Senin, 21 Mei 2012

KARAKTER NAFS

KARAKTER NAFS
DR.Ahmad Alim,LC,M.A
1.      Nafs Ammarah
a.       Definisi nafs ammarah
Ammarah secara etimologi bermakna (كثيرة الأمر بالسوء) yaitu banyak memerintahkan pada hal-hal yang tercela.[1]
Nafs ammarah  menurut istilah adalah tingkatan jiwa yang paling rendah, yang cenderung pada tabi’at jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan sesaat (al-mustahiyah)  dan kesenangan hawa nafsu (sl-sahawat), sehingga menjerumuskannya dalam perkara yang munkar.[2]
At-Thabari menjelaskan  bahwa tabi’at nafs ammarah adalah selalu memerintahkan segala sesuatu yang sesuai dengan kesenangan hawa nafsu, tanpa melihat apakah kesenangan tersebut diridhai oleh Allah ataukah tidak. Lebih jelasnya, At-Thabari  berkata :
....... تأمرهم بما تهواه ، وإن كان هواها في غير ما فيه رضا الله
Nafs ammarah selalu memerintahkan pada manusia pada sesuatu yang diinginkan, walaupun keinginan itu, tidak sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah.[3]
Nafs  jenis ini, sebagaimana terdapat dalam firman Allah QS. Yusuf : 53
مَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan Aku tidak membebaskan diriku dari nafsu, karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.” (QS. Yusuf :53)
As-Syaukani menafsirkan “nafs ammarah” dalam ayat tersebut, sebagai jiwa yang banyak menyuruh pada kejahatan, karena kecondongannya terhadap syahwat. Lebih lanjut, As-Syaukani berkata :
إن هذا الجنس من الأنفس البشرية شأنه الأمر بالسوء لميله إلى الشهوات ، وتأثيرها بالطبع ، وصعوبة قهرها ، وكفها عن ذلك إلا ما رحم ربي أي إلا من رحم من النفوس فعصمها عن أن تكون أمارة بالسوء.
Sesungguhnya nafs jenis ini termasuk dalam kategori nafs manusia yang keadaannya senang memerintahkan pada yang buruk, karena kecenderungannya kepada syahwat, dan kecenderungan terhadap tabi’at jasad, sehingga sulit untuk  memaksanya dan mengendalikannya, kecuali nafs yang mendapatkan rahmat dari Allah, sehingga dapat terjaga dari hal-hal yang buruk.[4]
Jadi nafs ammarah adalah jiwa yang  paling rendah, yang naturnya cenderung pada hal-hal yang pragmatis, yang berupa syahwat dan kesenangan hawa nafsu, tanpa memikirkan dampak negatif yang diakibatkan darinya. Pemilik jiwa ini paling rentan dijangkiti kotoran-kotoran batin (amradh al-qulub), yang diantaranya adalah sombong, kikir, tamak, hasud, bohong, pamer, munafik, keluh-kesah, malas, buruk sangka, cepat marah, dan dengki dan lain sebagainya.
b.      Ciri-ciri nafs ammarah
·         Tafridh, yaitu lalai dan melampaui batas
أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ
supaya jangan ada jiwa yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah ). (QS. Al-Zumar : 56)
·         Thawaat, yaitu menghiasi keburukan seakan-akan menjadi kebaikan
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Maka hawa nafsu menghiasi diri Qabil agar membunuh saudaranya, maka kemudian ia membunuhnya, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.” (QS Al-Maidah : 30)
·         Sawwalat, yaitu menebarkan tipu daya
وَجَاءُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ (18
Mereka datang membawa baju gamis nya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: ‘Sebenarnya jiwamulah   yang membuat tipuan atas perkara  itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan’”. (QS. Yusuf:18)
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى ۙ الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَىٰ لَهُمْ
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syetan telah menjadikan mereka tertipu dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS.Muhammad: 2)

c.       Terapi nafs ammarah
Agar nafs ammarah kembali pada fitrahnya maka membutuhkan sebuah terapi. Terapi tersebut dikenal dengan istilah al-takhliyah, yang memiliki arti sebuah proses mengosongkan jiwa dari segala kecenderungan yang jelek. Ibn Jauzi menjelaskan bahwa proses tahliyah ini bertujuan untuk membersihkan hati dari segala   sifat-sifat yang tercela. Beliau berkata :
تظهير القلب عن أخلاق المذمومة من الحرص والحقد والحسد والكبر وغير ذلك.
Tahliyah  bertujuan untuk membersihkan hati dari akhlak yang tercela, seperti sifat rakus, iri hati, dengki, sombong, dan penyakit hati yang lainnya.[5]

Senada dengan itu, Imam Nawawi juga menegaskan bahwa pada dasarnya terapi ini  diarahkan untuk menggapai jiwa yang bersih (nafs thahirah).  Hal itu tidak akan pernah tercapai jika jiwa masih tercampur dengan subhat,[6] maka dari itu diperlukan usaha untuk senantiasa memperbaikinya dan menjaganya dari segala hal yang akan merusaknya. Lebih jelasnya Imam Nawawi berkata :
...السعي في صلاح القلب وحمايته من الفساد
Bahwa terapi jiwa ini merupakan suatu usaha untuk memperbaiki hati dan menjaganya dari kerusakan.[7]
Terapi tersebut juga harus diiringi dengan kemurniaan tauhid, dan menjauhi perbuatan syirik,  karena tauhid adalah benteng terkuat dalam melindungi jiwa dari segala hal yang akan mengotorinya. Sementara syirik berfungsi sebagai  penghancur benteng tersebut, sehingga jiwa menjadi kotor olehnya.  Lebih tegasnya  Ibn Taimiyah mengatakan :
ولهذا كان التوحيد والإيمان أعظم ما تزكو به النفس، وكان الشرك أعظم ما يدسيها، وتتزكى بالأعمال الصالحة والصدقة.
Maka dari itu, tauhid dan keimanan  merupakan sesuatu yang paling besar dalam mensucikan jiwa, dan sirik merupakan sesuatu yang paling kotor dalam mengotori jiwa, maka hendaklah membersihkan jiwa dengan amal shaleh dan kesungguhan.[8]
Selain itu, dalam proses terapi ini diperlukan   mujahadah nafs  yang istiqamah. Mujahadah nafs ini merupakan benteng  yang melindungi seseorang dari serangan hawa nafsu. Bahkan mujahadah nafs menurut Ibn Taimiyah adalah bagian dari jihad yang amat diperlukan bagi setiap muslim, dalam rangka menjaga jiwanya dari fitnah. Ibn Taimiyah berkata :
فإذا كانت النفس تهوى وهو ينهاها كان نهيه عبادة للنهيه عبادة لله ، وعملا صالحا، فيؤمر بجهادها كما يؤمر بجهاد من يأمر بالمعاصى ويدعوا إليها ، وهو إلى جهاد نفسه أحوج فإن هذا فرض عين وذاك فرض كفاية .
Maka apabila jiwa  condong kepada hawa nafsu, kemudian ia berusaha mencegahnya , maka itu adalah bagian ibadah kepada Allah, dan merupakan wujud dari amal shaleh. Maka dari itu diperintahkah untuk memeranginya sebagaimana diperintahkan untuk memerangi orang yang memerintahkan maksiat dan yang menyeru kepadanya. Memerangi nafsu lebih dibutuhkan , karena itu fardu a’in, sementara memerangi musuh adalah fardu kifayah.[9]


2.      Nafs Lawwamah
a.       Definisi nafs lawwamah
Lawwamah secara etimologi berasal dari kata “laum”, kemudian diikutkan pada bentuk  mubalaghah wazan “ fa’allah” sehingga  menjadi “ lawwamah” (لُومة), yang artinya adalah banyak mencela atau menyesali.[10] Celaan atau penyesalan  dari jiwa ini  diarahkan pada dua hal yaitu: 1) celaan yang mendorong pemiliknya untuk introspeksi atas perbuatan jelek yang pernah ia perbuat, sehingga  penyesalan  ini bisa membangkitkan pemiliknya untuk bertaubat dan kembali pada Allah. 2) celaan yang mendorong pemiliknya  untuk introspeksi atas kelalaiannya dalam melakukan perbutan yang baik, sehingga membangkitkan pemiliknya untuk lebih maksimal dalam melakukan amal.
Kata lawwamah juga berasal dari kata talawwum (تَلَوُّم) yaitu  taradud (kebimbangan dan keraguan), yang tidak tetap dalam satu kondisi. [11] Hal itu karena posisi nafs lawwamah berada diantara nafs ammarah dan nafs muthmainnah. Terkadang nafs semacam ini masih terjerumus dalam kemaksiatan, namun ia segera menyesalinya. Dan terkadang pula ia mengamalkan kebaikan, namun jika kebaikan yang ia lakukan tidak maksimal, maka ia akan menyesalinya. Singkatnya,  nafs lawwamah menduduki posisi diantara dua kubu, dimana ia selalu bermuhasabah atas apa yang telah dilakukan, sehingga menuju pendakian derajat yang lebih tinggi yaitu derajat nafs muthmainnah. [12]
Jadi,  nafs lawwamah adalah jiwa yang menyesali dirinya sendiri. Yakni ia menyesal ketika melakukan kebaikan, kenapa ia tidak melakukannya dengan  maksimal, dan juga menyesal ketika melakukan kemungkaran, kenapa ia terjerumus di dalamnya. Ibn A’syur berkata yang menukil pendapat Hasan Al-Bshri,
يلوم نفسه على ما فات ويندم ، يلوم نفسه على الشر لم فعله وعلى الخير لم يستكثر منه
Nafs lawwamah adalah keadaan jiwa yang mencela dirinya atas apa yang  telah lewat, kemudian ia menyesal. Mencela dirinya atas keburukan yang telah dilakukan, mencela dirinya atas kebaikan yang telah dilakukan, kenapa ia tidak melakukannya dengan maksimal.[13]
Berkaitan dengan nafs lawwamah ini, secara tegas Allah sebutkan dalam QS.al-Qiyamah:2, berikut ini :
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَة
Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (QS.al-Qiyamah:2)

Dalam ayat tersebut, Allah bersumpah dengan jiwa jenis ini sebagai penghormatan atas keadaannya. Karena, ketika Allah bersumpah dengan sesuatu, pasti sesuatu itu menunjukkan keagungan. Ibn Katsir menukil riwayat dari Ibn Abbas, Mujahid, Ibn Jarir, Qatadah dan Para Mufassir lainya, bahwa nafs lawwamah memiliki karakter menyesali diri, baik dalam keburukan, mengapa dirinya mengerjakannya?, maupun  menyesali dalam kebaikan, mengapa dirinya tidak memperbanyak kebaikan?.[14]
Nafs lawwamah ini menduduki tingkatan kedua dari tiga tingkatan jiwa.  Pada tingkatan ini,  jiwa  berusaha melepaskan dirinya  dari kecenderungan  tabi’at jasad yang mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan sesaat (al-mustahiyah)  dan kesenangan hawa nafsu (sl-sahawat), sehingga ketika ia terjerumus dalam dosa, ia bersegera untuk menyesalinya. Disisi lain, walaupun nafs lawwamah tidak menyukai dorongan-dorongan thobi’i, bahkan ia selalu menyesali dirinya sendiri, akan tetapi dalam mengamalkan  kebaikan kebaikan pun,  ia belum dapat menguasai diri sepenuhnya. Kadang-kadang dorongan-dorongan thobi’i mengalahkannya, kemudian ia tergelincir dan jatuh, sehingga kebaikan yang ia lakukan tidak maksimal. Lalu ia menyesali diri sendiri atas kelemahannya tersebut.
Pemilik nafsu ini, setingkat lebih baik dari pada pemilik nafs ammarah. Karena ia masih mengenal intropeksi dirinya (muhasabah), walaupun ia sering jatuh bangun dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan,  namun ia tetap bertahan untuk istiqamah dan tetap gigih dalam mencapai kebaikan.
b.      Ciri-ciri nafs lawwamah
·         Introspeksi diri (nadzrah)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri, mengevaluasi kembali apa yang telah dilakukan untuk menata hari esok. Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan. (QS Al-Hasyr (59): 18).
·         Mendebat dirinya sendiri (jidal)
يَوْمَ تَأْتِي كُلُّ نَفْسٍ تُجَادِلُ عَن نَّفْسِهَا وَتُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
(Ingatlah) suatu hari (ketika) tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya sendiri dan bagi tiap-tiap diri disempurnakan (balasan) apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan). (QS. An-Nahl : 111)
·         Menyesali diri (nadam)
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya, bersegera mendekati mereka, seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS. Al-Maidah : 52)

3.      Nafs Muthmainnah
a.       Definisi nafs muthmainnah
Muthmainnah secara etimologi berbentuk isim fa’il dari fi’il (اطمأن), yang berarti ketenangan dan ketentraman. Adapun lawan kata dari (اطمأن) adalah (ضطرب) yang berarti keguncangan.[15]
Nafs muthmainnah adalah jiwa yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela (madzmumah), dan menggantikannya dengan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah). Jiwa ini selalu berorientasi kepada komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga tercapailah  ketenangan dan ketentraman.[16]
Ibn A’syur dalam Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir mendefinisikan nafs muthmainnah tersebut, dengan jiwa yang mendapatkan dua ketenangan sekaligus, yaitu ketenangan di dunia dengan keimanan yang shadiq, dan ketenangan di akhirat dengan diselamatkannya dari huru hara di akhirat. Lebih lanjut Ibn A’syur berkata :
أن يكون من سكون النفس بالتصديق لما جاء به القرآن دون تردد ولا اضطراب بال فيكون ثناء على هذه النفس ، ويجوز أن يكون من هدوء النفس بدون خوف ولا فتنة في الآخرة .
Nafs muthmainnah adalah jiwa yang tenang dengan keimanan yang shadiq terhadap apa yang datang dari Al-Qur’an, tanpa ada keraguan, dan tanpa ada kegalauan hati. Maka jiwa seperti ini adalah terpuji. Bisa juga, nafs muthmainnah diartikan sebagai jiwa yang tentram, tanpa ada rasa takut, dan tanpa adanya fitnah di akhirat.[17]
 والاطمئنان : مجاز في طيب النفس وعدم ترددها في مصيرها بالاعتقاد الصحيح فيهم حين أيقنوا في الدنيا بأن ما جاءت به الرسل حق ، فذلك اطمئنان في الدنيا ومن أثره اطمئنانهم يوم القيامة حين يرون مخائل الرضى والسعادة نحوهم ويرون ضد ذلك نحو أهل الشقاء .
Nafs muthmainnah merupakan majaz dari jiwa yang terbaik (tayyib), dan tidak adanya keraguan dalam dirinya, sebab aqidah yang shahih pada dirinya, ketika dirinya yakin di dunia bahwa apa saja yang dibawa oleh para Rasul adalah haq, demikian itu adalah ketenangan jiwa di dunia. Adapun pada hari kiamat, jiwa tersebut akan mendapatkan ketenangan ketika melihat keridha’an dan kebahagian pada dirinya, dan ketika melihat keguncangan yang menimpa jiwa orang-orang yang celaka.[18]
Sementara menurut Ibn Jauzi nafs  muthmainah adalah jiwa yang sempurna dan menduduki derajat tertinggi, karena ia adalah jiwa yang telah ridla dan diridlai oleh Allah. Jiwa yang sempurna (nafs muthmainnah) akan selalu memancarkan keimanan, yang akan selalu menghiasi kehidupannya, sehingga hidupnya berjalan di atas jalan yang lurus (sirath al-mustaqim). Demikian juga, jiwa yang sempurna akan melahirkan sikap ridha terhadap ketetapan Allah yang diberlakukan untuk dirinya, sehingga jiwanya akan selalu dihiasi ketenangan dan dijauhkan dari segala bentuk kegelisahan. Tidak hanya itu, jiwa yang sempurna juga akan menjadikan seseorang lebih qana’ah, menerima apa adanya dari segala pemberian Allah, dan mensyukurinya dengan menggunakannya dalam bentuk amal shaleh. Menurut Ibn Jauzi, pada akhirnya jiwa sempurna ini, akan menjadi jiwa yang  ridla dan diridlai oleh Allah, yang kelak akan dipannggil untuk menghadap Allah dengan panggilan yang mulia, dengan balasan syurga dan masuk dalam kategori  hamba-Nya yang pilihan.[19]  Hal itu sesuai firman Allah surat Al-fajr ayat 27 -30 sebagai berikut : 
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridla dan diridlai, masuklah kedalam barisan hambaku, dan masuklah kedalam surgaku. (QS.Al-Fajr : 27-30)
Menafsirkan ayat ini, Ibn Jauzi melihat bahwa jiwa muthmai’nah adalah jiwa tertinggi yang mencapai puncak kemuliayaan yang diridhai Allah. Allah memanggilnya dengan seruan yang indah, dan mempersilahkan agar duduk dalam barisan hamba-hamba yang sholeh, kemudian mereka akan dimasukkan ke dalam syurga yang penuh dengan kenikmatan.[20]
Sementara para ahli tafsir lainnya, seperti Ibn Abbas, Qatadah,Mujahid, Ibn Zaid, menafsirkan nafs muthmainnah yang terdapat dalam ayat tersebut, sebagai jiwa yang ridha terhadap ketentuan Allah, sehingga jiwa tersebut tenang bersama  kebenaran (haq), tidak mengalami benturan, kekalutan,kebimbangan, dan keguncangan, karena ia mengetahui jalan bahagia dan ridha di jalan tersebut. Untuk itu, Allah menanggilnya dengan panggilan yang indah, “ kembalilah kepada Rabb-mu dengan ridha dan diridhai. Ia ridha terhadap Allah, dan Allah juga ridha kepadanya. Untuk itu, ia digembirakan dengan kedudukannya di surga, melalui janji Allah, “masuklah kedalam barisan hambaku, dan masuklah kedalam surgaku”. Datangnya kabar gembira ini ketika menjelang kematian, saat dipadang mahsyar, dan saat di syurga.[21]
Jadi, nafs muthmainnah pada dasarnya adalah jiwa yang kembali pada fitrahnya, yaitu jiwa yang bertuhid yang mengakui Rabbnya, sehingga ia senantiasa berada dalam ketaatan, dan menjauhi segala apa yang dilarang. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh  Allah dalam Al-Qur’an, dan Rasulullah saw dalam hadist,
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar Rum: 30).
Begitu pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ » . ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ) الآيَةَ
Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan di atas fithroh. Ayahnya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna, apakah kamu melihat ada yang cacat padanya?” Lantas Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- membacakan ayat (yang artinya), “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” (HR. Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658).
Begitu pula dalam hadits qudsi disebutkan,
وَإِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِى مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا
Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan hunafa’ (islam) semuanya, kemudian syetan memalingkan mereka dari agama mereka, dan mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangannya” (HR. Muslim no. 2865)
Dari ayat dan hadist diatas bisa dimengerti bahwa pada hakikatnya jiwa adalah fitrah karena pada hakikatnya manusia terlahir dalam keadaan fitrah (yuladu a’la fitrah). Adapun terjadinya fujur (buruk) dan taqwa (baik) nya, tergantung pendidikannya.  Ia menjadi baik karena ada usaha untuk memperbaikinya, dan ia menjadi buruk karena ada usaha yang  mengotorinya, maka oleh karena itu diperlukan latihan (riyadhah) untuk selalu menjadikannya baik. 
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Demi jiwa dan penyempurnaannya, maka Ia mengilhaminya dengan keburukan (fujur) dan kebaikan (taqwa), sungguh sangat beruntung orang yang membersihkannya, dan sangat rugi orang yang mengotorinya. (QS. Al-Syams : 7-10)
قد أفلح من زكّى نفسه بطاعة الله وصالح الأعمال ، وأصلحها وطهرها من الذنوب.
Sungguh sangat beruntung orang yang mensucikan  jiwanya, dengan ketaatan kepad Allah dan beramal shaleh, serta memperbaikinya dan membersihkannya dari segala dosa.[22]
b.      Ciri-ciri  nafs muthmainnah
Jiwa ini,  memiliki tiga ciri  pokok yaitu  pertama, tertanam iman yang kuat (المطمئنة بالإيمان ), kedua, selalu ridha terhadap qadha qadar Allah swt (الراضية بقضاء الله  ),dan ketiga, yakin akan apa yang telah di janjikan oleh Allah ( الموقنة بما وعد الله  ).
Tiga kriteria jiwa  muthmainnah tersebut, sebagaimana dijelaskan  oleh Al-Thabrani dalam mu’jam Al-Kabir, bahwa jiwa muthmainnah akan senantiasa beriman pada hari akhir, dimana setiap hamba akan berjumpa dengan Rabb semesta alam (تُؤْمِنُ بِلِقَائِكَ), jiwa muthmainnah  juga akan selalu dihiasi dengan sifat ridha yang mengalir kedalam dirinya, sehingga dirinya mampu lapang dalam menerima ketetapan Allah, baik berupa musibah maupun ganjaran (تَرْضَى بِقَضَائِكَ), demikian pula jiwa muthmainnah akan tetap qana’ah atas pemberian Allah, baik yang sedikit maupun yang banyak (تَقْنَعُ بِعَطَائِكَ).[23]
Dalam  hadist yang diriwayatkan oleh Abi Umamah, Nabi Saw menjelaskan  kepada kita tiga ciri nafs muthmainnah, yaitu :
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ لِرَجُلٍ : قُلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ نَفْسًا بِكَ مُطْمَئِنَّةً , تُؤْمِنُ بِلِقَائِكَ ، وَتَرْضَى بِقَضَائِكَ ، وَتَقْنَعُ بِعَطَائِك.
Bahwasanya Nabi saw berkata kepada seorang sahabat : katakan “ Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadamu jiwa yang tenang, yang beriman dengan hari pertemuan denganmu, ridha terhadap ketetapanmu, dan qana’ah terhadap pemberianmu”.[24]
Dari hadist tersebut, Rasulallah Saw menegaskan, bahwa ciri utama nafs muthmainnah ada tiga ciri pokok, yaitu  (1) jiwa yang beriman akan pertemuan dengan Allah, (2) ridha terhadap takdir, dan (3) qana’ah terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
Perincian ciri-ciri nafs muthmainnah  tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Jiwa yang beriman akan pertemuan dengan Allah
الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ الله أَلَا بِذِكْرِ الله تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah -lah hati menjadi tenteram. (QS. Al-Ra’du: 28).
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Dan mintalah pertolongan ( kepada ) Allah dengan sabar dan sholat.Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ , ( yaitu ) orang-orang yang menyakini , bahwa mereka akan menemui Robb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. ( QS. Al Baqarah : 45 -46 )
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS.Al-Anfal : 2):
b.      Jiwa yang ridha terhadap takdir
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Rasulullah Saw. bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Swt. daripada orang mukmin yang lemah. Pada masing-masing memang terdapat kebaikan. Capailah dengan sungguh-sungguh apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan, ‘Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu.’ Tetapi katakanlah, ‘lni sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya.’ Karena sesungguhnya ungkapan kata 'law' (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan setan.’” (HR. Muslim, Ibnu Majah dan Imam Ahmad)
عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له
 Perkara orang mukmin mengangumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mukmin. Bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya. (HR.Muslim, no.2999)
...وَأَسْأَلُكَ نَعِيْمًا لاَيَنْفَدُ وَقُرَّةَ عَيْنٍ لاَتَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بِالْقَضَاءِ
"…dan aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak pernah pudar, kesejukan mata yang tidak pernah terputus, dan aku memohon kepada-Mu keridhaan terhadap qadha`."( HR.Nasa`i,no. 1238)
c.       Jiwa yang qana’ah
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung orang yang beragama Islam, diberi rizqi secara cukup, dan Allah memberikannya sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah I kepadanya.”(Muslim, no. 1054)
مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِى سِرْبِهِ, مُعَافًى فِى بَدَنِهِ, عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ, فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa yang  di pagi hari merasa aman dalam hidupnya, sehat badannya, dan mempunyai makanan di harinya, maka seolah-olah telah diberikan dunia kepadanya.” (HR.Tirmidzi,no. 1913/2463)
ليْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرْضِ وَلكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
"Kaya yang sebenarnya bukanlah kaya harta benda, akan tetapi kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa." (HR.Bukhari,no. 6446)
وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ
"Dan jadilah engkau orang yang bersifat qana'ah, niscaya engkau menjadi manusia paling bersyukur." (HR. Buhari, no. 4580)


[1] - Ibn A’syur, Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Dar Al-Sahnun, Vol.14, hlm.5
[2] - Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Beirut : Dar Al-Fikr, Vol.9, hlm.183
[3] - At-Thabari, Tafsir Al-Thabari, Dar Al-Ma’arif, Vol.16, hlm.53
[4] - As-Syaukani, Fath Al-Qadir, Dar Ma’rifah, 2004, hlm.701
[5] - Ibid, hlm. 592
[6] -  Kemudian Iman Nawawi berargumentasi  dengan hadist yang diriwayatkan An-Nu'man bin Basyir bahwa  Rasulullah saw. Bersabda :
إن الحلال بين وإن الحرام بين وبينهما مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس فمن اتقى الشبهات استبرأ لدينه وعرضه ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله محارمه ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب.

Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati. (HR. Muslim, no.1599) lihat ( Yahya Ibn Syaraf Abu Zakaria Nawawi, Sarh Shahih Muslim, tt. Dar Al-Khair, 1996,  hlm. 207 )
[7] - Yahya Ibn Syaraf Abu Zakaria Nawawi, Sarh Shahih Muslim, tt. Dar Al-Khair, 1996,  hlm.209
[8] - Ibn Taimiyah, Majmu Fatawa, beirut : Dar Arabiyah, 1398 H, Vol. 10,hlm.632
[9] - Ibid, hlm.635
[10] - Ibn A’syur, Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Dar Al-Sahnun, Vol.30, hlm.339
[11] - Ibn Qayyim, Al-Ruh, Beirut : Dar Al-Fikr, 1992, hlm.220-221
[12] - Ibn A’syur, Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Dar Al-Sahnun, Vol.30, hlm.339
[13] - Ibn A’syur, Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Dar Al-Sahnun, Vol.30, hlm.339
[14] - Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Dar Al-Taibah, 2002, Vol.8, hlm. 276
[15] - Ibn A’syur, Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Dar Al-Sahnun, Vol.25, hlm.341
[16] - Abdul Razaq al-Kalsyani, Mu’jam Isthilahat al-syufiyah, Kairo : Dar al-I’nad, 1992, hlm.116
[17] - Ibn A’syur, Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Dar Al-Sahnun, Vol.25, hlm.341
[18] - Ibid
[19] - Ibid
[20] - Ibn Jauzi, Zad Al-Masir,Vol.IX,  hlm. 123
[21] - Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Vol.4, hlm.510
[22] -  Ibn Jauzi, Zad Al-Masir fii Ilm Tafsir,  Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1994, vol.VIII, hlm. 271
[23] - HR. Al-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 7365
[24] - HR. Thabrani, Al-kabir, Vol.VIII, hlm.99