Selasa, 27 Desember 2011

DR. AHMAD ALIM : Berkat Nadzar Sang Ibu

Profil ini dimuat di Harian Umum REPUBLIKA 15 Desember 2011
oleh : Irfan Habibie, ST, santri PPMS Ulil Albab; alumnus Teknik Kimia ITB

Tanggal 10 Desember 2011, bisa dikatakan hari yang sangat istimewa bagi Dr. Ahmad Alim. Anak kampung ini berhasil lulus mempertahankan disertasi doktomya dan menjadi seorang doktor termuda serta tercepat di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor dengan predikat cum laude . Salah satu pengujinya yaitu Prof DrAhmad Tafsir, pakar pendidikan dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung memuji Disertasi dan keilmuannya. "UIKA kini memiliki pakar tentang Ibn Jauzi," kata Prof Ahmad Tafsir.
Pada sidang terbuka tersebut, Ahmad Alim mempertahankan Disertasinya yang berjudul "Pendidikan Jiwa Ibn Jauzi dan Relevansinya terhadap Pendidikan Spiritual Manusia Modern". Ia menjawab semua pertanyaan para penguji dengan tangkas dan lancar. Tim penguji disertasi terdiri atas Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MS, Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Prof. Dr. H. Didin Saifudin Bukhari,MA, Dr. H. Adian Husaini,Msi, dan Dr.H.Ibdalsyah,MA.
Melalui disertasi ini, Dr. Alim menawarkan solusi Pendidikan Jiwa berdasarkan konsep yang disusun oleh seorang ulama besar bernama Ibn Jauzi. Memang, untuk menyelesaikan disertasinya, Alim harus bekerja keras. Dia melakukan penelitian di berbagai perpustakaan, termasuk di Universitas Islam Madinah dan Universitas Ummul Qura Mekkah. "Saya sudah mengecek, belum ada yang menulis masalah ini," papar Alim.
Dr Ahmad Alim, sehari-hari lebih akrab dipanggil Ustadz Alim. Maklum, sembari menyelesaikan program doktoralnya, ia juga dipercaya oleh Prof Dr Didin Hafidhuddin menjadi pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa dan Sarjana (PPMS) Ulil Albaab Bogor - sebuah pesantren yang didirikan oleh Mohammad Natsir, tahun 1987.
Ahmad Ahm selama ini sudah dikenal "haus ilmu". Sejarah pendidikannya tidak terlepas dari nadzar sang ibunya sendiri, yang merupakan seorang perempuan yang buta huruf. Sang Ibu adalah seorang anak yatim piatu sejak kecil. Kakak-kakaknya diambil dan diasuh orang, sedang ia sendiri tidak. Perempuan itu hidup terlantar dalam keadaan miskin. Karena tidak ada biaya, ia keluar sekolah ketika kelas dua SD. Semenjak itu, ia mencari uang sendiri dengan berjualan daun pisang serta ikut menanam padi di sawah.
Ayah Alim pun bukan orang yang berpendidikan. Sama seperti ibunya yang tidak lulus sekolah dasar. Hal inilah yang -menurut Alim - kadang membuatnya heran, mengapa ia diberi nama Ahmad Alim yang artinya "pujian kepada Allah hamba yang berilmu". Padahal kedua orang tuanya itu tidak bisa bahasa Arab. Ketika ditanyakan tentang hal itu, sang ayah berkata, " nama itu pemberian dari seorang Kyai yang merespon nadzar Ibumu".

Diwakafkan Sang Ibu

Ahmad Alim lahir di Rembang, 28 Februari 1982. Saat kecil, Alim sering sakit-sakitan. Bahkan, kabarnya, ia baru bisa berjalan setelah 21 bulan. Padahal bayi normal biasanya sudah bisa berjalan umur 9-10 bulan. Ibu Alim sangat sedih. Saat itulah Sang Ibu berdoa, "Ya Allah, Jika anak saya ini tetap hidup dan bisa berjalan, anak ini saya wakafkan untuk sekolah bahkan setinggi-tingginya yang tidak ada di kampung ini."
Alasan yang mendorong mengapa sang ibu sangat perhatian pada pendidikan adalah kakek Alim yang merupakan pejuang dan guru ngaji di zaman Belanda. Jadi sang ibu sempat protes mengapa anak-anak seorang guru ngaji tapi sekolahnya tidak ada yang tuntas. Ini memang wajar karena kakek dan neneknya wafat sejak ibu Ahmad Alim masih bayi. Tetapi justru karena itu, sang ibu berjuang agar anak-anaknya kelak bisa sekolah setinggi-tingginya.
Itulah yang memotivasi Ahmad Alim untuk terus bersekolah. Bahkan sejak kecil ia terbiasa sekolah double. Saat bersekolah di Sekolah Dasar di pagi hari, sore hari dia bersekolah di madrasah ibtidaiyah. Begitu juga saat bersekolah di SMP, ia juga merangkap bersekolah di Madrasah Tsanawiyah di sebuah pesantren. Begitu pula ketika di ia bersekolah di tingkat SMA, ia juga merangkap menimba ilmu di Madrasah Aliyah di sebuah Pesantren di Pati, Jawa Tengah. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan tingkat DI, D2, D3, Sl, S2 dan sampai S3. Alim menyelesaikan jenjang S-l di LIPIA Jakarta dan S-2 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Menurut Ahmad Alim, ia mempunyai kebiasaan, ketika dulu masih bersekolah dan menghadapi ujian, ia meminta doa dari sang ibu. Keesokannya Sang Ibu pun langsung berpuasa dan shalat tahajud ketika malam untuk mendoakan kesuksesan anaknya. Walau pun sang ibu tidak memodali materi, tetapi selalu memberikan doa. Ketika berangkat sekolah sang ibu selalu berwasiat, "Ibu tidak bisa memberi kamu biaya, tidak bisa memberi biaya kamu makan. Ibu hanya membekali kamu dengan basmalah. Dengan basmalah kamu bisa makan dan kamu bisa hidup dan membiayai kuliah."
Dengan bekal tersebut ternyata Ahmad Alim tidak pernah kelaparan dan tidak merasa kekurangan. Bahkan untuk biaya sekolah pun, Ahmad Alim selalu mendapat beasiswa. "Kalau pun tidak mendapat beasiswa ada saja rizki dan kemudahan dari jalan yang tidak diperkirakan sebelumnya/ ungkapnya.
Ada kisah, seorang pegawai di sebuah perusahaan yang nge-fans terhadap Ahmad Alim. Orang tersebut mengaku pengikut fanatik satu organisasi Islam. Ia mengaku sedih, karena yang aktif di masjidnya kebanyakan pengikut organisasi lain. Pegawai itu kemudian merasa bersyukurkarena kehadiran Alim mampu merangkul berbagai kelompok. Di tengah penulisan tesis S-2, tiba-tiba si pegawai melunasi seluruh biaya pendidikan Ahmad Alim.
Begitu pula saat Ahmad Alim hendak berangkat ke Madinah untuk penelitian disertasi. Ada seorang pejabat sebuah perusahaan Negara yang sadar bahwa hidup mencari uang terus ternyata tidak pernah mengeyangkan hatinya. Akhirnya ia mengaji dan kemudian merasakan ketenangan. Ia belajar pada bahasa Arab pada Ahmad Alim mulai "dari nol" sampai bisa menerjemahkan Alquran 30 juz. Saat Ahmad Alim berangkat ke Madinah untuk melakukan penelitian, orang itu mengusahakan semua biayanya. "Rizki itu dari Allah," kata Ahmad Alim, yang kini sehari-hari menjadi Imam di Masjid al-Hijri n, Universitas Ibn Khaldun Bogor. (Diwawancara dan ditulis oleh Irfan Habibie, ST, santri PPMS Ulil Albab; alumnus Teknik Kimia ITB)