Kamis, 28 Juli 2011

Memimpin adalah jalan yang menderita

Memimpin adalah jalan yang menderita

Oleh : DR.Ir.H.Budi Handrianto,M.Pd.I



Atasan saya di perusahaan yang lama pernah mengatakan, “Mungkin kalau
dijalani benar-benar, banyak orang yang tidak mau jadi manajer. Sebab,
menjadi pemimpin itu tanggung jawabnya berat.” Ya, kebanyakan orang
ingin mendapatkan jabatan karena ada fasilitas yang diberikan kepada
pemegang jabatan itu. Sementara soal tanggung jawab, belum tentu semua
mau dan bisa mengerjakan. Itulah bedanya pemimpin dan juragan.

Menjadi pemimpin yang sesungguhnya itu bukan jalan yang mudah.
Memimpin adalah jalan menderita. Leiden is lijden. Itulah kata-kata
yang dilontarkan oleh Mr. Kasman Singodimedjo, salah seorang founding
father negara kita. Dalam sebuah diskusi dengan H. Agus Salim dan M.
Roem kira-kira tahun 1925, Kasman mengatakan, “Een leidersweg is
lijdenweg. Leiden is lijden.” Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah.
Memimpin adalah jalan yang menderita.

Menjadi pemimpin, beda dengan menjadi juragan. Seorang juragan
biasanya tukang perintah, selalu menggunakan kekuasaan, menciptakan
rasa takut, selalu menyatakan ‘aku’, menunjuk ‘siapa’ yang salah,
hanya mengetahui hasil, dan mengharap hormat. Sedangkan pemimpin
sejati memberikan inspirasi bagi anak buahnya, bersandar pada niat
baik, menciptakan suasana kondusif, selalu menyatakan ‘kita’,
memperlihatkan ‘apa’ yang salah, mengetahui cara menghasilkan sesuatu,
dan menumbuhkan rasa hormat.

Leaders make things happen. Begitu kata Noel M. Thichy dalam bukunya
The Leadership Engine. Apa yang ditargetkan bersama, bisa menjadi
kenyataan di tangannya. Sesuatu yang sebelumnya dirasa tidak mungkin,
pemimpin mencoba menyakinkan dan menggerakkan bawahannya sehingga
berhasil. Para pemimpin ini juga membentuk budaya, mereka memakai
manajemen sebagai sistem. Para pemimpin adalah kaum revolusioner.
Mereka menghadapi fakta di lapangan dan menyikapinya dengan respon
yang tepat. Para pemimpin juga memberi semangat anggotanya untuk
mengerjakan hal yang sama.

Ketika mencanangkan tujuan, dia ‘mengawalnya’ sampai benar-benar
terlaksana. Tidak ada service over dalam kamusnya. Tidak ada
salah-salahan. Ia tahu betul bahwa salah itu biasa, tapi menyalahkan
orang lain jangan dibiasakan.

Sebaliknya, juragan hanya bisa menyuruh, tidak merasa punya tanggung
jawab, hanya akan melahirkan tim yang selalu salah menyalahkan.
Seperti halnya seorang juragan yang punya empat orang anak buah,
bernama EVERYBODY, SOMEBODY, ANYBODY dan NOBODY. Ada pekerjaan penting
harus diselesaikan dan EVERYBODY diminta melakukannya. EVERYBODY yakin
bahwa SOMEBODY akan melakukannya. ANYBODY seharusnya telah
melakukannya, tetapi NOBODY telah melakukannya. SOMEBODY menjadi marah
karenanya, karena itu adalah tugas EVERYBODY. EVERYBODY menyangka
bahwa ANYBODY sudah melakukannya tetapi NOBODY menyadari bahwa
EVERYBODY tidak mau melakukannya. Akhirnya EVERYBODY menyalahkan
SOMEBODY ketika NOBODY melakukan apa yang bisa dilakukan ANYBODY.

Seorang pemimpin, harus banyak bicara dan banyak bekerja (tidak bisa
hanya salah satu saja). Talk more, do more. Sebab, seorang pemimpin
harus mengajari sekaligus memberi contoh. Dalam buku Tichy dikatakan,
pemimpin besar adalah seorang guru yang baik (great leaders are great
teachers). Mereka (para pemimpin) meraih tujuan yang ingin dicapai
melalui orang-orang yang diajarnya. Mereka mengajar orang-orang untuk
menjadi pemimpin, bukan menjadi pengikut (leaders create leaders).
Mereka menggunakan setiap kesempatan untuk belajar dan mengajar.
Dengan belajar dan mengajar, akhirnya organisasi mempunyai nilai
(values) dan ide-ide yang jelas, mereka pun mengartikulasikan
pelajaran-pelajaran yang didapatnya kepada orang lain.

Kepemimpinan dimulai dari Ide. Organisasi para juara dibangun di atas
ide-ide yang jelas, ide-ide “quantum” dan ide-ide “incremental”. Lalu
para pemimpin memastikan bahwa ide-ide tersebut cocok dan sesuai di
tempatnya. Mereka menilai setiap perubahan fakta dan mengganti idenya
jika perlu (apabila tidak sesuai dengan fakta). Biasanya, ide-ide itu
mengarah pada penambahan nilai secara signifikan. Ide adalah kerangka
kerja untuk bergerak bagi semua level. Ide memberikan jawaban bagi
setiap orang yang mengambil keputusan. Ide-ide memberikan motivasi
kepada orang-orang untuk mencapai tujuan bersama.

Aspek selanjutnya dari kepemimpinan adalah value (nilai). Organisasi
yang baik mempunyai nilai-nilai yang kuat di dalamnya. Nilai-nilai
tersebut mempengaruhi perilaku setiap orang sehingga mensupport tujuan
utama organisasi. Seorang pemimpin hidup dengan nilai-nilai tersebut,
baik secara pribadi maupun di muka umum. Kepribadian mereka tak
terpisahkan dengan nilai-nilai tersebut sehingga ketika berbuat,
tindakannya mempengaruhi nilai-nilai orang lain. Nilai-nilai inilah
yang menjadi budaya bagi organisasi dan memberikan naluri untuk
menggali aksi-aksi yang cerdas.

Makna bahwa pemimpin membuat sesuatu itu terjadi adalah mereka menjadi
energi bagi setiap orang. Mereka, para pemimpin adalah orang yang
berenergi tinggi (high-energy people). Mereka sangat fokus dan
menentukan, mereka menyukai tantangan dan menikmati pekerjaan mereka.
Selain berenergi, pemimpin juga menciptakan energi bagi orang lain.
Mereka memotivasi dengan sangat antusias dan penuh aksi. Target-target
yang mereka ciptakan selalu berkembang (stretch goals) sehingga
memberikan inspirasi untuk usaha mereka. Para pemimpin mengubah energi
negatif menjadi positif, jika mereka tidak punya masalah untuk
diselesaikan, mereka bahkan ”menciptakannya”.
Berikutnya, masih menurut Tichy, adalah Edge, yaitu keberanian untuk
melihat realitas dan bekerja di atas realitas itu. Para pemimpin tidak
pernah mengambil jalan keluar yang biasa-biasa saja, mereka menghadapi
fakta yang keras dan tekanan yang kasar. Inilah makna leiden is
lijden. Resiko dan kegagalan tidak menggoyahkan mereka. Para pemimpin
mengejar kebenaran dan mampu menjelaskannya pada orang lain.

Seorang pemimpin menuliskan kisah kepemimpinannya. Kisah kepemimpinan
yang ditulis laksana sebuah drama. Kisah tentang para juara yang
menciptakan skenario untuk sukses. Mereka akan menggambarkan bagaimana
menang di masa depan. Kisah kepemimpinan ini akan menjadi sesuatu yang
dinamis dan sangat memotivasi.
Pada akhirnya, kepemimpinan adalah bagaimana membangun masa depan
(leadership is about building for the future). Apa yang dikatakan
sukses bagi seorang pemimpin apabila ia bisa mengembangkan pemimpin
yang lain. Dan terakhir, pemimpin besar (biasanya dalam ranah politik)
adalah mereka yang tahu kapan waktu yang tepat untuk mundur (the best
leaders know when it’s time to leave).

Coba kita bayangkan, betapa berat dan “menderitanya” seorang pemimpin.
Jika sudah demikian, tidak ada lagi waktu bagi pemimpin untuk mencari
popularitas, baik di hadapan atasan maupun bawahan. Popularitas akan
datang dengan sendirinya jika kita melakukan semua fungsi-fungsi
kepemimpinan. Pemimpin yang hanya mencari popularitas adalah pemimpin
kelas juragan. Seperti cerita berikut, sekaligus menutup tulisan ini.

Senin pagi yang cerah, seorang manajer yang baru direkrut dari luar
memasuki hari kerja pertamanya. Pagi itu ia masuk ruang kerjanya dan
mulai berbenah. Tiba-tiba ia mendengar suara sekelompok orang dari
arah pintu. Untuk membuat dirinya penting di hadapan orang-orang yang
bakal melintas di kamarnya itu, manajer baru tersebut langsung
menyambar gagang telepon dan pura-pura berbicara, ”Terima kasih pak,”
katanya memulai. ”Terima kasih atas kepercayaan yang Bapak berikan
kepada saya. Sebagai pimpinan tentu Bapak akan membuat keputusan
penting. Tetapi saya harap Bapak jangan dulu bertindak sebelum saya
berikan pendapat. Ya...ya... Kira-kira setengah jam saya akan ke ruang
Bapak.” Pak manajer tersebut meletakkan gagang telepon dan dengan
bangga menatap kelompok orang itu, yang dengan wajah terheran-heran
telah berdiri di depan pintunya. ”Well, apa yang bisa saya lakukan
untuk saudara-saudara ?” Seorang di antara mereka menjawab, ”Kami mau
memperbaiki telepon Bapak, sudah seminggu telepon itu tidak bisa
dipakai.”