Selasa, 28 September 2010

ESQ DAN PLURALISME AGAMA

A. PENDAHULUAN

Persoalan pokok kehidupan masyarakat di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya pada umumnya adalah dominasi paham sekularisme yang didorong oleh kehidupan yang serba materialistis. Di banyak negara maju, banyak orang yang terkategori sukses dalam kariernya namun ia merasa tidak bahagia. Setelah sukses ternyata ia hanya menjadi budak waktu yang bekerja untuk memenuhi tuntutan para mitra dan kliennya. Keberhasilannya hanya menjadi ”penjara” bagi dirinya. Mereka tidak bahagia dengan kesuksesannya. Umumnya mereka menyadari telah menaiki tangga yang salah justru setelah mencapai puncak tertinggi dari anak tangga kariernya. Pada akhirnya, uang yang berlimpah, harta, pangkat, kedudukan dan penghormatan bukanlah sesuatu yang mereka cari selama ini. Hal ini menjadi suatu penyakit baru yang dinamakan dengan spiritual pathology atau spiritual illness.

Fenomena tersebut melahirkan pelatihan spiritual di kalangan eksekutif dan staf perusahaan ternama baik di dalam maupun di luar negeri. Misalnya saja dalam buku Megatrend 2000 (John Naisbit dan Patricia Aburdene) menyampaikan bahwa telah 67.000 pegawai Pacific Bell di california telah mengikuti pelatihan spiritual ala New Age. Demikian pula pegawai P&G, Ford Co, AT&T, General Motors, GE, Johnson&Johnson, Motorolla dan IBM dan lain-lain. Perkembangan pelatihan spiritual di perusahaan-perusahaan Indonesia baik swasta maupun milik pemerintah juga mengalami fenomena yang sama. Sampai tahun 2008 saja telah lebih dari 600.000 orang eksekutif telah mengikuti pelatihan ESQ. Saat ini ESQ seolah menjadi ikon paradigma baru dalam menjalani kehidupan yang penuh turbulensi bagi para professional dan next generation negeri ini. Target dengan adanya ESQ dapat menjadi panduan surfing di samudera kehidupan, senantiasa online dengan pusat kehidupan hakiki, hidup inline dengan garis orbit kehidupan yang sesungguhnya, dan istiqomah tetap berpusat pada kiblat dan garis edar yang benar saat offline .

Namun masyarakat dikejutkan oleh keluarnya fatwa haram dari mufti Malaysia di wilayah persekutuan yang mecakup Kuala Lumpur, Putrajaya dan Labuan, berdasarkan Warta Kerajaan: Seri Paduka Baginda, Jilid 54, no. 12, tanggal 17 Juni 2010. Beberapa alasan pengharaman tersebut salah satunya dalam poin pertama (i) mendukung paham liberalisme atau menafsirkan nash-nash agama (al-Qur’an dan Sunnah) secara bebas, dan paham Pluralisme agama yaitu paham yang mengajarkan semua agama adalah sama dan benar. Kedua-dua paham ini sesat dan boleh membawa kepada kekufuran. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya konsep ESQ dan apakah dalam konsep tersebut teradapat ide-ide pluralisme agama sebagaimana difatwakan oleh mufti Malaysia di wilayah persekutuan.

B. PELATIHAN ESQ
ESQ memposisikan diri sebagai lembaga pelatihan dan pengembangan Sumber Daya Manusia. Dalam profil ESQ yang dikutip pada situs ESQ dinyatakan bahwa ESQ adalah lembaga training independen di bidang SDM yang menggunakan metode ”ESQ Way 165”. Lembaga ini bukan lembaga dakwah, politik, agama, LSM maupun ormas, namun ESQ seperti oksigen yang tidak berwarna dan netral. Dengan falsafah ini Tim ESQ berharap dapat diterima oleh komunitas manusia universal sesuai dengan konsep God Spot yang juga memberikan anggukan universal pada setiap manusia.

Dalam pengantar buku ESQ Ary Ginanjar menuliskan kata-kata Emha Ainun Nadjib saat konser kenduri cinta di Senayan Jakarta :

Kalau di dalam buku ini ada Rukun Iman dan Rukun Islam,
Bukan berarti ekslusifisme aliran atau agama,
Tapi keinginan untuk menyampaikan kebenaran.
Kalau di dalam buku ini ada Al Qur’an,
Itu bukan untuk golongan
Tapi untuk seluruh umat manusia

Bukan Al Qur’an untuk Islam
Bukan dunia untuk Islam
Tapi Al Qur’an dan Islam untuk dunia


Pelatihan ESQ menjadi suatu pelatihan spiritual yang dikenal banyak menjangkau kalangan eksekutif. Pelatihan ESQ ini diklaim memadukan prinsip asas dalam Islam, yaitu Rukun Iman, Rukun Islam dan Ihsan serta kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengann Islam. Pelatihan ini dianggap[ menjadi fenomena dan harapan baru karena selama ini modul pengembangan sumberdaya manusia, manajemen, kepemimpinan, dan psikologi umumnya menggunakan rujukan Barat yang dikenal sekuler, tetapi ESQ memberikan penawaran alternatif sebuah pelatihan yang berlandaskan nilai-nilai Islam sebagai penyelesaian masalah di tempat kerja, sekolah, universitas dan di dalam institusi keluarga. Menurut mereka, pelatihan yang telah diikuti lebih dari 850 ribu orang ini selama ini menjadi alternatif pengembangan SDM dari yang selama ini menggunakan teori-teori pengembangan SDM dari Barat .

Tujuan pelatihan ESQ ini para peserta disadarkan akan makna kebahagiaan hakiki yang sesuai dengan fitrah manusia, sehingga dalam training ESQ dan sejenisnya tak jarang dijumpai isak tangis terdengar di segenap sudut ruang, dan kemudian puluhan atau bahkan ratusan peserta training itu tenggelam dalam raungan tangis, dalam sembilu kepedihan dan penyesalan atas segenap dosa yang telah mereka perbuat selama ini. Misalnya saja dalam salah satu segmen training ESQ atau training sejenisnya yang mengusung tema tentang spiritualitas dan etos kerja. Ribuan peserta – termasuk para pejabat BUMN dan pemerintah daerah – telah mengikuti training itu, dan ribuan orang itu selalu tenggelam dalam apa yang saya sebut sebagai momen pengakuan dosa massal dalam haru biru penuh tangisan penyesalan.

C. KONSEP ESQ
Dalam bukunya, ESQ menyatakan memadukan rukun iman dan rukun Islam. Konsep ini begitu fenomenal mengingat konsep-konsep manajemen diri dan publik saat konsep ini dicetuskan (sekitar tahun 2000) tengah berkembang pesat teori kperibadian dan pengembangan diri yang berasal dari barat seperti konsep Seven Habits dari Stephen Covey. Publik pun memberikan banyak harapan konsep yang bermuara pada ajaran Islam ini dapat mengimbangi bahkan menggantikan konsep Barat tersebut.

Dalam pengantar buku ESQnya, Ary Ginanjar menuliskan sebagai berikut :

Memang nyata-nyata terbukti bahwa konsep rukun iman dan rukun Islam yang dilahirkan kurang lebih 1400 tahun silam adalah konsep kemenangan pribadi dan kemenangan publik saat ini yang begitu populer di seluruh dunia. Berbagai teori barat tentang konsep kemenganan pribadi dan publik yang ada justru semakin membenarkan konsep rukun Iman dan Rukun Islam. Manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelegensia yang baik (EQ plus IQ) dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau spiritual quotient (SQ). Dan merujuk kepada istilah bi-dimensional tersebut, sebuah upaya penggabungan terhadap ketiga konsep tersebut dilakukan. Lewat sebuah perenungan yang panjang, saya mencoba untuk melakukan sebuah usaha penggabungan dari ketiganya dalam bentuk konsep ESQ (Emotonal Spiritual Quotient) yang dapat memelihara keseimbangan kutub akhirat dan kutub keduniaan. Melalui ESQ akan dibangun suatu prinsip hidup dan karakter berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, sehingga akan tercipta suatu kecerdasan emosi dan spiritual sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas. Pada akhirnya akan terbentuk suatu pemahaman visi, sikap terbuka, integritas, konsisten dan kreatif yang didasari atas kesadaran diri serta sesuai dengan suara hati yang terdalam yang pada akhirnya akan menjadikan Islam tidak hanya sebatas agama ritual tetapi juga sebagai ”the way of life”.

Konsep utama dari ESQ adalah Zero Mind Process (ZMP) sebagai proses penjernihan emosi sehingga mecapai God Spot atau fitrah , 6 asas atau orbit untuk membangun mental, dan 5 prinsip untuk membangun kekuatan pribadi dan sosial ( personal and social strenght).Konsep tersebut kemudian dipatenkan sebagai ESQ model, sebagaimana gambar di bawah ini :



Menurut Ary Ginanjar, ESQ model adalah sebuah mekanisme sistematis untuk me’manaje” ketiga potensi manusia, yaitu body, mind dan soul,dalam satu kesatuan yang integral. Gambar ESQ Model menunjukan enam asas yang berfungsi untuk melindungi pusat orbit, dalam hal ini adalah God Spot. Keenam asas ini berfungsi menjaga agar fitrah di pusat tetap utuh terpelihara. Dan karaktakteristik dari keenam asas ini sesuai dengan sifat dasar manusia (human nature), sejalan dengan hati nurani, dan kehendak alam sebagai cerminan dari kehendak Allah yang Maha Kuasa. Keenam asas tersebut menggambarkan rukun iman. Sedangkan lima lingkaran terluar mengorbit pada titik Tuhan (God Spot) yang menggambarkan rukun Islam.

Konsep dasar ESQ diawali dengan God Spot yang berupa anggukan universal. Anggukan universal ini disebut juga dengan suara hati. Semua manusia sama dalam rasa ingin memberi, kasih sayang, ingin maju, mengetahui, ingin bersih, memelihara, menolong, melindungi dan menyukai yang indah. Konsep God Spot ini disebut fitrah atau suara hati yang sama pada setiap manusia. Ary Ginanjar menafsirkan surat Al-Araf ayat 172 tentang adanya perjanjian antara Allah dengan ruh manusia sebagai bukti adanya anggukan universal. Ia mencontohkan dengan adanya persetujuan ketika mendengar atau melihat suatu perbuatan baik seperti menyaksikan film bermutu atau membaca buku bermutu, mendengar percakapan yang berkualitas dan lain-lain.

Ary Ginanjar mempersamakan emosi dengan nafs amarah dan berperan sebagai radar hati . Emosi memiliki dua kondisi kategori yaitu in-line dan offline dari radar orbit. In-line yaitu ketika emosi sesuai dengan hati nurani (God Spot) dan offline ketika tidak sesuai dengan hati nurani. Sedangkan suara hati spiritual adalah nafs mutmainnah. ZMP dapat dicapai melalui penjernihan pikiran manusia sehingga manusia terbebas dari virus dan bakteri belenggu-belenggu negatif yang terbentuk oleh persepsi dan paradigma. Belenggu-belenggu tersebut adalah prasangka negatif, pengaruh prinsip hidup, pengaruh pengalaman, pengaruh kepentingan, pengaruh sudut pandang, pengaruh pembanding, dan pengaruh literatur.

Nilai spiritual menurut Ary Ginanjar adalah ”nilai-nilai yang berlaku dan diterima oleh semua orang, yang sesuai dan bisa diterima dalam skala lokal, nasional dan regional ataupun internasional.” Dijelaskan lebih lanjut bahwa nilai tersebut harus tetap berada pada orbit spiritual yang dapat diterima oleh seluruh penduduk bumi bahkan penduduk langit, yang merupakan nilai puncak atau ”ultimate value”. Nilai ini merupakan prinsip-prinsip yang dapat diterima dalam bahasa bulan, matahari, bintang dan jiwa manusia yang memiliki fitrah tertinggi.
Lalu ia menambahkan,

Yang kita cari adalah nilai kebenaran tertinggi, nilai keadilan tertinggi, nilai cinta dan kasih tertinggi, nilai kesetiaan tertinggi, dan nilai kejujuran tertinggi, yang tidak lagi dibatasi lagi oleh perbedaan manusia. Lalu apakah pusat orbit yang mampu menghasilakan ini semua ?

Manusia menurut konsep ESQ adalah makhluk spiritual murni, yaitu makhluk yang ditiupkan ruh-ruh spiritual ke dalam tubuh manusia. Sifat-sifat tersebut kemudian dipadukan ke dalam materi konkret berupa tubuh atau jasad manusia yang terbuat dari tanah. Pendapat ini dibuktikan dengan adanya penemuan ilmiah SQ (Spiritual Quotient) di California University oleh V.S Ramachandran pada tahun 1997, lalu God Spot oleh Michael Persinger, Wolf Singer, dan Rudolfo Llinnas tentang osilasi saraf spiritual. Para ahli tersebut diatas berhasil membuktikan bahwa manusia memiliki makna tertinggi kehidupan manusia (The Ultimate Meaning).

Ary Ginanjar menegaskan bahwa penemuan God Spot pada manusia lebih meyakinkan pendapat ini, karena akan senantiasa mencari Tuhan-nya, yaitu melalui sifat-sifat-Nya, yang selalu diidam-idamkan manusia dan sekaligus merupakan bukti kepekasaan Allah, penghambaan serta penghambaan manusia. Ia juga menambahkan bahwa hal ini yang dinamakan proto kesadaran yang terdeteksi pada osilasi 40 Hz oleh Pare dan Llinas. Dengan bermodalkan Spritual Quotient (SQ), manusia mengabdi kepada Allah untuk mengelola bumi sebgai khalifah dan misi utamanya semata-mata mencari keridhaan Allah, target utamanya adalah menegakan keadilan, perdamaian dan kemakmuran. Langkah nyatanya berupa spiritualisasi di segala bidang. Inilah yang menurutnya The Ultimate Meaning sesungguhnya, yang harus dicari oleh Danah Zohar, dan yang harus dicari oleh Abraham Maslow, yaitu aktualisasi diri melalui Ihsan.

Ary Ginanjar juga menciptakan 33 spiritual capital atau collective unconscious yang menciptakan nilai-nilai (value) serta dorongan dari dalam (drive). Sifat-sifat ini menurutnya termasuk kategori ihsan, atau menuju sifat-sifat Allah (taqarub), yang terletak pada spiritual center (God Spot). Nilai-nilai tersebut diikhtisarkan dari 99 Asmaul Husna yang merupakan proto kesadaran yang terdeteksi pada osilasi Pare-Llinas, yang dianggap sebagai arketipe oleh Zohar, yang diduga sebagai super-ego oleh Freud, self-actualization oleh Maslow, unconscious-mind oleh Carl Jung, dan dinamakan ”makna hidup” oleh Frankl. Ia lalu menamakan nilai-nilai ini sebagai Asmaul Husna Value Sistem (AHVS) yang menghasilkan ultimate value dan ultimate drive.

D. KONSEP PLURALISME AGAMA

Plularisme agama (religious pluralism) adalah sebuah paham (isme) tentang bagaimanana melihat keberagaman dalam agama-agama yang begitu banyak dan beragam. Gagasan ini mulanya tidak dikenal dalam teologi resmi Gereja, namun pihak Kristen kemudian menggunakan paham ini untuk kepentingan mereka dalam penyebaran globalisasi dan westerenisasi. Dalam konsep pluralime agama terdapat pengakuan terhadap eksistensi the one Universal God (uhan Universal God), atau adanya kesamaan tuhan dalam level esoteris sebagaimana teori trancendent unity of Religions yang digagas oleh Frithjof Schuon.

John Hick sebagai salah satu tokoh utama pluralisme agama, melontarkan gagasan pluralismenya dengan the transformation from religion centered to God-centredness atau transformasi dari pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan. Sehingga dua konsep kunci dalam pluralisme adalah konsep ”agama” dan konsep ”tuhan”. Hick menggantikan terminologi Tuhan menjadi The Real yang kemudian dibekan menjadi the ”the Real an sich” atau the noumenal Real ( esensi), dan ”the phenomenal Real” yaitu Zat yang nyata sebagaimana yang tampak oleh manusia melalui kacamata-kacamata tradisi dan agama-agama yang berbeda. The phenomenal Real menyebabkan manusia memiliki tuhan yang dinamakan secara berbeda sesuai kacamata traditisional dan kultural manusia seperti Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wisnu, Siwa. Menurut hipotesa Hick seharusnya yang menjadi titik pusat dan pangkal keselamatan/pembebasan/ pencerahan satu-satunya adalah the noumenal Real, yang merupakan realitas ketuhanan yang absolut, tunggal dan tak terbatas oleh segala macam ungkapan, konsepsi, dan pemahaman antau komprehensi manusia.

Hick mencoba menjustifikasi tesisnya dengan menggunakan teori revolusi Copernican. Menurut Hick, dikutip dari Anis Malik Toha :

Kini revolusi Copernican dalam astronomi terjadi karena sebuah transformasi dalam cara manusia memahami alam dan posisi mereka di dalamnya. Transformasi ini melibatkan suatu pergeseran dari dogma bahwa bumi adalah pusat dari alam yang berputar mengelilinginya menuju sebuah pemahaman bahwa mataharilah sesungguhnya yang berada di pusat, dan semua planet, termasuk bumi kita, berak mengelilinginya. Dan Revolusi Copernican yang diperlukan dalam teologi melibatkan sebuat tranformasi yang sama radikalnya berkenaan dengan alam agama-agama dan tempat atau posisi agama kita sendiri di dalamnya. Ia melibatkan dogma bahwa Kristen berada di pusat menuju pemahaman bahwa Tuhanlah yang berada di puat, dan semua agama-agama manusia, termasuk agama kita berputar di sekelilingnya.

Hick memprediksi bahwa secara gradual akan terjadi converging course (konvergensi cara-cara beragama) yaitu adanya agama lintas kultural dan inklusif yang dikemas dalam ide global theology. Agama baru ini menurutnya akan banyak menolong manusia modern dan dapat membangun kehidupan bersama yang toleran, penuh kedamaian, kesetaraan.




E. PEMBAHASAN

Sebagaimana telah dijelaskans sebelumnya bahwa Inti pokok konsep pluralisme adalah pertama; konsep tentang ”agama” yang dianggap sebagai himpunan tradisi kultural, kedua ; konsep ”penyatuan Tuhan”. Konsep God-centeredness ini mengakui adanya ”the one universal God pada level esoteris atau transenden yang menjadi landasan gagasan penyatuan agama-agama (the transcendent unity of religion). Jika melakukan perbandingan secara langsung dengan mencari definisi tentang ”agama’ dan ”tuhan” dalam buku ESQ, maka tidak akan ditemukan pembahasan mengenai masalah tersebut.

Namun dalam buku ESQ banyak digagas mengenai konsep nilai universal yang merupakan ultimate value yang disebut suara hati yang berasal dari suara Tuhan dan merupakan pusat orbit manusia. Justifikasi ESQ diperoleh dari teori God Spot atau titik tuhan yang ditemukan oleh V.S. Ramachandran dan dikembangkan oleh Danah Zohar dan lain-lain. Dalam membangun teori pluralisme agama, Hick menggunakan teori revolusi Copernican sebagai hujjah ilmiah penguat ide-idenya dengan Tuhan sebagai pusat orbit dan agama-agama sebagai planet yang mengelilinginya. Apakah suatu kebetulah jika ESQ juga menggunakan pergerakan planet mengelilingi matahari sebagai model konseptualnya ?

Dalam buku ESQ juga ditemukan pernyataan bahwa suara hati merupakan sumber kebenaran. Suara hati muncul karena keadaan zero (0) atau berserah diri pada Allah (E), sehingga tidak menutupi potensi spiritual (S) yang terletak pada God Spot, pada akhirnya kecerdasan spiritual (SQ) bekerja normal (+). Lalu dijelaskan bahwa pusat keseimbangan manusia ada ketika berjalan sesuai orbit yang berpusat pada God Spot. God spot itu sumber nilai-nilai spiritual yang berlaku universal tanpa memandang perbedaan manusia dan sesuai dengan hukum alam. Untuk mencapai nilai-nilai fitrah atau God spot harus melalu proses berpikir zero (ZMP) artinya berserah diri pada Allah.

Pertanyaannya, jika nilai-nilai tersebut universal, apakah nilai-nilai tersebut berasal dari tuhan universal ? pada tuhan siapa kepasrahan harus diberikan pada kondisi Zero ? apakah orang yang memiliki kepercayaan berbeda-beda juga dapat mencapai kondisi zero ? karena Allah adalah Nama Tuhan yang hanya terdapat dalam ajaran Islam. Konsep Tuhan dalam Barat sangat rancu begitu juga dalam agama Hindu, Budha, Konguchu dan lain-lain. Menurut al-Attas, Islam bukanlah kata benda verbal yang menunjuk pada penyerahan diri, Islam adalah nama sebuah agama yang khusus yang mendeskripsikan penyerahan diri yang benar, yang juga merupakan definisi agama itu; yaitu penyerahan diri pada Tuhan. Cara dan bentuk penyerahan diri dalam suatu agama secara definitif dipengaruhi oleh konsepsi mengenai Tuhan dalam agama itu. Sehingga konsepsi Tuhan dalam agama menjadi sangat krusial agar dapat mengartikulasikan bentuk penyerahan diri yang sesungguhnya. Konsepsi ini menurut al-Attas harus mempu mendeskripsikan sifat Tuhan yang benar, yang hanya bisa diperoleh dari wahyu bukan dari tradisi budaya atau etnis tertentu atau percapmuran antara etnis dan tradidsi budaya dengan kitab suci, tidak suga dari spekulasi filosofis berdasarkan penemuan sains.

Jawaban terhadap isu-isu yang ditanyakan dalam dokumen yang ditulis oleh Ary Ginanjar dan disetujui oleh Panel Syariah ESQ Malaysia pada tanggal 25 Februari 2010, disebutkan bahwa suara hati yang dimaksud oleh ESQ adalah suara hati nurani hak dan kebenaran yang berpadukan dengan al-Qur’an dan Hadist. Mengenai teori God Spot sebagai rujukan pihak ESQ menjawab bahwa ESQ hanya membentangkan penemuan sains semata dan bahwa traning ESQ telah dinyatakan sesuai dengan ajaran Islam, hanya bermaksud fitrah yang berpadukan al-Qur’an dan Hadist atau sunnah nabi.

ESQ merupakan bukti bahwa Islamisasi tidak bisa dilakukan hanya dengan proses justifikasi. Konsep ESQ dirumuskan dengan melakukan justifikasi terhadap pengalaman dan temuan-temuan sains modern. Islamisasi tidak bisa dilakukan tanpa melakukan dewesternisasi atau memisahkan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Dengan tetap mengedepankan prasangka positif, hal ini terjadi pada umumnya disebabkan ketidakpahaman terhadap perbedaan mendasar antara epistemologi Barat dan Islam. Sebuah realita yang memprihatikan karena saat ini umat Islam sedang mengalami apa yang disebut sebagai krisis epistemologi.

Penulis sependapat dengan pemikiran al-Attas bahwa sains modern harus didalami tetapi asas-asas filosofisnya harus disusun kembali sesuai kerangka metafisika Islam. Adalah benar jika agama (Islam) sejalan dengan sains, namun tidak berarti Islam sejalan dengan metodologi ilmiah dan filsafat sains modern. Tidak ada ilmu yang bebas nilai sehingga menurut al-Atas kita harus meneliti dan mengkaji dengan cerdas dan penilaian yang melekat pada, atau bersatu dengan, pelbagai asumsi dan interpretasi ilmu modern. Kita juga harus melakukan kritisi terhadap setiap teori ilmu atau filsafat yang baru dengan memahami terlebih dahulu implikasinya dan menguji validitas nilainya yang terkandung di dalam teori tersebut. ESQ dalam hal ini tidak boleh sembrono dalam mengambil penemuan-penemuan sains yang masih spekulatif karena teori SQ masih perlu dikritisi tidak semata-mata dengan memodifikasi konsep tersebut dengan mencuplik ayat dan hadist yang sepertinya sesuai dengan fenomena sains tersebut.

Sebagai contoh, ketika ESQ menjustifikasi bahwa penemuan God Spot sesuai dengan ajaran Islam, ESQ berpegang dari hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim yang berbunyi ”Di dalam diri manusia ada segumpal daging. Bila baik daging itu, maka baiklah orangnya. Bila jelek daging itu, maka jeleklah orang itu. Daging itu adalah qalb.” Secara tidak langsung ESQ menyetujui bahwa letak hati atau qalb itu berada di otak sebagaimana penemuan neurasains tersebut. Taufik Pasiak dalam bukunya Revolusi IQ/EQ/ SQ juga melakukan justifikasi yang sama. Menurutnya kata qalb dalam hadits tersebut bukan bermakna hati/ jantung (heart dalam bahasa inggris), tetapi lebih tepat dimaknai sebagai otak spiritual Karena menurutnya aql memiliki banyak fungsi, yaitu fungsi rasional, fungsi intuitif serta fungsi spiritual. Jika porsi kata aql lebih diperbanyak pada usaha sains, maka kata qalb lebih banyak menunjuk usaha-usaha ruhani.

Mengenai letak qalb, seorang ulama salaf terkenal yang memiliki otoritas dalam masalah jiwa, Imam al-Ghazaly, menyatakan bahwa qalb sebagai daging yang bersuhu panas berbentuk kusama berada di sisi sebelah kiri dada, di dalam isinya ada rongga yang berisi darah hitam sekali, dan kalbu itu tempat melahirkan jiwa yang bersifat hewani serta tempat asalnya. Dengan pengertian ini, kalbu yang dimaksud al-Ghazaly menunjuk kepada jantung. Begitu juga dengan al-Attas menterjemahkan qalb sebagai heart. Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan mengenai hal tersebut dalam surat al-Hajj (22) ayat 46.

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai kalbu yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qalb yang di dalam dada.

Tentunya dengan adanya pendapat Iman al-Ghazaly dan penegasan ayat al-Qur’an, Hipotesa yang menyatakan otak sebagai tempat bersemayamnya qalb, perlu mendapatkan penelaahan lebih lanjut karena asumsi tersebut lebih didasarkan atas penemuan dalam bidang neurosain. Dan penemuan neurosain terbaru pun bisa menyanggah teori tersebut. Kerancuan letak qalb didasari banyaknya ayat al-Quran yang menyatakan bahwa qalb selain mengacu kepada emosi manusia juga merupakan fakultas aktif yang berfikir, sehingga jika letak qalb itu benar berada di Jantung sebagaimana pendapat imam Ghazaly, maka sulit membayangkan bagaimana organ jantung dapat memiliki fungsi kognitif seperti otak,

Namun kini tampak titik terang kebenaran penafsiran ulama salaf yang menyatakan bahwa qalb adalah jantung yang memiliki kemampuan berpikir. Sekumpulan ilmuwan Barat yang aktif melakukan penelitian mengenai hubungan jantung dan otak (heart and brain interaction) telah menemukan fakta menarik mengenai hal ini. Dalam website Institute of HeartMath, para ilmuwan ini menulisan hasil penelitiannya pada e-book berjudul “The Coherent Heart” Dalam monograf ilmiah tesebut dijelaskan penemuan terbaru mengenai interaksi antara jantung dan otak yang ternyata mempengaruhi berbagai macam aspek dari kemampuan kognitif seorang manusia. Kesimpulan tersebut ditarik setelah kecanggihan alat teknologi kedokteran mampu menemukan sekumpulan ganglia di dalam organ tersebut yang dapat berhubungan dengan otak. Oleh sebab itu, hendaklah ESQ dalam mendefinisikan konsep-konsep kunci seperti pikiran (mind), jiwa (soul), emosi, fitrah, suara hati, suara hati spiritual, natural law, dan lain-lain, dapat menukil tafsiran ulama-ulama salaf dan kontemporer yang memiliki otoritas dalam masalah ini untuk menghindari kerancuan.

F. PENUTUP

Konsep ESQ sebagai sebuah modul pelatihan Sumber Daya Manusia meangandung beberapa gagasan yang mengudang kontroversi walaupun untuk membuktikan dakwaan yang menyatakan bahwa ESQ adalah pendukung liberalisme dan pluralisme masih perlu penelitian lebih lanjut dan mendalam, terutama untuk melihat ada tidaknya ide ”persamaan tuhan” pada level esoteris dalam ajaran ESQ, ataupun gagasan-gagasan lainnya seperti Asmaul Husna Value System (AHVS) dan tafsirannya yang tidak dibahas dalam makalah ini.

Jawaban pertanyaan ini sangat krusial dalam rangka identifikasi adanya unsur pluralisme agama dalam kosep ESQ karena, pertama ; dalam kebijakan ESQ Leadership Center tidak membatasi peserta pelatihan pada mereka yang beragama Islam. Peserta dengan latar belakang agama berbeda juga diperbolehkan mengikuti pelatihan ESQ. Dengan dibolehkannya non-muslim mengikuti pelatihan ini, dapat menjadi indikasi bahwa kondisi Zero dapat dicapai oleh siapa saja, asalkan melakukan penyerahan diri pada tuhan. Kedua; adanya pernyataan bahwa ESQ seperti oksigen yang tidak berwarna dan netral. Dengan falsafah ini Tim ESQ berharap dapat diterima oleh komunitas manusia universal sesuai dengan konsep God Spot. Pernyataan ini merupakan pernyataan yang berbahaya karena ilmu tidak netral namun bergantung pada worldview dimana ilmu tersebut dilahirkan, sehingga ESQ perlu menjelaskan bentuk kenetralan dan universalitas yang dimaksud dalam pernyataan tersebut.

Sejauh ini penulis hanya mendapatkan data dari jawaban ESQ terhadap dakwaan bahwa ESQ mendukung liberalisme dan menyebarkan pluralisme. Disebutkan bahwa bahwa ESQ menolak keras dakwaan tersebut karena definisi dan ciri-ciri pluralisme tidak terdapat dalam buku-buku ESQ. Kemudian ESQ menjelaskan tentang ciri-ciri liberalisme dan pluralisme, namun sayangnya jawaban tersebut tidak diberi komentar atau bukti-bukti yang kuat.

Selain dewan syariah, ESQ juga harus berkonsultasi dengan orang-orang yang memiliki worldview Islam dan paham mengenai epistemologi Barat dan Islam, agar pada saat melakukan Islamisasi konsep dan teori pelatihan manajemen diri, tidak terjadi kerancuan yang menyesatkan dalam hal pemikiran maupun praktek. Semangat untuk menyebarkan nilai-nilai Islam secara global dan universal tentunya jangan sampai terjebak kepada pemahaman yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam sehingga ajaran Islam kemudian ditundukan oleh konsep dan teori Barat serta penemuan-penemuan dalam bidang sains yang masih bersifat spekulatif. Hal ini diperlukan untuk menghindari pengalaman Barat ketika ajaran Kristen akhirnya harus tunduk oleh sekularisme dan pluralisme dalam rangka menyesuaikan agama mereka dengan tuntutan globalisasi.

SUMBER : DINAR KANIA, MM

Imaduddin Abdulrahim

Imaduddin Abdulrahim
Pelopor Kebangkitan Dakwah di Kampus Sekular
Oleh : Wendi Zarman, Msc

Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah
Pendidikan Islam di Masa Kecil Hingga Remaja
Nama lengkapnya adalah Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Ia dilahirkan di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, pada tanggal 21 April 1931 / 3 Zulhijjah 1349. Ayahnya, Haji Abdulrahim, adalah seorang ulama yang juga menjadi tokoh Masyumi di Sumatera Utara. Sedangkan ibunya, Syaifiatul Akmal, seorang wanita yang merupakan cucu dari sekretaris Sultan Langkat.
Bang Imad, demikian panggilan akrab Imaduddin, dibesarkan dalam tradisi pendidikan Islam yang kuat. Hal ini tidak mengherankan karena ayahnya sendiri adalah seorang ulama lulusan al-Azhar yang juga merupakan guru dari madrasah Kesultanan Langkat. Sejak kecil ayahnya sendiri langsung mengajarnya al-Qur’an berupa tajwid dan tafsir setiap selepas shalat subuh. Di dalam mengkaji al-Qur’an ini ayahnya sering menyelipkan berbagai cerita tentang tokoh-tokoh besar Islam. Kisah-kisah ini membekas dalam diri Bang Imad sehingga membentuk semangat perjuangan Islam yang kental dalam diri Bang Imad. Ayah Bang Imad juga menyediakan banyak buku dan majalah keislaman di rumah sebagai sumber bacaan bermanfaat baginya. Sementara ibunya berulang-ulang mengingatkan bahwa Imaduddin itu berarti ‘penegak tiang agama’ agar anaknya selalu menegakkan shalat.
Karena begitu kuatnya pendidikan agama dari kedua orang tuanya, maka tidaklah mengherankan sedari muda Bang Imad telah memiliki ghirah keislaman yang menyala-nyala. Semangat ini kemudian membawanya berkecimpung dalam berbagai kegiatan dakwah dan perjuangan Islam. Ketika masih duduk di bangku SMA Bang Imad sudah aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan pernah menjadi pengurus PII Sumatera Utara. Saat berusia lima belas tahun ia bergabung dengan laskar Hizbullah. Demi dapat diterima sebagai anggota Hizbullah, Bang Imad rela berbohong mengenai umurnya yang masih kurang dari dua tahun dari yang disyaratkan organisasi bentukan Masyumi itu. Kebohongan Bang Imad ini diketahui oleh ayahnya, namun ayahnya tidak memamarahinya karena ayahnya percaya bahwa kebohongan dilakukan karena Bang Imad ingin mati syahid.
Meskipun seorang aktivis Islam tulen, Bang Imad tidak meneruskan pendidikannya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Ia malah memilih mengambil kuliah teknik Elektro di ITB. Pilihan ini didukung oleh ketekunan dan kecerdasannya semasa di bangku sekolah. Sejak HIS hingga SMA ia selalu berusaha menjadi yang terbaik di kelasnya. Demikianlah yang diajarkan ayahnya untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Ia juga tidak pernah rela kalah dengan orang non muslim. Pernah suatu ketika ia kalah bersaing dengan seorang murid Kristen Batak di kelasnya. Murid itu mendapat nilai sembilan sedangkan ia hanya mendapat nilai delapan. Ia sangat terpukul dengan kekalahannya karena merasa tidak sepatutnya seorang muslim kalah dengan non muslim. Akibatnya, selama seminggu ia tidak bisa tidur memikirkan hal ini.
Keinginan Bang Imad kuliah di ITB dilatarbelakangi oleh perkataan Wakil Presiden Muhammad Hatta ketika meresmikan Bendungan Asahan. Hatta mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan banyak insinyur listrik agar dapat menjadi negara yang maju. Sejak saat itu Bang Imad yang sebelumnya pernah bercita-cita menjadi dokter memantapkan niatnya untuk belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebuah media milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Warta PDK mengabarkan bahwa Universitas Indonesia (UI) membuka penerimaan mahasiswa baru. Di dalam pengumuman itu disebutkan bahwa pihak universitas tidak mencari mahasiswa “pas-pasan” di sini. Hanya mereka yang memiliki nilai matematika delapan atau sembilan yang dibutuhkan di sini. Bang Imad merasa tertantang ketika membaca pengumuman itu lalu mendaftar ke ITB. Karena hampir semua nilainya SMA-nya bernilai delapan atau sembilan, kecuali pelajaran memegang buku, Bang Imad diterima di Departemen Teknik Elektro.
Menghidupkan Dakwah Kampus
Meskipun belajar di perguruan tinggi sekular semangat perjuangan Islam Bang Imad bukannya luntur malah semakin membara. Begitu diterima sebagai mahasiswa ia langsung bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bandung. Ketika di HMI, Bang Imad menggalakkan kegiatan mengkaji al-Qur’an dan tafsirnya dikalangan para aktivis. Ia juga membujuk Radio Republik Indonesia (RRI) untuk menyiarkan program pengkajian al-Qur’an. RRI bersedia dan memberikan HMI kesempatan untuk mengisi program tersebut sekali sebulan. Upaya Bang Imad ini menyebabkan maraknya pengkajian tafsir al-Qur’an di kalangan kader HMI.
Mengkaji dan mengajarkan agama merupakan pilihan yang paling disukai Bang Imad sehingga ia seringkali menolak dicalonkan sebagai ketua HMI. Ia lebih memilih ditempatkan sebagai ketua penerangan dan dakwah HMI yang bertugas mengatur dan melaksanakan pembinaan kader HMI melalui pengajian rutin.
Bang Imad merupakan pelopor dilaksanakannya shalat Jumat di aula kampus ITB. Pada mulanya shalat ini hanya diikuti oleh delapan belas orang, namun sedikit demi sedikit semakin banyak bahkan tidak mampu lagi ditampung di dalam aula. Pada masa itu masjid Salman belumlah berdiri dan baru berupa wacana. Maraknya kegiatan keislaman di kampus ini kemudian menimbulkan keinginan mendirikan masjid dikalangan dosen dan mahasiswa Muslim. Tahun 1958, Prof. Tubagus Sulaiman, seorang dosen Elektro yang sangat perhatian dengan pendidikan keislaman mahasiswa di kampus, mengumpulan sejumlah mahasiswa dan menggagas didirikannya masjid di kampus ITB. Gagasan ini ditindaklanjuti dengan membentuk panitia pembangunan masjid yang belakangan diresmikan dalam bentuk Yayasan Pembina Masjid Kampus ITB. Gagasan ini disambut dengan sangat antusias oleh Bang Imad sehingga ketika berceramah di berbagai tempat Bang Imad tidak lupa mengajak pendengarnya untuk menyumbangkan harta demi terwujudnya masjid kampus ITB.
Ir. Ahmad Noe’man meneruskan rencana ini dalam bentuk desain masjid yang akan dibangun tersebut. Desain ini kemudian ditampilkan dalam sebuah pameran arsitektur pada tahun 1964. Presiden Soekarno yang kebetulan melihat pameran tersebut merasa terkesan dengan desain tersebut karena menampilkan desain kubah masjid yang terbalik. Ketertarikan ini segera dimanfaatkan Prof Sulaiman dengan membinta Bung Karno untuk mendukung diwujudkannya masjid kampus ini. Bung Karno mendukung upaya ini dan menamakannya dengan Masjid Salman. Nama ini diambil dari nama salah seorang sahabat Nabi yang dikagumi Bung Karno karena kepintaran strategi parit yang diusulkan Salman dalam perang Khandaq sehingga kaum Muslim di Madinah berhasil memukul mundur pasukan musuh.
Dukungan Bung Karno ini sangat berpengaruh terhadap kelancaran pembangunan masjid. Segera setelah menyetujui rencana ini, Bung Karno memanggil Chaerul Shaleh, Menteri Perindustrian saat itu, dan memintanya menyumbangkan 1000 sak semen kepada untuk pembangunan masjid ini. Para mahasiswa juga dikerahkan untuk bergotong royong dalam pembangunan ini. Setelah Bung Karno turun dari kursi Presiden, tahun 1969 Bang Imad berusaha memperoleh bantuan dari Presiden baru Soeharto. Pada waktu itu dana masih kurang sekitar 40 juta rupiah. Jenderal Sudirman (ayah Basofi Sudirman) yang dekat dengan para aktivis HMI menyarankan agar Bang Imad pergi menemui Alamsyah Ratu Prawiranegara. Bang Imad lalu pergi menemui Alamsyah Ratu Prawiranegara di kantor Sekretaris Negara dan memintanya untuk berkhotbah Jumat di aula ITB. Seusai menyampaikan khutbah, Alamsyah digiring melihat maket Masjid Salman kemudian ia diminta untuk melobi Soeharto agar bersedia memberi bantuan bagi pembangunan masjid ini. Permintaan ini disampaikan Alamsyah kepada Soeharto. Seminggu kemudian Soeharto memberikan dana sebesar 20 juta rupiah kemudian disusul dari Menteri Agama, Kiai Dahlan, sebesar 20 juta rupiah juga. Dengan demikian dana yang dibutuhkan telah memadai.
Dengan izin Allah masjid Salman selesai dibangun pada tahun 1972. Namun Bang Imad tidak sempat menyaksikan peresmiannya karena sedang berada di Malaysia untuk membantu pengembangan Institut Teknologi Kebangsaan (ITK), Malaysia. Namun, begitu ia pulang tahun 1973, ia langsung menjadikan masjid Salman sebagai laboratorium pengkaderan intelektual muslim melalui LMD (Latihan Mujahid Dakwah). Melalui kegiatan seperti inilah Bang Imad menghidupan dakwah kampus yang sebelumnya kering dari nilai-nilai keislaman. Model pengkaderan seperti inilah yang kemudian yang menjadi inspirasi dan ditiru oleh banyak kampus di seluruh Indonesia bahkan Malaysia.
Alumni Elektro Jadi Dosen Agama
Pada tahun 1962 Bang Imad lulus dari ITB. Ayahnya kemudian memintanya kembali ke Langkat karena ada permintaan insinyur dari suatu perusahaan minyak yang beroperasi di sana. Namun Bang Imad merasa berat untuk memenuhi permintaan ayahnya itu karena ia ingin terlibat dalam merealisasikan masjid Salman sebagai sebuah pusat dakwah. Ia kemudian menghadap Prof. Sulaiman untuk menjelaskan dan meyakinkan ayahandanya perihal keinginannya untuk bertahan di Bandung. Kepada H. Abdulrahim, ayah Bang Imad, Prof Sulaiman menjelaskan bahwa keberadaan Bang Imad sangat dibutuhkan di kampus karena ia akan dijadikan motor dakwah kampus. Prof Sulaiman juga menjanjikan akan menjadikan Bang Imad sebagai asisten dosen di ITB. Mendengar penjelasan tersebut, H. Abdulrahim yang juga tokoh dakwah, merelakan anaknya untuk berdakwah di Bandung.
Tahun 1963 Bang Imad berangkat ke ke luar negeri melanjutkan S2-nya di Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat. Tahun 1965 ia menyelesaikan S2-nya dan langsung melanjutkan S3-nya di Chicago. Baru dua bulan di Chicago Bang Imad mendapat kabar tentang terjadinya pemberontakan PKI. Beberapa dosen ITB diindikasikan terlibat sehingga terjadi penangkapan terhadap sejumlah dosen ITB. Akibat penangkapan ini terjadi kekosongan pengajar di berbagai jurusan.
Bang Imad kemudian diminta pulang untuk membantu mengatasi kelangkaan pengajar tersebut. Setelah dua semester S3 di Chicago, pada tahun 1966, Bang Imad kembali pulang ke Indonesia dan diberi tugas mengajar di jurusan Elektro. Sebelum mengajar ia meminta izin kepada Prof Sulaiman (waktu itu Dekan Fakultas Teknologi Industri) untuk terlebih dulu pulang ke Langkat untuk menjenguk kedua orang tuanya yang sudah tua.
Meskipun dikenal sebagai seorang aktivis Islam, Bang Imad tidak menganggap dirinya memiliki kepantasan untuk mengajar Islam secara formal di dalam perkuliahan. Namun keadaan di ITB memaksanya untuk terjun mengajar kuliah agama Islam disamping perkuliahan khas di Departemen Elektro. Pada masa itu ITB hanya memiliki tiga orang dosen agama Islam yang dibebani mengajar hingga seribuan mahasiswa. Hal ini menyebabkan perkuliahan menjadi tidak efektif karena kurangnya jumlah dosen agama. Apalagi, Prof. Sulaiman, yang mendapat tugas mengatur teknis pelaksanaan perkuliahan agama Islam, mendapat informasi tentang banyaknya mahasiswa Muslim ITB yang mengambil kuliah agama selain Islam karena anggapan mereka bahwa lebih mudah mendapat nilai bagus pada perkuliahan agama selain agama Islam.
Hal ini merisaukan Prof. Sulaiman sehingga ia memanggil Bang Imad lalu memintanya mengajar agama Islam. Bang Imad keberatan dengan permintaan ini karena ia tidak punya ijazah dalam bidang agama Islam. Ia merasa belum pantas memegang kuliah agama Islam. Namun Prof. Sulaiman bersikeras dan tetap meminta Bang Imad mengajar. Selang beberapa hari dari pertemuan itu, Bang Imad pergi menemui Moh. Natsir dan menceritakan permintaan Prof. Sulaiman itu kepadanya dengan harapan Natsir dapat mempengaruhi Prof. Sulaiman untuk mengubah rencana itu. Di luar dugaan Natsir malah menguatkan dan membenarkan permintaan Prof. Sulaiman. Natsir menasehati Bang Imad untuk mau menerima amanah tersebut. Tak lupa sebelum pulang, Natsir membekali sejumlah buku karya ulama besar seperti Abula’la al Maududi, Sayid Quthb, Abdul Qadir Audah, dan lain-lain. Akhirnya, Bang Imad tidak kuasa lagi menolak permintaan Prof Sulaiman. Terhitung sejak September 1968, Bang Imad menjadi dosen Agama Islam, disamping juga mengajar pada mata kuliah lain di Departemen Teknik Elektro.
Masuk Penjara
Di kalangan anggota HMI dan aktivis Muslim lainnya Bang Imad dikenal karena kepandaiannya berpidato atau berceramah. Hal ini tidak terlepas dari kepandaiannya dalam berargumentasi. Setiap kali menyampaikan suatu pandangan, ia selalu menyertakannya dengan alasan yang kuat dan dapat dibenarkan secara akal sehat sehingga orang mau tidak mau membenarkan pendapatnya. Itu sebabnya banyak sekali jamaah yang hadir dalam setiap kali ceramahnya. Ia juga dikenal sebagai orang yang teguh memegang prinsip. Konsistensinya dengan ajaran tauhid membuatnya tidak segan-segan mengritik hal-hal yang dirasanya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, meskipun yang dikritiknya itu adalah pihak-pihak yang berkuasa. Tidak mengherankan banyak orang menganggap orang menganggap dirinya seorang tokoh Islam garis keras. Meskipun demikian Bang Imad tidak pernah mengkritik seseorang secara langsung dengan menyebutkan nama.
Akibat sifatnya yang keras dan tidak mau berkompromi dengan kebatilan ini ia mejadi incaran para intel. Setiap tempat yang ceramahinya seringkali disusupi oleh para intel. Masjid al-Ahzar bahkan enggan mengundangnya ceramah kembali karena dinilai terlalu keras. Sikapnya yang keras ini akhirnya membawanya ke penjara di masa Soeharto. Penyebabnya adalah ucapannya dalam salah satu ceramahnya di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Di dalam ceramah ini ia menyebut bahwa orang yang mendirikan kuburan sebelum mati adalah Fir’aun. Ketika itu Soeharto telah membangun kuburannya di Giri Bangun. Ucapan Bang Imad ini dianggap sebagai penghinaan terhadap Soeharto. Tanggal 23 Mei 1978, seusai memberikan ceramah di Salman, sekelompok orang berpakaian preman datang ke rumahnya kemudian membawanya ke sebuah penjara di samping Taman Mini Indonesia Indah.
Selama empat belas bulan ia mendekam dalam penjara itu hingga Prof. Dr. Dodi Tisna Amidjaya datang meminta kepada Sudomo agar membebaskan Bang Imad. Tisna membujuk Sudomo agar mau membebaskan Bang Imad karena menurut Prof. Dodi Bang Imad bukanlah orang yang berbahaya. Bang Imad bukanlah politikus sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan pada dirinya. Tapi Sudomo tetap mempermasalahkan ceramah-ceramah Bang Imad. Akhirnya Bang Imad diusulkan agar dikirim saja ke luar negeri menyelesaikan S3-nya. Sudomo akhirnya setuju membebaskan Bang Imad, tapi Daud Yusuf, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu menolak memberi beasiswa. Atas upaya dari Mohammad Natsir akhirnya Bang Imad mendapat beasiswa dari King Faisal Foundation. Bang Imad pun kemudian dibebaskan lalu dikirim ke Amerika dan kembali lagi ke Indonesia tahun 1986.
Kiprah Dakwah di Manca Negara
Kiprah Bang Imad dalam dakwah bukan hanya terbatas di dalam negeri tetapi juga sampai ke dunia internasional. Ketika ia dikirim belajar (S2) di Amerika tahun 1963 ia telah menunjukkan wataknya sebagai agen dakwah di manapun ia berada. Sebagaimana yang ia lakukan di ITB, Bang Imad mempelopori diadakannya shalat Jumat untuk para mahasiswa Muslim di kampus Iowa. Ia bukan hanya mengajak mahasiswa asal Indonesia tetapi juga mahasiswa dari negara muslim lainnya seperti Mesir dan Pakistan. Meskipun hanya diikuti oleh sedikit jamaah tetapi hal itu tidaklah menyurutkan langkahnya untuk menggalakkan shalat di kalangan mahasiswa Muslim. Nampaknya ini menjadi keprihatinan terbesarnya karena dari empat puluh mahasiswa Indonesia yang berangkat bersamanya ke Amerika hanya sepuluh orang saja yang mengerjakan shalat.
Suatu ketika Bang Imad mendengar bahwa di Pensylvania telah didirikan organisasi Muslim Students Association for US and Canada (MSA) oleh Ahmad Tontoji. Bang Imad lalu menghubungi Tontoji (Irak) dan memintanya membuka cabang MSA di Iowa. Kedekatan dengan Tontoji kemudian membawa Bang Imad turut bergabung dengan International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) hingga menduduki posisi sebagai wakil Sekjen. Selain IIFSO, Bang Imad juga terlibat dalam World Assembly Moslem Youth (WAMY) yang juga digagas oleh Tontoji. Melalui keterlibatannya dengan berbagai organisasi muslim internasional inilah Bang Imad mendapat kesempatan berinteraksi dengan tokoh-tokoh muslim dunia Abu A’la al-Maududi, Isma’il Raji al-Faruqi, dan Fazlur Rahman, dan Anwar Ibrahim.
Tahun 1970 hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali normal setelah sempat bermusuhan di akhir masa pemerintahan Sukarno. Kedua negara secara berangsur mulai membina kerjasama. Pada tahun tersebut Malaysia masih kekurangan tenaga pengajar sehingga banyak dosen-dosen Indonesia yang diminta mengajar ke sana termasuk diantaranya Bang Imad. Saat itu Bang Imad diminta untuk mengembangkan Technical College, satu-satunya perguruan tinggi di Malaysia yang hanya dapat menyelenggarakan pendidikan setingkat D3. Rencananya perguruan tinggi ini akan ditingkatkan menjadi institut yang diberi nama Institut Teknologi Kebangsaan.
Selama di Malaysia Bang Imad tidak bisa meninggalkan kebiasaannya berdakwah. Ketika merancang kurikulum institut, ia sengaja memasukkan pelajaran agama sebagai mata kuliah wajib agar mahasiswa yang dibentuk di sana bukan hanya menguasai sains modern tetapi juga memahami agama dengan baik. Mulanya hal ini ditentang oleh direktur institut Encik Zainuddin karena tidak masuk dalam program pemerintah. Namun Bang Imad bersikeras dan mengancam pulang ke Indonesia jika usulannya ini ditolak. Akhirnya Zainuddin mengalah dan tahun 1972 Bang Imad mulai mengajar kuliah agama di institut tersebut. Dalam kuliah pertama yang juga dihadiri rektor, doesen, dan mahasiswa ini Bang Imad meyakinkan bahwa agama Islam tidak bertentangan dengan sains dan teknologi yang selama ini dipersepsikan oleh kebanyakan orang Melayu. Ceramah ini ditanggapi positif dan menginspirasi banyak orang Malaysia.
Kuliah-kuliah yang disampaikan Bang Imad ternyata memberi kesan yang dalam bagi mahasiswa dan dosen sehingga beberapa diantaranya meminta Bang Imad untuk membuat pelatihan sejenis LMD sebagaimana yang pernah dilakukannya di ITB. Jika di Indonesia pelatihan ini diberi nama LMD, di Malaysia pelatihan ini digelari Latihan Tauhid. Peserta pelatihan ini diwajibkan membawa al-Qur’an ke kampus. Pelatihan ini membawa perubahan besar di kalangan mahasiswa Malaysia. Sebagai contoh, mahasiswa yang sebelumnya merasa malu membawa al-Qur’an dan membungkusnya ke dalam majalah setelah pelatihan ini menjadi bangga membawa al-Qur’an ke kampus.
Mengikat Cendekiawan Muslim Indonesia dalam ICMI
Satu hal yang merisaukan Bang Imad adalah kurangnya persatuan yang dimiliki cendekiawan Muslim di Indonesia. Beberapa tokoh cendekiawan didapatinya saling tidak akur dengan lainnya, seperti Amien Rais dengan Cak Nur atau Fuad Amsyari dengan Cak Nur. Sekembalinya dari Amerika tahun 1986, Bang Imad merasakan perlu dibentuknya wadah organisasi yang dapat menyatukan mereka tanpa memandang mazhab dan kecenderungan pemikiran mereka.
Pada tahun 1989, Bang Imad mengundang beberapa tokoh cendekiawan Islam termasuk Amien Rais dan Cak Nur di Yogya untuk membincangkan gagasan ini. Cak Nur bersedia, tapi Amien Rais menolak datang. Hadir pada pertemuan itu sekitar tujuh puluh orang termasuk diantaranya Syafi’i Ma’arif, Cak Nur, dan Endang Saifudin Anshari. Pada waktu itu peserta sudah setuju untuk membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), namun pertemuan ini terlanjur diketahui polisi dan dibubarkan sebelum ICMI dideklarasikan.
Pada tahun 1990, sekelompok dosen Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang datang menemui Bang Imad untuk memintanya mengajar di sana dan mengembangkan masjid Unibraw seperti Salman. Tapi bukannya memenuhi permintaan mereka, Bang Imad justru malah meminta mereka mengajukan proposal simposium yang akan diadakan di Unibraw mengenai kontribusi cendekiawan muslim di abad ke-21. Simposium ini dimaksudkan sebagai saran mengumpulkan cendekiawan muslim Indonesia untuk disatukan dalam wadah ICMI dan meminta agar Prof. Habibie dijadikan sebagai pembicara utama. Proposal ini kemudian diajukan kepada Habibie melalui Alamsyah. Bang Imad juga secara khusus datang menemui dan menyakinkan Habibie tentang pentingnya simposium ini. Ia juga meminta Habibie untuk menjadi ketua jika organisasi ini jika berhasil dibentuk.
Meskipun upaya ini sempat mendapat rintangan dari Jenderal Benny Moerdani, namun simposium berhasil dilaksanakan dan ICMI berhasil dideklarasikan. Hal ini tidak terlepas dari peran Habibie meyakinkan Soeharto yang di tahun 1990-an sudah mulai memiliki kecenderungan lebih dekat kepada Islam. Bahkan Soeharto berkenan membuka dan membantu pembiayaan acara tersebut.
Akhir Hayat Bang Imad
Setelah ICMI terbentuk kesibukan Bang Imad banyak dicurahkan untuk mengembangkan ICMI ke daerah-daerah. Panggilan dakwah juga semakin banyak, bukan hanya di Indonesia bahkan sampai keluar negeri seperti Eropa dan Australia. Ia juga sempat tampil berceramah di RCTI sejak Juni 1997. Kesibukan ini berpengaruh terhadap kesehatan tubuhnya yang sudah semakin tua. Bahkan pada rentang Juli 1997 sampai Januari 1998 ia sempak masuk rumah sakit sebanyak delapan kali. Pada Januari 1998 keadaan fisik Bang Imad memburuk karena komplikasi penyakit di otak, pinggang dan prostat. Ia disarankan berobat ke Jerman, namun karena keadaan keuangan tidak memungkinkan ia memilih berobat di rumah. Akhir 1998 dalam kondisi sakit Bang Imad memaksakan shalat berjamah di masjid yang sangat dirindukannya. Ia sudah rela jika itu menjadi shalat jamaahnya yang terakhir. Sepulang shalat seorang tetangganya menganjurkannya berobat pada seorang tabib, dan alhamdulillah, sakitnya berangsur sembuh dan ia pun bisa melanjutkan dakwahnya.
Meskipun telah sembuh, penyakit ini terus mengintai Bang Imad yang usianya semakin senja. Bang Imad akhirnya dipanggil Allah pada 2 Agustus 2008 di kediamannya di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP), Kalibata, Jakarta.
Keistimewaan Bang Imad
Bang Imad boleh jadi kurang tepat jika kita golongkan ke dalam golongan ulama jika pengertian ulama dalam hal ini adalah orang yang banyak menghasilkan karya-karya di dalam ilmu-ilmu keislaman. Kenyatannya memang Bang Imad tidak banyak meninggalkan karya buku. Hanya ada dua buku karyanya mengenai Islam yang diterbitkan secara umum yaitu Kuliah Tauhid dan Islam Sistem Nilai Terpadu. Bahkan buku Kuliah Tauhid sebenarnya adalah kumpulan ceramah yang dibukukan oleh para sahabatnya ketika Bang Imad berada di dalam penjara. Namun buku ini dapat dikatakan melegenda dan melekat dengan nama Bang Imad. Jika orang mendengar nama Bang Imad maka pikiran mereka langsung mengaitkannya dengan Kuliah Tauhid. Sedangkan buku Islam Sistem Nilai Terpadu merupakan penjabaran yang lebih lengkap dari buku Kuliah Tauhid.
Oleh karena itu Bang Imad lebih tepat disebut sebagai seorang mujahid dakwah (pejuang), mirip dengan jenis pelatihan yang dilakukannya di ITB karena ia adalah pelopor kebangkitan intelektual Muslim Indonesia yang dibesarkan dalam tradisi sekular (sekolah umum). Ia berkeliling dan berkampanye ke banyak tempat, baik di dalam maupun luar negeri, untuk membangkitkan kesadaran umat Islam bahwa mereka punya kehormatan jika berpegang pada ajaran Tauhid, ajaran yang paling pokok dan menjiwai semua ajaran Islam. Bang Imad menggelorakan semangat untuk maju di tengah tengah masyarakat yang rendah diri bahwa mereka bisa maju bila berpegang pada ajaran Islam.
Ada empat hal yang membuat Bang Imad menjadi sosok cendekiawan Muslim yang istimewa. Pertama, kekerasan hatinya ketika mengumandangkan dan membela apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Ini adalah buah dari pendidikan ayahnya sejak kecil yang menekankan kepadanya untuk senantiasa berpegang pada agama. Meskipun masyarakat Langkat merupakan masyarakat yang terkenal lemah lembut, tetapi sang ayah mendidik Bang Imad secara keras agar ia tumbuh menjadi orang yang memegang prinsip. Bang Imad adalah sosok orang yang sesuai antara perkataan dengan perbuatan. Ketika ia berkeliling dan berdakwah ke mana-mana dengan membawa pesan tauhid ia membuktikan langsung pengamalannya terhadap ajaran tauhid yang menganggap hanya Allah semata yang pantas ditakuti dan diibadahi. Sehingga ia sedikitpun tidak menunjukkan rasa takut pada pihak manapun termasuk dihadapan penguasa. Ia juga senantiasa bekerja atas dasar mencari keridhaan Allah, bukan untuk kepentingan lain apalagi keduniawian. Ini tampak jelas dari perjalanan hidupnya yang tidak pernah menjadi bagian dari kekuasaan meskipun ia memiliki kemampuan untuk itu.
Kedua, Bang Imad adalah seorang inovator dakwah yang jeli melihat hal-hal yang perlu diperbaiki yang ada di masyarakat. Dia menciptakan sesuatu yang ganjil di masanya menjadi sesuatu yang sangat menginspirasi. Beberapa gebrakan yang ia lakukan merupakan hal-hal yang belum banyak terpikirkan oleh intelektual muslim lainnya. Dan gebrakan itu memberi bekas yang kuat sehingga ditiru di tempat-tempat lain. Ketika ITB masih ‘berbau Belanda’ dan sekular , Bang Imad menggebrak kesadaran Muslim ITB dengan kegiatan shalat Jumat di aula kampus dan pelatihan kader dakwah. Pada masa kini hal itu adalah sesuatu yang biasa, tapi pada masa itu merupakan sesuatu yang aneh. Apalagi ideologi Nasakom masih tergolong kuat masa sehingga stigma “kolot dan terbelakang” terhadap orang-orang yang teguh dalam agama masih banyak mewarnai pikiran orang-orang masa itu. Maka tidaklah berlebihan jika kita katakan bahwa fenomena berdirinya masjid kampus di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan maraknya kegiatan keislaman di kampus umum seperti ITB, UI, UGM, Unibraw pada masa sekarang merupakan buah dari gerakan dakwah yang dilakukan Bang Imad. Bang Imad juga mengangkat kehormatan para mahasiswa Muslim yang sebelumnya sering merasa rendah diri dan dianggap sebagai kelompok yang tidak bisa maju.
Ketiga, Ia adalah sosok pemersatu kaum intelektual Muslim Indonesia. Meskipun pribadinya keras, namun itu nampaknya hanya pada hal yang sangat prinsip. Dalam hal persaudaraan sesama Muslim ia merupakan seorang tokoh penyambung simpul-simpul ukhuwah yang putus atau nyaris putus. Ia dapat dikatakan sebagai tokoh Muslim yang relatif dapat diterima di kelompok manapun. Kenyaataan ini dapat kita lihat dari kegigihannya untuk bisa mewujudkan sebuah organisasi cendekiawan Muslim yang mewadahi seluruh cendekiawan Islam di Indonesia di dalam ICMI. Sejauh ini usahanya dapat dikatakan berhasil karena hingga saat ini belum ada organisasi cendekiawan Muslim sejenis yang dapat menyaingi ICMI. Walaupun besar kecilnya peran ICMI di Indonesia masih banyak yang memperdebatkan , kewujudan organisasi ini merupakan sebuah keberhasilan yang sangat berarti.
Keempat, ia adalah representasi cendekiawan ‘ideal’ dalam pengertian menguasai ilmu-ilmu sains dan pada saat yang sama punya pengetahuan mendalam mengenai agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa dikotomi sistem pendidikan warisan penjajah Belanda telah memecah sarjana-sarjana Muslim Indonesia ke dalam dua kelompok : Sarjana-sarjana ilmu umum (sekular) yang tidak tahu agama dan sarjana-sarjana ilmu keislaman yang kurang memahami ilmu umum. Kondisi ini jika dibiarkan perlahan-lahan akan menghancurkan umat Islam dari dalam. Namun Bang Imad telah memberi teladan, sarjana ilmu-ilmu umum itu tidak cukup hanya menjadi orang shalih dalam hal ritual keagamaan (shalat, zakat, puasa, haji) tetapi ia juga harus mendalam ilmu agamanya yang mampu menagkap pesan-pesan al-Qur’an dan Hadits untuk menjadi jawaban terhadap persoalan-persoalan umat. Oleh karena itu maka tidaklah berlebihan jika Bang Imad adalah sumber inspirasi munculnya pengajian-pengajian atau halaqah-halaqah di kampus-kampus umum.
Daftar Pustaka
1. Asshiddiqie, Jimly (penyunting), Bang Imad : Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya, Jakarta : Gema Insani Press, 2002
2. Abdulrahim, Muhammad Imaduddin, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta : Gema Insani Press, 2002
3. Abdulrahim, Muhammad Imaduddin, Kuliah Tauhid, Jakarta : Gema Insani Press, 2002