikan. Sebagai perbandingan, Malaysia pernah menghabiskan 47% dari APBN untuk membangun sektor pendidikan dengan mengirim mahasiswa tingkat magister untuk bersekolah ke luar negeri, terutama London dan Mesir. Sedangkan di Indonesia, perjuangan untuk memperoleh 20% saja sampai saat ini belum sepenuhnya dapat direalisasikan oleh pemerintah (itu pun masih banyak penyimpangan dalam penyalurannya).